FB

FB


Ads

Senin, 23 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 094

Kam Hong, pendekar sakti yang halus budi bahasanya dan sederhana hidupnya itu masih tinggal menghuni istana kuno di puncak Bukit Nelayan, di Pegunungan Tai-hang-san.

Usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi karena dia hidup di pegunungan yang sunyi dan berhawa sejuk bersih, apalagi karena dia tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga kehidupannya tenang dan penuh damai, maka dia nampak masih amat muda, belasan tahun lebih muda daripada usia yang sebenarnya.

Seperti biasa, dia selalu memakai pakaian sasterawan yang sederhana dan kebesaran. Melihat sepintas lalu saja, orang akan memandang rendah kepadanya. Seorang sasterawan setengah tua yang nampaknya malas-malasan, hanya bermain suling saja yang menjadi kesukaanya. Sedikitpun, dalam gerak gerik maupun sikapnya, dia tidak nampak seperti seorang pendekar.

Akan tetapi, kalau orang menyaksikan kelihaiannya, dia akan bergidik dan takjub. Pendekar ini telah menguasai banyak sekali ilmu silat gemblengan yang ampuh-ampuh. Dialah pewaris ilmu-ilmu silat yang amat tinggi dari Pendekar Suling Emas yang menjadi nenek moyangnya. Dari Sai-cu Kai-ong dia mewarisi ilmu-ilmu silat, antara lain yang hebat adalah Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong) dan Sai-cu Ho-kang (Auman Singa). Dari Sin-siauw Seng-jin dia mewarisi ilmu-ilmu peninggalan Suling Emas, antara lain yang hebat adalah Hong-in Bun-hwat (Silat Sastera Angin Hujan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), dan Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan).

Biasanya pedangnya diganti dengan suling dan dimainkan bersama kipas, sungguh sukar dicari tandingnya. Semua warisan ilmu itu diperhebat secara berlipat ganda ketika dia secara kebetulan sekali mewarisi ilmu mujijat dari jenazah kuno, yaitu ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan Kim-kong Sim-in yaitu ilmu meniup suling yang mengandung getaran khi-kang amat kuatnya sehingga suara tiupan itu saja dapat merobohkan lawan tanpa menyentuhnya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini hidup tenteram di tempat sunyi itu bersama isterinya dan anak tunggalnya, yaitu Kam Bi Eng. Ketentraman itu tergangu hebat dengan menimpanya malapetaka yang menewaskan enam orang pelayan atau murid mereka dan hampir saja puteri mereka juga tertimpa bencana kalau saja tidak diselamatkan oleh Suma Ceng Liong. Malapetaka itu disebabkan oleh penyerbuan Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok bersama seorang muridnya yang lihai, yang bukan lain adalah Louw Tek Ciang.

Kini Kam Bi Eng ikut bersama calon mertuanya, Sim Hong Bu, untuk memperdalam ilmu silat sedangkan putera Sim Hong Bu yang bernama Sim Houw, yang telah dipertunangkan dengan gadis itu, berada di istana tua Khong-sim Kai-pang untuk memperdalam ilmunya pula kepada pendekar Kam Hong. Memang sudah disetujui bersama oleh Kam Hong dan Sim Hong Bu untuk menggabung kedua ilmu mereka yang sebenarnya berasal dari satu sumber akan tetapi yang diciptakan untuk saling menentang itu.

Pagi hari suasana di sekitar istana kuno Khong-sim Kai-pang di puncak Bukit Nelayan sunyi dan tenteram. Matahari pagi bersinar cerah seperti biasa, memandikan seluruh permukaan puncak dengan sinar perak lembut yang menghidupkan.

Sejak fajar tadi, Sim Houw telah berlatih silat seorang diri di kebun belakang. Pemuda ini memang tekun sekali dan dalam waktu tiga tahun saja, di bawah bimbingan Kam Hong, dia telah menguasai inti dari Ilmu Pedang Suling Emas dan dibantu oleh Kam Hong menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dengan Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang dipelajari dari ayahnya.

Biarpun Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya dari Kam Hong itu tentu saja tidak sehebat yang dikuasai calon mertuanya dan ilmu Koai-liong Kiam-sut juga tidak sehebat yang dikuasai ayahnya, namun penggabungan kedua ilmu ini benar-benar amat hebat sehingga dalam usianya yang baru sembilan belas tahun itu ilmu pedangnya tidak kalah kuat dibandingkan dengan ayahnya maupun calon ayah mertuanya.

Pendekar Kam Hong sejak pagi juga sudah bangun dan setelah berjalan-jalan ke atas puncak selama beberapa jam, kini dia duduk menikmati suasana pagi yang cerah itu di depan istana kuno seorang diri. Isterinya, Bu Ci Sian, sedang sibuk menyiapkan sarapan mereka di dapur.

Gerakan dua bayangan orang itu sejak tadi sudah ditangkap oleh pandang mata pendekar Kam Hong dan diam-diam sambil duduk tenang menikmati burung-burung yang menyambut datangnya pagi dengan gembira, dia memperhatikan.

Dia tidak tahu siapa adanya kedua orang itu, akan tetari melihat betapa mereka itu menyelinap dari pohon ke pohon, dan melihat pula gerakan mereka yang ringan dan cepat, Kam Hong sudah dapat menduga bahwa mereka berdua itu memiliki kepandaian tinggi dan tentu datang bukan dengan niat baik karena datangnya menyelinap seperti orang bersembunyi.

Namun, dia tidak mau mengambil kesimpulan atau berprasangka, melainkan menanti dengan sikap tenang. Sejak kematian para pelayan tiga tahun yang lalu, dia tidak menggunakan tenaga pelayan lagi. Kini dia hidup bertiga saja bersama isterinya dan muridnya atau calon mantunya, cukup lihai untuk dapat melindungi dirinya sendiri.

Dia tidak mau lagi membahayakan keselamatan orang lain dengan mempergunakan bantuan tenaga pelayan, karena dia tahu bahwa di sana banyak terdapat orang-orang dari golongan hitam yang memusuhinya dan memusuhi isterinya. Siapa tahu masih ada orang-orang yang mendendam kepada keluarganya dan kalau musuh datang selagi dia dan keluarganya tidak ada atau sedang lengah, tentu para pembantu atau pelayan yang akan tertimpa malapetaka.

Dia tidak mau peristiwa menyedihkan itu terulang kembali. Oleh karena itulah maka melihat dua bayangan orang yang mencurigakan itu, dia bersikap tenang saja, diam-diam dia memperhatikan dan menduga-duga siapa gerangan mereka itu dan apa yang terkandung dalam hati mereka.

Dua orang itu agaknya kini dapat melihat pula pendekar yang duduk seorang diri di depan istana kuno itu dan mereka muncul dari balik pohon-pohon dan langsung kini melangkah lebar menghampiri Kam Hong.

Pendekar ini sekarang dapat melihat mereka, dua arang pria muda yang bersikap gagah. Kam Hong memandang penuh perhatian, merasa pernah melihat mereka, atau setidaknya seorang di antara mereka yang bertubuh pendek tegap dan bermuka putih tampan. Dia memperhatikan wajah mereka.

Yang bertubuh pendek tegap itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya pesolek atau setidaknya rapi sekali, wajahnya cerah dan terhias senyum, sepasang matanya membayangkan kecerdikan, langkahnya tegap dan membayangkan tenaga sin-kang yang kuat. Orang ke dua lebih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana berwarna hijau, sikapnya pendiam dan alisnya berkerut, wajahnya diliputi keraguan dan kebimbangan, tidak seperti kawannya yang nampak tabah.






Kam Hong adalah seorang pendekar yang sudah mencapai tingkat tinggi. Biasanya, para datuk atau pendekar yang sudah tinggi tingkatnya, bersikap dingin dan memandang rendah kepada orang-orang muda. Akan tetapi Kam Hong adalah seorang sasterawan pula yang menjunjung tinggi kesusilaan dan sopan santun, maka begitu dua orang menghampirinya, dia bangkit berdiri dan menyambut mereka dengan sikap hormat.

“Dua orang sobat yang muda dan gagah perkasa, siapakah, dari mana dan kabar baik apakah yang ji-wi bawa?”

Melihat kegagahan dan keramahan orang yang berpakaian sasterawan ini si baju hijau cepat membalas dengan penghormatannya. Sikap Kam Hong ini saja sudah membuat hatinya terpukul dan dia menjadi kagum. Si baju hijau ini adalah Pouw Kui Lok, sedangkan si pendek tegap adalah Louw Tek Ciang. Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini ditemukan oleh Cu Han Bu dan Cu Seng Bu di kuil Kun-lun-pai yang mengangkat keduanya menjadi murid-murid dan dibawa ke Lembah Naga Siluman.

Selama tiga tahun mereka digembleng oleh dua orang tokoh barat itu dan kini mereka datang ke puncak Bukit Nelayan sebagai utusan para tokoh keluarga Cu untuk menebus kekalahan mereka terhadap Kam Hong!

Begitu bertemu dengan Pendekar Suling Emas Kam Hong dan melihat sikapnya, Pouw Kui Lok segera merasa tunduk dan kagum, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar sakti yang rendah hati dan budiman. Biarpun dia maklum bahwa adalah menjadi tugas kewajibannya untuk menghadapi pendekar sakti ini sebagai lawan untuk berbakti kepada guru-gurunya, yaitu keluarga Cu sebagai balas budi mereka, namun dia sebagai seorang pendekar merasa ragu-ragu dan bimbang.

Andaikata yang menjadi musuh guru-gurunya itu seorang penjahat, atau setidaknya seorang yang berwatak sombong, tentu tugasnya akan terasa ringan dan hatinya tidak diliputi keraguan lagi.

Berbeda lagi dengan apa yang terasa di hati Louw Tek Ciang. Orang ini sama sekali tidak memiliki jiwa pendekar walaupun pada lahirnya dia pandai sekali membawa diri dan berlagak seperti seorang pendekar sejati. Di dalam hatinya, begitu melihat pendekar yang pernah merobohkan dia dan gurunya ini, timbul suatu kebencian dan dendam yang besar.

Ingin sekali dia dapat membalas dan kalau mungkin membunuh pendekar itu, bukan demi membalas budi keluarga Cu yang sudah menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya, melainkan demi membalas dendamnya sendiri. Akan tetapi dia amat cerdik. Oleh Pouw Kui Lok yang kini menjadi sutenya karena mereka berdua sama-sama menjadi murid keluarga Cu, dia dikenal sebagai seorang yatim piatu yang berjiwa pendekar. Kui Lok tidak pernah dia ceritakan tentang keadaan dirinya, kecuali hanya bahwa dia adalah murid keturunan pendekar Pulau Es! Sama sekali dia tidak pernah bercerita bahwa dia menjadi murid Jai-hwa Siauw-ok dan bersekutu dengan Hek-i Mo-ong menyerbu ke Bukit Nelayan.

Maka kini, melihat betapa Kam Hong tidak mengenalnya, diapun diam saja dan pura-pura belum pernah bertemu dengan Kam Hong. Bahkan dia membiarkan Kui Lok untuk menjawab pertanyaan tuan rumah itu.

Karena suhengnya diam saja tidak menjawab, Pouw Kui Lok cepat membalas penghormatan tuan rumah dan dialah yang menjawab dengan suara lantang akan tetapi dengan sikap menghormat.

“Apakah locianpwe yang bernama Kam Hong?”

“Benar orang muda, aku yang bernama Kam Hong.”

“Locianpwe, kami berdua adalah murid-murid dari Lembah Naga Siluman yang ditugaskan oleh para suhu Cu Han Bu dan Cu Seng Bu untuk menebus kekalahan mereka dan menandingi locianpwe!”

Berkata demikian, Pouw Kui Lok mencabut pedangnya diikuti pula oleh Louw Tek Ciang yang merasa girang bahwa Kui Lok tidak memperkenalkan nama. Memang pemuda baju hijau ini tidak memperkenalkan nama karena mereka datang bukan karena urusan pribadi melainkan hanya mewakili guru-guru mereka.

Dan pula, Pouw Kui Lok yang merasa lebih kuat kalau menggunakan pedang, telah mendahului mencabut pedang. Dia mendengar bahwa lawannya ini adalah Pendekar Suling Emas yang biasa mempergunakan suling sebagai senjata, maka dia mendahului mencabut pedangnya untuk memaksa lawan bertanding dengan senjata.

Pemuda inipun cerdik karena kalau mereka bertanding dengan tangan kosong, dia dapat membayangkan bahwa dalam hal tenaga sin-kang dan ilmu silat tangan kosong, agaknya dia bukan tandingan pendekar sakti yang tentu sudah lebih banyak pengalamannya itu.

Tek Ciang yang biasanya mengandalkan tangan kaki dan ilmu-ilmu silatnya yang banyak macamnya, kinipun mempergunakan senjata pedang karena di Lembah Naga Siluman dia memperoleh latihan yang mendalam dalam ilmu pedang. Diapun sudah mengenal baik kehebatan pendekar itu, maka dia juga bersikap hati-hati sekali.

Kam Hong menarik napas panjang. Hatinya menyesal sekali mendengar bahwa dua orang muda yang gagah perkasa dan bersikap seperti pendekar-pendekar gagah ini ternyata datang sebagai musuh dan lawan. Apalagi mendengar bahwa mereka itu mewakili keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, dia semakin menyesal. Bagaimanapun juga, antara keluarga Pendekar Suling Emas, nenek moyangnya, dengan keluarga Cu sebetulnya terdapat hubungan yang amat dekat, mengingat bahwa mereka berasal dari satu sumber.

Dan diapun tahu bahwa permusuhan keluarga Cu terhadap Suling Emas yang diciptakan oleh nenek moyang keluarga Cu ternyata jatuh ke tangan keturunan keluarga Kam. Dia merasa menyesal mengapa keluarga Cu demikian picik pandangan, demikian lemah batinnya sehingga mudah dikuasai iri dan dendam hanya karena dikalahkannya. Padahal, selain iri, tidak ada urusan lain yang membuat mereka harus barhadapan sebagai musuh.

“Aih, sobat-sobat muda yang baik. Sungguh merupakan kehormatan menerima kunjungan kalian dari tempat yang jauh, dan kehormatan itu akan disertai kegembiraan besar kalau sekiranya ji-wi datang sebagai sahabat-sahabat. Akan tetapi sayang, ji-wi datang dengan maksud mengajak bertanding. Mengapa keluarga Cu belum juga mau menghabiskan urusan kecil yang tidak ada artinya itu? Bagaimana kalau ji-wi pulang saja dan melaporkan kepada kedua orang locianpwe itu bahwa aku mengaku kalah dan menyampaikan permintaan maafku kepada mereka?”

Mendengar ucapan ini, seketika hati Pouw Kui Lok jatuh dan andaikata dia seorang diri yang mewakili keluarga Cu, tentu dia akan mundur teratur dan dengan senang hati menyampaikan pesan yang amat bijaksana itu. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pendekar yang begini rendah hati, padahal pendekar ini telah mengalahkan kedua orang gurunya, tokoh-tokoh Lembah Naga Siluman. Bukan main! Akan tetapi, selagi dia meragu dan bimbang, tidak tahu harus bersikap bagaimana, Tek Ciang sudah menjawab dengan suara lantang.

“Tidak mungkin! Kami adalah utusan suhu dan sebagai murid-murid yang berbakti kami harus membalas budi kebaikan suhu dengan melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Hanya ada dua pilihan bagi kami, pertama, kalau kami kalah biarlah kami berdua tewas dalam melaksanakan tugas kami atau kalau locianpwe tidak mau melawan kami, locianpwe harus ikut dengan kami sebagai tawanan dan kami hadapkan kepada suhu kami untuk diambil keputusan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Jawaban yang singkat dan gagah.
“Sobat-sobat muda, ketahuilah bahwa sesungguhnya antara Lembah Naga Siluman dan keluargaku tidak ada permusuhan apa-apa, hanya kekerasan hati guru-gurumu yang tidak mau menerima kekalahan dalam pertandingan yang sudah wajar. Karena itu, tidak mungkin kalau aku harus menghadap ke sana sebagai tawanan. Dan pertentangan antara guru-gurumu dengan akupun bukan merupakan permusuhan yang haus darah dan nyawa. Maka, biarlah aku yang sudah mulai tua dan malas ini membuka mata melihat kemajuan para muda masa kini. Akan tetapi, harap ji-wi suka memberitahukan nama ji-wi agar perkenalan ini menjadi lebih akrab.”

“Kami datang bukan untuk berkenalan, juga tidak membawa urusan pribadi, melainkan sebagai murid-murid Lembah Naga Siluman yang hendak menebus kekalahan. Karena itu, locianpwe tidak perlu mengetahui nama pribadi kami, cukup kalau mengetahui bahwa kami berdua adalah murid-murid dari suhu Cu Han Bu dan suhu Cu Seng Bu,” jawab Tek Ciang lagi mendahului sutenya. “Locianpwe, cabutlah suling emasmu itu dan ingin kami melihat sampai di mana kehebatan suling emas yang tersohor itu!”

Sengaja Tek Ciang menambahkan untuk memanaskan hati pendekar itu dengan nada suara mengejek.

Sepasang alis Kam Hong berkerut, akan tetapi dia masih tenang saja.
“Kalau ji-wi memaksa, apa boleh buat. Akan tetapi biarlah sulingku kupakai untuk meniup lagu-lagu merdu saja, tidak perlu kupakai untuk bertanding.”

Pada saat itu nampak berkelebat bayangan yang amat cepat dari dalam rumah dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang nyonya yang usianya sudah tiga puluh enam atau tujuh tahun, akan tetapi masih nampak jauh lebih muda daripada usianya. Nyonya ini sudah memegang sebatang suling emas kecil mungil dan mukanya nampak merah, matanya berkilat ketika ia memandang kepada dua orang laki-laki muda yang memandang kaget dan kagum akan kecepatan gerak wanita ini.

“Dua orang bocah banyak lagak! Murid-murid Lembah Naga Siluman mana ada yang tidak sombong? Guru-gurunyapun orang-orang yang kukuh, keras kepala dan sombong. Apakah kalian mengira akan mampu mengalahkan kami?”

“Nio-cu....!” Suaminya mencegah.

Akan tetapi Bu Ci Sian, nyonya itu, yang tadi sudah mendengar percakapan antara suaminya dan dua orang pendatang itu, sudah marah.

“Kalian minta agar suamiku menjadi tawanan dan kalian bawa menghadap ke Lembah Naga Siluman? Huh, hal itu baru bisa terjadi kalau melalui mayatku. Majulah kalian!”

Nyonya itu menggerakkan suling emasnya di tangan kanan dan terdengarlah suara suling itu melengking-lengking seperti ditiup dengan mulut! Nyonya itu nampak gagah sekali dan bagaimanapun juga, dua orang muda itu memandang dengan bengong dan jerih! Apalagi Tek Ciang sudah mengenal kelihaian wanita itu.

“Tidak....!”

Tiba-tiba Kam Hong meloncat ke depan dan menghalangi isterinya.
“Nio-cu, ingatlah, mereka ini hanyalah orang-orang muda yang menjadi utusan saja. Dan yang ditantang oleh keluarga Cu adalah aku seorang, maka kalau memang mereka ini hendak mengadu kepandaian, biarlah dengan aku, bukan engkau. Mundurlah dan mari kita lihat apakah dua sobat muda ini dapat menandingi aku.”

Setelah berkata demikian, Kam Hong meloncat ke depan menghadapi Kui Lok dan Tek Ciang.
“Ji-wi, silahkan maju dan mari kita main-main sebentar.”

Akan tetapi melihat betapa tuan rumah tidak mengeluarkan suling emasnya yang amat ditakuti, diam-diam Tek Ciang merasa lega. Kalau dia dapat memancing agar pendekar itu tidak mempergunakan suling, sungguh menguntungkan apabila mereka maju berdua menandinginya. Yang amat ditakuti adalah sulingnya itu.

“Sute, locianpwe ini tidak bersenjata, sebaiknya kalau kitapun tidak mempergunakan pedang kita,” kata Tek Ciang dan cepat dia menyarungkan pedangnya kembali.

Bagi dia, bertangan kosong lebih lihai daripada berpedang, karena selama berada di lembah keluarga Cu, selain ilmu pedang, juga dia mempelajari ilmu-ilmu silat tangan kosong keluarga itu sehingga ilmu-ilmunya menjadi semakin banyak dan lengkap.

“Baik, suheng, memang demikianlah seharusnya agar adil,” kata Pouw Kui Lok. “Bahkan tidak enaklah kalau kita maju bersama melakukan pengeroyokan.”

Kam Hong kagum mendengar ucapan-ucapan mereka berdua yang menunjukkan kegagahan ini dan dia merasa semakin menyesal harus menghadapi dua orang gagah ini sebagai lawan.

“Tidak apa, aku jauh lebih tua dan aku malu kalau harus menghadapi ji-wi satu demi satu. Majulah ji-wi bersama agar kita bertiga dapat main-main lebih gembira lagi.”

“Locianpwe, awas serangan!”

Tek Ciang sudah menerjang dengan cepat, tidak mau memberi kesempatan kepada sutenya untuk bersungkan-sungkan lagi. Melihat suhengnya sudah menerjang maju, dan maklum pula betapa lihainya tuan rumah, Kui Lok juga bergerak menerjang sambil membentak nyaring. Kam Hong sudah menantang mereka agar maju bersama, maka diapun tidak ragu-ragu lagi membantu suhengnya.

Melihat gerakan dua orang muda itu yang cukup dahsyat, Kam Hong merasa kagum dan cepat dia mengelak dua kali untuk menghindarkan diri dari serangan mereka. Maklum bahwa kalau dua orang muda itu maju bersama maka kekuatan mereka akan dapat mengimbanginya, maka diapun tidak merasa sungkan lagi dan cepat membalas dengan tamparan kedua tangannya ke arah lawan.

Angin pukulan yang dahsyat menyambar, dan dua orang muda itu terkejut, akan tetapi dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke belakang. Terjadilah serang-menyerang dan mula-mula Kui Lok dan Tek Ciang bertahan dengan ilmu silat yang mereka pelajari di Lembah Naga Siluman. Dari Bu-eng-sian Cu Seng Bu mereka memperoleh latihan gin-kang yang membuat tubuh mereka dapat bergerak cepat dan ringan, sedangkan dari Cu Han Bu yang berjuluk Kim-kong-sian (Dewa Sinar Emas) mereka memperoleh ilmu-ilmu silat dan sin-kang.

Akan tetapi, ternyata dengan ilmu silat yang mereka pelajari selama tiga tahun itu mereka sama sekali tidak mampu mendesak lawan, bahkan ketika Kam Hong membalas dengan ilmu silat Khong-sim Sin-ciang, mereka menjadi bingung dan kewalahan.

Karena terdesak dan beberapa kali hampir terlanggar pukulan, tanpa disadarinya lagi, secara otomatis dua orang muda itu menggunakan gerakan-gerakan yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Kui Lok segera mainkan jurus-jurus Kun-lun-pai yang sudah lebih lama dilatihnya sehingga lebih dikuasainya dibandingkan dengan ilmu silat baru yang dipelajarinya dari keluarga Cu.

“Wuuuuttt.... plakk!”

Kam Hong terpaksa menangkis karena terkejut melihat jurus lihai dari Kun-lun-pai dan dia meloncat mundur.

“Eh, engkau murid Kun-lun-pai....?” tegurnya heran.

“Dahulu sebelum menjadi murid keluarga Cu, saya adalah murid Kun-lun....” jawab Kui Lok sejujurnya.

Akan tetapi Tek Ciang sudah menerjang lagi, tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk bercakap-cakap. Dan tentu saja Kui Lok juga melanjutkan serangannya. Kam Hong mengelak dan menangkis.

“Akan tetapi.... aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kun-lun-pai, bahkan bersahabat.”

“Tugas saya hanya menghadapi dan menandingi locianpwe tanpa membawa-bawa Kun-lun-pai, maka tentu saja saya menggunakan semua yang saya bisa untuk mencoba mengalahkan locianpwe,” kata Kui Lok sambil melanjutkan terjangannya.

Kam Hong mengerutkan alisnya. Dia tidak senang kalau harus menghadapi ilmu Kun-lun-pai karena hal ini berbahaya, dapat menyeret Kun-lun-pai menjadi lawan pula. Dia sama sekali tidak tahu bahwa masuknya pemuda murid Kun-lun-pai ini menjadi murid keluarga Cu adalah atas persetujuan ketua Kun-lun-pai pula.

Tiba-tiba Kam Hong mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan kedua orang muda itu terhuyung ke belakang karena terjangan Kam Hong yang menggunakan jurus dari Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Mengacau Lautan) dibarengi dengan gerengan Sai-cu Ho-kang membuat tubuh kedua orang muda itu tergetar dan terhuyung.

Kesempatan itu dipergunakan oleh Kam Hong untuk menubruk maju dan mengirim dorongan telapak tangan untuk menggulingkan kedua orang muda itu dan mengakhiri perkelahian. Akan tetapi tiba-tiba Louw Tek Ciang juga mendorongkan kedua tangannya menyambut, sedangkan Pouw Kui Lok menggunakan loncatan dari ilmu meringankan tubuh Kun-lun-pai, tubuhnya mencelat ke udara dan di situ dia berjungkir balik sampai lima kali, terhindar dari terjangan hebat tangan Kam Hong tadi.

“Dess....!”

Tangan Tek Ciang menahan dorongan Kam Hong dan akibatnya, keduanya terdorong mundur dan Kam Hong merasa betapa hawa dingin yang dahsyat menerjangnya dari kedua telapak tangan Tek Ciang.

“Ihhh....! Ini.... ini.... ilmu dari Pulau Es....?” katanya dengan mata terbelalak.

Tek Ciang tersenyum mengejek dan cepat dia menerjang ke depan, tubuhnya berjongkok rendah dan kedua tangannya mendorong ke depan. Tenaga dahsyat menyambar ke depan dan tercium bau amis dan dari perut pemuda itu keluar bunyi berkokok.

Kam Hong terkejut sekali, akan tetapi dia adalah seorang pendekar sakti yang tangguh, maka menghadapi pukulan Hoa-mo-kang yang ampuh ini dia masih dapat menangkis sambil menghindar ke samping. Dia melanjutkan lompatannya ke belakang agak jauh dan mukanya berobah agak pucat.

“Tahan dulu! Apa artinya semua ini? Kalian bukan lagi menggunakan ilmu-ilmu Lembah Naga Siluman, melainkan menggunakan ilmu Kun-lun-pai dan Pulau Es! Dan pukulan tadi.... pukulan keji.... bukankah itu pukulan dari golongan sesat?”

“Harap locianpwe tidak banyak berbantah lagi. Kalau locianpwe takut, lebih baik menjadi tawanan dan kami bawa menghadap para suhu di Lembah Naga Siluman. Kalau berani, ilmu apapun yang kami pergunakan, adalah hak kami untuk dapat menandingi locianpwe,” kata Tek Ciang.

“Memang tidak perlu berbantah, kalian ini bocah-bocah sombong harus dibasmi!”

Bu Ci San meloncat ke depan dan memutar sulingnya. Akan tetapi kembali suaminya mencegahnya dan memegang tangannya.

“Jangan mencampuri. Aku tadi hanya merasa heran mengenal pukulan-pukulan Kun-lun-pai dan Pulau Es. Sungguh aku tidak ingin bermusuhan dengan Kun-lun-pai, apalagi para pendekar Pulau Es. Sungguh mengherankan sekali bagaimana keluarga Cu dapat memperalat murid Kun-lun-pai dan murid keluarga Pulau Es. Aku menyesal sekali kalau harus bersalah paham dengan mereka. Dan mereka berdua ini masih muda, tidak enaklah bagi seorang tua seperti aku harus melawan yang muda.”

“Suhu, mohon perkenan suhu. Biarlah teecu yang mewakili suhu!”

Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang bertubuh kekar dan berpakaian sederhana, berusia sembilan belas tahun akan tetapi karena tubuhnya yang kekar dan tinggi besar, nampak lebih tua. Dia adalah Sim Houw, putera tunggal Sim Hong Bu, yang telah dipertunangkan dengan Kam Bi Eng dan kini berada di Istana Khong-sim Kai-pang untuk belajar ilmu dari calon mertuanya.

Dia masih menyebut suhu dan subo kepada calon ayah dan ibu mertuanya dan selama ini dia telah dapat menguasai Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut dengan baik, bahkan mulai dapat menggabung Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut.

Gurunya memandang murid atau calon mantu ini dengan alis berkerut.
“Houw-ji, kenapa engkau hendak mencampuri urusan ini?” tanyanya, dalam keadaan seperti itu dia ingin menguji dan mengenal isi hati calon mantunya itu.

“Suhu tadi mengatakan bahwa suhu merasa sungkan harus melawan orang muda yang tingkatnya adalah murid suhu. Oleh karena itu, sudah sepatutnyalah kalau suhu mewakilkan kepada teecu sebagai murid suhu untuk menghadapi mereka, mewakili suhu. Bukankan mereka itupun datang hanya sebagai wakil, murid-murid yang mewakili suhu mereka? Jadi sudah sepatutnya kalau di sini suhu juga mewakilkan kepada teecu untuk menghadapi mereka.”

“Tidak, Houw-ji. Engkau tidak tahu. Mereka ini, yang seorang murid Kun-lun-pai dan seorang lagi murid keluarga para pendekar Pulau Es! Bagaimana mungkin aku akan menentang Kun-lun-pai dan keluarga Pulau Es?”

Sim Houw biasanya berwatak pendiam, pemberani dan jujur. Akan tetapi sekali ini agaknya dia tidak mau diam lagi karena tidak setuju dengan pendapat suhunya dalam menghadapi orang-orang yang memusuhi suhunya.

“Maafkan teecu, suhu. Sekali ini terpaksa teecu menyatakan tidak dapat menyetujui pendapat suhu. Bukankah seorang pendekar tidak melihat asal-usul seseorang, melainkan melihat perbuatan dan sepak terjangnya? Biarpun murid Kun-lun-pai atau keluarga Pulau Es, kalau tindakannya tidak patut, sudah semestinya kita jadikan lawan, sebaliknya biar keturunan orang jahat, kalau tindakannya benar seyogianya kita jadikan kawan. Yang kita musuhi bukanlah perguruannya, melainkan perbuatan orang itu. Sebatang pohon belum tentu menghasilkan buah yang semuanya baik, tentu ada beberapa butir buah yang busuk. Baik buruknya seseorang mana bisa diukur dari perguruan atau keturunannya, suhu?”

Diam-diam Kam Hong merasa girang akan pendirian calon mantunya ini. Tentu saja diapun seorang pendekar sejati dan dia membenarkan pendapat ini. Memang tepat. Kalau keluarga Cu yang iri hati kepadanya dan memusuhinya kini mengirimkan murid, sepatutnyalah kalau diapun mengajukan muridnya untuk menghadapi murid Lembah Naga Siluman itu. Dan muridnya ini, dia tahu cukup boleh diandalkan.

Biarlah hitung-hitung menguji kepandaian murid atau calon mantunya ini, dan kebetulan yang datang adalah lawan yang tangguh. Hanya dia merasa curiga kepada lawan yang pendek tegap ini karena lawan ini tadi menggunakan ilmu pukulan sesat yang amat berbahaya.

“Baiklah, kalau begitu coba kau hadapi murid Kun-lun-pai itu!” katanya dengan gembira karena dia ingin menguji kepandaian muridnya setelah tiga tahun memperdalam ilmu silatnya di situ.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar