FB

FB


Ads

Rabu, 18 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 088

Rumah perkumpulan Pek-eng-pang di kota Nam-san di sebelah selatan Tai-goan pada pagi hari itu nampak ramai dikunjungi banyak tamu. Pek-eng-pang (Perkumpulan Garuda Putih) adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang terkenal. Ketuanya, Song-pangcu yang usianya sudah lima puluh tahun lebih adalah seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja lihai ilmu silatnya dan karena dia mempunyai keistimewaan dalam Ilmu Silat Garuda dan mengembangkannya, maka dia menamakan perguruannya Pek-eng-pang. Dia dan para muridnya selalu memakai baju putih, sesuai pula dengan nama perkumpulan.

Song-pangcu terkenal sebagai orang gagah yang rendah hati dan semua muridnya menerima gemblengan keras sehingga para murid itu selain pandai bersilat, juga pandai membawa diri dalam masyarakat. Hal ini membuat Pek-eng-pang terpandang dan dihormati golongan kang-ouw.

Tidak mengherankan apabila pada pagi hari itu rumah perkumpulan Pek-eng-pang dibanjiri tamu yang rata-rata adalah ahli silat dan orang-orang gagah, karena pada hari itu Pek-eng-pang merayakan hari ulang tahun ke sepuluh dari perkumpulan itu. Mereka terdiri dari wakil-wakil perguruan silat, piauwsu, orang-orang gagah dan bahkan ada pula golongan perorangan yang tidak diketahui benar kedudukannya, mungkin dari golongan hitam. Akan tetapi mereka semua disambut dengan hormat oleh Song-pangcu sendiri yang ditemani empat orang murid pertama yang bersikap gagah.

Para tamu kehormatan dipersilahkan duduk di panggung kehormatan bersama pihak tuan rumah. Tamu- tamu yang tidak dikenalpun dipersilahkan duduk di panggung samping kiri. Pihak Pek-eng-pang sudah bersikap hati-hati dalam hal ini. Mereka tidak mengenal para tamu itu. Siapa di antara mereka terdapat orang- orang pandai. Maka agar cukup menghormat, mereka dipersilahkan duduk di panggung kiri. Panggung kanan ditempati wakil-wakil perkumpulan lain yang memiliki kedudukan sebagai murid saja, sedangkan orang-orang muda diberi tempat paling belakang.

Ketika tidak nampak ada tamu baru, hidangan mulai dikeluarkan, disambut gembira oleh para pemuda yang duduk di bagian belakang. Seperti biasanya, di manapun juga, dalam setiap pesta para pemuda yang berkumpul tentu bergembira ria dan suasana menjadi meriah.

Akan tetapi tiba-tiba muncul serombongan baru. Rombongan ini menarik perhatian karena sikap dan pakaian mereka. Rata-rata belasan orang itu berwajah menyeramkan, bersikap kasar dan congkak. Pakaian mereka serba hitam dan di tubuh mereka terdapat senjata-senjata tajam. Rombongan tamu baru ini jelas merupakan sekelompok orang yang dipimpin oleh seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi kurus yang mengiringkan seorang kakek berusia enam puluh tahun yang berperut gendut.

Hanya mereka berdua ini yang bersikap tenang dan halus tidak seperti belasan anak buah mereka, walaupun pada pandangan mereka dan gerak bibir seperti yang lain, penuh kecongkakan dan ketinggian hati.

Melihat munculnya belasan orang yang jelas merupakan satu golongan tertentu, Song-pangcu dan keempat muridnya cepat mengadakan sambutan. Dengan sikap hormat ketua Pek-eng-pang ini memberi hormat, diturut oleh para muridnya, kepada belasan orang tamu yang masih berdiri dengan sikap angkuh itu.

Akan tetapi, hanya kakek gendut dan si tinggi kurus yang membalas penghormatan Song-pangcu, sedangkan tiga belas orang anak buah mereka sama sekali tidak memperdulikan penghormatan itu. Si tinggi kurus yang melangkah maju dan bicara mewakili kakek gendut.
“Sudah lama kami dari Hek-i Mo-pang mendengar tentang Song-pangcu dan Pek-eng-pang. Karena kebetulan lewat dan mendengar bahwa Pek-eng-pang merayakan ulang tahun, kami semua dipimpin oleh suhu Boan It sengaja singgah dan mengucapkan selamat!”

Ucapan itu terdengar nyaring, terdengar oleh semua yang hadir dan hanyak di antara mereka terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Hek-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Hitam). Nama ini tak pernah menjadi kenyataan di dunia kang-ouw, akan tetapi siapakah yang belum mendengar nama Hek-i Mo-ong pendiri Hek-i Mo-pang?

Song-pangcu juga terkejut sekali, akan tetapi diam-diam kurang percaya dan menduga bahwa rombongan ini tentu hanya gerombolan liar saja yang mempergunakan nama itu untuk menakuti orang. Betapapun juga karena mereka datang sebagai tamu, diapun menghaturkan terima kasih atas ucapan selamat itu dan mempersilahkan mereka duduk. Dia mengisyaratkan para muridnya untuk mengantar rombongan baju hitam itu ke panggung kiri di mana berkumpul tamu yang tak begitu dikenal. Panggung inilah yang masih agak kosong.

Akan tetapi ketika rombongan baju hitam tiba di panggung itu, si tinggi kurus menjadi marah. Teriakannva lantang terdengar oleh semua tamu yang tentu saja memandang ke arah rombongan yang masih berdiri berkelompok di depan panggung kiri itu, tak seorangpun di antara mereka mau duduk.

“Ini penghinaan besar namanya! Dan kami dari Hek-i Mo-pang tidak bisa menerima penghinaan orang begitu saja!”

Si kurus berseru keras sedangkan kakek gendut hanya berdiri dan menumbuk-numbukkan tongkat hitamnya di atas lantai dengan alis berkerut marah.

Tentu saja empat orang murid kepala Pek-eng-pang merasa tak senang. Sejak tadipun mereka merasa tak senang melihat sikap kasar orang-orang berpakaian hitam itu. Kalau bukan suhu mereka yang mempersilahkan gerombolan hitam itu duduk, agaknya mereka akan lebih suka mengusir tamu-tamu tak diundang itu. Kini mendengar teriakan si kurus yang sejak tadi menjadi pembicara, murid kepala yang tertua yang berkumis panjang segera menjura kepada si tinggi kurus.

“Maafkan kami yang tidak mengerti akan maksud ucapan saudara tadi! Siapa yang menghina kalian?”

“Siapa lagi kalau bukan Pek-eng-pang? Huh!”

Mendengar ucapan ini dan melihat sikap si tinggi kurus, murid kepala termuda dari Pek-eng-pang, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun bertubuh tegap yang memang berdarah panas, segera menegur,

“Eh, saudara ini tamu tanpa diundang, sudah kami terima dengan ramah, kenapa menuduh kami menghina? Kalau bicara urusan menghina, sikap kalian yang congkak itu baru menghina!”

Si tinggi kurus mendelik ketika dia menoleh kepada murid Pek-eng-pang itu, lalu bertanya lambat-lambat dengan nada suara memandang rendah,

“Kamu ini murid Pek-eng-pang yang kelas berapa?”

Lelaki tegap itu membusungkan dada.
“Aku murid termuda di antara murid-murid kepala Pek-eng-pang!”






“Begitukah? Anak kecil mencampuri urusan orang tua. Pergilah!”

Berkata demikian, si tinggi kurus itu menggerakkan tangan kiri mendorong dada murid Pek-eng-pang. Tentu saja yang didorong tidak tinggal diam dan cepat mengerahkan tenaga menangkis.

“Plak.... desss....!”

Kiranya dorongan tangan kiri si kurus itu begitu tertangkis mencuat ke atas dan menampar muka murid Pek-eng-pang dengan kecepatan yang tak tersangka-sangka. Akibatnya muka yang kena tampar dengan kerasnya sehingga tubuh yang tegap itu terpelanting jatuh dan roboh tak mampu bergerak lagi. Kiranya tamparan itu telah membuat murid Pek-eng-pang itu pingsan dengan rahang patah! Beberapa orang muda baju putih segera menolong dan menggotong masuk kawan mereka yang pingsan itu. Si tinggi kurus tersenyum sinis.

“Ha-ha, kiranya hanya sebegitu saja kemampuan murid kepala Pek-eng- pang? Dan kelemahan seperti itu berani menghina Hek-i Mo-pang? Hm, aku Ciong Ek Sim tak akan mau mengampuni!”

Suaranya lantang, sikapnya sombong, petentang-petenteng bertolak pinggang seperti seekor jago menantang tanding. Sikapnya itu membuat para tamu muak dan marah, akan tetapi nama Hek-i Mo-ong masih membuat mereka merasa ngeri, apalagi tadi mereka melihat sendiri betapa lihainya orang she Ciong yang tinggi kurus dan yang segebrakan saja telah merobohkan seorang murid utama Pek-eng-pang itu.

Tiga orang murid Pek-eng-pang yang lain menjadi penasaran, juga murid yang lain sudah mengurung maju, siap menyerang tamu-tamu yang tak diundang yang agaknya mau membikin kacau itu. Akan tetapi Ciu Hok Tek memberi isyarat kepada para anak buah untuk mundur. Dia sendiri bersama dua orang sutenya maju menghadapi Ciong Ek Sim.

“Maafkanlah kelancangan sute kami. Akan tetapi kami sungguh belum mengerti, mengapa Hek-i Mo-pang menuduh kami dari Pek-eng-pang melakukan penghinaan?”

Si tinggi kurus mengerutkan alis. Dia maklum betapa semua orang yang berada di situ kini menaruh perhatian dan semua orang memandang kepadanya. Maka dia berlagak, bertolak pinggang dan mendelik kepada Ciu Hok Tek, murid pertama Pek-eng-pang itu.

“Sudah bersalah, masih pura-pura bertanya lagi? Sudah jelas kami semua mengiringi suhu hadir di sini, akan tetapi kami orang Hek-i Mo-pang hanya disuruh duduk di panggung samping! Kami mau disejajarkan dengan orang-orang biasa? Bukankah itu penghinaan namanya. Apakah mereka yang duduk di panggung kehormatan itu lebih tinggi ilmunya dari kami?”

“Sobat, sikapmu ini sungguh terlalu!” Murid pertama Pek-eng-pang itu berkata, suaranya dingin dan tegas. “Tuan rumah adalah raja di rumah sendiri. Semua peraturannya harus ditaati tamu. Kalau tamu tidak suka dengan peraturan itu, silahkan pergi, kamipun tidak pernah mengundang Hek-i Mo-pang!”

Ucapan ini mendapat sambutan para tamu yang rata-rata mengangguk dan membenarkan. Agaknya tidak ada tamu yang memihak Hek-i Mo-pang. Akan tetapi Ciong Ek Sim si tinggi kurus baju hitam itu tersenyum mengejek.

“Ha-ha, kau mau bersikap gagah-gagahan ya? Bagaimanapun juga, Pek-eng-pang telah menghina kami dan aku tidak terima!”

“Habis, kau mau apa?” Ciu Hok Tek membentak.

“Ketua Pek-eng-pang harus minta maaf kepada suhu kami, baru kami mau mengampuni, dan memberi tempat di panggung kehormatan untuk kami!” kata Ciong Em Sim dengan galak.

Mendengar ucapan ini, para tamu menjadi semakin penasaran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara Song-pangcu yang tenang menyuruh tiga orang muridnya mundur. Kemudian dia sendiri turun dari panggung kehormatan, menghampiri kakek gendut baju hitam yang bernama Boan It, menjura dan berkata,

“Saudara pemimpin Hek-i Mo-pang harap maafkan kelancangan murid-murid kami.”

Sikap merendah tuan rumah ini memanaskan hati para tamu. Mereka melihat sendiri bahwa gerombolan baju hitam itulah yang membikin kacau, bahkan berani melukai murid tuan rumah, akan tetapi malah pihak tuan rumah yang meminta maaf. Ini sudah keterlaluan sekali.

Boan It, kakek gendut tokoh Hek-i Mo-pang yang sejak tadi hanya diam saja, kini menumbuk lantai dengan tongkatnya dan membentak,

“Berlutut!”

Suasana menjadi bising. Para tamu berbisik-bisik marah. Betapa kurang ajarnya kakek gendut itu. Betapa sombongnya. Song-pangcu sendiri menjadi merah mukanya. Dia sudah banyak mengalah untuk menghindarkan keributan dalam pestanya. Akan tetapi gerombolan hitam itu sungguh tak tahu diri!

“Sobat-sobat dari Hek-i Mo-pang! Sebetulnya, kalian datang mau apakah? Kami merasa tidak ada urusan dengan kalian!” Akhirnya diapun berkata, hilang kesabarannya.

“Ha-ha-ha! Pangcu dari Pek-eng-pang! Kamu sudah terlanjur menghina kami, sekarang kami menantang. Hayo perlihatkan bahwa Pek-eng-pang memang berkulit baja dan bertangan besi! Kalau kami dapat dikalahkan, baru kami mau pergi!” kata si tinggi kurus mewakili gurunya.

Setelah berkata demikian, dengan tangan kirinya dia membuat gerakan mendorong ke samping. Angin pukulan menyambar ke arah seorang tamu muda yang sedang enak-enak duduk nonton percekcokan itu. Pemuda itu berseru kaget ketika tubuhnya tiba-tiba terdorong dan terpental jatuh dari kursinya. Ketika Ciong Ek Sim menarik tangannya, kursi kosong bekas pemuda itu melayang ke arahnya. Kursi ditangkapnya dan dia berkata kepada si kakek gendut,

“Harap suhu duduk saja, biar aku yang menghajar tikus-tikus yang berani menentang Hek-i Mo- pang!”

Kakek gendut itu tersenyum, menerima kursi lalu duduk di atasnya. Muridnya berkata,
“Tidakkah suhu sebaiknya menanti di panggung kehormatan?”

Kakek itu mengangguk. Tiba-tiba ia menggunakan tongkatnya menekan lantai dan.... tubuhnya berikut kursi yang diduduki itu terbang melayang ke atas panggung kehormatan dan berada di deretan terdepan!

Tentu saja demonstrasi yang diperlihatkan Ciong Ek Sim dan Boan It itu membuat semua orang melongo! Itulah bukti kepandaian yang hebat! Bahkan Song-pangcu sendiri terkejut, maklum bahwa yang diperlihatkan kakek gendut Boan It itu adalah kehebatan gin-kang dan sin-kang sekaligus!

Akan tetapi, para murid Pek-eng-pang selalu digembleng kegagahan oleh guru mereka. Biarpun mereka juga tahu akan kelihaian si kurus Ciong Ek Sim, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar. Seorang di antara tiga murid utama sudah meloncat ke depan Ciong Ek Sim, membentak dengan marah.

“Ciong Ek Sim! Seorang gagah tak takut mati dalam menentang kejahatan, dan kalian orang-orang Hek-i Mo-pang adalah penjahat-penjahat besar!”

Setelah berkata demikian, dia menyerang dengan pukulan tangan kanan yang terbuka dan membentuk cakar garuda ke arah kepala si tinggi kurus. Itulah jurus serangan Pek-eng-kun (Silat Garuda Putih) ciptaan Song-pangcu sebagai perkembangan dari ilmu silat garuda Siauw-lim-pai.

“Plak!”

Tanpa merobah kedudukan tubuhnya, seenaknya saja Ciong Ek Sim menangkis dengan tangan kiri, akan tetapi agaknya dia telah mengerahkan tenaganya sehingga tubuh murid Pek-eng-pang terhuyung ke belakang.

“Ha-ha, tikus macam kamu ini tidak ada harganya, tak pantas melawanku! Suruh saja gurumu yang maju, atau kalian bertiga maju berbareng!” Ciong Ek Sim tertawa dengan congkaknya.

Tiga orang murid Pek-eng-pang menjadi semakin marah. Ciu Hok Tek sendiri, si murid kepala, berseru keras dan menerjang ke depan, melakukan serangan dahsyat. Ciu Hok Tek ini adalah murid pertama, tentu saja tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada para sutenya. Ketika dia menyerang, kedua tangannya mengeluarkan angin pukulan yang menyambar keras dengan bunyi bersiutan.

Akan tetapi, tetap saja Ciong Ek Sim merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya. Semua pukulan atau cengkeramannya dapat dielakkan atau ditangkis. Dan diapun hanya dapat bertahan selama sepuluh jurus saja karena begitu Ciong Ek Sim membalas dengan tendangan kaki yang menyambar dari samping, lambungnya terkena tendangan yang membuat tubuhnya terbanting cukup keras! Dua orang sutenya maju menyerang, namun merekapun bukan lawan yang seimbang, segera disambut tamparan dan tendangan yang membuat mereka jatuh bangun!

Ciong Ek Sim menghajar tiga orang murid pertama Pek-eng-pang sambil tertawa-tawa. Jelas dia mempermainkan karena kalau dia menghendaki, agaknya dengan mudah dia akan mampu membunuh tiga orang lawan itu.

Kini semua tamu menjadi terkejut. Mereka semua kini tahu bahwa orang Hek-i Mo-pang itu lihai bukan main. Tiga belas orang anak buah Hek-i Mo-pang dengan mudah memperoleh kursi yang ditinggalkan para tamu yang menjauhkan diri, nonton sambil bersorak dan tertawa-tawa, kadang-kadang bertepuk tangan setiap kali tangan Ciong Ek Sim merobohkan seorang lawan. Suasana menjadi tegang. Para tamu memandang marah, tegang dan khawatir. Hanya orang-orang Hek-i Mo-pang itu saja yang gembira sambil menyambar guci-guci arak dan meminumnya.

“Haaaitt....!”

Seorang murid Pek-eng-pang menyerang dengan tubuh meloncat dan menerkam. Inilah jurus Garuda Putih Menyambar Ayam yang dilakukan sambil meloncat, merupakan jurus serangan nekat dan berbahaya, baik yang diserang maupun yang menyerang. Akan tetapi, sambil tersenyum mengejek, Ciong Ek Sim menyambutnya dengan tendangan keras yang mengenai perut lawan.

“Ngekk!”

Tubuh murid Pek-eng-pang itu terpental dan terbanting dalam keadaan pingsan. Anak buah Hek-i Mo-pang bersorak gembira.

“Hyaaatt!”

Murid kepala Pek-eng-pang yang ke dua juga menerjang marah, bahkan sekali ini dia menggunakan sebatang pedang. Namun Ciong Ek Sim dapat mengelak dengan mudah, ketika pedang itu lewat, tendangan kakinya pada tangan lawan membuat pedang terlempar ke atas lantai kemudian sekali sambar, tangan kirinya menjambak rambut kepala lawan dan tangannya menampari kedua pipi lawan. Terdengar suara plak-plok berkali-kali dan ketika dia melepaskan jambakan dan mendorong, tubuh lawan itu terpelanting tak mampu bangun lagi, dengan kedua pipi bengkak-bengkak matang biru!

Melihat ini, Ciu Hok Tek menjadi nekat. Di antara empat orang murid kepala Pek-eng-pang, tiga orang sudah roboh pingsan dan digotong pergi kawan-kawannya, tinggal dia seorang sebagai murid pertama. Tadipun kalau dia tidak hati-hati dan pertahanannya lebih kuat daripada sutenya, tentu diapun sudah roboh.

“Biar aku mengadu nyawa denganmu!” teriaknya marah dan diapun menerjang sengit, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan bertubi-tubi dan dahsyat karena dia telah mengeluarkan semua kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Tingkat kepandaian Ciu Hok Tek tak boleh disamakan dengan tingkat para sutenya, dan walaupun dia masih bukan tandingan murid kepala Hek-i Mo-pang, namun desakan yang dilakukan dengan nekat itu sempat membuat lawan terhuyung dan sebuah tendangan kilat sempat mencium pinggul Ciong Ek Sim. Melihat ini, terdengar sorakan gembira yang segera disusul tepuk tangan pujian para tamu. Jelaslah, para tamu ini ingin sekali melihat si tinggi kurus yang congkak itu kalah.

Dan si tinggi kurus menjadi marah, melirik ke arah orang yang pertama kali menyorakinya tadi. Kiranya orang itu adalah pemuda yang tadi dirampas kursinya untuk diberikan kepada gurunya. Pemuda itu memang kelihatan gembira sekali dengan desakan murid Pek-eng-pang tadi dan kinipun masih bertepuk-tepuk tangan walaupun tamu-tamu lain sudah berhenti bersorak karena dia telah mampu mematahkan serbuan Ciu Hok Tek.

“Hem, hanya sekiankah kepandaianmu? Keluarkan semua, atau kamu berlutut minta ampun dengan mencium kakiku, baru kuampuni kamu!” kata Ciong Ek Sim dengan lagak sombong.

Pemuda bersorak tadi kini berteriak,
“Ciu-eng-hiong, hajar monyet hitam itu! Pukul dan tendang lagi!”

Teriakannya inipun diikuti teriakan banyak orang untuk menambah semangat pria baju putih yang mewakili Pek-eng-pang itu. Akan tetapi diam-diam Ciu Hok Tek terkejut sekali. Dia tadi sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun hanya mampu membuat lawan keserempet tendangan dan terhuyung. Maklum bahwa dia takkan menang, dia menjadi nekat. Disambarnya sebatang pedang dari tangan seorang sutenya dan sambil mengeluarkan teriakan nyaring diapun menerjang maju.

Sekali ini Ciong Ek Sim sudah siap. Kalau tadi dia sampai terkena tendangan adalah karena dia terlalu memandang rendah sehingga agak lengah. Kini, melihat lawan menyerang dengan pedang, dia menghadapi dengan tangan kosong saja. Si baju hitam itu mendengus penuh ejekan dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan bergerak-gerak lincah di antara sambaran sinar pedang.

“Plak!”

Tiba-tiba dengan tangan terbuka Ciong Ek Sim menangkis pedang membuat pedang terpental dan hampir terlepas! Ciu Hok Tek kaget bukan main, demikian pula para tamu. Si tinggi kurus itu sedemikian lihainya sehingga berani menangkis pedang dengan tangan terbuka! Bukan hanya menangkis karena di lain saat dua buah tangan yang jarinya kecil-kecil panjang telah berhasil menangkap pergelangan tangan Ciu Hok Tek sedemikian kuatnya membuat murid Pek-eng-pang itu tidak mampu berkutik!

Akan tetapi Hok Tek sudah nekat. Karena kedua tangannya seperti terjepit baja yang amat kuat, dia lalu menggerakkan kaki untuk menendang ke arah selangkangan lawan!

“Heh-heh!”

Ciong Ek Sim terkekeh mengejek dan menekan tangan lawan yang memegang pedang ke bawah! Hok Tek terkejut akan tetapi sudah terlambat untuk menghindar! Paha kaki yang menendang disambut ujung pedang sendiri dan celana berikut kulit dan daging pahanya terobek. Darah muncrat dan terpaksa dia melepaskan pedangnya. Pada saat itu Ciong Ek Sim sudah memuntir tangannya yang kiri ke belakang.

Demikian kuatnya puntiran itu. Tak terlawan olehnya sehingga tubuhnya terputar membelakangi lawan. Ketika itu si tinggi kurus berbaju hitam mendorong lengan kirinya ke atas punggung, dia terbungkuk dan tak mampu bergerak lagi. Rasa nyeri pada pangkal lengan yang ditekuk itu membakar seluruh tubuhnya.

“Ha-ha, tikus cilik! Kamu murid pertama Pek-eng-pang, bukan? Nah, berlututlah dan minta ampun pada tuanmu baru aku akan mengampunimu!” kata si tinggi kurus dengan muka penuh ejekan.

Para tamu melihat dengan muka tegang dan pucat. Keadaan Ciu Hok Tek memang sudah tak mampu bergerak lagi, nyawanya berada dalam tangan tokoh Hek-i Mo-pang itu. Tentu saja mereka tegang sekali, ingin sekali melihat apakah murid Pek-eng-pang itu mau minta ampun secara terhina itu dan apakah si baju hitam itu benar-benar akan membunuh lawannya yang sudah tak berdaya itu.

“Ciong Ek Sim iblis busuk! Aku sudah kalah, mau bunuh silahkan, seorang gagah tak takut mati!” Ciu Hok Tek berteriak marah!

Ciong Ek Sim meludah.
“Cuh! Manusia sombong dan tolol. Apa sukarnya membunuhmu!”

Pada saat itu Song-pang-cu berseru, nada suaranya nyaring dan mengandung penuh perasaan marah.

“Orang she Ciong! Kalau engkau membunuhnya, kami seluruh anggauta Pek-eng-pang akan mengadu nyawa dengan gerombolan Hek- i Mo-pang, dan kami minta bantuan semua enghiong yang hadir!”

Mendengar ini, Ciong Ek Sim memandang ke sekeliling. Dia melihat betapa mata para tamu mengandung permusuhan ditujukan kepadanya, dan dia tahu kalau tuan rumah minta bantuan, mereka semua tentu akan mengeroyok dia dan rombongannya. Apalagi pemuda baju hijau yang tadi dirampas kursinya tadi bersorak dan memihak tuan rumah. Pemuda itu mengepal kedua tinjunya dan berbisik-bisik ke kanan kiri membakar semangat para tamu lain dan agaknya sudah siap untuk maju mengeroyok!

“Ha-ha!” Ciong Ek Sim terkekeh. “Pek-eng-pang mengandalkan keroyokan? Pula siapa yang mau membunuh? Kami hanya mau menghajar orang yang berani menghina Hek-i Mo-pang!”

Setelah berkata demikian, dia mendorong lengan kiri Ciu Hok Tek ke atas dengan tenaga disentakkan.

“Krekk....!”

Ciu Hok Tek terbelalak pucat, keringat sebesar kedele-kedele membutir di muka dan di leher. Tapi dia menahan nyeri yang membakar itu dengan menggigit bibir sendiri sampai pecah berdarah dan ketika lawan mendorongnya, dia terpelanting dan pingsan. Sambungan pangkal lengan dan sikunya putus terlepas!

Suasana menjadi riuh dan bising. Semua orang menjadi marah dan penasaran sekali melihat kesadisan orang Hek-i Mo-pang itu. Murid-murid Pek-eng-pang menolong Ciu Hok Tek yang pingsan dan Song-pangcu segera berusaha mengembalikan letak sambungan tulang tulang lengan kiri muridnya dan memberi obat.

Pemuda baju hijau yang menjadi tamu dan sahabat baik Hok Tek ikut sibuk. Ketika dia mengambilkan arak untuk diminumkan sahabatnya yang pingsan itu, dia lewat dekat Ciong Ek Sim. Si tinggi kurus itu sudah membusungkan dada dan berkata,

“Siapa saja yang berani menentang kami boleh maju satu per satu!”

Pada saat itu baju hijau lewat membawa guci arak. Tiba-tiba tangan Ciong Ek Sim menyambar dan tahu-tahu leher baju pemuda itu telah dicengkeramnya! Pemuda itu terkejut bukan main, tapi karena bencinya dia mendelik dan membentak,

“Eh, mau apa kau pegang-pegang aku?”

Ciong Ek Sim tersenyum sinis.
“Sejak tadi kamu memperlihatkan sikap anti kepada kami! Nah, sekarang kalau ada kepandaian, mari perlihatkan kepada tuanmu!”

“Eh wah, apa-apaan kau ini? Hayo lepaskan aku! Siapa yang mau berkelahi? Kalau memang gagah dan mau cari lawan, carilah yang sepadan di antara para orang gagah, jangan ganggu setiap orang!”

“Huh, kamu punya jago? Suruh dia maju!”

Ciong Ek Sim mendorong dan pemuda baju hijau terpelanting, guci araknnya terlempar dan isinya tumpah.

“Wah, galak dan jahat sekali!” si baju hijau merangkak dan mengambil gucinya lalu menjauhkan diri.

Song-pangcu sudah tidak dapat menahan lagi kesabarannya. Orang-orang Hek-i Mo-pang ini sungguh keterlaluan. Bukan hanya datang mengacau pesta, akan tetapi membikin malu pada Pek-eng-pang dan sudah merobohkan dan melukai empat orang murid kepala!

Jelas bahwa tidak ada lagi jago di Pek-eng-pang kecuali dia sendiri!
“Keparat!”

Dia membentak dan menyambar sebatang toya besi yang menjadi senjata andalannya dan sekali loncat dia sudah berada di depan Ciong Ek Sim!

“Ciong Ek Sim! Kami Pek-eng-pang selamanya tidak pernah mencari permusuhan. Akan tetapi bukan berarti kami penakut. Kau dan gerombolanmu datang memusuhi kami, biar aku membela Pek-eng-pang dengan nyawaku!”

Ciong Ek Sim memandang ketua itu dan tersenyum menyeringai penuh ejekan, sikapnya memandang rendah sekali.

“Bagus Pangcu, kau maju sendiri dan bersenjata pula! Apakah kau ingin membunuhku? Dan tadi kau melarang aku membunuh muridmu, ha-ha!”

“Orang she Ciong! Tewas dalam perkelahian adalah wajar dan tak perlu dibuat penasaran. Akan tetapi kau tadi hendak membunuh lawan yang sudah tak berdaya melawan lagi. Itu namanya pengecut! Nah, lihat seranganku!”

Ketua Pek-eng-pang itu menggerakkan toyanya dan terdengar suara bersuitan saking cepatnya toya bergerak dan saking kuatnya tenaga yang terkandung di dalamnya. Song-pangcu adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sudah berani membuka perguruan silat. Ini berarti bahwa tingkat kepandaiannya sudah tinggi, maka serangan toyanya pun hebat sekali.

Akan tetapi ternyata lawannya tak kalah hebatnya. Walaupun hanya bertangan kosong, Ciong Ek Sim tidak kewalahan menghadapi serangan lawan. Dengan cekatan dia mengelak dan berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang berani menangkis toya besi dengan tangan dan kakinya, bahkan membalas serangan lawan setiap ada kesempatan!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar