FB

FB


Ads

Senin, 23 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 091

Suma Kian Lee dan isterinya tentu saja menerima berita keluarga Kao dengan gembira dan terharu. Pendekar ini sudah merasa bersalah besar terhadap keluarga Kao dan terhadap puterinya sendiri. Maka kini dia menyetujui saja ketika menerima berita bahwa pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong akan segera diresmikan di rumah keluarga Kao atau di rumah jenderal muda itu.

Mereka telah merasa salah langkah. Puteri mereka sudah merayakan pernikahannya dengan Louw Tek Ciang, di Thian-cin. Tak mungkin mereka dapat merayakan lagi di Thian-cin, apalagi menikah dengan pria lain sedangkan perjodohan puteri mereka dengan Louw Tek Ciang belum diceraikan secara resmi. Tentu umum mengira Suma Hui adalah isteri yang sah dari Louw Tek Ciang!

Karena keadaan ini pula perayaan pernikahan antara Suma Hui dan Kao Cin Liong diadakan dengan amat bersahaja, amat sederhana. Keluarga Kao tidak mengundang banyak tamu, hanya keluarga dekat dan rekan-rekan Jenderal Kao saja yang hadir.

Dari pihak keluarga Suma, yang hadir hanya Kian Bu, isterinya dan putera mereka saja. Suma Ceng Liong masih belum berhasil bicara mengenai negara dengan Cin Liong. Dia harus hati-hati karena jenderal muda itu nampak amat disayang kaisar, juga jenderal itu kelihatan amat setia.

Biarpun ada ikatan keluarga melalui Suma Hui, akan tetapi kalau sampai dia bersalah bicara dan jenderal itu lebih berat terhadap kaisar, tentu perjuangan akan menghadapi jalan buntu atau setidaknya menghadapi penghalang besar. Inilah sebabnya, mengapa sampai dia hadir sebagai tamu perayaan pernikahan itu, Ceng Liong belum pernah bicara tentang negara dan perjuangan.

Yang menyedihkan hati Suma Hui adalah tidak hadirnya Suma Ciang Bun! Kepada ayah bundanya, juga kepada suaminya, terpaksa dia berterus terang tentang keadaan Ciang Bun yang mempunyai kelainan itu. Mendengar ini Kim Hwee Li membanting-banting kaki kanan dan menjambak rambut sendiri!

“Dosaku....! Semua akibat dosaku. Thian telah mengutuk aku sehingga anak-anakku yang mengalami hukuman! Ah.... dulu aku adalah seorang wanita sesat, seorang gadis iblis yang liar....! Aih, suamiku, kenapa engkau memilih seorang perempuan macam aku sehingga kini engkau dan anak-anakmu ikut menderita....!” wanita ini menangis.

Suma kian Lee cepat merangkulnya.
”Hushh.... jangan berkata begitu, isteriku. Semua ini sudah terjadi. Daripada mengeluh dan menyesali hal-hal yang lalu, lebih baik kita berusaha memberikan jalan keluar untuk putera kita itu setelah selesai urusan pernikahan Hui-ji.!”

Suma Hui dan Cin Liong, dua orang lain kecuali Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li yang tahu keadaan Ciang Bun, merasa terharu. Suma Hui cepat menceritakan kepada orang tuanya perihal Ganggananda.

“Harap ayah dan ibu tenang saja. Kurasa usahaku bersama Gangga akan berhasil baik.”

“Siapa itu Gangga?” tanya ibunya.

“Pemuda tampan dari Bhutan itu?” tanya Cin Liong.

Suma Hui menoleh kepada calon suaminya sambil tersenyum.
“Dia bukan pemuda, melainkan pemudi. Dan dia adalah puteri tunggal dari Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”






“Ah, puteri Ang Tek Hoat?” Suma Kian Lee memotong.

Suma Hui mengangguk lalu berceritalah ia. Betapa Ciang Bun bertemu dengan gadis Bhutan yang menyamar pria bernama Ganggananda dan menjadi sahabat baik.

“Bun-te telah jatuh cinta kepada Gangga yang dianggapnya pria! Dan dia gelisah sekali, namun tak mampu berpisah dari Gangga. Dan aku telah menceritakan perihal diri Bun-te kepada Gangga. Dan gadis itu agaknya juga mencinta Ciang Bun, dan berjanji mau membantu. Aku minta agar ia meninggalkan Bun-te, kelak menemuinya lagi dan setelah Bun-te benar-benar jatuh cinta, akhirnya mengaku bahwa ia seorang wanita.”

Dengan panjang lebar Suma Hui bercerita dan sepasang suami isteri itu diam-diam memuji kecerdikan Suma Hui.

“Mudah-mudahan usahamu berhasil baik.” Suma Kian Lee berkata.

Pada keesokan harinya, upacara dilangsungkan secara sederhana numun meriah. Di antara para tamu undangan yang menjadi rekan jenderal Kao Cin Liong, terdapat seorang pembesar tinggi yang menjabat sebagai seorang menteri.

Menteri Siong ini sudah berusia lima puluh tahun dan dia hadir sebagai undangan, juga sebagai utusan dan wakil kaisar, maka semua orang berlutut ketika dia tiba dan membacakan amanat kaisar. Seorang utusan dan wakil kaisar memang dihormati sebagai kaisar sendiri ketika menyampaikan amanat. Kemudian Menteri Siong dipersilahkan duduk di tempat kehormatan sebagai tamu yang dihormati.

Menteri Siong Ci Kok ini diam-diam menaruh hati dendam dan tidak senang atas pernikahan Cin Liong dan Suma Hui. Menteri itu mempunyai seorang anak gadis dan tadinya Menteri Siong ingin sekali menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong. Sudah berkali-kali dia memancing, namun jenderal muda yang dikaguminya itu tak pernah menanggapi.

Jenderal muda itu amat disayang kaisar, kalau dapat menjadi mantunya tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat. Bahkan kaisar sendiri tertarik kepada gadisnya, dan ketika dia yang khawatir kaisar akan tertarik kepada gadisnya dan menjadikan selir, maka dia menyindir bahwa ingin menjodohkan puterinya dengan Cin Liong, kaisar segera menyatakan kegembiraannya dan persetujuannya.

Akan tetapi ketika akhirnya dia secara terus terang menyatakan keinginannya kepada Cin Liong, jenderal muda itu menolak dengan halus dan menyatakan bahwa dia sudah punya calon isteri!

Tentu saja dia merasa kecewa dan menyesal sekali. Maka kehadirannya sebagai utusan kaisar itu hendak melampiaskan rasa kecewa dan penasaran hatinya. Dan dia sudah memiliki sarananya untuk itu, sebuah surat wasiat yang kini sudah berada di saku bajunya.

Setelah hidangan dikeluarkan dan para tamu akan menyaksikan upacara bertemunya sepasang pengantin, saat itu dianggap amat penting bagi Menteri Siong Ci Kok untuk mengadakan penyerangan. Apalagi semua yang bersangkutan sudah berada di situ. Kao Cin Liong sang pengantin yang siap menyambut mempelai wanita yang sebentar lagi akan muncul, Kao Kok Cu dan isterinya, juga Suma Kian Lee dengan isterinya yang oleh Cin Liong diperkenalkan kepada utusan dan wakil kaisar itu.

“Sungguh menggembirakan sekali kami dapat hadir dalam saat yang bahagia ini,” demikian katanya dengan lantang kepada kedua keluarga itu. “Kami adalah sahabat baik Kao-goanswe dan sudah lama kami mengharapkan datangnya hari bahagia ini. Dan mendengar bahwa calon isteri Kao-goanswe adalah keturunan keluarga Suma dari Pulau Es, sungguh hati kami semakin gembira rasanya.”

“Siong-taijin,” kata Kao Kok Cu dengan sikap hormat, “Paduka telah berkenan menghadiri perayaan pernikahan anak kami yang sederhana ini, bahkan sebagai wakil sri baginda kaisar, sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi kami seluruh keluarga mempelai. Semoga kehadiran paduka dapat menambah doa restu bagi kedua mempelai.”

“Ah, kami dengan keluarga Kao-goanswe sudah seperti keluarga sendiri, harap Kao-tahiap tidak sungkan-sungkan lagi. Kao-goanswe adalah putera tunggal bukan? Dan isterinya, Suma-siocia, tentu puteri Suma-taihiap yang ke dua.” katanya dengan nada suara sambil lalu dan menoleh kepada Suma Kian Bu dan isterinya.

Suma Kian Lee mengerutkan alisnya dan sejenak saling pandang dengan isterinya, kemudian tanpa menduga sesuatu, diapun menjawab.

“Bukan yang ke dua, taijin, melainkan yang pertama dan kami hanya mempunyai seorang anak perempuan tunggal.”

Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hati mereka semua yang hadir di situ ketika pembesar itu terbelalak dan menggeleng-gelengkan kepala.

“Mana mungkin? Bagaimanakah ini? Harap Suma-taihiap tidak main-main.”

Kini Suma Kian Lee saling pandang sekilas dengan Kao Kok Cu dan hatinya merasa tidak enak.
“Apakah yang taijin maksudkan? Saya sama sekali tidak berani main-main.”

Pembesar itu menepuk paha dengan tangan kanan dan hal ini sengaja dia lakukan untuk menarik perhatian dan memang usahanya berhasil baik. Para tamu lain yang duduk tidak jauh dari situ mulai mencurahkan perhatian dan ikut mendengarkan percakapan itu.

“Sungguh amat mengherankan! Beranikah orang-orang membohong kepadaku ketika mengabarkan bahwa Suma-taihiap pernah menikahkan seorang puteri taihiap? Tiga tahun yang lalu, di Thian-cin, kabarnya puteri taihiap yang bernama Suma Hui telah menikah dengan seorang she Louw, kabarnya murid taihiap sendiri! Lalu yang akan menikah dengan Kao-goanswe ini siapakah, kalau taihiap hanya mempunyai seorang puteri tunggal?”

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka semua mendengar ucapan itu. Juga para tamu kehormatan kini tertarik sekali. Untuk sejenak kedua keluarga pengantin tak mampu menjawab.

“Benar, taijin. Puteri kami hanya seorang saja, bernama Suma Hui. Dan semua yang taijin katakan tadi memang benar pernah terjadi!”

Pembesar itu pura-pura membelalakkan matanya.
“Ah...., jadi.... benarkah begitu? Kalau begitu lalu.... lalu.... bagaimana sekarang Kao-goanswe....” dia tak melanjutkan dan memandang wajah jenderal muda itu.

Kedua pasang besan itu saling pandang dan dalam pertukaran pandang mata itu, watak gagah merekapun bangkit.

“Kami dapat menerangkan hal itu!” kata Suma Kian Lee dengan suara tenang.

“Dan memang sebaiknya kami menjelaskan kepada semua para tamu yang hadir!” sambung Kao Kok Cu dengan suara tegas.

“Siong-taijin, maafkan saya,” kata Cin Liong sambil mengerutkan alisnya. “Bolehkah saya mengetahui dari siapa taijin mendengar semua itu?”

Mendengar nada suara jenderal muda itu yang agak keras dan menuntut, pembesar itupun tak mau main-main lagi. Dia sudah melaksanakan niatnya, melampiaskan dendam hatinya yang kecewa, membongkar rahasia keluarga itu. Dikeluarkannya sebuah sampul surat dari dalam saku jubahnya dan dia berkata,

“Maaf, Kao-goanswe. Bukan maksudku untuk membuka rahasia. Akan tetapi kami menerima surat ini beberapa hari yang lalu, surat dari orang yang bernama Louw Tek Ciang. Kami tidak mengenalnya akan tetapi dia yang menceritakan bahwa Suma-siocia telah menikah tiga tahun yang lalu. Tadinya kami tidak percaya dan tak tahu apa maksudnya mengirim surat seperti ini. Karena hati kami penasaran, maka tadi kami tanyakan langsung kepada Suma-taihiap.”

Mendengar keterangan itu tahulah kedua pasang besan itu dan juga Cin Liong bahwa musuh besar mereka, Louw Tek Ciang, ternyata telah mulai beraksi dan tidak tinggal diam saja, ingin merusak perayaan itu dan nama baik mereka melalui Menteri Siong.

Wajah Suma Kian Lee berobah merah sekali, demikian pula wajah Kao Kok Cu. Akan tetapi mereka tidak menyalahkan pembesar itu yang agaknya tanpa disadarinya telah diperalat Louw Tek Ciang. Hanya Cin Liong yang diam-diam dapat menduga bahwa agaknya surat itu membuka kesempatan bagi Menteri Siong untuk melampiaskan dendam kecewanya.

Dengan suara lantang Suma Kian Lee berkata.
“Taijin, kami tidak akan merahasiakan hal itu walaupun itu sesungguhnya merupakan urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Memang, puteri kami Suma Hui tiga tahun yang lalu pernah menikah dengan Louw Tek Ciang. Akan tetapi, pada hari pernikahan itu pula kami baru mengetahui bahwa dia seorang penjahat besar, murid iblis Jai-hwa Siauw-ok yang berhasil menipu kami sehingga telah kami ambil murid dan mantu. Sejak hari pernikahan itu, hubungan kami sekeluarga dan dia menjadi putus, bahkan dia menjadi musuh besar kami. Puteri kami bukan isterinya lagi.”

“Dan kami sekeluargapun sudah tahu akan semua itu!” sambung Kao Kok Cu lantang. “Dan seperti dikatakan oleh saudara Suma Kian Lee tadi, urusan ini adalah urusan pribadi kami yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain!”

Menteri Siong dan para tamu yang lain mendengar ucapan dua orang pendekar sakti itu, yang dikeluarkan dengan suara penuh wibawa, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja mereka tidak berani memberikan komentar lagi karena kedua orang pendekar itu sudah menekankan bahwa urusan itu adalah urusan bersifat pribadi yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Mereka hanya membatin betapa anehnya watak tokoh-tokoh perkasa itu. Kalau orang biasa, sungguh tak mungkin seorang pemuda, apalagi dengan kedudukan setinggi Jenderal Muda Kao Cin Liong, mengawini seorang janda!

Sementara itu, Suma Ceng Liong dan ayah bundanya juga terkejut mendengar ucapan dua besan itu dan diam-diam Ceng Liong mencatat nama Louw Tek Ciang yang telah berhasil menipu pamannya sehingga diambil murid bahkan mantu olehnya. Padahal, Tek Ciang adalah murid Jai-hwa Siauw-ok dan dia pernah bertemu dengan mereka ketika bersama dengan mereka, mendiang Hek-i Mo-ong menyerbu ke rumah keluarga Kam di Bukit Nelayan.

Biarpun ada gangguan batin karena ulah Menteri Siong tadi, upacara pernikahan dilangsungkan dengan lancar. Wajah sepasang mempelai berseri penuh kebahagiaan ketika mereka melakukan upacara penghormatan kepada para orang tua dan keluarganya. Pesta sederhana lalu dirayakan dengan gembira.

Pada keesokan harinya, Suma Ceng Liong dan ayah ibunya sempat mendengar penuturan Suma Hui sendiri yang ditemani suaminya tentang malapetaka dan aib yang menimpa keluarga ayahnya karena kejahatan Louw Tek Ciang. Ia tidak menyembunyikan apa-apa lagi karena bicara di antara keluarga.

“Dulu, bersama suamiku ini, aku perintah singgah dan bertemu paman Kian Bu berdua ketika kami kembali dari Pulau Es dan paman Kian Bu telah memperingatkan kami akan banyak halangan dan rintangan bagi perjodohan kami. Dan ternyata memang benar.” Suma Hui menutup ceritanya.

Kian Bu mengangguk.
“Bagaimanapun juga, semua telah lewat dan anggap saja semua itu sebagai mimpi buruk. Aku sungguh kagum kepada kalian. Cinta kasih antara kalian demikian besar dan murni dan dengan cinta kasih seperti itu kalian tentu akan hidup berbahagia.”

Kian Lee menarik napas panjang.
“Semua adalah karena kesalahanku. Aku terlalu kukuh dan aku lengah sehingga mudah tertipu oleh iblis itu.” Dia mengepal tinju dengan gemas.

“Manusia boleh berusaha bagaimanapun, akan tetapi Thian yang berkuasa menentukan.” kata Kao Kok Cu.

“Aku telah bersumpah untuk mencari dan membunuh jahanam Louw Tek Ciang dan gurunya, Jai-hwa Siauw-ok!” kata Suma Hui sambil mengepal tinju.

“Harap paman dapat menenangkan hati, juga enci Hui. Ketahuilah bahwa Jai-hwa Siauw-ok telah tewas tiga tahun yang lalu.” kata Ceng Liong.

Mereka semua, kecuali ayah ibu Ceng Liong yang sudah tahu, terkejut mendengar berita ini.
“Bagaimana terjadinya? Siapa yang membunuh jahanam itu?” tanya Suma Kian Lee.

“Dia berkelahi dengan Hek-i Mo-ong dan dia terpukul roboh dan tewas.”

“Hek-i Mo-ong? Pemimpin gerombolan yang menyerbu Pulau Es?” Suma Hui dan Cin Liong terkejut.

Ceng Liong mengangguk.
“Benar. Dan bukan hanya Jai-hwa Siauw-ok yang tewas, juga Hek-i Mo-ong telah meninggal dunia karena luka-lukanya, setelah bertanding dengan musuh-musuhnya.”

Dia tidak menceritakan keadaan dirinya sebagai bekas murid raja iblis itu karena ini akan mendatangkan suasana yang tidak enak saja.

Suma Hui mengerutkan alisnya, lalu menghitung.
“Mereka semua ada lima orang yang memimpin penyerbuan itu. Ngo-bwe Sai-kong telah tewas oleh nenek Lulu, Si Ulat Seribu telah tewas oleh nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong telah tewas oleh Cin Liong-koko, kalau sekarang Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok telah tewas, berarti semua datuk iblis yang menyerbu Pulau Es telah tewas!”

Pada hari itu juga, Suma Kian Bu, isteri dan puteranya berpamit. Mereka meninggalkan kota raja tanpa berani menyinggung soal perjuangan melawan penjajah karena jenderal muda itu kelihatan masih amat bersemangat membela kerajaan. Mereka harus bersikap hati-hati sebelum merasa yakin bahwa ada kemungkinan besar jenderal itu akan mendukung. Ceng Liong sendiri belum berani menyinggung soal gawat itu.

**** 091 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA

 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara - Prancis
 Grand Canyon
Grand Canyon - Amerika
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa - Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal - India
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
 Blackpool - Amerika
Blackpool - Amerika
 Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia

===============================
 Jembatan Baja Terbesar di Australia

 Taman Nasional Blue Mountain Sydney

Tidak ada komentar:

Posting Komentar