FB

FB


Ads

Selasa, 27 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 073

Kepercayaan penuh keyakinan yang terkandung dalam hati Kam Hong dan Ci Sian terhadap Sim Hong Bu yang membawa pergi puteri mereka tidaklah sia-sia belaka. Sim Hong Bu adalah seorang pendekar besar yang berhati bersih. Sejak semula dia memandang Bi Eng sebagai calon mantu, jadi seperti anaknya sendiri. Apalagi sekarang dara itu telah mengakuinya sebagai guru, maka sikapnya terhadap dara itupun penuh rasa sayang. Lebih lagi karena bagaimanapun juga, dia merasa kehilangan puteranya yang ditinggalkan di rumah keluarga Kam. Dara itu kini menjadi pengganti anaknya.

Biarpun hati Sim Hong Bu penuh dengan kegembiraan karena pinangannya diterima, bahkan kini mereka saling menukar anak untuk dididik selama tiga tahun, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang amat menggembirakan hatinya, namun diam-diam ada rasa khawatir dalam hatinya.

Dia teringat akan isterinya. Cu Pek In, yang pada mulanya merasa agak tidak setuju mendengar suaminya mengajak putera mereka pergi ke timur untuk berkunjung kepada keluarga Kam. Apalagi kalau mendengar bahwa putera mereka telah dijodohkan dengan puteri keluarga Kam, bahkan kini dia pulang membawa calon mantu itu.

Hong Bu tahu bahwa di lubuk hati isterinya masih ada perasaan dendam dan tidak suka kepada Kam Hong bersama isterinya yang oleh keluarga Cu dianggap sebagai pencuri ilmu keluarga Cu! Biarpun demikian, Hong Bu yakin akan dapat melunakkan hati isterinya dan memperoleh persetujuan isterinya, karena isterinya amat mencintanya dan taat selalu kepadanya. Yang membuat dia ragu-ragu adalah kedua orang gurunya, yaitu Kim-kong-sian Cu Han Bu ayah Pek In dan Bu-eng-sian Cu Seng Bu.

Keluarga Cu terdiri dari tiga saudara, yang pertama adalah Kim-kong-sian Cu Han Bu yang kini sudah berusia lima puluh delapan tahun. Ke dua adalah Bu-eng-sian Cu Seng Bu berusia lima puluh tiga tahun dan selamanya tidak menikah. Dua orang kakak beradik ini sejak kalah bertanding melawan Kam Hong lalu pergi bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia lagi (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ).

Adapun orang ke tiga dari keluarga Cu itu adalah Ban-kin-sian Cu Kang Bu yang menikah dengan Yu Hwi bekas tunangan Kam Hong. Suami isteri itu kini tinggal pula di Lembah Naga Siluman, tempat tinggal keluarga Cu yang dahulunya disebut Lembah Suling Emas dan dirobah namanya setelah keluarga itu kalah oleh Kam Hong. Demikian sekelumit riwayat keluarga Cu. Riwayat yang lengkap dapat dibaca dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN .

Sim Hong Bu merupakan pewaris tunggal dari ilmu simpanan keluarga Cu, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia pula yang dahulu memanggul tugas untuk mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut dengan ilmu pedangnya itu dan dia sudah pula menantang Kam Hong bertanding.

Kedua ilmu yang sebetulnya dari satu sumber itu pernah dipertandingkan dan Hong Bu yang ketika itu memenuhi tugas sebagai murid dan pewaris keluarga Cu, hanya kalah sedikit saja. Akan tetapi, di dalam hati Hong Bu sama sekali tidak memusuhi Kam Hong, apalagi Bu Ci Sian yang merupakan dara pertama yang pernah menjatuhkan hatinya. Dia malah merasa suka dan kagum sekali kepada Kam Hong. Ini pula yang membuat dia ingin mengikat tali perjodohan antara anak mereka, agar suasana persaingan itu dapat dilenyapkan.

Maka diapun merasa berbahagia sekali menerima usul Kam Hong untuk menyatukan kedua ilmu yang oleh keluarga Cu dipertentangkan itu dalam diri anak-anak mereka sehingga persaingan atau pertentangan itu lenyap dan menjadi persatuan yang kokoh kuat.

Kekhawatiran hati Sim Hong Bu bahwa usahanya membuat ikatan kekeluargaan antara keluarganya dan keluarga Kam akan mendapat tentangan dari keluarga isterinya, bukan tanpa alasan. Keluarga Cu adalah sebuah keluarga kuno yang tinggi hati, menganggap keluarga mereka tinggi dan mulia. Maka, kekalahan mereka terhadap Kam Hong merupakan pukulan batin hebat bagi mereka. Apalagi kalau diingat bahwa suling emas dan ilmunya di tangan Kam Hong itu berasal dari nenek moyang mereka (baca Kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ).

Biarpun Kam Hong menemukan ilmu itu secara kebetulan, bukan mencuri, dan senjata suling emas itupun merupakan warisan nenek moyangnya, akan tetapi karena pusaka dan ilmunya itu memang berasal dari nenek moyang keluarga Cu, maka keluarga Cu tetap menganggap Kam Hong sebagai pencuri! Dan mereka telah berusaha keras untuk menyaingi dan mengalahkan Kam Hong, dengan mengangkat Sim Hong Bu sebagai pewaris tunggal ilmu Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi inipun gagal. Cu Han Bu dan Cu Seng Bu menderita pukulan batin dan mereka tekun bertapa di guha rahasia di lembah mereka.

Pagi hari itu, tiga orang penghuni Lembah Naga Siluman duduk di serambi depan sambil menikmati udara pagi dan minum teh panas. Mereka adalah Cu Pek In isteri Sim Hong Bu, dan pamannya yang ke tiga, yaitu Cu Kang Bu dan isterinya yang bernama Yu Hwi.

Seperti diceritakan dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN, Yu Hwi adalah bekas tunangan Kam Hong, maka tentu saja dalam pertentangan itu, Yu Hwi sepenuhnya berpihak kepada keluarga suaminya!

Cu Pek In sudah berusia tiga puluh empat tahun, wajahnya yang cantik membayangkan kekerasan hatinya, terutama pada mulut yang kecil dan dikatupkan rapat-rapat itu.

Pamannya yang termuda, Cu Kang Bu, adalah seorang pria berusia empat puluh enam tahun yang perawakannya kokoh kuat dan tinggi besar, nampak gagah sekali. Cu Kang Bu berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Seribu Kati) dan dari julukannya saja dapat diduga bahwa dia memiliki tenaga yang amat kuat.

Di antara tiga saudara Cu, yang termuda ini memiliki hati yang paling terbuka, jujur dan gagah perkasa. Maka, diapun mengagumi Kam Hong dengan sejujurnya dan tidak mendendam atas kekalahannya seperti halnya kedua orang kakaknya yang sampai kini masih bertapa dengan tekunnya.

Dia hidup saling mencinta dengan Yu Hwi, isterinya yang usianya sekarang sudah empat puluh tahun. Sayang bahwa mereka tidak mempunyai keturunan dan karena sejak Sim Houw terlahir selalu tinggal bersama mereka dalam Lembah Naga Siluman itu, maka suami isteri yang tidak mempunyai anak ini juga amat menyayang Sim Houw, cucu keponakan itu. Kini, tiga orang itu merasa kehilangan sekali semenjak Sim Houw pergi merantau bersama ayahnya.

“Aahhh....” terdengar Yu Hwi menarik napas panjang. “Betapa sepinya tempat ini semenjak Houw-ji pergi....”

Mendengar ucapan isterinya, Cu Kang Bu melirik keponakannya, akan tetapi yang dilirik hanya menundukkan muka tanpa menanggapi.

“Ah, engkau ini!” katanya mencela isterinya sambil tersenyum. “Sebelum Sim Houw lahir, engkau tidak pernah merasa sepi!”

“Tentu saja!” Yu Hwi membantah. “Akan tetapi semenjak lahir, anak itu telah menjadi sebagian daripada hidup kita semua, kalau sekarang ditinggal pergi, tentu akan merasa kehilangan dan kesepian. Pek In, kapan sih suami dan puteramu akan pulang?”






“Dia tidak pernah mengatakan kapan, bibi. Akan tetapi mengingat akan jauhnya tempat yang akan dikunjunginya, kurasa akan memakan waktu berbulan-bulan.”

Yu Hwi menghela napas.
“Aku tidak mengerti mengapa suamimu jauh-jauh pergi ke Bukit Nelayan mengunjungi keluarga Kam yang sepantasnya malah harus dijauhinya. Bukankah keluarga Kam itu musuh keluarga kita?”

Cu Pek In diam saja, akan tetapi Cu Kang Bu mengerutkan alisnya mendengar ucapan isterinya yang membakar ini. Akan tetapi, pendekar tinggi besar ini terlalu mencinta isterinya untuk menegur dengan keras, maka diapun tertawa.

“Ha-ha, agaknya engkau lupa bahwa istana tua di puncak Bukit Nelayan itu adalah peninggalan nenek moyangmu sendiri yang sudah kau serahkan kepada Kam-taihiap untuk dijadikan tempat tinggal! Dan mengapa Hong Bu tidak mengunjunginya? Kam-taihiap adalah seorang sahabat baik.”

Yu Hwi adalah seorang wanita yang galak, genit dan tentu saja sejak menikah ia sudah menguasai suaminya. Kini ia cemberut memandang suaminya, lalu berkata dengan suara mengandung kejengkelan.

“Aihh, sungguh aku tidak mengerti jalan pikiranmu! Ke manakah harga dirimu sebagai anggauta penting keluarga Cu? Hemm, kalau sampai kedua kakak kita mendengar kata-katamu tadi, tentu mereka takkan merasa senang.”

Cu Kang Bu tidak marah. Dia tahu bahwa di balik segala kecerewetannya, isterinya amat mencintanya dan selalu akan membela pendiriannya. Dia hanya menarik napas panjang dan berkata.

“Sejak dahulu, aku tidak suka menyimpan dendam. Apalagi urusan antara keluarga kita dengan keluarga Kam sebetulnya tidak perlu diributkan lagi. Menurut keadaannya bahkan di antara kita masih ada sangkutan perguruan, jadi, kalau kini Sim Hong Bu mendekatinya, itu malah baik sekali!”

Cu Pek In yang sejak tadi diam saja, tiba-tiba berkata dan suaranya mengandung penyesalan besar yang ditahan-tahan.

“Paman, bukan hanya mendekati, bahkan dia pernah mengatakan bahwa kalau Kam Hong mempunyai seorang anak perempuan, dia ingin menjodohkan Houw-ji dengan keturunan keluarga Kam!”

“Ahhh.... gila itu!” Yu Hwi berseru kaget dan marah.

Akan tetapi Cu Kang Bu tertawa gembira.
“Bagus! Itu adalah niat yang bagus sekali! Dengan ikatan perjodohan, antara keluarga Cu dan keluarga Kam tidak ada lagi dendam dan menjadi keluarga. Bagus!”

“Tidaaak, aku tidak mau....!”

Tiba-tiba Cu Pek In menjerit, menangis lalu bangkit dari tempat duduknya dan lari memasuki kamarnya. Cu Kang Bu dan isterinya terkejut dan saling pandang. Tak mereka sangka Cu Pek In akan bersikap seperti itu. Memang nyonya muda ini sudah menahan-nahan kemarahan dan penasaran dalam hatinya, akan tetapi ia tidak tega untuk menentang suaminya. Kini, selagi suaminya tidak ada, tekanan batin itu meledak dan iapun menjerit dan menangis.

“Ah, lihat, engkau membuat Pek In marah dan berduka,” Yu Hwi mengomel. “Sudah jelas ia tidak menyetujui suaminya, akan tetapi engkau malah mendukung Hong Bu sehingga menjengkelkan hati Pek In.”

“Akan tetapi, aku memang melihat kebaikan bagi keluarga Cu dengan adanya niat Hong Bu itu....”

“Hemm, engkau sudah pikun agaknya. Siapa bilang ini urusan keluarga Cu? Yang hendak dijodohkan adalah keturunan keluarga Sim dan Kam, apa sangkut pautnya dengan keluarga Cu? Dalam hal ini, kiranya kita tidak perlu mencampurinya.”

Cu Kang Bu termangu-mangu dan baru dia teringat bahwa putera Pek In adalah keturunan Sim, bukan Cu! Diapun menarik napas panjang dan tidak mau membantah lagi, sedangkan Yu Hwi lalu menyusul Pek In untuk menghiburnya.

Dalam keadaan seperti itu, dapat dibayangkan betapa kemunculan Sim Hong Bu yang pulang ke Lembah Naga Siluman membawa Kam Bi Eng mendatangkan bermacam perasaan pada keluarga itu. Cu Kang Bu sendiri menyambutnya dengan ramah dan diam-diam pendekar raksasa ini setuju dengan tindakan yang diambil mantu keponakannya. Yu Hwi menerima tanpa bicara akan tetapi nyonya ini jelas tidak senang hatinya.

Yang paling menderita batinnya adalah Pek In. Bermacam perasaan mengaduk hatinya ketika suaminya bercerita di depan keluarga Cu. Ada rasa marah, penasaran, kecewa dan juga berduka. Terutama sekali mendengar bahwa puteranya kini berada di rumah keluarga Kam, menjadi murid!

Kam Bi Eng sendiri bersikap tenang. Di sepanjang perjalanan, gurunya bersikap baik sekali dan ia sudah mulai merasa hormat dan sayang kepada gurunya, juga calon ayah mertuanya. Di sepanjang perjalanan ia sudah mulai menerima petunjuk mengenai teori ilmu Koai-long Kiam-sut dan ternyata petunjuk pendekar itu amat berharga dan pengetahuan pendekar itu amat luas mengenai ilmu silat.

Maka, ketika ia bersama gurunya tiba di depan jurang yang lebar dan curam, yang memisahkan Lembah Naga Siluman dengan dunia luar, ia memandang dengan penuh kagum. Sudah beberapa kali Bi Eng diajak pergi ayah ibunya, akan tetapi belum pernah ia pergi merantau sejauh ini.

Perjalanan yang memakan waktu berpekan-pekan dan melalui daerah-daerah yang sama sekali asing baginya. Apalagi setelah tiba di daerah Pegunungan Himalaya, ia merasa kagum menyaksikan kebesaran alam yang demikian luas dan hebatnya. Dia berdiri di tepi jurang lebar, lalu melihat gurunya memberi tanda ke seberang dengan teriakan yang menggetarkan pohon-pohon dan pegunungan, melihat betapa ada tali perlahan-lahan naik dari dalam jurang yang tertutup kabut, ia semakin kagum.

“Mari kita masuk lembah,” kata gurunya yang meloncat ke atas tambang itu, setelah tambang terentang lurus.

Hati Bi Eng merasa ngeri. Berjalan di atas tambang sebesar itu bukan merupakan pekerjaan sukar baginya. Akan tetapi, kalau tambang itu melintang di atas jurang yang demikian lebarnya, demikian dalamnya sehingga dasarnya yang tertutup kabut itu tidak nampak, merupakan hal lain lagi. Melintasi jembatan tambang seperti itu membutuhkan ketabahan yang luar biasa. Akan tetapi ia bukan seorang dara penakut dan iapun meloncat di belakang gurunya.

Hong Bu tersenyum girang dan merekapun berjalan, setengah berlari, menyeberangi jurang itu di atas tambang yang hanya bergoyang sedikit saja karena keduanya mempergunakan ilmu meringankan tubuh mereka yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sebentar saja mereka telah tiba di seberang, disambut oleh tiga orang penjaga jembatan yang cepat memberi hormat kepada Hong Bu dan Bi Eng.

“Suhu, apakah jalan ke lembah hanya melalui jembatan tambang ini?” tanya Bi Eng.

Ia menyebut suhu kepada calon mertuanya, karena untuk menyebut ayah mertua ia merasa malu. Pula, bukankah ia memang sudah menjadi murid sehingga layak menyebut suhu, sedangkan ia masih belum resmi menjadi mantu?

“Benar, tidak ada jalan lain kecuali melalui jembatan tambang karena Lembah Naga Siluman dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam, tak mungkin dilalui manusia.” Sim Hong Bu menerangkan ketika mereka berjalan melalui lorong penuh pohon-pohon besar.

“Sebuah tempat yang hebat, tak mungkin didatangi orang jahat dari luar,” gadis itu memuji.

“Keluarga Cu amat terkenal, Bi Eng. Para datuk sesat tidak ada yang berani main-main di sini, karena selain tempatnya sukar diserbu, juga keluarga Cu termasuk keluarga sakti. Pula, keluarga Cu tidak pernah mencampuri urusan orang luar, maka dapat dikata tidak mempunyai musuh pribadi.”

Kecuali ayah, pikir Bi Eng dan hatinya kecut mengenangkan cerita ibunya betapa ayahnya pernah dimusuhi oleh keluarga Cu yang lihai. Dan kini ia datang sebagai murid.

Akan tetapi gurunya hanya mantu keluarga Cu, dan gurunya she Sim, bukan she Cu. Hal ini agak menenangkan hatinya yang mulai merasa tidak enak, seolah-olah di dalam dada gadis ini timbul perasaan bahwa tempat yang angker ini tidak suka didatangi olehnya.

Dan perasaan hatinya itu ternyata tidak menipunya. Ia merasakan penyambutan yang dingin sekali ketika akhirnya ia berhadapan dengan tiga orang penghuni rumah besar di lembah itu. Ban-kin-sian Cu Kang Bu menyambut Hong Bu dengan gembira, hanya nampak heran dan terkejut ketika Hong Bu memperkenalkan Bi Eng sebagai muridnya.

Akan tetapi Yu Hwi dan Cu Pek In tidak dapat menyembunyikan perasaan tak senangnya ketika mendengar bahwa dara remaja itu adalah puteri Kam Hong!

“Apa.... apa artinya ini?” Cu Pek In bertanya kepada suaminya dengan muka pucat. “Di mana anakku....?”

“Mari kita bicara di dalam. Aku membawa kabar yang baik dan menggembirakan sekali,”

Kata Hong Bu sambil tersenyum, menyembunyikan rasa gelisahnya karena dia tahu bahwa berita yang dibawanya itu belum tentu menggembirakan hati isterinya.

Demikianlah, akhirnya mereka semua berada di ruangan dalam, duduk mengitari meja dan Hong Bu lalu menceritakan pengalamannya bertemu dengan keluarga Kam. Dia menceritakan dengan singkat namun jelas dan mengakhiri dengan kata-kata yang mengandung nada gembira.

“Begitulah. Kami bersepakat untuk saling mendidik anak masing-masing selama tiga tahun dan aku akan memimpin Bi Eng untuk menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dengan Koai-liong Kiam-sut dan sebaliknya, Houw-ji akan digembleng oleh Kam-taihiap. Setelah lewat waktu itu, baru kami akan mematangkan pembicaraan tentang perjodohan antara kedua anak itu.”

Tiba-tiba Cu Pek In bangkit berdiri dari tempat duduknya dan dengan muka pucat memandang kepada Hong Bu, lalu terdengar suaranya yang bernada marah,

“Suamiku, mengapa engkau bertindak begini lancang?”

Hong Bu mengerutkan alisnya, lalu tersenyum, senyum yang agak masam.
“Isteriku, mengapa kau berkata demikian? Urusan Houw-ji adalah urusan pribadi kita berdua, karena dia adalah anak kita, dan sebelum barangkat aku sudah memperoleh persetujuanmu untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam!”

“Bukan itu maksudku!” bantah isterinya. “Akan tetapi tentang ilmu pusaka keluarga Cu itu! Bagaimana engkau berani lancang hendak mengajarkannya kepada orang lain tanpa lebih dulu mendapat perkenan dari ayah?”

Hong Bu yang diserang dengan kata-kata keras itu, menjadi terkejut. Dia menoleh kepada Cu Kang Bu yang sedikit banyak berhak pula bersuara dalam hal ini, akan tetapi pendekar raksasa itu hanya menunduk. Bibinya bahkan memandang kepadanya dengan sikap marah, jelas sekali betapa wanita itu mendukung pendirian Cu Pek In.

“Ini adalah urusan dan tanggung jawabku, biarlah aku akan menghadap ayah mertua untuk mohon perkenan beliau.”

Akhirnya dia berkata dan pertemuan itu dibubarkan dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan semua pihak. Akan tetapi, biarpun hatinya sendiri diliputi ketegangan melihat betapa suhunya menghadapi sikap menentang keluarganya, sikap Bi Eng sendiri tetap tenang. Hanya ada perasaan tidak suka kepada ibu dari Sim Houw itu yang memiliki pandang mata demikian dingin kepadanya, bahkan seperti orang membenci.

Menghadap atau menemui Kim-kong-sian Cu Han Bu bukanlah merupakan hal yang mudah. Semenjak dikalahkan oleh Kam Hong lalu mengasingkan diri bertapa, Kim-kong-sian Cu Han Bu dan adiknya, Bu-eng-sian Cu Seng Bu, jarang mau diganggu dan kalau tidak ada hal yang amat penting sekali, mereka tidak mau keluar dari tempat mereka bertapa atau membolehkan orang luar datang menghadap.

Dua kakak beradik ini bertapa, bukan hanya untuk memenuhi janjinya terhadap Kam Hong karena kekalahan mereka, akan tetapi juga diam-diam keduanya tekun mempelajari ilmu-ilmu mereka dan memperdalamnya dengan cara menciptakan ilmu-ilmu secara bersama sehingga selama belasan tahun mengasingkan diri itu mereka telah menjadi semakin lihai saja!

Dua hari kemudian barulah Hong Bu diperkenankan untuk menghadap guru atau ayah mertuanya. Karena dia berwatak terbuka dan ingin agar urusan segera beres, dia mengajak Bi Eng menghadap bersama. Dara itupun pergi bersama gurunya dengan sikap tenang dan di dalam hatinya, ingin sekali ia melihat wajah orang-orang yang pernah menjadi musuh ayahnya, dan ingin ia mengetahui bagaimana sikap keluarga Cu itu.

Tempat pertapaan itu sunyi sekali, berada di lereng bukit, di dalam sebuah guha besar ciptaan alam yang disempurnakan oleh tenaga keluarga Cu. Guha itu menerima sinar matahari yang cukup banyak, dibersihkan dan dibagi menjadi tiga ruangan. Dua buah tempat untuk bersamadhi yang terpisah, semacam kamar tidur kecil dan di tengah terdapat sebuah ruangan lebar yang lantainya rata dan tempat ini selain menjadi semacam ruangan duduk, juga menjadi tempat kakak beradik pertapa ini berlatih silat dan menciptakan ilmu baru bersama. Di ruangan inilah Sim Hong Bu diterima oleh ayah mertua dan pamannya.

Dua orang pendekar Cu itu sudah duduk menanti di ruangan tengah yang luas itu. Matahari pagi menyorotkan sinarnya melalui lubang di atas sebelah kiri sehingga ruangan itu terang dan bersih. Cu Han Bu sudah berusia lima puluh enam tahun akan tetapi wajahnya masih nampak segar. Hanya rambutnya yang putih semua itu yang menunjukkan bahwa dia sudah berusia agak lanjut. Pakaiannya bersih sederhana dan longgar seperti pakaian pertapa akan tetapi pinggangnya memakai sabuk emas yang bukan hanya merupakan sabuk biasa, melainkan menjadi senjata andalannya yang ampuh. Dia duduk bersila di atas dipan panjang bertilam kasur bulu, bersanding dengan Cu Seng Bu.

Kakek ke dua yang berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) ini usianya baru lima puluh satu tahun, akan tetapi kelihatan tidak lebih muda dari kakaknya. Tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat seperti orang berpenyakitan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang tipis. Mereka berdua duduk bersila seperti orang sedang samadhi ketika Sim Hong Bu melangkah memasuki guha itu bersama Bi Eng.

“Suhu, susiok, teecu datang menghadap,” kata Hong Bu sambil berlutut di depan dipan panjang bersama Bi Eng yang diam saja, hanya melirik ke arah dua orang itu.

Hening sejenak. Kedua orang tua itu membuka mata dan beberapa lamanya mereka memandang kepada Bi Eng dengan pandang mata penuh selidik. Melihat betapa dua pasang mata itu mengeluarkan sinar mencorong, Bi Eng merasa tegang dan ia menundukkan mukanya.

“Hong Bu, ada keperluan penting apakah maka engkau berani mengganggu ketenangan kami?” ayah mertua atau gurunya bertanya.

Sampai kini, sesuai dengan kehendak para tokoh keluarga Cu, dia menyebut suhu dan susiok kepada mereka. Hal ini menunjukkan kekerasan hati keluarga itu mengenai perguruan mereka. Hong Bu merupakan pewaris ilmu pusaka keluarga mereka, oleh karena itu dipentingkan kenyataan bahwa pendekar itu adalah murid mereka yang berhak mewarisi ilmu keluarga, bukan sekedar mantu!

“Suhu, seperti telah teecu laporkan ketika teecu berpamit kepada suhu, teecu telah mengajak Houw-ji merantau ke timur dan sekarang teecu hendak melaporkan segala peristiwa yang kami alami dalam perjalanan itu.”

“Hong Bu, siapakah anak perempuan yang kau ajak masuk ini?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya datar saja akan tetapi pandang matanya mengeras.

“Anak ini bernama Kam Bi Eng....”

“She Kam....?” Cu Seng Bu bertanya, suaranya mengeras.

“Benar, susiok. Bi Eng adalah puteri Kam Hong-taihiap.”

“Ehh? Tindakan apa yang kau ambil ini, Hong Bu?” Cu Seng Bu berseru, matanya terbelalak.

“Biarkan dia menceritakan semua. Bicaralah, Hong Bu, kami siap mendengarkan,” kata Cu Han Bu dengan suara tenang, akan tetapi jelas bahwa diapun menekan perasaan marahnya.

Hong Bu memang sudah siap. Dia tahu bahwa tindakannya itu tentu akan menghadapi tentangan, maka dengan sikap tenang tapi hormat diapun bercerita.

“Teecu bersama Houw-ji pergi ke Puncak Bukit Nelayan dan berkunjung ke tempat kediaman Kam-taihiap. Di sana teecu melihat bahwa Kam-taihiap mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Kam Bi Eng ini dan timbullah niat di dalam hati teecu, yang sebelumnya memang sudah teecu rundingkan dengan isteri teecu, untuk mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga Kam, menjodohkan Houw-ji dengan Bi Eng.”

Sim Hong Bu berhenti sebentar untuk melihat reaksi dua orang tua itu. Akan tetapi Cu Seng Bu diam saja sedangkan Cu Han Bu hanya mengeluarkan suara tidak jelas, dan disusul kata-kata tak acuh.

“Hemm, niat yang ganjil. Teruskan ceritamu.”

“Pinangan teecu diterima, kemudian kami bersepakat untuk menukar anak masing-masing, untuk saling dididik ilmu sehingga kedua anak itu kelak akan dapat menggabungkan Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, maka Houw-ji teecu tinggalkan di sana sedangkan Bi Eng teecu bawa pulang....”

“Sim Hong Bu....! Apa yang kau lakukan ini? Apakah engkau sudah gila?”

Cu Han Bu membentak, kini tidak lagi menahan-nahan kemarahannya yang memang sudah dipendamnya sejak kemarin ketika dia mendengar pelaporan Pek In yang datang bercerita sambil menangis.

“Suhu, teecu kira tidak ada sesuatu yang ganjil dalam tindakan teecu itu,” Sim Hong Bu berkata dengan sikap masih tetap tenang.

“Tidak ganjil? Engkau hendak berbesan dengan keluarga Kam dan kau katakan tidak ganjil? Sejak dahulu keluarga Kam adalah saingan dan musuh keluarga Cu dan engkau malah hendak mengikat tali perjodohan anakmu, mengikat tali kekeluargaan dengan pihak musuh?”
“Suhu, harap Suhu maafkan. Urusan perjodohan putera teecu adalah urusan teecu sendiri dan Houw-ji adalah she Sim, jadi tidak dapat disangkutkan dengan adanya permusuhan keluarga. Pula, sejak dahulu teecu tidak melihat suatu kesalahan pada Kam-taihiap maka teecu tidak dapat menganggapnya sebagai musuh. Harap suhu maafkan.” Cu Han Bu mengepal tinju dan mengerutkan alis.

“Baiklah, Sim Houw hanyalah cucu luarku, bukan she Cu. Aku tidak akan mencampuri urusanmu itu. Akan tetapi, engkau adalah muridku dan engkau pewaris ilmu pusaka keluarga kami. Bagaimana kini engkau berani hendak menurunkan ilmu keluarga kami kepada seorang murid, dan murid itu orang luar, bahkan anak musuh kami?”

“Suhu, kiranya dalam hal menerima murid, tidak dapat dibatasi dengan keluarga saja. Buktinya, suhu menurunkan ilmu pusaka keluarga kepada teecu yang she Sim. Dan andaikata harus diturunkan kepada keluarga sendiri, Bi Eng ini adalah calon anak mantu teecu, berarti iapun anggauta keluarga sendiri. Maka teecu berani mengangkatnya menjadi murid.”

“Brakkk!”

Ujung dipan di depan Cu Han Bu pecah berantakan oleh tangan pendekar ini ketika dia menamparnya untuk menyatakan kemarahannya.

“Sim Hong Bu! Bagaimanapun juga, aku tidak rela kalau ilmu keluarga kami diberikan kepada anak si pencuri Kam Hong!”

Sejak tadi Bi Eng mendengarkan dengan hati merasa tidak senang. Kini, mendengar ayahnya dimaki pencuri, ia bangkit berdiri.

“Suhu, bawa aku pergi dari sini! Mereka begini sombong, siapa sih yang kepingin belajar ilmu keluarga Cu? Dibandingkan dengan ilmu keluarga Kam, ilmu keluarga Cu tidak ada artinya!”

Bi Eng mengeluarkan kata-kata itu dengan bernafsu dan dia berdiri sambil bertolak pinggang. Tentu saja Sim Hong Bu terkejut bukan main sampai mukanya menjadi pucat, sedangkan ucapan dan sikap yang merendahkan dan menantang itu membuat Cu Seng Bu tak dapat merahan kemarahannya lagi. Diapun meloncat turun dari atas dipan.

“Lihat kesombongan setan cilik ini! Dan anak seperti ini akan mewarisi ilmu kita? Bocah she Kam, ingin kulihat sampai di mana kehehatan ilmu keluarga Kam!”

Berkata demikian Cu Seng Bu meloncat ke depan dan menggunakan tangan kirinya menampar ke arah leher Bi Eng! Orang ini berjuluk Bu-eng-sian atau Dewa Tanpa Bayangan, maka tentu saja dapat diduga bahwa dia adalah seorang ahli gin-kang yang sudah tinggi tingkatnya. Gerakannya demikian cepat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan Bi Eng dan tangannya menyambar seperti kilat cepatnya.

Akan tetapi tidak percuma Bi Eng sejak kecil digembleng ayahnya sendiri sebagai anak tunggal Pendekar Suling Emas itu. Ia memiliki kewaspadaan dan gerakan yang amat lincah. Begitu melihat tangan menyambar, ia sudah mengelak ke samping dan siap untuk membalas. Akan tetapi, belum sempat ia membalas, Cu Seng Bu sudah menyusulkan totokan-totokan ke arah pelipis, pundak dan pinggang secara bertubi dan cepat sekali.

Melihat ini, Bi Eng terpaksa melempar tubuhnya ke belakang dan membuat jungkir balik sebanyak tiga kali ke belakang. Gerakannya indah dan gesit seperti burung walet saja.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar