FB

FB


Ads

Rabu, 18 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 083

“Omitohud....! Yang paling sukar didapatkan di dunia ini adalah seorang sahabat yang setia tanpa pamrih. Sahabat si-cu itu lupa makan lupa tidur untuk menjaga si-cu, sungguh kebaikannya amat mengharukan hati pinceng.”

Diam-diam Ciang Bun merasa terharu sekali dan hatinya semakin erat terikat kepada Ganggananda yang sebelumnya memang sudah amat menarik hatinya. Tak di sangkanya bahwa pemuda yang lincah jenaka, yang pandai bersajak dan amat menyenangkan itu ternyata memiliki hati semulia itu dan merupakan seorang sahabat yang amat baik. Dia merasa bersyukur sekali.

“Terus-terang saja, si-cu, kalau tidak ada sahabatmu itu, nyawamu tidak mungkin dapat ditolong lagi. Si-cu berhutang nyawa kepadanya,” kata si tabib dengan suara sungguh-sungguh.

Perasaan cinta yang tulus semakin mendalam di hati Ciang Bun terhadap pemuda yang selain menarik hatinya, juga telah menyelamatkan nyawanya itu. Dan setelah kekuatannya pulih kembali, dia bersama Ganggananda berpamit dari tabib yang ramah tamah itu dan meninggalkan rumah tabib dengan ucapan terima kasih.

Ganggananda bahkan memberi biaya yang cukup besar, dan ternyata pemuda ini membawa bekal emas yang cukup banyak sehingga mengherankan hati Ciang Bun. Tahulah dia bahwa sahabatnya itu adalah seorang yang selain pandai sastera dan silat, juga kaya raya.

“Ah, tak terasa lima hari telah lewat dan hari ini adalah hari yang telah kami tentukan untuk bertemu di kota raja,” katanya kepada Ganggananda.

Gangga memandang penuh perhatian.
“Kami? Siapa yang kau maksudkan?”

“Adik Ganggananda yang baik, aku belum menceritakan riwayatku kepadamu. Yang kumaksudkan dengan kami adalah aku dan ciciku yang bernama Suma Hui.”

“Hemm, agaknya ada hubungannya dengan musuh besarmu itu, ya? Diapun menyebutmu seolah-olah engkau masih sanaknya. Apakah musuh besarmu itu.... kakak iparmu, suami encimu?”

“Engkau adalah seorang yang amat mulia, Gangga, dan aku sudah berhutang budi dan nyawa padamu, maka baiklah kuceritakan keadaan keluargaku, keluarga kami yang malang.”

Ciang Bun menoleh ke kanan kiri, akan tetapi taman itu masih sunyi karena hari masih pagi sekali. Dia mengajak Gangga pergi ke taman ini karena di sinilah dia berjanji dengan encinya untuk mengadakan pertemuan pada hari ini atau hari-hari berikutnya kalau-kalau ada yang terlambat. Mereka duduk di atas sebuah bangku panjang, di bawah pohon yang rindang sambil menghadapi sebuah empang ikan emas yang dihias tumbuh-tumbuhan bunga teratai merah dan putih.

Dengan hati mengandung penuh kepercayaan kepada sahabat barunya ini, Ciang Bun lalu menceritakan semua riwayatnya, sejak dia bersama encinya dan Ceng Liong belajar ilmu di Pulau Es sampai pertemuannya dengan musuh besarnya, yaitu Louw Tek Ciang.

Diceritakannya malapetaka yang menimpa keluarga kakeknya di Pulau Es yang kemudian disusul malapetaka yang menimpa diri encinya, Suma Hui dan kejahatan yang dilakukan Tek Ciang yang menjadi murid ayahnya dan juga menjadi suami encinya itu.

Gangga mendengarkan dengan penuh perhatian dan penuh perasaan sehingga wajahnya sebentar merah karena marah dan pucat karena ikut merasa terharu dan berduka. Pandang matanya tak pernah lepas dari wajah pemuda itu. Baru sekaranglah ia tahu mengapa pemuda ini mati-matian menyerang Louw Tek Ciang yang telah menjadi kakak iparnya. Dan ia ikut merasa marah sekali mendengar akan kelicikan dan kejahatan Louw Tek Ciang yang telah menghancurkan kehidupan Suma Hui, kakak perempuan pemuda ini. Setelah Ciang Bun menceritakan semuanya, pemuda itu menarik napas panjang.

“Demikianlah, Gangga. Sudah bertahun-tahun kami mendendam kepada jahanam itu dan secara tak tersangka-sangka dan kebetulan sekali aku bertemu dengannya di telaga dalam taman. Dapat kau bayangkan betapa girang rasa hatiku dan betapa dengan penuh semangat aku berusaha untuk membunuhnya. Akan tetapi dia lihai dan juga licik, bahkan kinipun dia dibantu seorang kawan yang agaknya lihai pula. Nyaris aku tewas kalau tidak ada engkau yang menyelamatkanku, sahabatku.”

Berkata demikian, Ciang Bun menjulurkan tangannya dan dipegangnya tangan Gangga. Pegangan ini dilakukan dengan perasaan penuh keharuan dan juga penuh rasa kasih sayang sehingga terasa oleh Gangga betapa jari-jari tangan itu mengandung getaran halus yang seolah-olah menembus kulit tangannya dan menjalar sampai ke dalam dada, membuat jantungnya berdebar-debar dan bulu-bulu di lengannya dan tengkuknya meremang. Maka dengan halus pula ia menarik dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan pemuda itu.

“Ahhh, kenapa engkau begini sungkan dan bicara seperti itu, Ciang Bun? Bukankah kita ini sahabat dan diantara sahabat baik tidak ada istilah tolong-menolong? Apa yang kulakukan untukmu itu adalah wajar saja di antara sahabat. Andaikata aku yang menderita seperti engkau, apakah engkau tidak mau menolongku juga?”

Jawaban yang sederhana dan jujur ini membuat Ciang Bun merasa terharu dan semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam diapun mengeluh. Penyakit lamanya telah kambuh dan kini semakin hebat! Selama ini, sudah tiga kali dia tertarik kepada pria, bukan hanya tertarik biasa sebagai teman, melainkan tertarik seperti orang jatuh cinta yang mengandung gairah!

Pertama adalah kepada Kao Cin Liong, walaupun pada waktu itu dia belum dewasa benar dan rasa sukanya kepada Cin Liong disertai kekaguman akan kelihaian pemuda itu dan juga rasa akrab sebagai seorang kekasih encinya. Kemudian diapun jatuh cinta kepada Liu Lee Siang, pemuda Pulau Nelayan itu walaupun pada waktu itu dia masih belum sadar benar akan kelainan pada dirinya. Akan tetapi yang ke tiga kali ini, dia merasa betapa dia benar-benar jatuh cinta kepada Ganggananda!

Kini dia menyadari benar keadaan dirinya, bahkan selama ini dia sudah berusaha dengan segala kekuatan batinnya untuk melawan hasrat dan kecondongan hati yang tidak seperti pria pada umumnya itu. Kini dia merasa betapa seluruh batinnya mencintai Gangga, dan timbul hasrat untuk berdekatan, sedekat mungkin, untuk melindungi, untuk bergantung.

Ada suatu kemesraan di dalam batinnya terhadap Gangga dan segala gerak-gerik pemuda ini amat manis dalam pandang matanya, amat gagah, baik dan membuatnya tidak ingin berjauhan, tidak ingin berpisah lagi.

Itulah yang amat membingungkan dan menyedihkan hatinya. Dia tahu bahwa kalau dilanjutkan hubungannya dengan pemuda Nepal atau Bhutan ini, dia akan jatuh cinta semakin dalam. Padahal, dia tahu bahwa hal ini tidak boleh terjadi. Dan Ganggananda tentu akan memandangnya penuh penghinaan kalau sampai tahu akan kelainan dirinya.






Tidak, dia tidak akan dapat menahan kalau sampai Ganggananda membencinya dan jijik melihatnya. Ganggananda tidak boleh tahu akan kelainan dirinya. Ganggananda amat baik kepadanya, tentu hanya sebagai sahabat, suka dan sayang kepadanya sebagai seorang sahabat, rasa suka yang jujur dan bersih. Akan tetapi dia? Dia mencinta Ganggananda, bukan hanya sayang dan suka, akan tetapi juga bangkit berahinya berdekatan dengan pemuda halus itu! Dan mana mungkin dia dapat bertahan kalau berdekatan terus.

Tidak, dia harus menjauhkan diri, harus membiarkan bayangan dirinya tetap tinggal di hati Ganggananda sebagai seorang sahabat yang disukanya, bukan sebagai seorang laki-laki ganjil yang dibencinya.

“Gangga, tentu saja aku akan berusaha menolongmu kalau engkau berada dalam kesukaran, bahkan aku rela untuk membelamu dengan nyawaku sekalipun. Gangga, aku suka padamu, aku sayang dan cinta padamu, karena itu kalau engkau tidak berkeberatan, aku ingin sekali mengangkatmu sebagai saudaraku!”

Aneh sekali, dalam suaranya terkandung keharuan dan kesedihan sehingga suara pendekar muda ini gemetar. Tidak mengherankan karena memang hatinya berduka. Ciang Bun telah mengambil keputusan karena hanya itulah satu-satunya jalan keluar. Dia harus mengangkat Gangga sebagai saudara! Kalau sudah menjadi saudara, tentu akan lain pandangannya, lain lagi perasaan hatinya terhadap Gangga. Ikatan persaudaraan itu diharapkannya akan merobah perasaan cinta berahi menjadi cinta saudara tanpa berahi, tanpa gairah yang menyesakkan dadanya untuk dapat berdekatan dan bermesraan dengan Gangga.

Akan tetapi mendengar ucapan Ciang Bun itu, Gangga membelalakkan sepasang matanya yang indah. Ia nampak terkejut sekali dan sebelum ia menjawab, ia sudah menggeleng kepala tanda tidak setuju. Kemudian terdengar ia berkata,

“Ah, tidak, Ciang Bun. Aku tidak mau, aku lebih senang menjadi sahabatmu saja, sahabatmu yang amat baik. Apa sih bedanya menjadi sahabat atau saudara angkat?”

Dan Ciang Bun merasa lega dengan jawaban ini!
“Tidak.... tidak apa-apa, hanya aku ingin agar hubungan antara kita lebih erat, akan tetapi kalau engkau tidak mau, akupun tidak kecewa dan kita menjadi sahabat yang amat baik.”

Ganggananda khawatir kalau menyinggung hati pemuda itu dan dipegangnya tangan Ciang Bun.
“Sahabatku yang baik. Siapa orangnya tidak akan merasa bangga menjadi saudara angkat seorang pendekar sepertimu? Apalagi engkau adalah keturunan keluarga Pulau Es! Akan tetapi, aku sudah cukup bangga dan puas menjadi sahabatmu saja, sahabat yang setia dan akrab.”

“Terima kasih, Gangga, terima kasih. Engkau lebih baik daripada seorang saudara bagiku.” kata Ciang Bun dan kembali tangannya gemetar ketika bersentuhan dengan jari-jari tangan Gangga, membuat Gangga kembali menarik tangannya dengan halus.

Percakapan mereka terhenti karena pada saat itu muncul seorang pemuda dan seorang gadis dikawal oleh tujuh orang. Melihat pakaian dua orang muda itu, mudah diduga bahwa mereka tentulah anak-anak pembesar atau hartawan. Pemuda itu berwajah tampan, dan gadis itupun manis dan melihat wajah mereka, dapat diduga bahwa mereka itu tentu saudara sekandung. Mata, hidung dan mulut mereka mirip sekali. Pemuda itu usianya kurang lebih enam belas tahun dan si gadis agaknya adiknya, lebih muda satu dua tahun.

Tujuh orang yang mengawal mereka itu tidak berpakaian seragam, akan tetapi dari sikap mereka ketika berjalan, dapat diduga bahwa mereka tentulah anak buah pasukan pengawal yang memiliki ilmu silat tangguh. Di punggung mereka terselip senjata, ada yang membawa pedang, ada pula golok. Sikap tujuh orang ini congkak seperti sikap pengawal-pengawal dan tukang-tukang pukul pada umumnya.

Kalau muda-mudi itu berjalan-jalan sambil melihat-lihat bunga dengan sikap gembira, tujuh orang pengawal itu melirik ke arah Ciang Bun dan Ganggananda dengan pandang mata penuh selidik. Akan tetapi karena dua orang muda ini tidak membawa apa-apa dan sikapnya tidak mencurigakan, merekapun tidak memperhatikan lagi dan sebentar saja mereka sudah lewat.

“Uh, congkak-congkak benar sikap tukang-tukang pukul itu.” kata Ganggananda dengan nada suara gemas. “Kalau ada alasannya, tentu akan senang hati aku menghajar mereka.”

Ciang Bun tersenyum.
“Jangan galak-galak, Gangga. Tiada hujan atau angin, engkau ingin menghajar orang. Apalagi kalau hujan angin.”

“Kalau hujan angin, aku tentu lari mencari tempat perlindungan!”

Gangga memotong dan tertawa. Ciang Bun juga tertawa, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan suara ketawanya dan menyentuh lengan Gangga sambil menoleh ke kiri. Gangganada juga menoleh dan perhatiannya tertarik kepada dua orang kakek yang datang menuju ke tempat itu.

Dua orang kakek itu agaknya mengikuti atau membayangi rombongan muda-mudi tadi, dan keadaan dua orang kakek itu menarik perhatian mereka. Dari sikap mereka, gerak-gerak mereka dan langkah kaki mereka, Ciang Bun dapat menduga bahwa dua orang kakek ini bukan sembarangan, sama sekali tidak boleh disamakan dengan tujuh orang pengawal yang garang dan congkak tadi.

Pandang mata Ciang Bun memang tajam. Dua orang kakek yang berjalan perlahan-lahan memasuki taman dan membayangi rombongan muda mudi itu dari jauh memang bukan orang-orang sembarangan. Bahkan keduanya adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, walaupun mereka jarang muncul di dunia kang-ouw. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek berusia hampir tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan melihat jubah dan kepalanya, mudah diduga bahwa dia adalah seorang pendeta Lama.

Kepalanya gundul tak tertutup, jubahnya berwarna merah kotak-kotak, telinganya amat menarik karena besar sekali, dua kali lebih besar daripada ukuran telinga manusia biasa. Di lehernya tergantung tasbeh hitam dan di pinggangnya terselip sebatang suling. Kelihatannya seorang pendeta Lama biasa saja, akan tetapi sebenarnya dia adalah Thai Hong Lama, seorang sakti yang tadinya pernah menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok yang memberontak di Sin-kiang.

Adapun orang ke dua tidak kalah lihainya. Diapun berpakaian pendeta atau pertapa, seperti pakaian seorang tosu. Pakaiannya putih bersih dan rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Usianya sudah tujuh puluh tahun lebih dan tubuhnya tinggi kurus, matanya sipit. Dia adalah Pek-bin Tok-ong, seorang pertapa dari Pegunungan Gobi yang selain lihai, juga berhati kejam. Biarpun kedua orang kakek ini datang dari tempat yang berjauhan, akan tetapi keduanya menjadi rekan dan sahabat ketika mereka menjadi sekutu Gubernur Yong Ki Pok.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, dua orang kakek ini membantu gerakan Gubernur Yong di barat yang memberontak. Akan tetapi gerakan itu dapat dihancurkan oleh pasukan pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong. Gubernur itu sendiri tertawan dan tewas, gerakannya hancur. Akan tetapi dua orang kakek ini yang memiliki kepandaian tinggi, berhasil menyelamatkan diri dan lolos dan karena mereka berdua merasa seperjuangan dan senasib, maka merekapun selanjutnya menjadi sahabat dan ke manapun mereka bersama-sama.

Sebagai buronan pemerintah, mereka menyembunyikan diri dan baru setelah kini keadaan menjadi reda dan dingin, mereka berani muncul. Keadaan mereka sebagai dua orang pendeta tentu saja tidak mencurigakan dan tidak menarik perhatian, bahkan mereka dihormati dan tidak pernah diganggu oleh para penjaga. Dan kedua orang inipun memiliki kepandaian dan kedudukan yang terlalu tinggi untuk merendahkan diri melakukan kejahatan-kejahatan biasa yang remeh.

Andaikata mereka itu membutuhkan uang, tentu mereka akan mengambilnya dari kamar harta seorang pembesar atau hartawan tanpa ada yang tahu, bukan hanya mencuri atau merampok biasa saja.

Melihat betapa dua orang kakek itu dengan langkah kaki perlahan namun mantap berjalan-jalan akan tetapi jelas membayangi rombongan muda-mudi yang dikawal tujuh orang itu, Suma Ciang Bun memberi isyarat kepada Ganggananda. Mereka saling pandang dan kemudian mengikuti perjalanan rombongan muda-mudi dengan dua orang kakek yang membayanginya itu dengan penuh perhatian sampai rombongan itu keluar dari dalam taman menuju ke taman atau hutan kecil di depan.

“Kita kejar mereka!” kata Ciang Bun.

Akan tetapi sebelum dia bergerak, Gangga menyentuh tangannya.
“Apa gunanya kita mengejar mereka? Mungkin dua orang kakek lihai itu hendak mengambil mereka sebagai murid! Kalau kita mengejar dan dapat menyusul, habis kita mau apa? Perkelahian mereka dengan tujuh pengawal itu bukan urusan kita dan kalau mereka hendak mengambil murid, itupun tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Kenapa kita harus mencampuri urusan orang dan hanya mencari permusuhan dengan orang-orang lihai?”

“Bukan demikian, Gangga. Akan tetapi hatiku tidak enak. Apakah engkau tidak melihat betapa kakek gundul itu ketika menangkap gadis cilik, telah mengelus pipi gadis itu? Dan aku melihat jelas betapa tosu itupun mencium pipi si pemuda remaja! Begitukah sikap orang yang akan mengambil murid? Aku curiga sekali dan mari kita kejar mereka, dan kita lihat dan dengan teliti apa yang akan mereka lakukan. Kalau memang benar mereka berniat baik terhadap muda-mudi itu, tentu saja kita tidak usah mencampuri. Akan tetapi kalau mereka itu mempunyai niat busuk, seperti yang kukhawatirkan, kita harus menolong dua orang remaja itu.”

Gangga terpaksa harus membenarkan pendapat sahabatnya dan mereka cepat meninggalkan tempat itu dan melakukan pengejaran ke arah larinya dua orang kakek yang menculik dua orang muda-mudi itu. Dan ternyata mereka harus berlari cepat dan mencari ke sana-sini karena dua orang kakek itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Setelah menjelajahi hutan kecil itu tanpa hasil, Gangga menjadi putus harapan dan hendak membujuk sahabatnya untuk menyudahi saja pencarian yang sia-sia itu. Akan tetapi Ciang Bun menggeleng kepala.

“Gangga, entah bagaimana, akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa dua orang kakek itu adalah datuk-datuk sesat yang mampu melakukan segala macam hal yang mengerikan dan jahat sekali. Aku mengkhawatirkan keselamatan dua orang remaja itu. Kita harus cari dan susul sampai dapat.”

“Akan tetapi, kemana kita harus menyusul dan mencari? Mereka tidak berada di dalam hutan ini, dan ternyata mereka mampu berlari cepat sekali sehingga kita kehilangan jejak mereka.”

Ciang Bun berpikir keras sambil menundukkan mukanya. Kemudian dia mengangkat muka dan memandang wajah sahabatnya.

“Gangga, di waktu siang seperti ini, mereka tidak akan dapat melakukan perbuatan jahat di tempat umum. Maka, kalau mereka memang berniat jahat, tentu mereka akan mencari tempat sunyi dan satu- satunya tempat sunyi tentu saja keluar dari kota raja ini. Tempat ini paling dekat dengan pintu gerbang kota raja sebelah barat, maka kurasa mereka lari melalui pintu gerbang itu. Mari kita kejar ke sana.”

Perhitungan Ciang Bun memang tepat sekali. Ketika mereka tiba di pintu gerbang dan melakukan penyelidikan dengan bertanya-tanya, mereka mendengar bahwa memang tadi ada dua orang kakek yang menurut penggambarannya adalah benar dua orang yang mereka kejar, memondong pemuda remaja dan seorang gadis cilik.

Menurut keterangan dua orang kakek pendeta itu, dua orang remaja itu menderita sakit lumpuh dan kini mereka hendak membawa muda-mudi itu ke gunung untuk diobati. Adapun muda-mudi itu selain lumpuh, nampaknya payah sekali karena seperti orang pingsan dan lemas.

Melihat bahwa dua orang kakek itu adalah pendeta-pendeta yang kelihatannya alim, tidak ada yang menaruh curiga dan dengan mudah dua orang pendeta itu keluar dari kota raja melalui pintu gerbang sebelah barat ini.

Mendengar keterangan ini, makin besar keyakinan hati Ciang Bun bahwa dua orang kakek itu tentulah mempunyai niat yang busuk terhadap dua orang muda-mudi yang mereka tawan. Bahkan kini Gangga sendiripun menanuh curiga dan dengan penuh semangat iapun bersama Ciang Bun melakukan pengejaran ke barat. Setelah matahari condong ke barat, tiba-tiba Ciang Bun memegang lengan Gangga dan menudingkan telunjuknya ke arah sebuah kuil tua yang terletak di lereng bukit di depan.

“Lihat, kuil tua itu berada di tempat terpencil, jauh dari desa dan agaknya kosong. Merupakan tempat yang baik sekali untuk melakukan perbuatan busuk, bukan?”

“Entahlah, aku tidak pernah melakukan perbuatan busuk sih!”

Mendengar jawaban ini, Ciang Bun menatap wajah Gangga dan tersenyum lebar.
“Akupun belum pernah. Apa kau kira aku biasa melakukan perbuatan busuk?”

Pertanyaan yang dimaksudkan untuk melayani kelakar Gangga itu tanpa disengaja telah menusuk hatinya sendiri. Apakah kelainannya itu termasuk sesuatu yang busuk?

“Nah, kalau kita belum pernah melakukan, mana bisa tahu apakah tempat seperti kuil itu baik untuk melakukan perbuatan busuk.”

“Gangga, maaf, bukan waktunya bergurau. Mari kita cepat ke sana, aku khawatir kalau-kalau kita terlambat!”

Mereka berlari lagi menuju ke lereng bukit itu. Di waktu mereka berlari cepat, Gangga masih sempat bertanya,

“Ciang Bun, aku tidak mengerti. Kejahatan apa yang dapat dilakukan dua orang kakek itu terhadap muda- mudi remaja itu?”

“Kejahatan apa? Mungkin mereka.... akan diperkosa, seperti yang telah menimpa diri enciku.”

“Hemm, mungkin saja. Akan tetapi mana bisa hal itu menimpa si pemuda remaja? Mengapa pula dia ikut diculik? Mau diapakan?”

“Mungkin mau dibunuh!”

“Tidak mungkin, kalau memang dua orang kakek itu berniat membunuh mereka, tentu sudah dilakukannya di hutan itu, tidak usah repot-repot diculik.”

“Atau bisa jadi untuk disiksa, dijadikan sandera, untuk minta uang tebusan. Nampaknya dua orang muda- mudi itu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi.”

“Itupun kecil kemungkinannya. Dua orang kakek itu andaikata benar penjahat, tentu bukan penjahat-penjahat kecil yang suka menculik dan melakukan pemerasan.”

Ciang Bun kehabisan akal. Dia mempunyai dugaan lain di dalam hatinya terhadap diri pemuda itu, akan tetapi dia tidak dapat menceritakan dugaannya itu kepada Gangga. Seorang pemuda seperti Gangga tentu akan tidak percaya dan merasa heran, juga jijik kalau dia mengatakan bahwa mungkin kakek-kakek itu akan memperkosa pula diri pemuda itu.

“Barangkali dua orang kakek itu mempunyai bibit permusuhan dan dendam dengan keluarga muda-mudi itu.”

Mendengar ini, Gangga terkejut.
“Ah, kenapa aku tidak memikirkan hal itu? Mungkin sekali tepat dugaanmu terakhir ini. Mari kita percepat lari kita!”

Dan kini Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya karena begitu Gangga mempercepat larinya, dia tertinggal jauh di belakang. Dia merasa khawatir sekali.

“Gangga tunggu....! Jangan sembrono, mereka itu lihai sekali!”

Setelah tiba di depan kuil mereka bersembunyi dan mengintai. Sebuah kuil tua yang memang kosong dan sudah tidak dipergunakan atau ditinggali orang lagi. Pintunya sudah jebol, temboknya penuh lumut dan dijalari tanaman-tanaman liar. Atapnya sebagian juga sudah jebol.

Ciang Bun memberi isyarat kepada Gangga dan mereka lalu berindap menghampiri kuil dari dua jurusan. Mereka berpencar untuk mengintai dan mengelilingi kuil dan bertemu di belakang kuil. Gangga mengambil jalan sebelah kiri kuil dan Ciang Bun sebelah kanan.

Dengan cekatan Ciang Bun meloncat mendekati dinding kuil yang berlumut, kemudian berjalan menuju ke belakang dan mengintai melalui jendela-jendela jebol. Tiba-tiba dia menahan kakinya dan mengintai dari celah-celah dinding yang retak. Dia mendengar suara di dalam dan ketika mengintai, matanya terbelalak dan mukanya berobah merah sekali. Dia melihat hal yang memang dikhawatirkan terjadi di balik dinding retak itu.

Pemuda remaja itu nampak terbelalak ketakutan, wajahnya pucat sekali, pakaiannya awut-awutan dan dia dipangku oleh kakek tinggi kurus seperti tosu yang menciumi dan menjilati seluruh tubuhnya yang sebagian banyak sudah telanjang karena pakaiannya direnggut lepas.

Pemuda remaja itu tidak melawan, hanya menggigil ketakutan dan hampir pingsan. Ciang Bun mengepal tinju. Hatinya merasa muak dan jijik. Kini dia melihat sendiri seorang kakek yang agaknya mempunyai kelainan seperti dia, yaitu suka kepada sama-sama lelaki, sedang melampiaskan nafsu birahinya kepada seorang pemuda remaja. Dia merasa malu dan muak, juga jijik.

Dia merasa seolah-olah dia sendiri yang melakukan itu, karena melihat pemuda tampan itu hampir telanjang, harus diakuinya bahwa ada semacam gairah menyesak di dadanya. Gairah itu segera ditekannya dan jiwa pendekarnya bangkit.

Pada saat yang sama, Gangga juga mengepal tinju dan terbelalak melihat betapa dara cilik yang usianya baru tiga belas atau empat belas tahun itu, menangis dan menggeliat-geliat di atas pangkuan pendeta Lama yang tinggi besar dan yang menggunakan kedua tangannya yang besar dan berbulu untuk membelai dan menggerayangi seluruh tubuh anak itu sambil menyeringai lebar menjijikkan.

“Iblis tua bangka cabul!” Gangga membentak marah.

Teriakan Gangga ini terdenggar oleh Ciang Bun yang juga membentak,
“Kakek iblis tak tahu malu!”

Mendengar bentakan-bentakan dari kanan kiri, dua orang kakek itu terkejut sekali, juga marah. Mereka merasa betapa kesenangan mereka terganggu dan mereka mendorong tubuh korban masing-masing dari atas pangkuan, kemudian keduanya berloncatan keluar dari dalam kuil untuk melihat siapa yang berani menentang mereka.

Baru saja mereka tiba di halaman depan kuil tua itu, Gangga sudah menyerang Thai Hong Lama yang tinggi besar dan yang diintainya tadi dengan pukulan kilat dan dahsyat. Juga Ciang Bun sudah menerjang dan memapaki Pek-bin Tok-ong dengan pukulan mautnya.

“Haiiiiittt....!”

Gangga mengeluarkan suara melengking nyaring dan terkejutlah Thai Hong Lama melihat serangan yang amat cepat ini.

“Hahh! Ehhh....!”

Dia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya, akan tetapi demikian cepatnya gerakan tangan Gangga sehingga sebelum tangan itu tertangkis, gerakannya sudah berobah lagi dan kini mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Thai Hong Lama. Untuk dapat menyerang ubun-ubun kepala lawan yang tinggi besar ini, Gangga meloncat dengan amat ringan seperti seekor burung terbang saja.

“Hemm....!”

Thai Hong Lama tidak berani memandang ringan lawannya. Dia tahu bahwa biarpun lawan ini masih amat muda, namun telah memiliki kepandaian hebat, terutama sekali gin-kangnya sungguh amat luar biasa dan berbahaya. Maka diapun tidak bersikap sungkan dan malu lagi. Dikeluarkannya senjata tasbeh hitam yang melingkari lehernya, juga dicabutnya sebatang suling bambu dari saku jubahnya. Inilah senjata istimewa kakek itu. Seuntai tasbeh hitam dan sebatang suling!

Dan begitu dia menggerakkan kedua tangan, terdengar suara berkerotokan dari tasbeh dan suara melengking sulingnya. Kedua senjata itu melakukan serangan dahsyat yang membuat Gangga terpaksa mengandalkan gin-kangnya untuk meloncat jauh ke belakang. Ia kaget sekali karena biarpun gerakannya cepat, namun serangan tadi hampir melukainya.

“Ha-ha-ha-ha....! Tok-ong, ini namanya ikan mendarat ke penggorengan, ha-ha-ha. Kita disuguhi calon makanan yang lezat.”

Thai Hong Lama tertawa dan dia sudah bergerak maju lagi menerjang Gangga. Sulingnya melakukan totokan-totokan yang mengarah jalan darah yang melumpuhkan, dan dari serangan-serangan ini saja maklumlah Gangga bahwa lawannya tidak bermaksud mengalahkannya dengan membunuh, melainkan menangkapnya hidup-hidup. Teringat akan penglihatan di dalam tadi, ia dapat membayangkan bagaimana nasibnya kalau sampai tertawan hidup-hidup. Mukanya berobah semakin merah dan kemarahannya memuncak. Iapun mengeluarkan suara melengking-lengking dan tubuhnya berkelebatan membuat lawannya terkejut sekali.

Di lain pihak, Pek-bin Tok-ong juga sudah menyambut serangan Ciang Bun dengan tangkisan sambil mengerahkan tenaga.

“Dukkk!”

Mereka mengadu sin-kang dan ternyata kakek itu cukup kuat menahan pukulan Ciang Bun dengan lengannya, walaupun diam-diam kakek ini terkejut ketika merasakan betapa ampuh dan kuatnya pukulan orang muda yang tampan ini. Dia tidak mau kalah lagak dengan temannya. Mendengar suara temannya dia pun tertawa.

“Bagus, orang muda yang tampan. Engkau boleh menemaniku untuk beberapa malam lamanya. Engkau tentu lebih kuat daripada pemuda hartawan itu, ha-ha-ha!”

Akan tetapi, kakek tinggi kurus ini tidak dapat melanjutkan sikapnya memandang remeh kepada lawannya. Cian Bun sekarang bukanlah Ciang Bun beberapa tahun yang lalu. Dia telah menerima gemblengan dari ayah ibunya selama tiga tahun ini dan telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es! Dan kini, menghadapi seorang lawan tangguh, pemuda ini segera mengerahkan tenaga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang.

Biarpun tentu saja latihannya belum matang karena ilmu-ilmu Pulau Es adalah ilmu-ilmu tinggi yang membutuhkan banyak waktu untuk berlatih, namun karena ilmu-ilmunya memang ilmu pilihan, sebentar saja kakek Pek-bin Tok-ong merasa repot menghadapi pemuda ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar