FB

FB


Ads

Senin, 23 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 100

“Ah, betapapun aku menyadari bahwa perasaanku terhadap Ganggananda itu adalah tidak wajar, adikku. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku adalah seorang pria, dan aku jatuh hati, benar-benar aku tergila-gila kepada seorang pemuda lain, seorang pria lain. Namun aku tidak mampu melawan gejolak hatiku, kesadaranku seolah-olah membutakan diri, tidak mau perduli lagi karena gairah dan hasrat hatiku terhadap Ganggananda tak mungkin dapat dibendung lagi.”

Pemuda itu diam dan berulang kali menarik napas panjang, beberapa kali membuka mulut seperti hendak melanjutkan namun tidak ada suara keluar dari mulutnya, seolah-olah dia tidak kuasa untuk melanjutkan.

Suma Ceng Liong merasa kasihan sekali melihat keadaan kakak misannya itu dan diapun menyentuh tangan Ciang Bun sambil berkata.

“Sudahlah, Bun-toako, kalau engkau merasa berat untuk melanjutkan, tidak perlu kau bicara lagi. Aku sudah mengerti, atau setidaknya aku akan berusaha untuk mengerti.”

“Tidak, aku harus menceritakan seluruhnya. Aku sudah kuat, Liong-te, dengarlah baik-baik.”

Suma Ciang Bun lalu melanjutkan, betapa dia bertahan diri untuk tidak membuka cintanya terhadap Ganggananda karena khawatir kalau-kalau pemuda Bhutan itu akan merasa muak dan jijik kepadanya, lalu membencinya karena keadaannya yang tidak wajar itu. Akan tetapi betapa akhirnya dia tidak kuat bertahan dan mengakui cintanya, siap menerima segala akibatnya andaikata Ganggananda menjadi jijik dan membencinya. Akan tetapi, sebaliknya dialah yang terpukul.

“Betapa kaget dan hancurnya perasaanku, Liong-te. Betapa bingung dan malu rasa hatiku ketika Ganggananda membuka rahasia bahwa dia adalah seorang wanita bernama Gangga Dewi dan sama sekali bukan pemuda seperti yang selama itu kuduga! Dan aku sudah terlanjur mengatakan kepadanya bahwa aku tidak suka wanita! Ah, ia menjadi marah-marah, tentu ia amat benci kepadaku dan ia lalu meninggalkan aku, Liong-te....! Dan aku.... aku merasa malu, aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan, dan aku merana, aku bahkan tidak mau pulang walaupun aku tahu bahwa enci Hui merayakan pernikahannya. Aku adalah seorang manusia sampah.... membikin malu saja.”

“Bun-toako!” Terdengar suara Ceng Liong seperti membentak, menggeledek sehingga mengejutkan Ciang Bun. “Begitukah sikap seorang pendekar yang gagah perkasa? Begitu cengeng penuh dengan iba diri, merasa seolah-olah diri sendiri menjadi orang yang paling sengsara di permukaan bumi ini?”

Ciang Bun terkejut sekali. Baru sekarang dia mendengar orang bicara seperti itu kepadanya dan sepasang mata adik misannya itu mencorong menakutkan! Dan sikap Ceng Liong itu seketika menggugah semangatnya, seperti mengguncangnya dari tidur pulas dan mimpi buruk. Dia melihat Ceng Liong bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan sepasang mata bersinar.

“Bun-toako, bagaimanapun juga, apapun juga yang terjadi atas dirimu, engkau harus berani menghadapi kenyataan! Katakanlah bahwa engkau mengalami atau menderita kelainan, yang berbeda dengan pria pada umumnya, namun bagaimanapun juga keadaanmu itu adalah suatu kenyataan dan segala kenyataan adalah benar dan tidak dapat diubah hanya dengan tangisan dan keluhan belaka!”

Kata-kata itu seperti tusukan-tusukan pedang yang terasa benar di hatinya, membuat Ciang Bun perlahan-lahan bangkit berdiri. Hiburan-hiburan baginya tidak ada artinya lagi, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Ceng Liong ini sama sekali bukan hiburan, melainkan pisau-pisau yang melakukan operasi membuka segalanya sehingga nampak olehnya, nampak olehnya kenyataan yang ada pada dirinya.

“Ceng Liong.... adikku.... engkau benar. Lalu.... lalu apa yang harus kulakukan, adikku?”

“Toako, aku bukan guru dan engkau bukan muridku. Kalau engkau hanya mengekor saja pendapat orang lain, termasuk pendapatku, engkau akan terlibat pula dalam pertentangan batin, akan diputar-putar antara rasa benar dan salah. Keadaan itu adalah keadaanmu sendiri, badanmu sendiri, dan hanya engkaulah sendiri yang dapat merasakan, maka engkau sendiri pula yang dapat menentukan baik buruknya, engkau sendiri yang dapat mengambil ketentuan, akan melanjutkan atau menghentikan. Mengertikah, toako?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan mulai memandang adik misannya itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia merasa semangatnya tergugah, tidak tenggelam di dalam kemurungan dan kekecewaan, tenggelam dalam perasaan yang nelangsa dan putus asa.






Kini matanya seperti dibuka dan dia dipaksa berhadapan dengan kenyataan yang sesungguhnya tidaklah begitu mengerikan atau menakutkan seperti kalau dibayangkan. Keadaan dirinya bukanlah suatu keadaan yang sudah rusak sama sekali. Tidak! Benar Ceng Liong. Badan ini adalah badannya, berikut baik buruknya, cacat celanya dan dialah yang berkuasa atas badan ini. Tidak sepatutnya kalau batinnya terseret dan tenggelam oleh keadaan badannya!

“Terima kasih, Liong-te, terima kasih. Kata-katamu merupakan minuman pahit akan tetapi sungguh bermanfaat sekali bagiku, seperti cambuk akan tetapi dapat menggugahku dari tidur nyenyak! Aku bersikap terlalu lemah selama ini dan baru nampak olehku sekarang!”

“Toako, keadaanmu itu sebenarnya tidaklah perlu diributkan benar. Kelainan pada dirimu itu tidak lebih dari kelainan dalam nafsu berahi atau nafsu kelamin belaka. Dan nafsu itu bukanlah satu-satunya urusan dalam hidup ini bukan? Lebih baik kita melupakan hal yang sudah lalu dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kenyataan setiap saat. Hanya kenangan lama saja yang menimbulkan gelisah dan duka. Mari kita bergembira, toako!”

Ciang Bun merangkul adik misannya itu dan memandang wajahnya dari dekat, memandang penuh kagum.

“Ah, tak kusangka adikku yang dahulunya seorang anak yang bengal itu kini menjadi seorang pemuda yang batinnya jauh lebih dewasa daripada aku, dan baru sekarang aku melihat betapa diriku selama ini tersiksa oleh batinku sendiri. Batinku selalu tenggelam dalam keluhan dan kesengsaraan yang kubuat sendiri. Engkau memang benar. Hidup ini bukan hanya urusan nafsu berahi semata dan cintaku yang sudah-sudah itu hanyalah nafsu berahi belaka karena akupun menyadari bahwa cinta kasih yang murni tidak membeda-bedakan dan tidak memilih-milih.

Tapi terus terang saja, adikku. Setelah aku mengetahui bahwa Gangga seorang gadis, dan aku mengamati perasaanku, aku hampir merasa yakin bahwa aku memang cinta padanya, tak perduli ia itu pria atau wanita. Akan tetapi.... ah, sudahlah. Ia tentu sudah benci kepadaku dengan perasaan muak dan jijik, pula, kalau kupikir-pikir lagi, seorang gadis sehebat ia itu memang tidak layak kalau menjadi sisihan seorang laki-laki sinting macam aku yang tidak lumrah pemuda biasa ini.”

Ceng Liong tersenyum. Ucapan itu nadanya bukan keluhan lagi dan wajah Ciang Bun tidaklah muram seperti tadi lagi.

“Toako, kalau ia membencimu, kalau ia merasa jijik dan muak, itu tandanya ia tidak cinta padamu. Dan dalam urusan jodoh, cinta haruslah ada di kedua pihak, bukan? Kalau hanya kita yang mencinta setengah mati akan tetapi sang gadis tidak, untuk apa dilanjutkan? Berarti hanya penyiksaan batin sendiri, bukan?”

“Cocok! Dan aku tidak begitu tolol membiarkan diriku tersiksa sendirian. Ha-ha, engkau seperti dewa penolong yang menyingkirkan batu yang tadinya menindih hatiku, Liong-te.”

Ciang Bun tertawa dan mungkin baru sekali inilah dia dapat tertawa dengan sepenuh hatinya semenjak dia ditinggalkan Gangga Dewi.

“Yang menyingkirkan adalah engkau sendiri. Orang lain atau aku tidak mungkin dapat menyingkirkannya, paling banyak hanya membantu menunjukkannya saja. Nah, sekarang ceritakanlah, toako. Bagaimana engkau dapat berada di sini? Apakah engkau juga ingin menghadiri pertemuan antara para pendekar di tempat ini?”

Ciang Bun mengangguk-angguk dan kini dia bercerita dengan suara yang wajar dan bebas.
“Aku merantau tidak ada tujuan dan aku membatalkan niatku menyusul ke Bhutan. Dalam perantauan itu aku mendengar berita angin bahwa para pendekar akan mengadakan pertemuan di Hutan Cemara ini, maka akupun segera pergi ke sini.”

“Tahukah engkau, toako, apa yang akan dilakukan atau dibicarakan para pendekar dalam pertemuan di Hutan Cemara ini?”

Ciang Bun menggeleng kepada dan memandang wajah adiknya dengan alis berkerut.
“Aku tidak tahu, hanya mendengar bahwa para pendekar akan mengadakan pemilihan seorang bengcu (pemimpin rakyat).”

“Para pendekar mengadakan pertemuan di sini untuk membicarakan urusan tanah air yang dijajah Bangsa Mancu, toako. Membicarakan tentang rencana perjuangan memberontak dan membebaskan negara dan bangsa dari penjajah Mancu dan untuk itu agaknya memang akan diadakan pemilihan seorang bengcu yang akan memimpin gerakan itu.”

Sepasang mata Ciang Bun terbelalak.
“Pemberontakan....? Para pendekar hendak melakukan pemberontakan....?”

“Kenapa kau terkejut, toako?” tanya Ceng Liong, teringat akan kekagetan hatinya sendiri ketika untuk pertama kalinya dia mendengar dari pendekar Sim Hong Bu.

Dia ingin tahu akan isi hati dan perasaan kakak misannya tentang pemberontakan menentang pemerintah Mancu ini.

“Kenapa tidak terkejut?” Ciang Bun balas bertanya. “Kita sama sekali tidak boleh mencampurinya kalau seperti itu maksud pertemuan para pendekar itu!”

“Kenapa, toako?”

“Engkau masih bertanya lagi kenapa, Liong-te? Jelas bahwa kita tidak mungkin dapat mencampuri urusan pemberontakan, apalagi ikut-ikut memberontak! Ingat saja kepada mendiang nenek Nirahai! Ingat saja kepada bibi Milana dan sekarang lebih lagi kalau aku mengingat bahwa enci Hui telah menjadi isteri Jenderal Kao Cin Liong!”

Suma Ceng Liong menghela napas. Persis benar perasaan kakak misannya ini dengan perasaan hatinya sendiri ketika untuk pertama kali dia membantah ayahnya dan pendekar Sim Hong Bu.

“Mula-mula akupun berpendapat begitu, toako. Akan tetapi ayahku sendiri menyetujui rencana para pendekar itu dan setelah bercakap-cakap, akupun dapat melihat kebenaran pendapat mereka yang hendak menentang pemerintah Mancu.”

Ceng Liong lalu menerangkan kepada kakak misannya tentang para patriot yang hendak membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah Mancu dan dalam perjuangan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan tidak dikenal kepentingan pribadi.

“Boleh jadi kaisar sekarang, biarpun seorang Bangsa Mancu, merupakan seorang kaisar yang baik, akan tetapi bagaimanapun juga baiknya, dia termasuk ke dalam alat dari bangsa asing yang menjajah bangsa kita. Dalam perjuangan ini kita tidak memusuhi pribadi-pribadi, dan juga kita bukan berjuang untuk kepentingan pribadi, melainkan perjuangan rakyat terhadap penjajah.”

“Hemm, kalau begitu, engkau datang untuk ikut dalam pertemuan itu, ikut merencanakan.... pemberontakan?” Ciang Bun bertanya, wajahnya menjadi agak pucat mendengar urusan yang amat gawat itu.

Ceng Liong tersenyum.
“Toako, seperti juga engkau, dan kuharapkan juga seperti semua orang muda, akupun tidak mudah puas menerima suatu pendapat begitu saja. Aku datang untuk melakukan penyelidikan, meneliti keadaan dan mengenal orang-orang yang hendak memimpin perjuangan itu, apakah benar-benar mereka itu adalah pendekar-pendekar dan patriot-patriot sejati yang hendak menyumbangkan jiwa raga demi kepentingan bangsa, ataukah hanya segerombolan orang yang suka bertualang mencari keuntungan diri pribadi belaka.”

Ciang Bun menggeleng-geleng kepalanya perlahan.
“Aku bingung, Liong-te. Aku tidak tahu apakah aku dapat mencampuri urusan pemberontakan. Semua terjadi demikian tiba-tiba. Sebelum mendengar keteranganmu ini, aku sama sekali tidak pernah membayangkan akan adanya rencana pemberontakan. Akan tetapi, engkau benar. Sebelum mengambil keputusan, sebaiknya kalau akupun melihat dan mendengar lebih dulu, menyelidiki dahulu dengan teliti.”

“Bagus, begitulah seyogianya, toako. Dan mengingat bahwa kita berdua adalah anggauta keluarga Pulau Es, dan karena kita berdua masih ragu-ragu dan bermaksud menyelidik, lebih baik kalau kita berpencar. Sebaiknya kalau kita menyembunyikan nama keluarga kita agar tidak mudah dikenal orang. Bagaimanapun juga, semua pendekar tahu belaka bahwa keluarga para pendekar Pulau Es masih mempunyai hubungan, bahkan mempunyai darah keluarga kaisar Mancu! Hal ini, tentu akan menimbulkan kecurigaan dan mendatangkan hal-hal yang mungkin tidak baik.”

Ciang Bun mengangguk,
“Baik, adikku. Dan tempat ini kita jadikan tempat pertemuan kita. Kita berpencar dan melakukan penyelidikan sendiri-sendiri secara terpisah, kemudian pada malam harinya kita bertemu di sini dan membanding-bandingkan hasil penyelidikan kita.”

Dua orang kakak beradik misan ini lalu saling berpisah meninggalkan bukit itu, mengambil jalan yang bertentangan.

**** 100 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA

 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara - Prancis
 Grand Canyon
Grand Canyon - Amerika
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa - Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal - India
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
 Blackpool - Amerika
Blackpool - Amerika
 Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia

===============================
 Jembatan Baja Terbesar di Australia

 Taman Nasional Blue Mountain Sydney

Tidak ada komentar:

Posting Komentar