FB

FB


Ads

Rabu, 18 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 087

Pemuda yang sedang berlatih silat seorang diri dalam taman di samping rumah itu sungguh amat tampan dan gagah. Pagi itu matahari belum nampak walaupun sinarnya telah lama mengusir kabut dan menciptakan embun menjadi mutiara-mutiara yang bergantungan di ujung daun-daun dan kelopak-kelopak bunga. Rumah itu agak terpencil di sebuah dusun yang sunyi di Lembah Sungai Kuning. Pagi yang sunyi, segar dan sejuk.

Pemuda itu berusia antara delapan belas atau sembilan belas tahun, bertubuh tinggi tegap, wajahnya yang tampan itu berbentuk lonjong dengan dagu meruncing, mulutnya dan matanya membayangkan watak yang gembira. Pada waktu itu, walaupun hawa udara cukup dingin, dia membuka baju dan hanya memakai celana sederhana saja.

Akan tetapi yang amat menarik adalah gerakan-gerakannya dalam berlatih silat. Kedua kaki itu seolah-olah dua batang tiang baja yang kokoh kuat, tak tergoyahkan apapun ketika dia memasang kuda-kuda dan menggeser ke sana-sini. Akan tetapi tubuh atasnya demikian lincah dan ringan. Dan orang yang tidak mengerti akan menduga bahwa pemuda itu hanya sedang berlatih dalam taraf permulaan saja dari pelajaran ilmu silat karena ketika dia melakukan gerakan memukul atau menendang, gerakan itu nampak tanpa tenaga.

Akan tetapi, tidak demikian anggapan orang yang sejak tadi menonton sambil bersembunyi. Ketika tadi dia memasuki dusun Hong-cun dan tiba di depan rumah itu, dia memasuki pekarangan. Akan tetapi karena masih nampak sunyi, dia mencari-cari dengan pandang matanya dan cepat dia menyelinap diantara pohon-pohon ketika melihat seorang pemuda sedang berlatih silat seorang diri lalu mengintai. Dari sinar matanya, jelas bahwa orang ini merasa kagum bukan main.

Pengintai itu menarik napas panjang dan mengumam seorang diri,
“Hebat.... seorang pemuda yang hebat tak ubahnya Pendekar Siluman Kecil di waktu muda.”

Kakinya bergerak sedikit dan tanpa disegaja kakinya menginjak daun-daun kering dan mematahkan sepotong ranting. Bunyi itu sebenarnya tidak berapa keras, akan tetapi cukup bagi Suma Ceng Liong untuk menghentikan latihan silatnya dan dia menghadap ke arah pohon itu.

“Saudara yang berada di belakang pohon, kalau ada keperluan keluar dan bicaralah, sebaliknya kalau tidak ada keperluan, harap suka pergi. Tidak ada gunanya bersembunyi dan mengintai.”

Ceng Liong mengira bahwa yang mengintai tentu seorang penghuni dusun Hong-cun. Sudah tiga tahun dia berada di dusun itu, di rumah orang tuanya dan menerima penggemblengan dengan keras dari kedua orang tuanya. Kini dia bukanlah Ceng Liong tiga tahun yang lalu, yang masih kekanak-kanakan. Kini dia seorang pemuda dewasa yang semakin mantap dan matang ilmunya.

Akan tetapi ketika orang yang mengintai itu muncul dari balik pohon, Ceng Liong terkejut dan kagum. Orang itu dengan langkah lebar menghampirinya dan kini mereka saling berhadapan, saling pandang dengan kagum.

Ceng Liong memandang penuh selidik. Belum pernah dia melihat orang ini. Seorang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah bukan main. Pakaiannya dari kain kasar seperti yang biasa dipakai para pemburu. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Pria ini, dari kepala sampai ke kaki, sikap dan gerak-geriknya, semua membayangkan kegagahan yang amat mengagumkan hati Ceng Liong.

Ceng Liong dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang gagah yang tidak dikenalnya, maka diapun cepat mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan dan berkata,

“Bolehkah saya bertanya? Siapa nama saudara yang gagah dan ada keperluan apakah mendatangi pondok kami?”

Pria itu tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih terpelihara rapi.
“Aku melihat engkau berlatih dan merasa kagum sekali. Ingin aku berlatih bersamamu. Orang muda, layanilah aku barang sepuluh dua puluh jurus!”

Berkata demikian, pria itu sudah menyerang maju dan mengirim pukulan ke arah dada Ceng Liong! Tentu saja pemuda ini cepat mengelak ke belakang. Akan tetapi, pukulan yang tidak mengenai sasaran itu sudah disusul oleh serangkaian pukulan lagi yang semakin lama menjadi semakin dahsyat.

“Plakk! Plakk!”

Terpaksa Ceng Liong yang terdesak dan selalu mengelak ke belakang itu kini menggunakan lengannya untuk menangkis. Tangkisan yang dilakukan dengan mengerahan tenaga dan akibatnya keduanya terkejut karena keduanya merasa betapa lengan yang beradu dengan lengan lawan itu tergetar hebat!

Ceng Liong kini membalas serangan dan mereka segera terlibat dalam pertandingan yang seru, saling serang dengan jurus-jurus pukulan yang aneh dan dahsyat. Keduanya menjadi semakin gembira ketika mendapat kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat tangguh. Karena dari cara orang itu menyerang Ceng Liong maklum bahwa orang itu memang hanya ingin mengujinya, maka diapun melayani orang itu dengan gembira dan diam-diam diapun mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk memenangkan pertandingan itu.

Ketika pertandingan yang seru itu sudah berlangsung kurang lebih dua puluh jurus, nampak bayangan dua orang berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Sian In sudah berdiri di tempat itu dan mereka menonton pertandingan itu dengan alis berkerut dan terheran-heran.

Mereka tidak mengenal siapa adanya pria gagah perkasa berpakaian pemburu yang bertanding dengan putera mereka itu. Akan tetapi, melihat gerakan kedua orang itu, suami isteri sakti inipun maklum bahwa mereka itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh, melainkan lebih tepat kalau dikatakan berlatih atau saling menguji ilmu masing-masing.

Tiba-tiba, pria gagah perkasa yang mukanya dihias kumis dan jenggot pendek itu meloncat ke belakang, lalu menghadapi suami isteri itu sambil menjura dengan sikap hormat dan muka tersenyum ramah.

“Aku berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah putera Pendekar Siluman Kecil!”

Suma Kian Bu dan isterinya cepat membalas penghormatan tamu itu.
“Siapakah saudara yang gagah perkasa ini?” tanyanya, ditujukan kepada tamunya dan juga kepada puteranya.

Ceng Liong tidak menjawab karena memang dia sendiri tidak mengenal orang itu. Akan tetapi laki-laki gagah perkasa itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha begitu banyakkah aku berubah? Suma-taihiap tidak mengenal aku, si pemburu miskin ini?”






Suma Kian Bu memandang lebih teliti kepada pria berusia empat puluh tahunan itu, kemudian wajahnya nampak berseri, sepasang matanya mencorong dan diapun lalu berseru,

“Aihhh.... kiranya saudara Sim Hong Bu! Ceng Liong, beri hormat kepada paman Sim Hong Bu ini! Dia adalah jagoan yang lihai sekali dari Lembah Gunung Naga Siluman, ha-ha-ha!”

Kian Bu girang bukan main dan Ceng Liong lalu memberi hormat kepada orang yang tadi telah mengujinya.

Sim Hong Bu juga tertawa.
“Suma-taihiap bersama isteri semakin gagah saja, dan telah memiliki seorang putera yang sedemikian hebatnya, sungguh Thian Maha Murah, menurunkan berkah melimpah kepada keluarga pendekar budiman!”

“Sudahlah, saudara Sim, buang semua pujian-pujianmu itu dan mari kita bicara di dalam, kami rasa kedatanganmu ini bukan sekedar kunjungan biasa.” kata Suma Kian Bu.

“Sesungguhnyalah, saya datang dengan sengaja karena hendak membicarakan hal yang amat penting.”

Dengan sikap gembira mereka berempat lalu memasuki pondok keluarga itu dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam, menghadapi hidangan dan minunan yang dikeluarkan oleh Teng Siang In. Setelah makan hidangan sekedarnya dan saling menceritakan keadaan masing-masing, Suma Kian Bu yang sudah tidak sabar lagi lalu bertanya,

“Nah, saudara Sim, sekarang keluarkanlah isi hatimu. Apa sebenarnya maksud yang terkandung di hatimu dan yang mendorongmu jauh-jauh datang mengunjungi kami?”

“Tidak begitu jauh, Suma-taihiap, karena sudah sejak kurang lebih tiga tahun aku meninggalkan Lembah Gunung Naga Siluman. Taihiap, apakah taihiap sekeluaga selama ini tidak mendengarkan sesuatu yang sedang bergejolak di dunia para pendekar?”

Suma Kian Bu saling pandang dengan isterinya dan puteranya, lalu menggeleng kepala.
“Selama tiga tahun ini, kami bertiga tidak pernah meninggalkan rumah. Kami tidak tahu dan tidak mendengar apapun tentang dunia kang-ouw. Ada terjadi apakah, saudara Sim?”

“Taihiap, kami para patriot menganggap bahwa kini sudah terlalu lama kita membiarkan diri ditindas kaum penjajah, bahwa kini tiba masanya bagi kita untuk melakukan usaha meronta dan membebaskan diri daripada belenggu penjajahan!”

Suma Kian Bu dan Teng Siang In mendengarkan dengan alis berkerut. Itu berarti pemberontakan!

“Tapi.... tapi....” keduanya menggagap.

Sim Hong Bu bersikap serius.
“Harap ji-wi jangan terkejut. Apa anehnya kalau kini para patriot bangkit? Hendaknya ji-wi tidak lupa bahwa negara dan bangsa kita telah dikuasai penjajah asing selama kurang lebih seratus tahun lamanya! Masih kurang lamakah itu? Kekayaan tanah air dikeruk bangsa lain. Semua kedudukan tinggi di pegang oleh tangan asing. Lihat ini.!”

Sim Hong Bu menggerakkan kepalanya dan kuncirnya yang tebal itu terlepas dari gelungnya.
“Kita harus berkuncir seperti ekor anjing! Kita dihina, ditindas, diperas. Bangsa Han yang besar kini telah menjadi bangsa penjajahan yang diperbudak oleh segelintir orang-orang Mancu. Kalau kita tidak bersatu, tidak serempak bergerak melawan penjajahan, apakah kita akan membiarkan anak cucu kita selamanya menjadi bangsa budak?”

Pria yang gagah perkasa itu bicara dengan sikap gagah, dengan sepasang mata mencorong seperti berapi-api. Agaknya semangat kepatriotannya itu membakar pula dada Suma Kian Bu dan Teng Siang In. Kedua orang suami isteri ini beberapa kali saling pandang dan wajah mereka berubah merah, mata mereka bersinar-sinar dan bersemangat. Teng Siang In mulai mengangguk-angguk mendengarkan ucapan tamunya yang penuh semangat itu.

“Memang, sesungguhnya kamipun tidak buta terhadap itu semua, saudara Sim. Sejak kecil aku sudah melihat akan semua itu, sejak aku mengerti bahwa Bangsa Han dijajah oleh orang-orang Mancu. Akan tetapi.... karena kita tidak berdaya....”

“Tentu saja tidak berdaya kalau kita diam saja!” Sim Hong Bu memotong ucapan pendekar yang selalu dikaguminya itu. “Di tangan kita sendirilah terletak nasib bangsa kita. Kita diamkan saja berarti anak cucu kita akan terus menjadi budak-budak hina. Dan apa artinya kita menyebut diri sebagai orang-orang gagah kalau kita membiarkan malapetaka ini terjadi? Apakah kita tidak akan malu terhadap leluhur kita? Terhadap tanah air kita?”

“Engkau betul!” Teng Siang In berseru, tak tahan lagi. “Kita memang harus bergerak!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk.
“Biarpun nampaknya mustahil, akan tetapi, kalau kita mau bersatu, mengumpulkan dan menyusun kekuatan, agaknya bukan tidak mungkin pada suatu hari kita melihat negara dipimpin oleh bangsa sendiri. Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. “Dan kedatanganmu ini, selain bicara tentang itu, mengandung tugas apalagi, saudara Sim?”

“Harap taihiap ketahui bahwa selama beberapa bulan ini, secara rahasia para pendekar yang berjiwa patriot telah mulai mengadakan hubungan, di mana-mana diadakan pertemuan rahasia dan akhirnya dicapai kesepakatan untuk bekerja sendiri-sendiri lebih dahulu, menyebar luaskan niat rahasia untuk mengusir penjajah. Mengumpulkan teman-teman sehaluan, menyusun kekuatan dan kelak akan diadakan pertemuan besar di antara para tokoh besar dunia kang-ouw. Dalam pertemuan itulah akan dibahas lebih terperinci lagi apa yang harus kita lakukan. Nah, dalam tugas menyebar luaskan dan mencari teman sehaluan inilah aku teringat kepada taihiap dan datang ke sini.”

“Bagus! Kami setuju sekali dan kami siap untuk membantu!” kata Suma Kian Bu dengan nada suara gembira dan penuh semangat. Wajah pendekar ini berseri-seri dan sepasang matanya semakin mencorong dan bersinar.

“Ah, sudah kuduga bahwa Pendekar Siluman Kecil sekeluarganya yang gagah perkasa tentu akan mendukung. Perjuangan membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ini membutuhkan persatuan tenaga semua pendekar, terutama sekali tenaga-tenaga muda seperti putera Suma-taihiap ini.”

Sim Hong Bu memandang kepada Ceng Liong yang sejak tadi nampak diam dan menundukkan mukanya saja itu. Sepasang alis pemuda itu kini berkerut dan dia tidak nampak segembira ayah ibunya.

“Tentu saja Ceng Liong akan menjadi seorang patriot dan membantu perjuangan para pendekar. Bukankah begitu, anakku?” kata Teng Siang In dengan bangga.

Pemuda itu mengangkat muka memandang ibunya, lalu ayahnya dan tamu itu, kemudian dia menarik napas panjang.

“Nanti dulu, ibu. Aku tidak bisa mengambil keputusan seketika saja. Peristiwa ini datangnya secara tiba-tiba sekali, membuat aku bingung dan banyak sekali hal-hal yang tidak aku mengerti.”

“Hal-hal apakah yang belum kau mengerti?” Ayahnya bertanya.

“Maaf, ayah. Aku sungguh merasa bingung melihat betapa ayah dan ibu secara tiba-tiba saja merobah pendirian menjadi berlawanan dari yang sudah-sudah seperti ini. Bukankah ayah dan ibu selalu menentang pemberontakan? Bukankah ayah selalu memihak kepada kaisar kalau terjadi pemberontakan? Bahkan ayah pernah bercerita kepadaku betapa ayah dan ibu menyelamatkan kaisar dari serangan kaum pemberontak. Dan sekarang? Aku mendengar ayah dan ibu menyetujui paman Sim ini dan berjanji akan membantu para pemberontak! Bagaimanakah ini?”

“Liong-ji! Tidak pantas kau menegur ayahmu di depan tamu!”

Ibunya berseru menegur. Akan tetapi Sim Hong Bu dan Suma Kian Bu nampak kagum dan wajah mereka berseri.

“Biarlah, dia berhak mengeluarkan ganjalan hatinya dan aku suka akan kejujurannya.” kata Suma Kian Bu.

“Hemm, pertanyaan-pertanyaan Suma Siauw-sicu tadi memang bagus, menandakan bahwa dia mempergunakan akal budi dan tidak hanya main ikut-ikutan saja seperti kebanyakan orang lain.” kata pula Sim Hong Bu sambil mengangguk-angguk.

“Ceng Liong, kalau tidak diberi penjelasan, memang kebimbangan dan keraguan akan selalu menghantui batinmu. Engkau harus tahu membedakan antara pendekar dan patriot. Keduanya itu sama sekali berbeda. Tidak semua pendekar berjiwa patriot walaupun sebenarnya pendekar yang tidak mencinta dan membela tanah air dan bangsa bukanlah pendekar lengkap. Sebaliknya, tidak semua patriot berjiwa pendekar walaupun hal ini patut disayangkan.”

“Adakah perbedaan antara pendekar dan patriot?” Ceng Liong bertanya.

“Seorang pendekar adalah seorang pembela kebenaran dan keadilan dipandang dari sudut perikemanusiaan. Seorang pendekar selalu membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat, tanpa memandang bulu, tidak melihat kedudukan atau derajat. Biar kaisar maupun pengemis, apabila terancam dan membutuhkan pertolongan, tentu akan ditolongnya. Itulah sebabnya dahulu ayah ibumu menolong kaisar, ketika itu kami bertindak seperti pendekar. Akan tetapi seorang patriot adalah seorang pembela tanah air dan bangsa, baik untuk menentang pihak yang hendak mencelakakan bangsa maupun untuk berbuat sesuatu yang berguna bagi nusa bangsa. Kini, sebagai seorang patriot, aku harus membantu perjuangan yang hendak membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu.”

“Akan tetapi, bukankah ayah sendiri mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana?” bantah Ceng Liong.

Mendengar pertanyaan ini, Suma Kian Bu dan isterinya saling pandang dengan Sim Hong Bu yang tersenyum sabar dan mengangguk-angguk. Tiga orang sakti ini tentu saja maklum sepenuhnya akan pertanyaan itu. Mereka harus mengakui bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar bijaksana yang bahkan disayang oleh para pendekar.

“Ceng Liong, urusan patriot adalah urusan negara dan bangsa, bukan urusan pribadi atau perorangan. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang baik dan bijaksana. Akan tetapi jangan lupa, dia itu kaisar penjajah! Pemerintahannya menindas dan memeras bangsa kita. Bukan pribadi Kaisar Kian Liong yang kita musuhi, melainkan pemerintah penjajah! Mengertikah engkau?”

Pemuda itu menggeleng kepala.
“Aku masih bingung, ayah. Menurut kitab-kitab sejarah yang pernah kubaca, ketika bangsa kita diperintah oleh pemerintahan bangsa sendiri, rakyat banyak pula mengalami penderitaan. Bahkan di jaman Beng-tiauw sebelum Bangsa Mancu datang, banyak tercipta kaisar lalim dan pemerintahanya menindas dan menghisap rakyat. Akan tetapi, Kaisar Kian Liong ini mencinta rakyat. Bukankah itu berarti bahwa pemerintah penjajah di dalam tangan Kaisar Kian Liong jauh lebih baik daripada pemerintah bangsa sendiri di dalam tangan kaisar-kaisar lalim?”

Tiga orang sakti itu menggeleng kepala.
“Tidak, tidak demikian, anakku. Hal ini menyangkut martabat bangsa! Betapapun jeleknya pemerintahannya, kalau berada di tangan bangsa sendiri, kekayaan tanah air tidak akan mengalir keluar. Pula, rakyat jelata akan dapat sewaktu-waktu mengganti kaisar seperti yang seringkali terjadi. Sebaliknya, kalau pemerintahan penjajah, kita menjadi bangsa taklukan, menjadi budak dan mengalami penghinaan. Seperti keharusan memakai kuncir seperti ekor binatang, larangan membawa senjata, pajak-pajak yang berat, kerja paksa dan lain-lain.” Suma Kian Bu menjelaskan.

“Akan tetapi, kalau begitu kenapa tidak dari dulu-dulu ayah ibu bangkit menentang pemerintah penjajah? Kenapa ayah ibu pernah membantu pemerintah menentang pemberontakan?”

“Itu lain lagi, anakku.” kata ibunya. “Kalau saatnya belum tiba, patriot menyimpan saja cita-cita dalam hatinya dan kita bertindak sebagai pendekar. Bagi patriot, yang penting adalah membantu dan membela rakyat. Pada garis besarnya, memang tugas para patriot adalah mengusir penjajah. Akan tetapi sementara itu kalau saatnya belum tiba lebih dulu kita membantu penguasa yang baik, menentang penguasa lalim.”

“Tapi, bukankah beberapa kali terjadi pemberontakan? Gubernur di barat pernah memberontak ketika aku merantau ke sana, dan mengapa ayah ibu tidak membantu pemberontakan seperti itu?”

“Bolehkah aku menjelaskan?” kata Hong Bu dan melihat tuan dan nyonya rumah mengangguk, dia melanjutkan. “Ada bermacam-macam pemberontak, orang muda yang gagah. Pemberontakan yang dilakukan oleh golongan atau bangsa yang tadinya sudah menakluk, seperti Tibet atau Nepal. Tentu saja kita harus menentang pemberontakan seperti itu karena kalau pemberontakan itu menang, berarti negara jatuh ke dalam cengkeraman penjajah asing lainnya. Ada pemberontakan golongan penguasa yang berusaha merebut kekuasaan demi ambisi pribadi, dan pemberontakan macam inipun tidak akan didukung para patriot karena golongan itu tidak mewakili rakyat. Para patriot sudah menanti sampai seratus tahun, menanti kesempatan baik. Dan kini masanya tiba para patriot ingin menyumbangkan tenaga, berjuang membebaskan rakyat, mengusir penjajah!”

“Kita usir penjajah!” teriak Suma Kian Bu dan isterinya.

Melihat ini, Ceng Liong mengerutkan alisnya.
“Ayah, satu pertanyaan lagi.”

“Tanyalah.”

“Tapi harap ayah dan ibu tidak marah.”

“Mengapa marah? Pertanyaan jujur memang terdengar kasar dan menyakitkan, akan tetapi baik sekali.”

“Nah, ayah dan ibu kini bersikap menentang pemerintahan penjajah Mancu. Akan tetapi, ayah, ada suatu kenyataan dalam keluarga kita yang tak dapat dibantah oleh siapapun juga, yaitu bahwa keluarga Pulau Es tak dapat dipisahkan dengan keluarga Kerajaan Ceng. Ayah, bukankah dalam tubuh kita masih mengalir darah Mancu? Apakah kita harus melupakan kenyataan bahwa nenek Nirahai adalah seorang puteri Mancu, bahkan pernah menjadi panglima? Dan bibi Puteri Milana juga pernah menjadi panglima? Bukankah mendiang kakek Suma Han tidak pernah menentang kerajaan?”

Mendengar pertanyaan ini, Teng Siang In terbelalak lalu menundukkan mukanya. Juga Sim Hong Bu terkejut dan menundukkan muka. Mereka ini tahu betapa gawatnya pertanyaan itu dan hendak menyerahkan jawabannya sepenuhnya kepada Pendekar Siluman Kecil itu. Suma Kian Bu sendiri terdiam dan agaknya pertanyaan anaknya ini merupakan serangan yang membuatnya lumpuh sejenak. Akan tetapi, diapun lalu tersenyum dan menatap wajah puteranya dengan tenang.

“Liong-ji, dengarkan baik-baik. Aku tidak pernah menyangkal bahwa ibuku, yaitu nenekmu Puteri Nirahai, adalah seorang puteri Mancu! Akan tetapi lihatlah kenyataannya. Beliau sampai tua pergi ikut suaminya, hidup di Pulau Es. Kakekmu, mendiang ayahku itupun tidak pernah membantu pemerintah Mancu. Mereka memang tidak memperlihatkan permusuhan, tidak bersikap menentang Kerajaan Mancu, akan tetapi karena selama itu belum pernah para patriot berkesempatan untuk bangkit. Lihat saja. Bukankah bibimu, Puteri Milana juga sekali waktu saja menjabat panglima, hanya untuk memadamkan pemberontakan golongan lain, sama sekali bukan pemberontakan para patriot?

Hendaknya engkau mengetahui betul. Puteri Milana juga pergi mengikuti suaminya, pamanmu yang gagah perkasa Gak Bun Beng, menyepi di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Seng-san. Memang banyak pula pendekar-pendekar besar yang membantu pemerintah Mancu di bawah pimpinan Kaisar Kian Liong sekarang ini, dan hal itu tak dapat terlalu disalahkan. Seperti kau dengar tadi, tugas seorang patriot terbagi dua. Kalau para patriot belum sempat bangkit mengusir penjajah, mereka itu bertugas melindungi rakyat dan mengarahkan pemerintahan penjajah itu pada jalan yang benar, dan hal itu baru dapat dilaksanakan kalau mereka duduk di dalam roda pemerintahan itu sendiri. Mengertikah engkau?”

Mendengar kuliah-kuliah yang diberikan oleh ayahnya, ibunya dan kadang-kadang Sim Hong Bu juga memberi penjelasan, akhirnya Suma Ceng Liong mengerti dan diapun menyambut cita-cita perjuangan para patriot itu dengan semangat menyala-nyala.

Sampai malam empat orang itu bercakap-cakap, hanya diselingi makan minum, dan Sim Hong Bu menceritakan dengan panjang lebar tentang usaha yang dilakukan oleh para patriot sampai sekarang. Menghubungi para pendekar sehaluan, menyelidiki keadaan dan kekuatan pemerintah.

“Ada satu hal yang amat penting dan yang menjadi bahan perundingan kawan-kawan seperjuangan,” antara lain Sim Hong Bu bercerita. “Yaitu mengenai diri Jenderal Muda Kao Cin Liong.”

Tentu saja nama ini membuat keluarga Suma itu tertarik sekali, terutama sekali Ceng Liong yang mengenal baik jenderal yang dimaksudkan itu, yang membuat dia teringat akan semua pengalamannya di Pulau Es menjelang hancurnya dan lenyapnya pulau itu.

“Paman Sim, ada apakah dengan kanda Cin Liong?” tanyanya.

Mendengar sebutan ini, Sim Hong Bu mengangguk- angguk.
“Aku sudah mendengar bahwa antara keluarga Kao dan keluarga Suma terdapat hubungan yang cukup dekat. Dan karena itu pula aku datang.”

“Apakah yang terjadi?” Suma Kian Bu khawatir. “Kami baru saja menerima kabar baik dari kota raja, yaitu undangan pernikahan Jenderal Kao Cin Liong dengan keponakanku, Suma Hui.”

“Bagus! Kamipun sudah mendengar akan berita pernikahan itu. Saat yang tepat bagi kita semua untuk berkumpul di kota raja. Kami semua merasa khawatir melihat betapa Jenderal Kao Cin Liong menjadi seorang panglima yang amat disayang dan dekat sekali dengan kaisar. Dia dan keluarganya akan merupakan kawan seperjuangan yang amat kuat dan menguntungkan, sebaliknya akan menjadi lawan yang berbahaya.”

“Dan maksudmu dengan kami?” tanya Kian Bu.

“Demi perjuangan, semua kawan mengharapkan taihiap dapat melakukan penjajagan, menyelidiki kemungkinan-kemungkinannya menarik jenderal itu ke pihak kita. Dia menguasai pasukan besar dan amat berpengaruh. Kalau kita berhasil menariknya, berarti bahwa setengah dari perjuangan kita sudah menang!”

Suma Kian Bu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya.
“Memang siasat itu bagus sekali. Akan tetapi engkau juga tahu, saudara Sim, bahwa ayah jenderal itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Kita tak boleh sembarangan bertindak. Agaknya untuk menarik jenderal itu, harus lebih dulu meyakinkan ayahnya. Sayang aku tidak terlalu dekat dengan keluarga Kao.”

“Serahkan saja padaku, ayah! Aku sudah kenal baik dengan Jenderal Kao Cin Liong! Aku dapat mengunjunginya dan perlahan-lahan menjajagi hatinya, melihat bagaimana nada bicaranya,” kata Ceng Liong.

Ayahnya mengangguk setuju.
“Tepat sekali! Dan engkau boleh pula mewakili kami mengadakan kontak dengan para patriot lain, Ceng Liong. Kami berdua sudah tua. Kami hanya akan turun tangan membantu kalau saat perjuangan itu tiba.”

Setelah mengadakan perundingan matang, pada keesokan harinya, Sim Hong Bu berpamit. Tiga hari kemudian, Ceng Liong juga meninggalkan orang tuanya untuk mulai dengan perantauannya, sekali ini kepergiannya berbeda dengan ketika dia hilang diculik Hek-i Mo-ong. Kini dia melakukan perjalanan sebagai pendekar muda yang lihai sekali, yang mewakili orang tuanya untuk mengadakan kontak dengan para patriot, membantu persiapan perjuangan dan berusaha menarik Jenderal Kao Cin Liong ke pihak para pejuang.

Dia kini sudah berusia hampir sembilan belas tahun dan dalam hal ilmu silat, dia sudah setingkat dengan ayahnya! Hanya mungkin dia masih kalah dalam hal gin-kang, akan tetapi sudah pasti dia lebih kuat dalam hal sin-kang. Dia kini dapat mempergunakan sumber tenaga sin-kang yang diterima langsung dari kakeknya, mendiang Suma Han atau Pendekar Super Sakti atau majikan Pulau Es! Bahkan kini dia telah menguasai pula ilmu sihir yang diajarkan oleh ibunya kepadanya.

**** 087 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar