FB

FB


Ads

Senin, 23 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 092

Kita tinggalkan dulu pengantin baru yang berbahagia itu dan kita menengok keadaan kota Lok-yang di mana selama beberapa hari ini terjadi hal-hal yang menggemparkan.

Sejak kira-kira sebulan lamanya terjadi beberapa pembunuhan dan pengrusakan terhadap sarang-sarang penjahat. Juga rumah dua orang pembesar korup tidak terlewat dan menjadi korban serbuan seorang pendekar aneh.

Dua orang pembesar itu adalah orang-orang yang suka melindungi kejahatan dengan menerima uang sogokan. Akan tetapi kalau kepala penjahat itu dibunuh dua orang pembesar itu hanya dibuntungi kedua telinga mereka sebagai peringatan keras. Dan dari mereka inilah, juga dari anak buah penjahat yang sempat melihatnya, tersiar berita bahwa pelakunya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, bersikap halus namun ilmunya tinggi sekali.

Dan melihat betapa dia membunuh para kepala penjahat, membasmi sarang penjahat dan menghajar dua orang pembesar korup, jelas bahwa dia tentulah seorang pendekar muda! Dan memang dunia kang-ouw di sekitar Lok-yang sudah mulai mendengar kemunculan pendekar ini, sejak dari sebelah barat kota raja sampai ke Lok-yang. Di sepanjang perjalanan, seorang pendekar muda menyebar maut antara para penjahat dan mengulurkan tangan kepada setiap orang yang menderita dan yang tertindas.

Peristiwa ini menggelisahkan Koo-taijin, kepala daerah kata Lok-yang. Sudah dua orang pembesar pembantunya yang didatangi pendekar itu! Dan dia sendiri yang merasa korup, bahkan suka menggunakan tenaga para penjahat untuk memperkuat kedudukannya, menerima sogokan-sogokan dari para penjahat pemilik rumah-rumah judi, rumah pelacuran dan kepala para maling, rampok dan copet, tentu saja merasa ketakutan.

Dia seolah-olah dapat merasakan betapa pendekar ini menanti-nanti kesempatan untuk mendatanginya! Beberapa malam yang lalu sudah ada bayangan yang berkelebatan di atas genteng gedungnya. Akan tetapi karena diketahui penjaga, bayangan itu tidak sempat melakukan sesuatu dan melarikan diri.

Sejak malam itu dia memerintahkan orang-orangnya agar melakukan penjagaan ketat. Namun dia masih merasa ketakutan dan akhirnya dia mengumpulkan tiga orang kepala penjahat di Lok-yang, tiga orang jagoan yang terkenal sebagai Lok-yang Sam-liong (Tiga Naga Lok-yang)! Kini tiga orang jagoan itu siang malam tinggal di gedung Koo-taijin. Barulah hati kepala daerah Lok-yang itu merasa tenang.

Akan tetapi pembesar itu lupa bahwa memasukkan tiga orang pentolan penjahat ke dalam rumahnya untuk menjaga keselamatan rumah sama dengan mempergunakan tiga ekor srigala atau harimau untuk menjaga rumah! Dia mampu menyenangkan hati tiga orang jagoan ini dengan makanan dan minuman secukupnya dan hadiah uang secukupnya.

Akan tetapi dia lupa akan sesuatu hal. Bahwa mereka itu, atau seorang di antara mereka, adalah seorang mata keranjang yang haus akan perempuan! Dan di dalam gedung pembesar itu, terdapat banyak wanita cantik! Selir-selirnya saja masih muda-muda dan cantik-cantik, jumlahnya sampai tujuh orang. Belum lagi para pelayan wanita muda-muda dan manis-manis yang kadang-kadang bertugas juga sebagai selir tak resmi pembesar itu! Belum lagi puteri-puteri pembesar itu sendiri.

Seorang di antara tiga jagoan ini berjuluk Tiat-liong (Naga Besi). Dia she Coa dan tubuhnya tinggi besar kokoh kuat, sesuai dengan julukannya. Usianya kurang dari empat puluh tahun dan bajunya selalu terbuka di bagian dada. Dia agaknya suka berlagak memamerkan dadanya yang berhulu hitam lebat!

Naga Besi ini memang nampak gagah dan jantan. Dia gila perempuan dan entah sudah berapa banyaknya wanita dia taklukkan, baik melalui kegagahannya termasuk bulu dada itu, atau rayuan mautnya, maupun dia taklukkan dengan kekerasan mengandalkan keberanian dan kelihaiannya yang membuat dia ditakuti. Di lengan kanannya ada gambar cacahan berbentuk naga.

Dua orang temannya berusia lima puluh lebih. Yang seorang she Can dan berjuluk Ang-liong (Naga Merah). Dia memakai julukan itu karena mukanya berwarna merah. Orang ke tiga bertubuh pendek gendut, she Lui berjuluk Hek-liong (Naga Hitam) dan untuk mengabadikan julukannya di lengan kanannya juga ada seekor naga hitam. Mereka merupakan tiga serangkai yang bekerja sama menguasai dunia hitam di Lok-yang.

Ketika mereka menerima tugas berjaga dan melindungi Koo-taijin, tiga orang ini girang sekali. Mereka sudah mendengar akan munculnya pendekar tampan itu dan tentu saja mereka menganggapnya musuh. Mereka masing-masing merasa terancam keselamatannya. Maka, dengan tinggal di gedung Koo-taijin, mereka mendapat banyak keuntungan.

Pertama, mereka akan dapat saling membantu dan bersama-sama menghadapi musuh. Ke dua, mereka akan mendapat bantuan pula dari pasukan pengawal dan penjaga gedung pembesar itu. Ke tiga, mereka tentu hidup serba enak dan menyenangkan di gedung pembesar itu dan akan menerima hadiah besar tanpa bekerja keras!

Dan bagi Tiat-liong, ada lagi kenyataan yang membuat dia ngilar. Ketika dia melihat wanita-wanita muda dan cantik itu! Wanita-wanita yang dia tahu kehausan dan melayangkan pandang mata ke arah dadanya yang berbulu dengan mata yang bersinar-sinar!

Dua orang kawannya sudah mengenal baik watak si Naga Besi ini, memperingatkan agar dia jangan mengganggu wanita-wanita itu. Akan tetapi, mana mungkin melarang seekor anjing melahap tulang-tulang muda yang berserakan di depan hidungnya? Baru pada malam ke dua, kawan-kawannya tidak melihatnya tidur di kamarnya lagi. Si Naga besi itu sudah terlena dan tenggelam ke dalam pelukan seorang di antara selir-selir Koo-taijin yang kehausan!

Pembesar itu sudah berusia enam puluh lebih. Mana mungkin dia mampu memuaskan belasan orang wanita, yaitu isteri, para selir dan para pelayannya? Tentu saja para selir yang menjadi hamba nafsunya begitu bertemu dan dapat berhubungan dengan pria seperti Si Naga Besi, merupakan suatu kelegaan yang membuat mereka tergila-gila. Dan bukan seorang selir saja yang tergila-gila kepadanya.

Si Naga Besi diantri dan laki- laki hidung belang ini tentu saja merasa keenakan dan senang sekali. Dua orang kawannya menggeleng-geleng melihat kegilaan Si Naga Besi.

Beberapa hari kemudian. Malam itu gelap sekali. Gelap, dingin dan sunyi karena tadi turun hujan lebat sekali. Kini hujan sudah berhenti, akan tetapi langit masih gelap. Bintang-bintang tak nampak, terhalang awan hitam. Keadaan seperti itu membuat orang mudah ngantuk.

Dan untuk melawan ngantuk, para penjaga keamanan di rumah Koo-taijin minum arak penghangat tubuh dan main kartu. Naga Merah dan Naga Hitam melakukan perondaan. Melihat semua aman, merekapun segera memasuki kamar masing-masing. Si Naga Besi seperti biasa, sejak tadi sudah mendekam dalam kamar seorang selir Koo-taijin. Sekali ini dia berani mati sekali, berhasil merayu selir ke tiga pembesar itu, selir yang paling disayang oleh Koo-taijin.






Karena malam gelap dan dingin, para penjaga segan berjaga di udara terbuka. Mereka agak lengah. Ah, siapa orangnya yang mencari penyakit berkeliaran di luar dalam cuaca seperti itu? Mereka tidak mengira bahwa sedikit kelengahan mereka itu telah dimanfaatkan sesosok tubuh bayangan hitam yang berkelebat di atas genteng rumah Koo-taijin ketika tidak melihat adanya penjaga di luar rumah seperti biasa.

Dengan gerakan yang amat lincah dan ringan, bayangan itu sudah berloncatan di wuwungan gedung, lalu melayang turun dan menyelinap di dalam bayang-bayang gelap. Tak lama kemudian dia sudah mengintai dari jendela sebuah kamar. Hanya sebentar dia mengintai lalu membuang muka. Sudah cukup baginya. Seorang laki-laki tinggi besar yang diketahuinya melalui penyelidikan beberapa hari ini sebagai Naga Besi, sedang bermesraan dengan seorang wanita cantik dalam kamar itu. Wajah bayangan itu tersenyum mengejek lalu meninggalkan kamar itu, menyelidiki kamar lain.

Akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya. Kamar Koo-taijin! Pembesar yang kurus kering itu, ternyata sudah tidur pulas, mendengkur dalam pelukan seorang pelayan perempuan muda yang malam itu bernasib bagus dipilih majikannya untuk melayaninya.

Tanpa mengeluarkan suara sehingga tidak terdengar oleh enam orang penjaga yang bermain kartu di dalam ruangan yang menembus ke kamar itu, bayangan tadi membuka jendela dan sekali meloncat dia telah berada di dalam kamar Koo-taijin. Sinar lampu kemerahan di kamar itu menimpa mukanya.

Dia masih muda. Antara dua puluh tiga tahun usianya. Wajahnya bulat dan kulit mukanya agak gelap, akan tetapi muka dan rambutnya terawat rapi sehingga nampak tampan sekali. Pakaiannya juga rapi dan indah, bersih dan terawat. Di pungungnya tergantung sepasang pedang yang berada dalam sarung pedang yang terukir indah.

Gagang pedangnya bagus pula, dengan ronce-ronce biru. Sejenak dia berdiri dalam kamar dan menyingkap kelambu. Apa yang sudah dilihatnya samar-samar dari luar kelambu tadi kini nampak jelas. Tubuh seorang wanita muda yang telanjang bulat memeluk tubuh kerempeng seorang kakek setengah telanjang.

Bibir itu bergerak seperti membayangkan perasaan jijik, lalu tangan kirinya bergerak. Dua batang jarum halus yang harum baunya menyamhar tengkuk wanita itu. Wanita itu menggerakkan tubuh berkelojotan, lalu mengeluh dan terlentang diam, pingsan karena dua jalan darah tertusuk dua batang jarum halus.

Dengan tenang pemuda itu menggulung tubuh Koo-taijin dengan selimut, lalu mengempitnya dan membawanya keluar kamar. Tubuh itu tidak mampu bergerak atau berteriak karena sudah ditotoknya terlebih dahulu. Dia membawa tubuh pembesar itu melalui jendela dan tak lama kemudian dia sudah tiba di luar kamar di mana selir ke tiga pembesar itu masih berdekapan dengan Si Naga Besi.

Daun jendela dibukanya dari luar dan setelah dia membebaskan totokannya pada tubuh Koo-taijin, dia lalu melemparkan tubuh itu ke dalam kamar, ke atas pembaringan di mana dua orang manusia itu sedang berjina. Begitu terbebas dari totokan, Koo-taijin yang sejak tadi ketakutan setengah mati langsung bergerak.

“Tolooonggg....!”

Dan tubuhnya terbanting ke atas pembaringan, di antara dua tubuh telanjang yang tumpang tindih.

“Brukkk.... aduh, aduhh....!”

Koo-taijin berteriak-teriak, juga selirnya menjerit karena tubuh suaminya itu jatuh menimpa dada dan kepalanya. Akan tetapi Si Naga Besi yang merasa terkejut sudah meloncat turun dari atas pembaringan, menyambar pakaiannya dan bergegas memakainya.

Ketika Koo-taijin melihat selirnya yang tersayang tidur bertelanjang bulat bersama Si Naga Besi, dia lupa akan rasa kaget dan takutnya. Seketika dia maklum apa yang terjadi antara selirnya dan jagoan itu. Dia sudah mendengar desas-desus di antara para pengawalnya bahwa satu di antara tiga jagoan yang menjaga keselamatannya itu kabarnya main gila dengan beberapa orang selirnya.

Akan tetapi karena dia tidak melihatnya sendiri, diapun tidak percaya dan pura-pura tidak tahu. Apalagi pada waktu itu dia amat membutuhkan perlindungan dan bantuan tiga orang jagoan itu. Akan tetapi kini, melihatnya sendiri betapa selirnya ke tiga yang paling disayangnya berada dalam satu pembaringan bertelanjang bulat dengan Si Naga Besi, kemarahannya memuncak.

“Perempuan hina, apa yang kau lakukan ini?” Dan dia tidak dapat menahan kemarahannya, ditinjunya muka selirnya dengan keras.

“Bukk....!”

Perempuan itu sedang mengeluh kesakitan karena tadi kepala dan dadanya tertimpa tubuh suaminya, kini menjerit dan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya terjengkang di atas kasur.

Koo-taijin semakin marah, turun dari pembaringan dan menyerang Si Naga Besi sambil memaki-maki,

“Bajingan kamu! Berani meniduri isteriku?”

Dan dia mencoba untuk memukul jagoan yang sedang sibuk mengenakan pakaiannya itu. Akan tetapi, Si Naga Besi dengan tak sabar menangkis dan mendorong pembesar itu sehingga jatuh terjengkang.

“Tenanglah, taijin. Siapa yang melempar taijin?”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar kamar. Para penjaga tadi mendengar teriakan si pembesar itu dan mereka berlari ke sana-sini berebutan mencari majikan mereka yang tadi berteriak minta tolong. Mendengar pertanyaan Si Naga Besi, baru Koo-taijin teringat akan peristiwa tadi. Mukanya pucat dan sekali lompat dia sudah bersembunyi lagi ke dalam kelambu dan merangkul selir ke tiga yang tadi dipukulnya, tubuhnya menggigil ketakutan.

“Tolong.... penjahat.... pembunuh....!”

Dari luar terdengar pintu digedor-gedor oleh para pengawal.
“Taijin! Taijin! Apakah paduka berada di dalam?”

Ketika Si Naga Besi hendak membuka pintu, setelah membereskan pakaiannya, tiba-tiba dari atas menyambar sesosok bayangan yang gerakannya cepat bagaikan seekor burung garuda menyambar. Kiranya bayangan itu adalah pemuda yang tadi melemparkan tubuh Koo-taijin, yang ternyata tadi bersembunyi di atas tihang melintang di atas kamar itu.

Melihat pemuda tampan ini, Si Naga Besi segera dapat menduga bahwa tentu inilah musuh yang dinanti-nanti, maka tanpa banyak cakap dia sudah menerjang ke depan dan menyerang dengan dahsyatnya. Pemuda itu tidak mengelak, melainkan menangkis dan begitu lengannya beradu dengan lengan Si Naga Besi, penjahat itu terpelanting dan meringis kesakitan.

Lengannya yang tertangkis tadi rasanya seperti bertemu dengan baja membara saja, keras dan panas! Dia maklum akan kelihaian lawan dan sekali meloncat dia telah menyambar golok besarnya yang tadi dia letakkan di atas meja.

“Bocah setan bosan hidup!” bentaknya dan dia memutar-mutar goloknya yang besar di atas kepalanya lalu menerjang maju, menyerang secara membabi buta.

Pemuda itu mengelak dengan loncatan ke kanan kiri, kemudian menggerakkan tangan kiri. Nampak betapa golok menyambar lewat kepalanya dan tangan kirinya itu menonjok ke depan, disusul tendangan kaki kanannya.

“Tuk....! Bruukk!”

Golok terlepas ketika sodokan tangan kiri pemuda itu mengenai dada di bawah ketiak kanan lawan, dan pada saat tendangan mengenai perut membuat tubuh Si Naga Besi terlempar menimpa tembok, nyawanya telah melayang. Ternyata pukulan tangan kiri tadi sedemikian hebatnya sehingga mengguncang dan memecahkan jantungnya!

Pada saat itu daun pintu kamar pecah dan masuklah dua orang kakek yang bukan lain adalah Naga Merah dan Naga Hitam, masing-masing memegang pedang dan tombak gagang panjang. Di belakangnya nampak belasan orang pengawal yang memegang senjata, siap mengeroyok!

Pemuda itu tidak memperdulikan mereka. Dia memungut golok Si Naga Besi dan sekali menggerakkan kaki dia telah meloncat ke pembaringan, dengan tangan kiri menjambak Koo-taijin. Pembesar itu sedemikian ketakutan dan mendekap selirnya lebih kuat lagi sehingga ketika tubuhnya terseret turun dari pembaringan, selirnya ikut tertarik dan terbanting.

“Ampun.... ampunkan saya....!”

Pembesar itu meratap dan kini dia sudah melepaskan tubuh selirnya dan berlutut, merangkak dengan kedua tangan di depan dada.

“Orang she Koo! Engkau ini seorang pembesar kepala daerah yang jahat! Engkau bersekongkol dengan para penjahat, korup dan makan sogokan. Engkau bukan pemimpin rakyat yang baik. Orang macam engkau ini sudah selayaknya mampus!”

“Ampun.... ampun, taihiap....!”

Pembesar itu meratap. Sementara itu, Naga Merah dan Naga Hitam sejenak tertegun melihat Naga Besi menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian melihat pemuda itu membelakangi mereka dan mencurahkan perhatiannya kepada pembesar yang berlutut di depannya, Naga Merah menggerakkan pedangnya dan Naga hitam menggerakkan tombaknya, menyerang dari belakang.

“Wuuutt....! Singg....!”

Pedang menyambar kepala dan tombak meluncur ke arah lambung pemuda itu. Pemuda itu masih tetap menjambak rambut si pembesar dengan tangan kirinya. Dia tidak mengelak, juga tidak menengok menghadapi serangan-serangan itu. Akan tetapi ketika pedang dan tombak itu sudah menyambar dekat, tangan kanannya bergerak dan golok tadi dia gerakkan ke belakang tubuhnya.

“Trang....! Cringg....!”

Pedang dan tombak itu tertangkis golok dan terpental, hampir terlepas dari tangan pemegangnya yang meloncat ke belakang dengan kaget. Kulit telapak tangan yang memegang pedang terasa panas dan perih.

“Pembesar Koo, sekali ini kuampuni nyawamu. Lekas kau robah cara hidupmu dan menjadi pembesar pelindung rakyat. Kalau tidak, lain kali aku dapat mengambil kepalamu!”

Golok berkelebat dan pembesar itu menjerit. Rambutnya terbabat habis dan hidungnya putus. Dia mendekap mukanya dan darah mengalir dari celah-celah jari tangannya, mulutnya mengeluarkan suara sengau.

“Aduh.... aduh.... aduh....!”

Sementara itu, dua orang jagoan sudah memberi aba-aba kepada para pengawal untuk mengeroyok. Akan tetapi para pengawal itu hanya mengacung-acungkan senjata dan tak berani maju.

Betapapun juga, dengan adanya belasan orang pengawal itu, hati kedua jagoan menjadi besar dan mereka berdua sudah menerjang maju lagi. Si Naga Merah yang memegang pedang memutar pedang di atas kepala sedangkan Si Naga Hitam menggerak-gerakkan ujung tombak untuk menggertak, mencari saat yang tepat untuk menusuk.

“Penjahat-penjahat keji macam kalian hanya mengotorkan dunia saja!” Nampak dua sinar berkelebat.

“Trang.... trang....!”

Dua jagoan itu terbelalak kaget melihat senjata mereka yang patah-patah disambar dua sinar tadi. Akan tetapi sebelum mereka sempat menghindar, dua sinar pedang yang berada di kedua tangan pemuda itu kembali berkelebat dan robohlah Naga Merah dan Naga Hitam. Mereka berkelojotan dan nampaknya tidak luka, akan tetapi dari celah jari tangan mereka yang menutup dada nampak darah bercucuran. Kiranya dua batang pedang di tangan pemuda itu telah menusuk dada menembus jantung!

Para pengawal terkejut dan berebutan menyerbu. Pemuda itu sudah siap memutar sepasang pedangnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan sengau dari Koo- taijin,

“Tahan....! Jangan serang dia! Taihiap, harap ampunkan kami. Mulai sekarang kami hendak merobah semua kesalahan!”

Pemuda itu menoleh kepada pembesar yang masih mendekap hidungnya yang berdarah, bukit hidung itu sudah lenyap terbabat pupus oleh golok tadi. Nyeri bukan main dan berdarah terus. Pemuda itu mengangguk, lalu melemparkan sebuah bungkusan kepada pembesar itu.

“Bagus, taijin. Biar cacad badan, kelak paduka akan menjadi pemimpin rakyat yang baik. Pakailah obat ini, dilumurkan pada lukamu, tentu segera sembuh. Selamat tinggal!”

Baru saja kata-kata ini habis diucapkan, tubuh pemuda itu berkelebat ke arah langit-langit kamar. Terdengar suara keras ketika atap itu jebol berlubang dan tubuhnya lenyap menerobos atap!

Ternyata di kemudian hari bahwa Koo-taijin benar-benar bertobat, berobah menjadi seorang pembesar yang baik, memperhatikan kepentingan rakyatnya dan mengerahkan pasukan keamanan untuk mengadakan pembersihan, membasmi sarang-sarang penjahat, bahkan tidak segan-segan menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan.

Pemuda perkasa yang telah membunuh Lok-yang Sam-liong dan menghukum Koo-taijin itu berloncatan dari wuwungan ke wuwungan lain dengan kecepatan seperti terbang saja.

Dia terus keluar kota dan memasuki kuil tua yang tak dipergunakan orang lagi. Tak lama kemudian dia sudah membuat api unggun di ruangan belakang, duduk bersamadhi di dekat api unggun. Buntalan pakaiannya terletak di dekatnya. Biarpun dia telah berhasil baik sekali dalam tugasnya sebagai pendekar pada malam itu, namun ketika cahaya api unggun menerangi wajahnya, dia sama sekali tidak kelihatan puas dan gembira.

Sebaliknya malah, wajahnya nampak suram muram. Wajah yang tampan itu digelapkan awan kedukaan dan sekali-kali dia menarik napas panang, lalu terdengar keluhannya dengan suara menggetar,

“Gangga.... ah, Gangga....!” Pemuda itu adalah Suma Ciang Bun.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika mendengar bahwa Gangga pergi tanpa pamit dan menurut encinya pemuda Bhutan itu pergi ke Bhutan, Ciang Bun menjadi kaget dan berduka. Diapun segera melakukan pengejaran ke barat. Akan tetapi, dia tidak menemukan jejak pemuda Bhutan itu!

Hatinya makin rindu dan makin berduka, takut kalau selamanya dia takkan dapat bertemu lagi dengan orang yang amat dicintainya itu. Dia tak berani melakukan perjalanan terlalu cepat, takut membuatnya semakin jauh dari Gangga. Dia melakukan perjalanan perlahan-lahan, berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, lalu melanjutkan terus ke barat.

Yang membuat dia berduka adalah karena dia tidak pernah berhasil mendapat keterangan tentang pemuda itu. Dan untuk mengurangi kedukaannya, untuk menghibur kekesalannya, Ciang Bun mulai bertindak sebagai seorang pendekar yang menentang semua penjahat yang diketahuinya.

Juga dia memberi hajaran kepada para pejabat yang korup, seperti yang telah dilakukannya di Lok-yang tadi. Mulai dia dikenal sebagai seorang pendekar muda yang berilmu tinggi dan yang bertangan maut terhadap para penjahat. Memang dia tak mau mengampuni penjahat. Hal ini mungkin menjadi akibat dari semua pengalamannya.

Di Pulau Es dahulu dia menyaksikan betapa kakek dan kedua orang neneknya tewas dan Pulau Es lenyap karena perbuatan penjahat. Kemudian, betapa keluarga ayahnya tertimpa aib karena perbuatan penjahat pula. Semua ini memupuk semacam dendam kebencian di dalam hatinya terhadap para penjahat sehingga dia tak mau memberi ampun kepada setiap penjahat yang ditemuinya.

Suma Ciang Bun terbenam dalam kedukaan. Dia teringat akan rencana pernikahan encinya. Dia takkan dapat hadir dalam perayaan pernikahan itu. Dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali sebelum dia dapat bertemu kembali dengan Ganggananda.

“Aih.... Gangga, di manakah engkau berada....?” keluhnya penuh rindu sebelum dia tenggelam ke dalam samadhinya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang Bun sudah meninggalkan kuil itu dan melanjutkan perjalanannya ke barat. Dia tidak lagi memasuki kota Lok-yang karena selama beberapa hari dia sudah melakukan penyelidikan dan agaknya tidak ada seorangpun melihat pemuda Bhutan seperti Ganggananda di kota itu. Ciang Bun mulai menduga bahwa mungkin sekali pemuda itu mengambil jalan lain, tidak melalui Lok-yang. Akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu terus menuju ke barat dan dia akan mencari terus sampai ke negeri Bhutan!

Ciang Bun mengambil jalan ke barat menyusuri sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Pada waktu musim hujan membuat Sungai Huang-ho pasang dan airnya berlimpah-limpah. Dalam keadaan seperti itu, sungai ini menjadi liar, arusnya kuat sekali sehingga amat berbahaya untuk naik perahu menentang arus. Maka Ciang Bun hanya berjalan kaki saja, kadang-kadang mempergunakan ilmu lari cepat kalau melalui jalan sunyi.

Dia akan pergi ke kota Sian yang jauhnya masih antara tiga ratus kilometer dari situ. Kalau dia melakukan perjalanan cepat, dalam waktu empat hari saja dia sudah sampai di sana. Tentu saja kalau di tengah jalan tak ada sesuatu yang akan menyita waktunya.

Dua hari kemudian tibalah dia di sebuah puncak bukit. Dari puncak itu dia dapat melihat pemandangan yang amat indah. Sungai Huang-ho yang lebar nampak berkilauan dari atas. Sejauh mata memandang, tidak nampak adanya dusun di sebelah barat, melainkan penuh hutan memanjang di sepanjang tepi sungai. Maka diapun mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat indah ini.

Ciang Bun lalu melepaskan buntalan dan siang-kiamnya dari punggung, menjatuhkan diri duduk di atas rumput hijau tebal lunak. Indah bukan main pemandangan menjelang senja itu. Indah dan sunyi. Sunyi sekali. Dia mengeluarkan sebungkus roti kering dan seguci air jernih dari buntalan.

Akan tetapi ketika dia menoleh ke kanan kiri, merasa betapa sunyinya keadaan, betapa sepi dan kosong perasaan hatinya, roti kering itu tak jadi digigitnya. Dia menyimpan kembali roti dan guci air. Tidak jadi makan atau minum walaupun perutnya lapar dan tenggorokannya haus. Dia tidak dapat makan karena pada saat itu hatinya dicekam keresahan dan kedukaan. Dia merasa betapa sepi hidupnya, betapa rindu kepada Ganggananda dan justeru kerinduan inilah yang mendukakan hatinya.

Terngiang di telinganya pertanyaan encinya ketika dia akan pergi mengejar Gangga.
“Yakinkah engkau bahwa cintamu terhadap Gangga itu murni? Ataukah hanya nafsu yang timbul karena dia seorang pemuda tampan?” Demikian encinya bertanya.

Ciang Bun menundukkan mukanya. Gangga adalah seorang pria! Dan bagaimana kalau Gangga mendengar pengakuan cintanya, mengerti bahwa dia adalah seorang dengan kelainan? Apakah Gangga akan memandangnya dengan jijik, akan menjadi marah, membencinya dan takkan sudi berdekatan lagi dengannya? Ciang Bun mengangkat mukanya dan ternyata kedua pipinya yang menjadi pucat itu sudah basah semua. Dia menangis dan tak mampu menahan perasaannya lagi. Ditutupnya mukanya dengan kedua tangan dan dia menangis tersedu-sedu, seperti anak kecil, seperti perempuan!

“Ciang Bun....!”

Suara halus terdengar oleh Ciang Bun seperti nyanyian sorga. Seketika dia menurunkan kedua tangan dari mukanya.

“Gangga....? Gangga....?” bisiknya penuh keraguan, penuh harapan, penuh kegelisahan kalau-kalau pendengarannya telah menipunya dan harapannya akan hampa.

Akan tetapi ketika dia menoleh, di dalam cuaca remang-remang itu dia melihat pemuda itu dengan jelas! Bukan mimpi, bukan khayal!

“Gangga....!”

Dia meloncat berdiri dan berlari menghampiri dengan lengan terbuka. Di situ Ganggananda berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh haru, dengan bibir tersenyum.

“Ciang Bun....!”

Katanya dengan air mata berlinang. Ciang Bun mengembangkan kedua lengannya dan merangkul. Gangga diam saja dan membiarkan pemuda itu memeluknya dan mendekapnya dengan kuat sekali. Ganggananda diam-diam harus melindungi tubuhnya dengan tenaga dalam dari pelukan Ciang Bun, kalau tidak bisa patah-patah tulang iganya didekap sekuat itu!

“Gangga.... ah, Gangga.... betapa girang hatiku, betapa.... rinduku kepadamu....!”

Ciang Bun berbisik berkali-kali, mendekap tubuh itu seolah-olah hendak memasukkan Gangga ke dalam dadanya agar tidak sampai dapat berpisah lagi. Kemudian, saking girangnya dapat bertemu dengan Gangga kembali, dan saking rindunya, dia lalu mencium pemuda itu, ciuman sayang dan mesra pada pipi kanannya. Dia merasa betapa tubuh Gangga gemetar keras dan tiba-tiba Ciang Bun teringat akan keadaan dirinya.

“Ahhh....!”

Dia melepaskan pelukannya seperti melepas ular, lalu membalikkan tubuhnya dan menjambak-jambak rambutnya sambil menangis!

“Ciang Bun....!” Ganggananda terkejut, menghampiri dan menyentuh pundaknya. “Ada apakah....?”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar