FB

FB


Ads

Rabu, 18 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 089

Terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian. Para tamu yang menonton perkelahian ini, kebanyakan berpihak kepada tuan rumah. Mereka semua merasa benci kepada Ciong Ek Sim, walaupun sebagian dari mereka, terutama dari golongan hitam, merasa kagum. Terutama pemuda baju hijau yang memang sudah membenci sekali orang Hek-i Mo-pang yang tadi menghinanya. Dia terang-terangan berpihak kepada Song-pangcu dan selalu bersorak gembira setiap kali Ciong Ek Sim nampak terdesak atau kadang-kadang terhuyung.

Ilmu toya dari Siauw-lim-pai sudah terkenal di dunia persilatan sebagai ilmu silat yang amat tangguh dan sukar dikalahkan. Biarpun si tinggi kurus itu memiliki gerakan ilmu silat yang aneh, dan memiliki tenaga besar dan kekebalan sehingga berani menggunakan kaki tangan untuk menangkis toya, namun desakan-desakan Song-pangcu kadang-kadang membuat dia kerepotan sekali.

Tentu saja hal ini melegakan hati para tamu yang mengharapkan agar si sombong itu dapat diberi hajaran keras dan agaknya Song-pangcu akan mampu melakukan itu. Terutama si pemuda baju hijau tiada hentinya bersorak dan bertepuk tangan menjagoi Song- pangcu.

Akan tetapi tiba-tiba terjadi perobahan dalam perkelahian itu. Gerakan Song-pangcu berobah menjadi kacau dan beberapa kali dia nampak ragu-ragu dan bingung. Bahkan, dalam keadaan mendesak, dia berbalik terdesak dan sebuah tendangan menyerempet pinggangnya, membuat dia terhuyung!

Tentu saja para tamu menjadi terkejut dan setelah mendengar seruan-seruan tertahan, suasana menjadi sunyi dan tegang. Song-pangcu memang terkejut dan bingung. Ketika dia sudah mulai berhasil mendesak lawan tadi, tiba-tiba saja ada suara di dekat telinganya,

“Song-pangcu, engkau sudah dikepung dari empat penjuru! Engkau takkan menang!”

Suara ini berulang-ulang berbisik di telinganya dan memaksanya untuk percaya. Suara itu demikian penuh dengan daya pengaruh, membuat dia merasa benar-benar dikeroyok dari empat penjuru! Tentu saja dia menggerakkan toyanya untuk melindungi dirinya dari serangan-serangan yang datang dari empat penjuru! Karena terbagi, daya tahannya berkurang sehingga dia kini terdesak oleh Ciong Ek Sim yang mulai terkekeh-kekeh lagi.

Para tamu tidak memperhatikan kakek gendut Boan It. Padahal, kakek inilah yang telah membuat keadaan perkelahian menjadi berubah itu. Kakek gendut itu duduk seperti tadi, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan ke arah muka Song-pangcu, tidak pernah berkedip!

Seorang pemuda yang terselip di antara para tamu muda di panggung yang paling belakang, sejak tadi sudah mengikuti semua peristiwa itu dengan penuh perhatian. Beberapa kali pemuda ini mengerutkan kening, akan tetapi wajahnya yang gagah itu selalu tersenyum.

Pemuda ini berpakaian sederhana dan dari pakaian, sikap dan gerak-geriknya sama sekali tidak terbayang bahwa dia pandai ilmu silat. Sikapnya sederhana sekali walaupun wajahnya amat gagah. Padahal, dia bukan sembarang orang, melainkan seorang pendekar muda yang amat lihai, memiliki kesaktian. Pemuda ini adalah Suma Ceng Liong!

Sejak munculnya gerombolan baju hitam, Ceng Liong sudah mengenal mereka. Dia mengenal pula kakek gendut Boan It dan tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah gurunya, mendiang Hek-i Mo-ong! Dan Boan It memang seorang di antara para murid Hek-i Mo-ong. Baru satu dua kali dia bertemu dengan Boan It yang masih terhitung suhengnya, walaupun tadinya dia tidak mengaku guru terhadap Hek-i Mo-ong dan menjelang akhir hidup Raja Iblis itu dia mengakuinya.

Tadinya Ceng Liong yang melakukan perantauan mewakili ayahnya, tidak ingin mencampuri perkelahian itu selama perkelahian dilakukan dengan adil. Akan tetapi, kini dia tahu akan kecurangan Boan It yang menggunakan kekuatan sihir atau ilmu hitam untuk membantu Ciong Ek Sim dan mengacau batin Song-pangcu.

Hal ini membuat Ceng Liong penasaran sekali. Dipungutnya sebutir kacang dari tempat hidangan di atas meja dan tanpa diketahui para tamu yang menonton perkelahian dengan tegang melihat Song-pangcu terdesak, Ceng Liong menjentikkan jarinya membuat sebutir kacang itu meluncur dengan kecepatan luar biasa ke arah Boan It.

“Tung....!”

Kacang itu menyambar hidung yang besar pesek itu dan biarpun hanya sebutir kacang, tetapi karena diluncurkan melalui sentilan jari tangan yang bertenaga sin-kang amat kuatnya, tiada ubahnya sebutir peluru baja saja!

“Aduh....!”

Si gendut mengeluh dan cepat meraba batang bidungnya yang ternyata sudah bengkak! Dia terkejut dan heran, mengira tentu ada lebah yang tadi menyengatnya. Akan tetapi tentu saja gangguan ini cukup membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya terhadap Song- pangcu.

“Sialan....!” gerutunya.

Masih untung baginya bahwa peristiwa yang menimpa dirinya itu tidak diketahui orang lain. Apalagi kini muridnya tak perlu dibantunya lagi karena Ciong Ek Sim telah berhasil merampas toya lawan!

Memang benar. Kini keadaan Song-pangcu makin payah. Lawannya berhasil memukul pundaknya dan merampas toya. Dan sambil tertawa berlagak, Ciong Ek Sim yang ternyata pandai main toya itu memainkan toyanya dan menyerang Song-pangcu kalang kabut.

Tentu saja beberapa kali gebukan mengenai tubuh ketua Pek-eng-pang itu akan tetapi orang gagah ini pantang menyerah dan melawan terus dengan mati-matian. Semua tamu memandang gelisah. Bahkan pemuda baju hijau beberapa kali menutupi muka dengan tangan ketika toya menyambar ke arah kepala Song-pangcu, takut melihat kepala itu pecah berhamburan.






Tiba-tiba sebuah tendangan keras mengenai paha Song-pangcu yang sudah terdesak, membuat ketua ini terpelanting dan ketika toya menyambar ke arah kepalanya, agaknya apa yang dikhawatirkan pemuda baju hijau itu akan terjadi kalau saja Song-pangcu tidak cepat menggulingkan tubuh menjauh.

“Darrr....!”

Bunga api bepijar ketika ujung toya menghajar lantai. Sebelum Ciong Ek Sim sempat menyerang lagi, para murid Pek-eng-pai sudah menolong guru mereka dan memapahnya ke pinggir. Ciong Ek Sim bertolak pinggang bertongkat toya, memandang marah kepada seorang pemuda sederhana bertubuh tinggi besar yang berdiri menghadangnya.

“Hem, siapakah kamu? Apakah kamu murid Pek-eng-pang yang sudah bosan hidup?” tanyanya dengan senyum mengejek.

Ceng Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Bukan, aku bukan murid Pek-eng-pang. Karena aku menjadi tamu Pek-eng-pai, tentu saja aku tak mungkin membiarkan Hek-kaw mengacau di sini.”

Wajah Ciong Ek Sim menjadi merah dan matanya mendelik.
“Julukanku adalah Hek-houw (Macan Hitam), bukan Hek-kaw (Anjing Hitam)!” bentaknya.

“Ah, begitukah? Tapi seekor harimau biasanya gagah perkasa, lebih banyak berbuat daripada bersuara, sedangkan engkau menggonggong saja dan menggigit seperti anjing!”

Tentu saja sikap dan kata-kata yang dikeluarkan Ceng Liong menyenangkan hati para tamu, akan tetapi mereka merasa heran dan khawatir. Apakah pemuda ini sudah gila atau bosan hidup?

Si tinggi kurus yang berjuluk Hek-houw ini jelas lihai bukan main sehingga Song-pangcu sendiripun kalah olehnya. Bagaimana seorang pemuda tak dikenal/ternama berani bersikap seperti itu? Padahal pemuda itu hanya seorang tamu dari panggung tamu biasa atau panggung paling belakang. Dan pemuda itu walaupun tubuhnya tinggi besar, sikapnya seperti seorang pemuda dusun yang bodoh!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Ciong Ek Sim mendengar ucapan itu. Saking marahnya dia hanya mendelik saja, tidak mampu mengeluarkan kata-kata! Ceng Liong amat benci kepada kekejaman orang ini maka dia sengaja hendak mempermainkan dan memberi hajaran agar orang ini menjadi kapok.

“Engkau seperti anjing pencuri tulang, buktinya toya orang lain kau pertahankan saja!”

Semakin marahlah Ciong Ek Sim. Dia membanting toya besi itu sampai toya itu menancap setengahnya ke dalam lantai! Ceng Liong memeletkan lidah seperti orang heran.

“Wah, kau main sulap ya? Tentu pakai akal bulus!”

Dia lalu menghampiri toya itu dan meraba-raba sambil geleng-geleng kepala. Sikap yang ketolol-tololan itu membuat para tamu tak puas. Mereka mengharapkan jagoan tangguh yang akan maju melawan si tinggi kurus itu. Baru Ciong Ek Sim itu saja begitu lihai. Apalagi kalau gurunya, kakek gendut itu. Semua orang bergidik. Agaknya jerih terhadap kakek inilah yang membuat orang orang gagah di situ tidak ada yang maju. Dan kini yang maju seorang pemuda mentah!

Ciong Ek Sim sendiri heran dan ragu melihat sikap Ceng Liong. Kalau pemuda ini gila, tentu tak patut dilawannya. Maka dia memberi isyarat kepada seorang anak buahnya.

“Hajar tikus ini sampai terkencing-kencing minta ampun!”

Katanya dan sekali tubuhnya melayang, dia sudah melompat ke dekat suhunya duduk, menyambar sebuah kursi kosong dan duduk tanpa memperdulikan para tamu kehormatan lain. Dia malah menggulung kedua lengan bajunya dan para tamu melihat betapa kedua lengan si kurus ini berwarna hitam membiru seperti besi saja!

Anak buah Hek-i Mo-pang itu bertubuh tinggi besar, satu kepala lebih tinggi daripada Ceng Liong. Matanya besar beringas, kumis, jenggot dan cambangnya lebat sekali dan kelihatan kuat menyeramkam. Menerima perintah pemimpinnya, dia melangkah maju menghadapi Ceng Liong sambil menyeringai.

“Heh-heh-heh, aku akan menghajarmu sampai kau terkencing-kencing minta ampun, heh-heh!”

Dia nampak gembira sekali dengan tugasnya seperti seekor kucing disuruh menerkam tikus. Karena memandang rendah lawan, dia tidak meraba golok besar yang terselip di punggungnya. Ceng Liong hanya tersenyum dan berdiri seenaknya saja, tanpa memasang kuda-kuda seperti lajimnya orang yang menghadapi perkelahian. Si cambang bauk terbahak, lalu menggereng sambil mengembangkan kedua lengannya dan menubruk.

“Heeeiiitt!”

Semua tamu melihat betapa raksasa itu menerkam luput karena Ceng Liong lari ke samping dan.... si cambang bauk itu terjerumus dan jatuh menelungkup! Mukanya mencium lantai dan kontan saja hidungnya yang besar menjadi penyok berdarah.

Meledaklah sorak-sorai dan suara ketawa. Semua orang menganggap betapa tololnya orang Hek-i Mo-pang itu. Hanya lagaknya saja yang keren tapi menubruk luput saja jatuh sendiri! Hanya Ciong Ek Sim dan gurunya yang merasa heran. Si cambang bauk itu mereka tahu bukan orang tolol, sama sekali tidak lemah karena ilmu silatnya tinggi, jauh menang dibandingkan dengan murid-murid kepala Pek-eng-pang tadi. Tapi, mengapa menyerang luput saja bisa terbanting dan terjerembab?

“Eh, brewok, kau mencari katak? Atau memang kesukaanmu menciumi lantai? Jangan keras-keras, tuh hidungmu penyok!” Ceng Liong mengejek dan semua orang, terutama pemuda baju hijau, tertawa gembira sekali.

Tentu saja raksasa brewok itupun terkejut dan marah. Terkamannya tadi luput, hal ini tidak aneh karena pemuda yang ketakutan itu lari mengelak, akan tetapi kenapa dia jatuh tertelungkup? Tentu kakinya tersandung, pikirnya sambil bangkit dan menyeka darah dari hidungnya. Sialan, perih dan nyeri juga pikirnya. Akan tetapi dia harus menjaga gengsi, malu kalau harus menghadapi pemuda ingusan ini dengan senjatanya.

“Keparat, kakiku tersandung dan tergelincir!” gerutunya. “Bocah tolol, rasakan ini!”

Dan kakinya yang panjang itupun menyambar dengan tendangan yang kalau mengenai tubuh Ceng Liong tentu akan membuat tubuh itu terlempar jauh seperti bola ditendang. Akan tetapi Ceng Liong meloncat dengan sikap orang ketakutan.

“Wah.... menendang! Wah.... luput....”

Tendangan itu luput dan.... agaknya, demikian anggapan semua orang, tendangan itu terlalu keras sehingga ketika luput tubuh raksasa brewok itu melambung ke atas lalu jatuh tunggang-langgang!

“Ha-ha-he-he.... heh! Lucu! Lucu!” pemuda baju hijau kini tertawa-tawa dan semua orangpun tertawa.

Memang ulah si raksasa seperti badut saja! Raksasa brewok semakin marah. Dia bangkit dan memegangi pantatnya yang tadi terbanting keras. Biarpun dia sendiri tidak mengerti mengapa dia bisa terbanting hanya karena luput menendang saja, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak peduli. Dicabutnya golok besarnya yang berkilauan itu!

“Wah, curang! Pakai senjata segala! Curang! Licik!”

Pemuda baju hijau berteriak-teriak khawatir dan para tamupun memandang gelisah. Akan tetapi pemuda sederhana itu nampak tenang-tenang saja.

“Wah, monyet hutan, mau apa kau bawa golok? Mau menyembelih babi? Hati-hati, bisa kena tubuhmu sendiri!” Ceng Liong mengejek.

“Bangsat!”

Raksasa brewok itu mengayun goloknya dan dengan sikap yang lucu Ceng Liong pura-pura ketakutan, mengelak ke kanan kiri, lari ke sana-sini akan tetapi terus dikejar oleh lawannya. Ketika dia berlari dekat pemuda baju hijau, pemuda itu mengacungkan sebatang pedang yang entah diperoleh dari mana.

“Saudara yang baik, pergunakanlah pedang ini!”

“Aku.... aku tak bisa menggunakan pedang....” kata Ceng Liong sambil menyambar sebuah bangku.

Ketika si brewok membacokkan goloknya, dia menangkis dengan kaku, menggunakan bangku.

“Crakk....!” empat batang kaki bangku itu terbabat putus akan tetapi si raksasa brewok berteriak mengaduh dan goloknya terlempar ke lantai.

Dia sendiri bergulingan di atas lantai sambil merintih-rintih. Kiranya empat potong kaki bangku yang putus itu secara aneh meluncur dan semua menancap di tubuh raksasa itu. Dua di kedua pundak, satu menembus paha dan satu lagi menancap betis. Dapat dibayangkan nyerinya dan ketika para anak buah Hek-i Mo-pang menggotongnya, nampak jelas raksasa itu terkencing-kencing saking nyerinya. Terdengar ledakan sorak-sorai menyambut kemenangan pemuda sederhana itu.

Walaupun mereka masih mengira bahwa kemenangan Ceng Liong hanya dapat terjadi karena nasib baik saja. Pemuda itu sedemikian pandainya berpura-pura sehingga tidak ada yang tahu bahwa dia memang ilmunya jauh lebih tinggi!

Dapat dimengerti betapa marahnya hati Ciong Ek Sim melihat anak buahnya yang diharapkan akan menghajar pemuda itu sampai terkencing-kencing malah sebaliknya dipukul roboh sampai terkencing-kencing. Dia mengeluarkan suara lengkingan panjang dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Kini dia berhadapan dengan Ceng Liong yang masih berdiri tegak sambil tersenyum-senyum.

“Ha, rupanya si Hek-kaw datang menggonggong lagi!” ejeknya dan para tamu tertawa gembira melihat ada orang berani mempermainkan Ciong Ek Sim yang lihai itu, walaupun hati mereka masih khawatir memikirkan keselamatan pemuda yang berani itu.

Yang menggelisahkan adalah karena gerakan-gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kepandaian silat, melainkan memperoleh kemenangan secara kebetulan saja. Yang paling khawatir adalah pemuda baju hijau yang segera mendekati Ceng Liong.

“Saudara yang baik, berhati-hatilah menghadapi iblis ini. Dia lihai sekali, sebaiknya dikeroyok saja!”

Ciong Ek Sim membanting kaki sehingga lantai tergetar dan si baju hijau terkejut, cepat meloncat ke belakang karena takut dipukul.

“Ihhh.... galak benar....!” katanya sambil mundur kembali dan diapun lalu mengejek dengan meniru suara anjing menyalak-nyalak.

“Huk.... huk-huk....!”

Semua tamu tertawa dan biarpun hatinya marah sekali Ciong Ek Sim maklum betapa semua tamu berpihak tuan rumah, maka dia tidak berani sembarangan mengejar pemuda itu dan mengamuk di antara para tamu.

“Sudahlah orang she Ciong, tak perlu mengumbar kemarahan. Akulah lawanmu dan mari perlihatkan apakah kepandaianmu selihai mulutmu yang sombong!” kata Ceng Liong.

“Bocah setan! Kalau aku tidak dapat merobek-robek kulit dagingmu, mematah-matahkan tulang-tulangmu dan menghancurkan kepalamu, jangan aku disebut Hek-houw (Macam Hitam) lagi!”

“Memang engkau Anjing Hitam, bukan Macan Hitam! Huk-huk-huk!”

Pemuda baju hijau mengejek di tengah-tengah para tamu, di tempat yang aman, sambil duduk di atas bangku dan seperti semua tamu lain, dia nonton dengan hati penuh ketegangan.

Ciong Ek Sim tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Tubuhnya menerjang maju, kaki tangannya bergerak aneh dan dia sudah mengirim pukulan dan tendangan bertubi-tubi. Setiap pukulan atau tendangan amat kuat dan mendatangkan angin bersiutan dan terkena sekali tendangan atau pukulan itu tentu amat berbahaya.

Akan tetapi Ceng Liong mengenal gerakan jurus-jurus itu sebagai ilmu silat khas dari Hek-i Mo-pang tingkat pertengahan. Tentu saja tidak ada artinya bagi Ceng Liong dan biarpun tanpa melakukan gerakan silat, dengan langkah langkah kaki yang memiliki dasar sama, dengan mudah dia dapat mengelak dari semua serangan itu.

Kini baru para tamu mulai mengerti atau setidaknya mulai menduga bahwa pemuda sederhana itu seorang yang lihai sekali. Walaupun tidak kelihatan bersilat, hanya melangkah ke sana-sini dan meliuk-liukkan tubuh, pemuda itu sudah mampu mengelak dari semua pukulan dan tendangan yang sedemikian dahsyatnya!

Si baju hijau girang dan kagum, berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan melihat betapa semua serangan si tinggi kurus gagal. Dan Ciong Ek Sim kinipun tahu bahwa lawannya tadi hanya berpura-pura saja. Lawannya ini ternyata lihai karena agaknya sudah tahu akan perkembangan jurus-jurus serangannya sehingga dapat menghindar dengan cepat, membuat semua pukulan dan tendangannya mengenai tempat kosong.

“Mampuslah! Wuuuttt....!”

Dia berteriak, kini menggerakkan dan mengerahkan tenaga sin-kang pada tangan kirinya dan mencengkeram. Cengkeramannya ini tak mungkin dielakkan karena setiap elakan akan dikejar terus oleh tangan kirinya.

Ceng Liong yang merasa sudah cukup mempermainkan lawan, mengenal jurus yang diberi nama Hek-mo-siok-mau (Iblis Hitam Menyisir Rambut) ini. Diapun tahu bahwa mengelak takkan ada gunanya, maka dia mulai menghajar iblis kejam itu dengan tangkisannya pada tangan kiri lawan sambil mengerahkan tenaga dengan gaya memotong dan memuntir.

“Krekk....! Aduuhh....!”

Tubuh Ciong Ek Sim terbawa memutar dan mukanya pucat sekali menahan rasa nyeri ketika dia memegangi lengan kirinya dengan lengan kanan. Kiranya tulang kirinya, di bawah siku, telah patah! Akan tetapi dasar jahat dan bandel, dia menyelipkan tangan kiri yang sudah lumpuh itu di ikat pinggangnya, matanya beringas dan merah memandang kepada Ceng Liong.

“Hyaaattt!”

Tiba-tiba dia menerjang dengan tangan kanan, sekali ini tangannya menghantam dengan jari-jari terbuka ke arah perut Ceng Liong untuk dilanjutkan dengan cengkeraman ke arah kemaluan! Sebuah serangan yang amat keji dan berbahaya sekali.

Betapa kaget hati para tamu yang pandai main silat melihat betapa Ceng Liong menghadapi serangan ini dengan tenang saja, tanpa mengelak dan tanpa menangkis. Tentu akan pecah perut pemuda itu disambar tangan terbuka yang tak kalah kuatnya dari golok itu.

“Ceppp....!”

Tangan itu amblas seperti menancap ke dalam perut sampai sebatas pergelangan! Semua tamu terbelalak. Pemuda baju hijau bangkit berdiri dan menahan jeritannya.

Akan tetapi wajah Ceng Liong tetap tersenyum. Sebaliknya, wajah Ciong Ek Sim menyeringai kesakitan. Dia merasa betapa tangannya seperti masuk ke dalam tungku api! Rasanya panas seperti terbakar. Tentu saja dia berkuketan, meronta untuk menarik kembali tangan kanannya, akan tetapi tangannya tak mampu dilepaskan, seperti terjepit catut yang membara.

“Adudududuhh....!” Tak terasa lagi dia menjerit-jerit dan tiba-tiba tangan kiri Ceng Liong menabas ke bawah.

“Krekkk!”

Tangan Ceng Liong yang mengandung tenaga sakti dari Pulau Es itu memukul lengan kanan itu dan patah pulalah tulang kanan Ciong Ek Sim! Ketika perut Ceng Liong melepaskan tangan itu, lengan kanan si tinggi kurus itu tergantung lumpuh.

Semua orang bersorak ramai. Pemuda baju hijau yang tadinya khawatir sekali, sekarang demikian lega hatinya. Dia menjatuhkan dirinya di atas bangku dan tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha-heh-heh! Anjing hitam kena gebuk, patah kedua kaki depannya! Apakah masih bisa menggonggong? Huk-huk-huk-heh-heh-heh....” Dia tertawa terpingkal-pingkal sampai terjungkal dari atas bangku!

Kini setelah kedua lengannya patah tulangnya dan tak dapat dipergunakan untuk menyerang lagi, baru Ciong Ek Sim sadar. Matanya seperti baru terbuka bahwa yang dilawannya adalah seorang sakti yang luar biasa sekali lihainya! Akan tetapi semua tamu menyaksikannya dan dia ditertawakan semua orang. Lebih baik mati daripada mundur dengan nama hancur.

Dia berteriak seperti gerengan binatang buas dan dengan nekat dia menyerang, menggunakan kaki kanan untuk menendang, disusul kaki kiri, karena dia menggunakan ilmu tendangan meloncat ini harus disertai gerakan kedua lengan untuk mengatur keseimbangan. Akan tetapi kedua lengannya sudah lumpuh dan dia menendang dengan nekat.

Ceng Liong memang ingin memberi hajaran yang setimpal atas kekejaman orang ini terhadap empat murid kepala dan ketua Pek-eng-pang tadi, maka kini dia menggerakkan tangan dengan cepat, mengetuk ke arah kedua kaki yang saling susul itu dari samping setelah dia melangkah dengan elakannya.

“Krak! Krak!”

Dua batang tulang kaki itupun tidak kuat menahan ketukan tangan Ceng Liong dan patah seketika. Tubuh yang kini sudah lumpuh kaki tangannya itu terbanting jatuh. Ceng Liong menendang dan tubuh itu terlempar jauh sekali sampai keluar rumah dan terbanting ke atas tanah di pinggir jalan.

Para tamu bersorak girang dan mereka semua baru merasa kagum dan terkejut, menduga siapa gerangan pemuda perkasa ini. Song-pangcu sendiri bersama muridnya juga merasa gembira dan terheran-heran karena merekapun tidak mengenal tamu itu.

Tiba-tiba suara bentakan hebat menggetarkan seluruh ruangan dan para tamu terkejut dan berhenti bergembira. Semua mata memandang kepada kakek gendut yang nampak sudah bangkit berdiri dan mengangkat tongkat hitamnya di atas kepala.

Kakek yang disebut dengan nama Boan It suhu itulah yang tadi mengeluarkan bentakan atau teriakan yang menggetarkan ruangan itu. Kini semua tamu melihat betapa kakek ini melangkah turun dari panggung kehormatan, menghampiri Ceng Liong dengan langkah tegap dan muka keruh. Sikapnya penuh ancaman dan menyeramkan. Akan tetapi sekarang para tamu mulai percaya akan kemampuan pemuda itu dan mengharapkan pemuda itu akan dapat mengalahkan pula pemimpin Hek-i Mo-pang ini.

Setelah berhadapan dengan Ceng Liong, kakek gendut itu mengangkat tongkat hitamnya ke atas, memutar-mutar tongkat itu sehingga ujungnya membentuk suatu lingkaran hitam dan terdengarlah suaranya yang menggelegar dan menggeledek penuh getaran yang mengandung wibawa yang amat kuat.

“Orang muda, kuperintahkan kamu! Berlututlah dan jilatilah sepatuku sampai bersih! Haaaiiiitt!”

Bukan main dahsyatnya suara bentakan ini sehingga di antara para tamu bahkan ada yang tiba-tiba berlutut tanpa dapat mereka pertahankan lagi!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar