FB

FB


Ads

Senin, 23 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 096

Seperti dapat dibuktikan dalam catatan sejarah, pemerintah Kaisar Kian Liong merupakan bagian yang paling gemilang dari masa Kerajaan Ceng, yaitu kerajaan penjajah Mancu atas seluruh Tiongkok. Harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang sejak mudanya pandai dan bijaksana dalam mengendalikan pemerintahan. Bahkan dia berhasil menarik simpati para pemuka rakyat dengan cara melebur diri menjadi seperti orang Han, bukan seperti orang asing yang menjajah.

Dia memerintahkan semua pejabat untuk mempelajari kebudayaan rakyat, bersikap baik terhadap rakyat, akan tetapi di samping itu, juga menyiapkan pasukan yang kuat untuk menjaga kewibawaan pemerintahannya. Dia mempergunakan tangan besi bersarung sutera.

Akan tetapi, para pendekar bukanlah orang-orang yang bodoh semua. Di antara para pendekar ada yang tahu benar rahasia apa yang terjadi di balik semua kebaikan yang diperlihatkan kaisar itu. Pergolakan yang berkecamuk dalam hati para pendekar bukan hanya karena jiwa patriot yang memberontak melihat nusa bangsa dijajah oleh bangsa asing, melainkan juga disebabkan pula oleh ulah Kaisar Kian Liong sendiri.

Memang harus diakui bahwa Kaisar Kian Liong, sejak mudanya, sejak masih pangeran, suka bergaul dengan rakyat jelata sehingga dia amat populer di kalangan rakyat. Bahkan sejak dia masih pangeran, para pendekar selalu melindungi dan menjaga keselamatan pangeran yang dianggap sebagai calon kaisar yang baik dan menguntungkan rakyat jelata ini.

Akan tetapi di balik semua kebaikan yang memang harus diakui ada pada diri Kian Liong, dia memiliki suatu kelemahan, yaitu suka pelesir dan berhubungan dengan wanita-wanita cantik. Akan tetapi karena memang perangainya baik dan terdidik sebagai seorang sasterawan, dia tidak pernah mau mengganggu wanita baik-baik dengan kekerasan, tidak mau mempergunakan kedudukannya atau kekayaannya untuk memaksa wanita baik-baik menjadi kekasihnya. Dia lebih suka mengunjungi rumah-rumah pelacuran. Tentu saja banyak pula gadis-gadis dan wanita baik-baik yang tertarik kepada pangeran itu, baik karena kedudukannya maupun ketampanannya, yang menyerahkan diri tanpa paksaan.

Maka tersiarlah berita bahwa Kaisar Kian Liong mempunyai banyak anak yang lahir dari wanita-wanita yang berhubungan dengan dia di waktu dia masih pangeran yang sempat berkelana dan bertualang itu.

Sejak masih pangeran, Kian Liong mempunyai seorang kepercayaan yang memungkinkan dia sering pergi meninggalkan istana dan menyamar sebagai pemuda biasa dan kepercayaannya ini pula yang memungkinkan dia mengunjungi rumah-rumah pelacuran dan berhubungan dengan pelacur-pelacur paling terkenal di kota raja dan kota-kota besar lainnya. Orang kepercayaannya ini adalah seorang thaikam (pelayan kebiri) yang amat cerdik, bernama Siauw Hok Cu.

Ketika Kian Liong masih menjadi pangeran, di dalam istana sendiri terjadi suatu peristiwa yang kalau ketahuan orang luar atau kalangan istana sendiri tentu akan mendatangkan aib dan kehebohan. Akan tetapi, thaikam Siauw Hok Cu demikian pandai menjaga rahasia majikannya dan memang Pangeran Kian Liong sendiri amat cerdik sehingga peristiwa itu merupakan rahasia yang tidak pernah diketahui orang lain.

Peristiwa itu dimulai dengan pertemuan antara Pangeran Kian Liong yang pada waktu itu baru berusia delapan belas tahun dengan nyonya Fu Heng, kakak iparnya sendiri karena nyonya ini adalah isteri seorang pangeran yang menjadi kakak tiri Kiang Liong terlahir dari selir.

Bertemu dengan nyonya yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun ini, Pangeran Kian Liong seketika jatuh cinta dan bahkan tergila-gila. Akan tetapi, karena nyonya itu adalah isteri kakak tirinya, tentu saja dia tidak berani bersikap kurang ajar dan hanya menyimpan kerinduan hatinya itu di dalam dada saja.

Nyonya Fu Heng memang cantik jelita, kulitnya putih halus tanpa cacad, mukanya putih itu agak kemerahan tanpa alat kecantikan, mukanya bulat telur, sepasang matanya sipit akan tetapi lebar dan seperti sepasang bintang berkilauan, hidungnya kecil mancung dengan ujungnya agak naik seperti menantang, dan terutama sekali mulutnya amat mungil, dengan bibir yang selalu kemerahan dan selalu basah dan segar. Dalam usianya yang tiga puluh tahun dan belum mempunyai anak, tubuh wanita ini penuh dan matang, dengan gerak gerik lembut penuh daya pikat yang amat kuat.

Hanya thaikam Siauw Hok Cu yang tahu akan penyakit rindu berahi yang menyerang majikannya, ketika Pangeran Kian Liong seringkali nampak termenung di dalam kamarnya atau di kebun bunga.

“Pangeran, harap paduka jangan banyak termenung berduka. Seekor kumbang tidak akan kehabisan akal untuk dapat menghisap madu kembang yang disukai dan dipilihnya.”

Thaikam gendut itu menghibur sambil mendekati majikannya yang sedang duduk termenung pada suatu malam dalam taman bunga. Pangeran Kian Liong mengangkat muka, memandang orang kepercayaannya itu dengan heran dan bertanya,

“Hok Cu, apa maksudmu? Jangan kau main-main!”

Karena hatinya sedang kesal, kata-kata yang belum dimengerti maksudnya itu dianggap mengganggu hatinya. Akan tetapi thaikam gendut itu tersenyum. Mukanya yang seperti muka anak-anak yang gendut dan sehat itu berseri, sepasang matanya menjadi semakin sipit sampai hampir terpejam.

“Pangeran, hendaknya paduka ketahui bahwa nyonya Fu Heng adalah sahabat baik sekali dari Sang Puteri Kim.”

Mendengar ini, Pangeran Kian Liong memandang dengan penuh perhatian. Dia kagum akan kecerdikan orangnya ini, yang agaknya sudah dapat menerka apa yang disusahkan. Puteri Kim adalah puteri istana yang juga menjadi saudara iparnya. Akan tetapi disebutnya nama nyonya Fu Heng jelas membuktikan bahwa orang kepercayaannya ini tahu akan isi hatinya.

“Kau tahu....?”






Thaikam itu mengangguk.
“Jangan khawatir, hanya hamba seoranglah yang dapat mengetahuinya.”

“Lalu, apa maksudmu mengatakan bahwa ia sahabat baik Puteri Kim?”

“Pangeran, sudah beberapa kali nyonya Fu menjadi tamu Puteri Kim, bahkan sampai bermalam selama satu dua hari. Biasanya, nyonya itu berkunjung atas undangan sang puteri dan keduanya bersantai di Taman Musim Semi!”

“Lalu, kalau begitu mengapa?” tanya sang pangeran yang masih belum mengerti apa yang dimaksudkan pelayan yang mukanya penuh senyum gembira itu. “Apa artinya Cang-cun-yuan (Taman Bahagia Musim Semi) itu bagiku?”

“Pangeran tentu ingin sekali bertemu berdua saja dengan nyonya Fu Heng, bukan?”

Wajah sang pangeran menjadi kemerahan. Bagaimanapun juga, memalukan sekali diketahui rahasia hatinya bahwa dia jatuh cinta kepada kakak iparnya sendiri! Akan tetapi orang ini adalah satu-satunya orang yang dipercayanya, maka diapun mengangguk.

“Nah, kalau begitu hamba yang tanggung bahwa pada besok malam, paduka akan dapat menjumpainya seorang diri saja di taman itu.”

“Di Cang-cun-yuan? Bagaimana caranya?”

“Mudah saja, pangeran. Hamba akan membuat surat undangan atas nama Sang Puteri Kim, mengundang nyonya itu untuk berkunjung ke Taman Musim Semi. Nah, hamba akan menyogok para dayang di taman itu agar dapat diatur sebaiknya, mempersiapkan pertemuan antara paduka dan nyonya cantik jelita itu.”

Wajah sang pangeran berseri gembira.
“Ah, engkau cerdik sekali. Kau lakukanlah itu, Hok Cu, kau lakukan itu, akan tetapi hati-hati, jangan sampai bocor dan awas, jangan gagal, karena ini menyangkut nama baik keluarga istana, kau tahu?”

“Tanggung beres, pangeran. Hamba jamin dengan nyawa hamba yang tidak berharga!”

Demikianlah, thaikam Siauw Hok Cu yang cerdik itu lalu menjalankan siasatnya, membuat surat undangan atas nama Puteri Kim kepada Nyonya Fu Heng agar pada besok sore sudi datang berkunjung ke Cang-cun-yuan seperti biasanya dan mengirimkan undangan itu kepada nyonya cantik itu.

Menerima surat undangan ini, Nyonya Fu Heng tidak menaruh hati curiga sedikitpun, juga suaminya tidak menaruh curiga karena suami ini mengetahui betapa akrabnya hubungan antara isterinya dan adik tirinya. Bahkan isterinya boleh bermalam ditaman itu bersama adik tirinya selama beberapa malam tanpa harus minta ijin lagi darinya.

Pada sore yang ditetapkan, berangkatlah Nyonya Fu Heng, seperti biasa melakukan perjalanan yang cukup melelahkan itu dari kota raja ke istana sebelah barat, di ujung barat kota. Perjalanan itu ditempuh dengan naik joli yang dipikul oleh empat orang yang dikawal beberapa orang pengawal saja.

Kunjungannya ke taman itu disambut oleh beberapa orang dayang yang sudah dipersiapkan oleh thaikam Siauw Hok Cu! Para pemikul joli dan pengawal diperkenankan pulang dengan pesan agar besok sore dijemput karena nyonya itu akan bermalam di situ. Kemudian para dayang yang sudah dipengaruhi thaikam Siauw Hok Cu, mengantar nyonya cantik itu ke dalam pondok mewah dan dipersilahkan untuk mandi karena Puteri Kim akan datang, dalam waktu satu dua jam lagi.

Nyonya Fu Heng baru saja melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, maka ditawari mandi, ia menerimanya dengan gembira. Bangunan kecil di antara pohon-pohon bambu indah itu amat romantis dan mendatangkan rasa gembira di dalam hatinya. Nyonya itu lalu dibawa oleh para dayang ke dalam kamar mandi dan mandilah Nyonya Fu Heng, dibantu oleh para dayang.

Setelah selesai mandi, para dayang memberikan sebuah kimono yang halus terbuat dari sutera yang tembus pandang dan meninggalkan nyonya itu di dalam sebuah kamar yang indah dan mewah.

Nyonya Fu sudah mengenal baik kamar ini. Biasanya ia memang bermalam di dalam kamar ini bersama adik suaminya, yaitu Puteri Kim kalau ia berkunjung ke sini. Kini, sambil menanti datangnya adik itu, ia duduk menghadapi cermin besar, mengurai rambutnya yang hitam panjang itu dan mulai menyisiri rambutnya yang harum lembut.

Sunyi sekali keadaan di bangunan itu dan cuaca mulai remang-remang. Tiba-tiba daun pintu yang menembus ke ruangan belakang, terbuka dari luar. Nyonya Fu mengira bahwa yang masuk itu tentulah Puteri Kim atau seorang di antara para dayang. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat bahwa yang masuk itu adalah Pangeran Kian Liong, adik suaminya, pangeran yang amat terkenal sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik budi, juga tampan dan halus penuh kesopanan.

Munculnya sang pangeran ini di dalam kamar membuat Nyonya Fu demikian terkejut, terheran dan membuatnya tak mampu berkata-kata, hanya terbelalak memandang pangeran itu melalui cermin di depannya. Pangeran Kian Liong menghampirinya sambil tersenyum dan di tangan pangeran itu terdapat setangkai bunga mawar merah.

“Alangkah indahnya rambutmu....!” kata Pangeran Kian Liong halus dan dipasangnya setangkai bunga itu di atas rambut nyonya cantik itu.

Nyonya Fu Heng hanya memandang dengan mata merah dan berusaha menutupi dadanya dengan kedua tangan karena kimono tipis tembus pandang itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya dengan baik.

“Alangkah halusnya kulitmu....!” Pangeran Kian Liong membungkuk dan menyentuh leher itu dengan bibirnya.

Nyonya Fu tersentak bangkit berdiri dan hendak menjerit, akan tetapi tiba-tiba pangeran yang sudah tergila-gila itu lalu menjatuhkan dirinya berlutut sambil mencabut pedangnya.

“Kalau engkau menolak cintaku, lebih baik sekarang juga aku membunuh diri di depan kakimu daripada hidup menanggung rindu dan malu!”

Tentu saja nyonya cantik itu terkejut sekali. Pangeran yang berlutut di depan kakinya ini adalah pangeran mahkota, yang akan menggantikan kaisar yang kini sedang menderita sakit hebat. Pangeran ini adalah calon kaisar, maka kalau sampai membunuh diri di depannya, tentu hal itu merupakan malapetaka dan bencana hebat bagi dirinya dan keluarganya.

“Tidak....! Aduh, pangeran, jangan bodoh.... harap simpan kembali pedang paduka itu....!”

Pangeran Kian Liong tersenyum gembira. Pencegahan itu tentu saja boleh diartikan bahwa nyonya cantik ini menerima cintanya. Dia melepaskan pedangnya, lalu bangkit berdiri sambil memondong tubuh nyonya itu. Nyonya Fu Heng menahan jeritannya, dan terkulai lemas tak berdaya lagi setelah berada dalam pondongan pangeran muda itu.

Pangeran Kian Liong membawa kekasihnya ke pembaringan dan dia menumpahkan rasa cintanya dan rindunya dengan penuh kemesraan. Nyonya Fu hanya dapat memejamkan mata, tidak berani berteriak atau menolak. Akan tetapi, nyonya ini merasakan pengalaman baru yang tidak pernah didapatkannya selama ini. Dia merasakan kemesraan yang luar biasa, yang membuatnya menerima pangeran itu dengan hati terbuka.

Semenjak malam itu, Nyonya Fu Heng tidak mau lagi digauli suaminya dan seringkali ia mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Kian Liong. Hal ini terjadi sampai sang pangeran menjadi kaisar. Bahkan ketika kaisar tua meninggal, Pangeran Kian Liong menerima berita kematian itu di dalam kamar ketika dia sedang mengadakan pertemuan asyik masyuk dengan Nyonya Fu Heng!

Akan tetapi hubungan itupun seperti putus ketika dia naik tahta dan Nyonya Fu melahirkan seorang putera keturunan Kian Liong! Hanya kadang-kadang saja Kaisar Kian Liong mengadakan pertemuan dengan kekasihnya yang masih menjadi kakak iparnya itu.

Setelah menjadi kaisar, kesukaan Kian Liong akan wanita-wanita cantik bahkan semakin menjadi. Tak dapat disangkal bahwa dia melakukan tugasnya sebagai kaisar dengan amat baik, memerintah dengan bijaksana dan adil. Namun, kesukaannya akan wanita menimbulkan banyak persoalan, bahkan kebencian kepada sebagian orang, terutama para pendekar yang memang sudah tidak suka melihat bangsanya dijajah oleh Bangsa Mancu.

Orang pertama yang memperoleh bagian kemuliaan ketika Pangeran Kian Liong menjadi kaisar adalah Thaikan Siauw Hok Cu. Begitu pangeran itu naik tahta menjadi kaisar, thaikam ini lalu diangkat menjadi Kepala Thaikam dan diberi nama Hok Sen.

Thaikam Hok Sen ini terkenal di dalam sejarah sebagai seorang thaikam yang berhasil menumpuk kekayaan yang luar biasa banyaknya dan menikmati kedudukan tinggi dan mulia selama Kian Liong menjadi kaisar sampai puluhan tahun!

Peristiwa yang belum lama ini terjadi, kembali membuat hati para pendekar menjadi marah. Agaknya, setelah berusia tiga puluh tahun lebih dan hidupnya sudah dikelilingi banyak sekali wanita cantik yang seolah-olah berlumba memperebutkan perhatian dan cintanya, Kaisar Kian Liong belum juga merasa puas.

Memang demikianlah kalau manusia sudah menjadi hamba nafsunya sendiri. Nafsu itu dapat tumbuh menjadi keinginan apa saja, dalam makanan, tontonan, pemuasan sex, penumpukan harta, pengejaran kedudukan dan sebagainya. Sekali manusia dicengkeram dan menjadi hamba nafsu, maka dia tidak akan mengenal puas.

Memang segala macam nafsu itu menjurus ke arah kepuasan, akan tetapi, kepuasan seperti itu tidaklah dapat bertahan lama, segera disusul oleh kekecewaan dan kekurangan, ingin yang lebih hebat, lebih enak, lebih besar, lebih banyak dan selanjutnya. Justeru pengejaran kepuasan inilah yang meniadakan kepuasan yang sesungguhnya, karena harapan selalu lebih besar daripada kenyataan.

Kaisar Kian Liong yang sudah dikelilingi banyak wanita cantik itu masih kurang puas, masih menghendaki sesuatu yang lebih daripada semua yang telah ada itu!

Sudah menjadi hal yang wajar bahwa di dalam suatu pemerintahan terdapat banyak sekali orang-orang berambisi yang ingin mencari kedudukan bagi dirinya sendiri. Pengejaran kedudukan ini menimbulkan pelbagai cara yang curang dan kotor, di antaranya sifat menjilat. Dalam sebuah pemeritahan, selalu ada dan banyak saja orang-orang yang suka menjilat ini, menjilat sebagai jalan untuk memperoleh imbalan. Menjilat untuk menyenangkan atasan agar atasan membalas jasanya dengan kenaikan pangkat, dengan hadiah dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan Kaisar Kian Liong.

Setelah kelemahannya diketahui orang, maka banyaklah para pembesar korup yang mendekatinya dan menjilat-jilat dengan cara menyuguhkan gadis-gadis cantik yang mereka dapatkan dengan berbagai cara, kadang-kadang dengan cara yang kotor pula. Gadis-gadis itu mereka haturkan kepada kaisar dengan harapan kaisar akan merasa senang dan tentu akan memberi imbalan jasa yang lumayan. Apalagi kalau sampai gadis pemberian mereka itu kelak memperoleh kedudukan penting tentu sang gadis tidak akan melupakan orang yang mula-mula membawanya kepada kaisar!

Pada suatu hari, seorang di antara para penjilat kaisar yang melihat kebosanan kaisar terhadap para wanita cantik yang ada, memberitahukan kepada kaisar bahwa di Sin-kiang terdapat seorang wanita yang luar biasa cantiknya! Wanita itu di seluruh Sin-kiang terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

“Apakah ia masih gadis?” Kaisar Kian Liong segera saja memperlihatkan sikap tertarik sekali.

“Sayang bahwa ia telah menikah dengan seorang kepala suku di Sin-kiang, sri baginda, dan dia adalah puteri kepala suku Ho-co. Akan tetapi, hamba sendiri pernah melihatnya dan hamba berani bersumpah bahwa selama hidup hamba, belum pernah hamba melihat seorang wanita secantik itu! Tidak ada cacat-celanya sedikitpun juga dan tubuhnya mengeluarkan bau harum, bukan keharuman yang dibuat dengan minyak. Kabarnya sejak kecil ia diberi minum semacam obat rahasia yang membuat keringat dan tubuhnya berbau harum. Dan ia masih amat muda, sri baginda, baru dua puluh lima tahun dan belum mempunyai anak.”

Selanjutnya si penjilat ini menggambarkan kecantikan Puteri Harum dengan kata-kata bermadu, membuat Kaisar Kian Liong tergila-gila dan sampai beberapa hari dia tidak dapat tidur nyenyak atau makan enak. Yang terbayang hanyalah Sang Puteri Harum dari Sin-kiang itu!

Akhirnya Kaisar Kian Liong tidak dapat menahan lagi kerinduan hatinya. Dia tergila-gila mendengar adanya seorang wanita yang memiliki kecantikan sedemikian luar biasa seperti yang belum pernah didengarnya sebelumnya, apalagi dilihatnya. Maka, dengan nekat dia lalu memanggil Jenderal Cao Hui, seorang jenderal kepercayaannya untuk membawa pasukan besar dan menyerbu ke Sin-kiang.

Dia tidak mau mengutus Jenderal Kao Cin Liong karena terhadap jenderal muda ini dia merasa malu. Perasaannya meyakinkan hatinya bahwa jenderal Kao Cin Liong tentu akan menentang dan tidak akan menyetujui rencana gila itu, menyerbu ke barat dan mengadakan perang hanya untuk merampas seorang wanita!

Pasukan yang dipimpin Jenderal Cao Hui itu berhasil menyerbu Sin-kiang, membunuh banyak perajurit suku bangsa Ho-co, dan menawan Sang Puteri Harum, dibawa ke timur dan pada suatu hari, tercapailah idam-idaman hati Kaisar Kian Liong berhadapan dengan sang puteri!

Tentu saja peristiwa ini mendatangkan rasa penasaran dan kemarahan besar di antara para pendekar. Akan tetapi, tidak ada seorangpun yang berani menentang karena bukankah yang diserbu itu hanyalah suku bangsa terpencil di barat yang tidak termasuk bangsa pribumi Han?

Kaisar Kian Liong terpesona menatap kecantikan asing dari sang puteri yang menangis ketika dihadapkan kepadanya sebagai tawanan. Tubuh yang ramping padat itu, kulit yang putih halus kemerahan, bibir yang merah basah, mata yang lebar dan indah bening kebiruan, hidung yang mancung, bulu mata yang panjang-panjang melengkung. Sungguh kecantikan yang berbeda sama sekali dengan kecantikan yang biasa dia lihat. Apalagi bau harum yang jelas tercium oleh hidungnya walaupun sang puteri itu duduk bersimpuh di atas lantai. Seluruh ruangan itu seolah-olah baru saja disiram sebotol minyak harum atau seolah-olah ruangan itu berubah menjadi taman bunga-bunga mawar yang baru mekar!

“Thian Yang Agung....” kaisar itu berbisik dekat Hok Sen, sang kepala thaikam sambil menatap tanpa berkedip. “Ia tentu seorang bidadari yang turun dari sorga.”

“Hamba yakin memang demikian, sri baginda, dan hanya paduka sajalah yang patut mendampinginya.” bisik thaikam yang pandai menyenangkan hati itu.

Pada saat itu juga, Kaisar Kian Liong menganugerahkan pangkat Selir Harum kepada sang puteri tawanan, menghadiahkan banyak pakaian dan perhiasan, juga ditempatkan di dalam kamar terindah di dalam istana, menjadi selir baru yang paling dicinta.

Akan tetapi, Puteri Harum tidak mau menyerahkan diri dan hanya menangis. Ia berduka sekali mengingat akan kematian ayahnya dan suaminya. Berbagai macam cara para dayang menghiburnya, namun ia tetap menangis dan tidak mau bersolek, tidak mau melayani Kaisar Kian Liong. Hal ini tentu saja membuat sang kaisar menjadi kecewa sekali. Akan tetapi, kembali kepala thaikam Ho Sen yang muncul sebagai penasihatnya.

Atas nasihat sang thaikam yang pandai itu, kaisar Kian Liong memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah bangunan istana kecil mungil yang baru, yang diberi nama Istana Bulan Indah. Bukan hanya merupakan sebuah istana yang indah, akan tetapi juga modelnya dibuat seperti bangunan di Sin-kiang, dan untuk menghibur hati selirnya, kaisar memerintahkan orang-orangnya membangun sebuah kota tiruan di dekat istana, sebuah kota yang lengkap dengan mesjid dan para penghuninya yang beragama dan berpakaian orang-orang Sin-kiang yang beragama Islam.

Di loteng Istana Bulan Indah, Puteri Harum dapat melihat semua ini dan agak terhiburlah kedukaan hatinya. Ia merasa seolah-olah ia masih berada di kampung halamannya. Ia berterima kasih dan hatinya tergerak oleh kebaikan hati kaisar kepada dirinya. Akhirnya iapun menyerahkan dirinya kepada Kaisar Kian Liong dengan suka rela dan semenjak itu, Puteri Harum menjadi selir terkasih dari kaisar itu.

Demikianlah, semua ulah kaisar ini menambahkan rasa tidak suka di hati para pendekar yang ingin memberontak, walaupun tentu saja masih teramat banyak mereka yang setia kepada Kaisar Kian Liong.

**** 096 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar