FB

FB


Ads

Senin, 23 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 093

Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang-goyang dan air mata menetes dari celah-celah jari tangannya. Melihat ini, Gangga Dewi menjadi terharu sekali. Betapa sikap pemuda ini seperti seorang wanita saja, padahal sepak terjangnya selama ini begitu gagah perkasa sebagai seorang pendekar sejati. Sungguh sulit membayangkan betapa seorang pemuda selihai ini, cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat menangis sesenggukan seperti seorang wanita cengeng!

“Ciang Bun, ada apakah? Apakah yang menyusahkan hatimu?” tanyanya.

Ciang Bun mengusap air matanya dan dia lalu duduk di atas rumput tebal. Gangga Dewi juga duduk dan untuk menghilangkan suasana yang tidak enak itu, ia berkata.

“Tahukah engkau betapa selama beberapa hari ini, dari sebelum engkau tiba di Lok-yang sampai sekarang, aku selalu membayangimu?”

Ucapan ini berhasil menolong. Ciang Bun yang sudah dapat menguasai hatinya, memandang heran.

“Begitukah?” katanya. “Pantas aku tidak pernah dapat menyusulmu, kiranya engkau berada di belakangku.”

Gangga Dewi tersenyum dan suasana yang amat tidak enak bagi Ciang Bun tadi agak berobah, hatinya menjadi tenang kembali.

“Gangga, sebetulnya engkau hendak ke manakah? Apakah benar seperti keterangan enci Hui bahwa engkau hendak pulang ke Bhutan?”

“Dan kau sendiri hendak ke mana?” Gangga balas bertanya.

“Aku....aku hendak menyusulmu. Karena engkau pergi tanpa pamit padaku....”

“Aku memang tidak pamit karena masih pagi sekali dan aku memang ingin pulang ke Bhutan. Kenapa engkau mengejarku?”

“Aku....? Aku.... merasa kehilangan sekali ketika engkau pergi, Gangga. Aku.... aku rindu sekali kepadamu.”

“Kau memang sahabatku yang amat baik, Ciang Bun. Akan tetapi di antara sahabat, ada waktu berkumpul dan ada waktu berpisah.”

“Akan tetapi aku tidak mau berpisah darimu, Gangga. Selamanya jangan sampai kita berpisah!”

“Eh, mengapa begitu? Mana mungkin begitu?”

“Gangga, aku.... aku cinta padamu, Gangga!”

Gangga Dewi sengaja mengatur sikap untuk menguji batin Ciang Bun sesuai dengan rencananya menolong pemuda itu sembuh, walaupun jantungnya terasa berdebar dan kedua pipinya terasa panas. Ia pura-pura terbelalak heran.

“Tentu saja, akupun suka sekali kepadamu, Ciang Bun. Kita memang sahabat yang saling mencinta, sahabat karib, bukan?”

“Tidak, tidak! Bukan begitu, aku.... aku.... ahhh....!” Dan pemuda itu menunduk untuk menyembunyikan mukanya.

Gangga Dewi memegang pundak Ciang Bun.
“Ciang Bun, ada apakah? Sikapmu begini aneh. Tadi juga kau.... menangis. Ada apakah?”

Inilah saatnya! Saat yang selama ini amat menggelisahkan hatinya. Akan tetapi, bagaimanapun, apapun yang akan menjadi akibatnya, dia harus mengaku terus terang kepada Ganggananda. Mungkin Gangga akan menjadi jijik kepadanya, mungkin menjadi marah, membencinya sehingga mungkin juga akan meninggalkannya, untuk selamanya.

Akan tetapi dia harus berani menanggung akibatnya. Lebih baik menghadapi kenyataan dan memperoleh kepastian, betapapun pahitnya, daripada tersiksa dalam keraguan dan ketidak tentuan, tenggelam dalam kerinduan dan kebimbangan. Dia harus berani bersikap gagah sebagaimana layaknya seorang pendekar! Maka, dia cepat menghapus air matanya.






Untung baginya bahwa cuaca sudah mulai gelap sehingga Gangga tidak dapat melihat mukanya dengan jelas. Hal ini menolongnya dan mengurangi rasa sungkan dan malunya.

“Gangga, sahabatku yang baik, kalau aku berterus terang dan kata-kataku menyinggung dan tidak menyenangkan hatimu, maukah engkau.... memaafkan aku?”

Diam-diam Gangga Dewi merasa terharu sekali. Ia merasa kasihan kepada pemuda itu dan ia tahu betapa sukarnya bagi Ciang Bun untuk menjawab pertanyaannya tadi.

“Tentu saja, Ciang Bun. Orang yang berterus terang, berarti mempunyai maksud baik dan sudah sepatutnya kalau dimaafkan.”

“Tapi.... tapi aku....”

Ciang Bun menghentikan lagi kata-katanya, nampak berat sekali untuk membuat pengakuan dan menceritakan keadaan dirinya.

“Engkau kenapa? Katakanlah!”

Ciang Bun mengepal tinju dan menguatkan hatinya. Dia seorang pendekar, tdak boleh bersikap lemah.

“Gangga, aku akan bicara terus terang dan mungkin sekali akan tidak menyenangkan hatimu, tidak enak kau dengar.”

Melihat sikap tegas ini, Gangga tersenyum.
“Nah, begitu lebih patut bagimu, pendekar Suma Ciang Bun. Bicaralah!”

“Gangga, tadi aku mengatakan bahwa aku cinta padamu, akan tetapi bukan seperti yang kau maksudkan, tidak seperti yang kau sangka. Bukan cinta sebagai seorang sahabat!”

Gangga sudah tahu akan keadaan pemuda ini dari Suma Hui, akan tetapi ia pura-pura heran, memandang dengan mata terbelalak.

“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, Ciang Bun.”

“Tidak terasakah olehmu ketika aku.... memelukmu tadi? Aku.... ketika aku.... menciummu tadi? Nah, cintaku seperti itulah!”

“Tapi aku.... aku seorang pria juga!” Gangga memancing.

“Itulah, Gangga, justeru itulah! Aku.... aku bukan seorang yang waras.... aku seorang yang sakit dan menderita kelainan. Karena itulah aku merana dan aku.... takut kalau kau menjadi benci kepadaku, menjadi jijik lalu meninggalkan aku untuk selamanya....”
Pemuda itu menundukkan mukanya, tidak menangis lagi namun terbenam dalam kedukaan besar. Gangga Dewi memandang dan hatinya terharu. Ia sendiri belum merasa yakin benar apakah ia mencinta pemuda ini setelah mengetahui rahasianya dari Suma Hui. Yang jelas ia tidak membenci, tidak jijik melainkan heran, terkejut dan kasihan sekali.

“Ciang Bun,” katanya halus. “Sebetulnya apakah yang kau derita itu? Kelainan dan penyakit bagaimanakah yang kau maksudkan?”

Ciang Bun menghela napas panjang. Betapapun sukar dan beratnya, dia harus berterus terang, harus menceritakan semua tentang dirinya kepada orang yang dicintanya ini.

“Gangga, mungkin engkau akan kaget, heran dan jijik setelah mendengar penyakit apa yang mengganggu diriku. Baiklah aku mengaku terus terang saja, Gangga. Aku adalah seorang laki-laki yang berselera wanita. Aku tidak tertarik kepada wanita sebagai teman hidup, aku tertarik kepada sesama pria. Aku hanya bergairah terhadap seorang pemuda, aku hanya dapat jatuh cinta kepada seorang pria! Dan aku cinta padamu. Bukan hanya sebagai sahabat, melainkan lebih mendalam lagi, seperti.... seperti cinta suami isteri.... aku ingin hidup bersamamu, selamanya di sampingmu dalam suka maupun duka, tidak akan terpisah lagi. Nah, aku sudah menceritakan semua dan.... dan engkau tentu muak dan membenciku!”

Hening sejenak. Gangga Dewi teringat akan siasat yang diatur Suma Hui. Memang, ia berjanji untuk membantu penyembuhan pemuda ini. Akan tetapi hanya untuk mengguncang batinnya, menyadarkanya dengan harapan mudah-mudahan pemuda itu akan dapat sembuh, melalui cinta pemuda itu terhadap dirinya. Akan tetapi, ia sendiri tidak yakin apakah ia juga mencinta pemuda ini. Ia merasa suka dan kagum, akan tetapi cinta? Ia sendiri belum tahu benar, apalagi setelah melihat kelainan yang ada pada batin Ciang Bun.

“Ciang Bun, jadi kau.... kau mencinta diriku?”

“Aku cinta padamu, Gangga, walaupun aku maklum bahwa mungkin sekali engkau akan merasa muak dan membenciku.”

“Engkau mencinta diriku karena.... aku seorang pria, seorang pemuda yang menarik hatimu?”

Sepasang mata yang bening tajam itu bersinar menyaingi bintang-bintang yang mulai bertebaran di langit, berusaha menembus kegelapan untuk dapat menjenguk isi dada pemuda itu dan mengetahui isi hatinya.

Ciang Bun mengangguk, teringat bahwa cuaca gelap dan Gangga tidak akan dapat melihatnya, maka dia berkata gagap,

“Ya.... ya, begitulah....!”

Tiba-tiba Gangga bangkit berdiri.
“Hemm, jadi yang kau cinta hanyalah diriku sebagai seorang pemuda yang menarik? Ciang Bun, kalau engkau hanya membutuhkan pemuda tampan menarik, mudah saja bagimu untuk memperolehnya setiap saat dan di manapun! Aku.... aku tidak sudi menjadi korban nafsu-nafsumu!” Setelah berkata demikian Gangga meloncat jauh dan lari.

Sejenak Ciang Bun termangu. Dia sudah menduga bahwa tentu hebat akibat pengakuannya itu, akan tetapi begitu dia teringat bahwa Gangga telah pergi meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, diapun meloncat dan mengejar turun dari puncak bukit.

“Gangga....! Tunggu dulu, aku mau bicara denganmu!”

Gangga berhenti, membalik dan menanti sambil bertolak pinggang.
“Mau bicara apa lagi?” tanyanya angkuh.

“Gangga, maafkan kalau aku telah menyinggung perasaanmu dengan kata-kataku tadi yang bodoh dan canggung. Gangga, aku cinta padamu, sungguh bukan hanya karena engkau seorang pemuda tampan yang menarik. Tidak! Aku cinta padamu karena dirimu, karena pribadimu, biar ditukar seribu orang pemuda tampan sekalipun aku tidak mau!”

“Ciang Bun, engkau tadi mengatakan bahwa engkau tidak suka kepada wanita, bukankah begitu?”

“Benar, Gangga, dan itulah penyakitku, itulah kelainan diriku....”

“Nah, sekarang lihat baik-baik, Ciang Bun, lihat baik-baik!”

Gangga menggunakan tangan melepas kain pengikat dan penutup rambutnya, menanggalkan pula alis palsunya. Rambutnya yang halus panjang terurai lepas. Biarpun cuaca remang-remang namun cukup terang bagi Ciang Bun untuk melihat perobahan itu dan diapun terbelalak.

“Gangga....! Kau.... kau....”

“Namaku Gangga Dewi, aku seorang wanita yang menyamar pria agar aman dalam perjalanan. Nah, aku seorang wanita dan engkau tidak bisa jatuh cinta kepada wanita, bukan? Selamat tinggal!”

Gangga Dewi meloncat dan lari secepatnya, meninggalkan Ciang Bun yang berdiri bengong dengan wajah pucat. Gangga seorang wanita! Kenyataan ini merupakan pukulan hebat baginya. Baru dia mengerti akan pertanyaan encinya apakah dia mencinta pribadi Gangga ataukah hanya karena Gangga dianggapnya pria saja. Kalau Gangga tadi bertanya seperti encinya, agaknya masih mudah baginya untuk menjawab bahwa dia mencinta Gangga, mencinta pribadinya, bukan karena Gangga seorang pria.

Akan tetapi, Gangga tidak hanya bertanya, melainkan dengan mendadak saja merobah dirinya, membuka rahasianya. Hal ini membuat Ciang Bun terkejut dan batinnya terguncang hehat, membuat dia tidak mampu mengambil keputusan, tidak tahu harus berbuat apa. Gangga seorang wanita! Kenyataan ini amatlah hebatnya, terlalu hebat mengguncang perasaannya sehingga dia hanya berdiri terbelalak seperti patung.

Dia tidak mengejar lagi sekarang. Terlalu bingung dan pada saat itu, dia sendiripun tidak tahu bagaimana perasaan hatinya terhadap Gangga. Masih tetap mencintakah? Dia tidak tahu. Yang terasa pada saat itu hanyalah kekecewaan, keheranan dan penyesalan. Rasa kecewa jauh lebih besar dan dia dicekam kekecewaan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas. Dia merasa seolah-olah harapan yang dirawatnya baik-baik dan dipuja-pujanya itu mendadak hancur berkeping-keping.

“Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?” ratapnya sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Kedua kakinya gemetar dan diapun jatuh terduduk di atas tanah.

Cinta asmara didorong oleh nafsu berahi yang timbul karena kecocokan selera dan daya tarik alamiah yang memang ada dalam diri setiap mahluk antara jantan dan betina. Daya tarik alamiah ini memang amat diperlukan guna perkembangbiakan segala mahluk hidup. Dengan adanya daya tarak ini, jantan dan betina didorong untuk saling mendekati, berhubungan dan berkembang biak. Karena itu di dalamnya terkandung kenikmatan dan kepuasan, seperti hanya makan atau minum yang megandnng keenakan dan kepuasan sebagai daya tarik penyambung hidup, pengisian kebutuhan badan.

Kenikmatan dan kepuasan ini, yang menjadi pendorong pengisian kebutuhan badan, sebaliknya dapat menjadi racun bagi batin. Batinlah yang dicengkeram oleh kenimatan sehingga mencandu dan batin yang mendorong kita untuk mengejar-ngejar dan mengulangi segala kenikmatan dan kepuasan itu, batin yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan itu.

Padahal, kesenangan itu terpisahkan dari kesusahan dan kepuasan tak terpisahkan dari kekecewaan, apabila kita kejar-kejar. Dalam pengejaran terkandung harapan atau keinginan memperoleh, dan harapan inilah yang melahirkan kekecewaan apabila gagal diperoleh. Karena ulah batin sendiri, maka cinta asmara yang sedianya menjadi pendorong sesuatu yang dapat kita nikmati, seperti kelezatan makan selagi lapar dan kepuasan minum selagi haus, sebaliknya menjadi ajang pertentangan antara senang dan susah, antara puas dan kecewa.

Ciang Bun tenggelam ke dalam duka dan kebimbangan. Ada perasaan yang saling bertentangan bergelut di dalam batinnya. Di satu pihak dia ingin selalu berdampingan dengan pemuda Ganggananda, di lain pihak dia tidak mungkin dapat mendekati dan bermesraan dengan gadis Gannga Dewi. Padahal, Ganggananda dan Gangga Dewi adalah satu orang juga! Ketika dia teringat bahwa Gangga telah meninggalkannya, mungkin untuk selamanya, hatinya merana.

“Gangga....!”

Dia berseru dan meloncat berdiri, hendak mengejar. Akan tetapi dia segera teringat bahwa Gangga adalah seorang wanita dan tiba-tiba saja kedua kakinya mogok dan berhenti berlari.

“Gangga.... ah, Gangga....”

Ciang Bun menutupi muka dengan kedua tangan seolah-olah terasa ngeri menyaksikan keadaan dirinya sendiri dan dia membiarkan dirinya hanyut dalam ketidak tentuan yang menimbulkan duka.

**** 093 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA

 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara - Prancis
 Grand Canyon
Grand Canyon - Amerika
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa - Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal - India
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
 Blackpool - Amerika
Blackpool - Amerika
 Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia

===============================
 Jembatan Baja Terbesar di Australia

 Taman Nasional Blue Mountain Sydney

Tidak ada komentar:

Posting Komentar