FB

FB


Ads

Selasa, 27 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 072

Wajah Sim Hong Bu yang tadinya berseri itu kini berobah dan timbul kerut merut di antara kedua alisnya karena ucapan tuan rumah itu seperti akan mengusir harapan yang sudah membesar tadi.

“Akan tetapi....?” Dia mengulang ketika Kam Hong menghentikan kata-katanya.

Kam Hong tersenyum.
“Jangan salah mengerti, saudara Sim. Kami mempunyai usul atau permintaan, akan tetapi usul kami ini adalah untuk kebaikan kedua pihak.”

Sim Hong Bu menggeser kursinya, bangkit dan memberi hormat.
“Saya percaya akan kebijaksanaan Kam-taihiap, katakanlah apa yang taihiap kehendaki dan saya tentu akan mempertimbangkannya dengan seksama.”

“Kami berdua sudah sepakat menerima pinanganmu dan kami akan merasa gembira kalau puteri kami kelak menjadi jodoh puteramu. Akan tetapi, karena mengingat bahwa puteri kami baru berusia lima belas tahun, dan kamipun melihat betapa puteramu juga belum berusia dewasa benar, kami minta agar pernikahan antara mereka ditangguhkan.”

“Bagus! Memang itupun menjadi keinginan kami berdua ayah dan ibu Sim Houw. Kami sekeluarga sudah merasa terhormat dan berbahagia andaikata pinangan kami diterima, sedangkan mengenai upacara pernikahan, kami serahkan kepada taihiap berdua, kapan sekiranya waktu yang paling tepat. Kamipun tidak tergesa-gesa dan memang benar bahwa putera kamipun baru berusia enam belas tahun, jadi belum matang benar.”

“Syukurlah kalau begitu, dalam hal ini kita sudah ada kecocokan. Sekarang kami hendak menyampaikan keinginan kami. Sebelum tiba saatnya, biarlah urusan jodoh ini dirahasiakan dahulu, belum terdapat pengikatan apapun, dan kami minta agar saudara Sim suka mendidik puteri kami, mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepadanya....”

“Ahh....!”

Sim Hong Bu terkejut setengah mati mendengar ini. Mengajarkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain merupakan pantangan besar dan tentu takkan diperkenankan oleh para gurunya. Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pusaka keluarga Cu yang dikuasai olehnya seorang, bahkan guru-gurunya, keluarga Cu tidak ada yang mampu menguasai ilmu itu.

Juga pedang Koai-liong Po-kiam menjadi miliknya. Ilmu itu hanya boleh diwariskan kepada keturunannya dan Sim Houw sudah pula mempelajarinya dengan baik. Kini, mendengar permintaan Kam Hong agar dia menurunkan ilmu itu kepada Bi Eng calon mantunya, dia menjadi ragu-ragu dan terkejut juga. Ada apakah di balik permintaan aneh ini?

“Kalau boleh saya bertanya, mengapa Kam-taihiap mengajukan syarat seperti itu?”

“Saudara Sim, engkau melihat sendiri betapa kami sekeluarga baru saja ditimpa bencana yang mengakibatkan tewasnya enam orang pembantu kami. Melihat ini, timbul gagasanku untuk memberi ilmu yang setinggi-tingginya kepada anak kami. Kami tahu bahwa kedua ilmu kita merupakan ilmu dari satu sumber yang kalau digabungkan akan menjadi semacam ilmu yang amat hebat. Jangan engkau khawatir, saudara Sim. Engkau mendidik dan melatih anak kami selama beberapa tahun sampai ia menguasai Koai-liong Kiam-sut, sedangkan puteramupun sebagai gantinya akan kami didik di sini untuk mempelajari Kim-siauw Kiam-sut sampai berhasil.”

“Ahhh....!” kembali Sim Hong Bu mengeluarkan seruan, akan tetapi sekali ini bukan seruan kaget dan bimbang melainkan seruan lega dan girang, walaupun masih ada keraguan di dalam hatinya bagaimana mungkin dia menurunkan Koai-liong Kiam-sut kepada orang lain. Dia bangkit berdiri lagi dan menjura. “Saya tahu bahwa Kam-taihiap amat bijaksana dan usul itu memang baik sekali. Akan tetapi tetap saja saya masih belum dapat menangkap maksud yang sebenarnya dari usul taihiap ini. Karena, kalau mereka kelak menjadi suami isteri, bukankah mereka dapat saling mengajarkan ilmu mereka?”

Kam Hong dan isterinya saling pandang dan mereka tersenyum, lalu Bu Ci Sian berkata dengan jujur,

“Sudah kukatakan bahwa Hong Bu memang cerdik sekali. Lebih baik kita berterus terang. Beginilah maksud kami. Kalau mereka itu belajar dari kita, kita yang lebih berpengalaman dan sudah mendalam penguasaan kita akan ilmu masing-masing, akan dapat membantu mereka untuk menggabungkan kedua ilmu kita itu sehingga lahir suatu ilmu gabungan yang amat kuat. Selain itu, sambil mengajar, bukankah kita memperoleh kesempatan banyak sekali untuk lebih mengenal watak dan keadaan calon mantu kita masing-masing?”

Mendengar ucapan ini, Sim Hong Bu tertawa pula dan mengangguk-angguk.
“Sungguh bijaksana sekali. Memang tepat. Orang tua tentu akan memilihkan orang yang paling cocok untuk anaknya. Baiklah, aku terima usul itu. Houw-ji, lekas memberi hormat kepada calon mertuamu, juga gurumu!”

Dengan muka merah Sim Houw mentaati perintah ayahnya dan diapun berlutut di depan kaki Kam Hong, menyebut “suhu” lalu memberi hormat di depan kaki Bu Ci Sian sambil menyebut “subo”.

Kam Hong dan isterinya tersenyum gembira menerima penghormatan itu.
“Bi Eng, lekas kau beri hormat kepada suhumu dan calon mertuamu!” kata Kam Hong.






Akan tetapi dara itu memandang ragu. Sejak tadi ia sudah mendengarkan percakapan mereka dengan alis berkerut dan muka agak pucat. Walaupun mulutnya tidak mengeluarkan bantahan, namun hatinya sangat tidak setuju. Dara yang berhati keras ini lalu berkata,

“Ayah, aku tidak ingin mempelajari Koai-liong Kiam-sut! Dengan ilmu-ilmu kita sendiri, aku merasa sudah cukup untuk melindungi diri sendiri!”

Ucapan dara ini mengejutkan tiga orang pendekar itu. Kam Hong dan isterinya merasa tidak enak sekali dan wajah Kam Hong menjadi merah. Akan tetapi dia tidak marah. Memang sejak kecil dia mendidik puterinya untuk hidup bebas dan memberi kebebasan kepadanya mengeluarkan pendapat dan isi hati. Kini, dara itu bicara terus terang seperti itu, sesungguhnya tidak dapat dipersalahkan. Maka, diapun mendebat, bukan memarahi.

“Bi Eng, jangan engkau tekebur! Lupakah engkau betapa baru beberapa hari yang lalu engkau dirobohkan penjahat? Hal itu tidak akan terjadi kalau ilmu kepandaianmu tinggi, tidak akan terjadi kalau engkau sudah menguasai gabungan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut. Mengapa engkau kini memandang rendah Koai-liong Kiam-sut?”

“Ayah, aku dikalahkan penjahat karena dia menggunakan kecurangan. Pula, kalau aku sampai kalah, tentu karena aku kurang matang berlatih ilmu-ilmu kita sendiri. Aku tadi sudah merasakan Koai-liong Kiam-sut, akan tetapi tidaklah seberapa hebat. Apa artinya kalau aku membuang waktu bertahun-tahun mempelajarinya? Lebih baik aku memperdalam ilmu-ilmu yang kudapat dari ayah.”

Hati Kam Hong semakin tidak enak terhadap Sim Hong Bu.
“Saudara Sim, harap kau sudi memaafkan kelancangan mulut anak kami.”

Akan tetapi Sim Hong Bu tertawa girang dan wajar, tidak dibuat-buat.
“Ha-ha-ha, Kam-taihiap, aku kagum sekali kepada puterimu. Ia memiliki kewajaran, dan kejujuran yang amat mengagumkan!” Ucapan ini bukan basa basi belaka.

Pendekar ini di waktu kecilnya adalah seorang pemburu dan hidup di antara keluarga pemburu. Keluarganya, para pemburu, memang sudah biasa dengan sikap wajar dan watak yang jujur berterus terang, maka kini dia merasa kagum sekali melihat dan mendengar betapa dara calon mantunya ini berani mengemukakan pendapatnya sebebas itu tanpa pura-pura!

Tentu saja hati suami isteri itu merasa lega mendengar tanggapan Sim Hong Bu terhadap sikap yang diperlihatkan Bi Eng. Akan tetapi diam-diam Kam Hong merasa malu karena biarpun Bi Eng memperlihatkan kebebasannya bersikap dan berpendapat, namun pendapatnya tentang ilmu silat tadi hanya menunjukkan betapa dara itu masih mentah.

“Bi Eng, engkau bodoh dan tekebur sekali. Memang, biarpun engkau masih kalah matang dalam ilmu silatmu dibandingkan dengan Sim Houw, akan tetapi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut sebanding dengan Ilmu Koai-liong Kiam-sut. Memang kedua ilmu pedang itu dari sumber yang sama, walaupun mempunyai perbedaan besar karena Kim siauw Kiam-sut memang khusus diciptakan untuk dimainkan dengan suling sedangkan Koai-liong Kiam-sut khusus diciptakan untuk dimainkan dengan pedang. Akan tetapi, kalau kedua ilmu itu digabung, kehebatannya menjadi berlipat ganda dan satu di antara kedua ilmu itu kalau dihadapi dengan gabungan kedua ilmu, akan mati kutu.”

“Tapi, bagaimana hal itu dapat dibuktikan sehingga dapat meyakinkan hatiku, ayah?” tanya Bi Eng yang masih merasa penasaran.

Ia merasa yakin bahwa ilmu keluarganya masih menang atas ilmu keluarga Sim, maka iapun segan kalau harus mempelajari ilmu itu. Bukankah dahulu ayahnya juga menang ketika bertanding melawan Sim Hong Bu? Kembali Sim Hong Bu tertawa.

“Ha-ha-ha, jujur, tabah dan juga cerdik, tidak mudah dibujuk. Sungguh watak yang amat baik untuk mempelajari Koai-liong Kiam-sut!” Dia memuji sejujurnya, bukan sembarang memuji untuk menyenangkan hati calon mantu itu.

“Bi Eng, engkau tahu bahwa tingkat kepandaianmu dalam ilmu Kim-siauw Kiam-sut sudah setaraf dengan tingkat ibumu dan aku sendiri belum tentu dapat menundukkanmu kurang dari tiga puluh jurus. Nah, sekarang engkau cobalah hadapi penggabungan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan oleh ibumu dan saudara Sim Hong Bu. Padahal, kalau dia seorang diri saja, aku berani tanggung bahwa dalam tiga puluh jurus belum tentu diapun dapat menundukkanmu. Lihat kehebatan penggabungan kedua ilmu itu.”
Bu Ci Sian mengerti akan maksud hati suaminya. Ia sendiri dahulu, di waktu gadisnya, pernah menghadapi lawan berat dengan cara bergabung dengan Sim Hong Bu dan hasilnya memang hebat. Ilmu mereka menjadi kuat sekali karena kedua ilmu itu mengandung unsur saling membantu. Maka dengan gembira iapun mencabut sulingnya dan berkata kepada tamunya.

“Hong Bu, mari kita perlihatkan kepada calon muridmu yang bandel ini!”

Tentu saja Hong Bu merasa tidak enak hati. Akan tetapi diapun maklum bahwa seorang anak keras hati seperti Bi Eng ini perlu diyakinkan, maka diapun mencabut pedangnya sambil tertawa.

“Baik, akupun ingin melihat bekal yang dibawa muridku.”

Bukan main kagetnya hati Bi Eng ketika melihat pedang itu dicabut. Terdengar suara mengaum dan nampak sinar yang demikian berkilau menyeramkan sehingga iapun harus memicingkan matanya. Sungguh sebatang pedang yang luar biasa hebatnya!

Kedua orang tua itu kini sudah memasang kuda-kuda dengan gaya masing-masing menghadapi Bi Eng, bukan mengurung dari kanan kiri atau depan belakang, melainkan maju bersama dari depan.

Melihat ini, Bi Eng merasa agak lega. Iapun tahu bahwa ibunya memiliki gerakan yang amat cepat, sedangkan laki-laki setengah tua yang gagah itu tentu lihai sekali mengingat dia pernah bertanding dengan ayahnya dan kata ayahnya tingkat mereka seimbang. Kalau mereka itu maju mengepung, ia akan repot juga.

Akan tetapi kini mereka maju bersama, biarpun ia tidak mungkin dapat mengharapkan menang, namun setidaknya ia akan dapat membela diri dan akan diperlihatkan kepada mereka bahwa penggabungan kedua ilmu itupun tidak banyak artinya. Ia akan berusaha mempertahankan diri selama tiga puluh jurus agar ayahnya dan keluarga Sim ayah dan anak itu akan menjadi kecelik dan iapun tidak usah belajar ilmu kepada ayah Sim Houw!

Dengan tenang iapun menggerakkan sulingnya, melintang di depan dada, memasang kuda-kuda untuk bertahan sebaik mungkin. Melihat ini, ibunya lalu berseru,

“Bi Eng, kami berdua akan menundukkanmu secepat mungkin. Engkau harus siap menjaga diri dan pergunakan segala daya tahan Kim-siauw Kiam-sut dengan sulingmu!”

Hemm, ibunya terlalu memandang rendah kepadanya, pikir Bi Eng. Masih diberi peringatan dan nasihat pula, seolah-olah ia tidak akan mampu bertahan. Ia telah mengenal semua jurus serangan yang akan dilakukan ibunya dan tahu pula bagaimana harus menghindarkan diri dari jurus itu, dan biarpun ia belum mengenal jurus serangan Koai-liong Kiam-sut, namun dengan mengandalkan kehebatan gerakan sulingnya, mustahil ia akan dapat dikalahkan dalam waktu singkat!

“Baik, ibu. Aku sudah siap! Majulah dan keroyok aku!”

Ci Sian menoleh kepada Hong Bu sambil berkata,
“Aku menjadi inti dan engkau pelengkap.”

Hong Bu tersenyum mengangguk dan membiarkan wanita yang pernah menjatuhkan hatinya itu bergerak lebih dulu.

“Singgg....!”

Suling emas di tangan nyonya itu menyambar ke arah kaki puterinya dengan totokan-totokan. Tentu saja Bi Eng mengenal jurus ini dan tahu bahwa cara menghindarkannya adalah meloncat ke atas dan ke belakang. Akan tetapi, pada saat itu, nampak sinar berkelebat dibarengi suara mengaum dan tahu-tahu pedang Koai-liong Po-kiam telah menyambar dari atas dan terus ke arah belakangnya, menutup jalan keluarnya! Bi Eng terkejut dan cepat memutar sulingnya menangkis pedang itu.

“Cringg....! Tukk....!”

Dan iapun roboh terguling. Ketika ia menangkis pedang, ternyata perhatiannya ke bawah menjadi lengah dan dengan mudah ibunya telah menotok betisnya sehingga betis itu menjadi kesemutan dan tanpa dapat ditahan lagi iapun terguling. Dengan muka merah Bi Eng meloncat bangun lagi.

“Aku masih belum puas!” teriaknya.

“Sekarang engkau penyerang inti dan aku pelengkap!” kata Ci Sian kepada Hong Bu sambil tersenyum.

Hong Bu mengangguk.
“Nona, awas serangan!”

Pedangnya berkelebat dan nampaklah gulungan sinar pedang menyambar dengan lengkungan indah, menyambar ke arah leher dan dilanjutkan dengan tusukan ke arah perut.

Bi Eng mengelak dan menggerakkan sulingnya menangkis. Pada saat itu, suling di tangan ibunya berkelebat ke arah pinggangnya. Iapun tahu bagaimana harus menghindarkan serangan ini, akan tetapi karena pedang tadi mengancam perutnya, ia tidak dapat menangkis pedang dan suling sekaligus dan terpaksa hanya menangkis pedang sambil meloncat ke belakang menghindarkan suling ibunya.

Akan tetapi pedang itu meluncur terus dari atas, membuat ia terpaksa memutar suling ke atas dan saat itu, kaki Hong Bu menyambar, ujung sepatunya menyentuh lutut dan kembali Bi Eng terguling roboh!

Kini Bi Eng yakin akan kehebatan penggabungan dua ilmu itu. Rasanya tidak mungkin ia dapat dirobohkan sedemikian cepatnya oleh seorang di antara mereka. Gerakan dua orang itu begitu tepat pada waktunya, dan kedua senjata itu saling bantu secara tepat pula, menutup jalan keluar dan menyambung serangan dengan serangan lain yang tak terduga-duga.

Sebagai seorang yang keras hati namun jujur dan memegang teguh janjinya, Bi Eng lalu menyelipkan suling di pinggang dan menjatuhkan diri berlutut di depan Sim Hong Bu seperti yang dilakukan Sim Houw tadi sambil berkata,

“Suhu....!”

Sim Hong Bu tertawa girang.
“Ha-ha, anak baik.... anak baik....”

Akan tetapi muridnya yang dipuji sebagai anak baik itu seorang anak yang bandel dan kritis.
“Suhu, teecu memang telah dijatuhkan dua kali secara mudah. Akan tetapi, yang maju adalah ibu dan suhu berdua, berarti teecu dikeroyok dua. Kalau yang maju seorang saja, biarpun sudah memiliki kedua ilmu itu, mana mungkin? Seorang dan dua orang tentu berbeda sekali!”

“Anak baik, kalau engkau sudah menguasai kedua ilmu itu dan menggabungnya, gerakanmu akan jauh lebih lihai daripada penggabungan yang dimainkan dua orang. Gerakanmu menjadi otomatis. Karena sejak kecil engkau telah menguasai Kim-siauw Kiam-sut, biarlah ilmu itu akan menjadi penyerang inti, sedangkan Koai-liong Kiam-sut menjadi pelengkapnya, dan untuk itu tangan kirimu akan memegang sebatang pedang pendek atau pisau belati.”

“Bi Eng, kata-kata suhumu itu tepat sekali. Tadipun mereka berdua maju dengan jurus-jurus yang saling melengkapi, bukan merupakan jurus terpisah. Dan kelak engkau akan mainkan Kim-siauw Kiam-sut yang dilengkapi oleh Koai-liong Kiam-sut, sebaliknya Sim Houw akan memainkan Koai-liong Kiam-sut dengan pedang di tangan kanan, dilengkapi oleh Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling di tangan kiri.”

“Bagus sekali! Dan kita sama lihat saja kelak siapa di antara keduanya yang lebih lihai!” kata Sim Hong Bu dengan suara setengah bersorak.

“Kurasa tiga tahunpun sudah cukup karena sumber kedua ilmu itu sama sehingga tidak sukar mempelajari gerakan dasar pada kaki.”

“Benar!” kata pula Kam Hong gembira.

“Tiga tahun lagi dan kita boleh coba murid kita masing-masing, gabungan siapa yang lebih jitu!”

Diam-diam Bu Ci Sian tersenyum geli. Dua orang pendekar itu begitu gembira dengan murid baru mereka sehingga seperti bersaing, agaknya sudah lupa bahwa murid saingan masing-masing adalah anak sendiri dan juga agaknya sudah lupa akan urusan perjodohan!

Tiga hari kemudian, Bi Eng menggendong buntalan bekalnya meninggalkan rumah orang tuanya untuk mengikuti Sim Hong Bu yang menjadi guru dan calon ayah mertuanya, untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun. Sedangkan Sim Houw tinggal di rumah keluarga Kam.

Keberangkatan Bi Eng diantar oleh ayah bundanya dan Bu Ci Sian, biarpun ia sendiri seorang wanita yang tabah dan keras hati, hanya mampu menahan tangis selama Bi Eng masih nampak saja. Setelah bayangan dara itu lenyap, ia tidak dapat membendung tangisnya karena kesedihannya ditinggalkan puteri tunggalnya. Suaminya mendiamkannya saja, lalu merangkul dan menghiburnya.

“Bi Eng hanya pergi sementara dan mempelajari ilmu, sedangkan kita memperoleh penggantinya, murid yang cerdik dan juga calon mantu. Apa yang perlu disedihkan?”

“Bagaimana hati ini tidak akan merasa sedih?” bantah isterinya. “Semenjak lahir sampai sekarang, Eng-ji tidak pernah berpisah dari sampingku, dan sekarang harus berpisah darinya untuk selama bertahun-tahun.”

“Jangan terlalu dipikirkan, bukankah semua itu memang sudah kita sengaja? Pula, kita yakin bahwa ia berada di tangan yang baik dan dapat dipercaya sepenuhnya. Kita telah mengenal benar keadaan dan watak Sim Hong Bu, bukan?”

Ci Sian mengangguk dan akhirnya hatinya terhibur juga, apalagi ketika ternyata bahwa Sim Houw adalah seorang murid yang amat baik. Bukan saja pemuda ini memiliki bakat yang tidak kalah dibandingkan dengan Bi Eng, akan tetapi pemuda ini berwatak pendiam, tidak banyak cakap akan tetapi amat rajin bekerja di ladang.

Kam Hong dan isterinya merasa suka sekali kepada calon mantu ini dan Kam Hong mengajarkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut dengan sepenuh hatinya, memberi sebatang suling emas kepada murid atau calon mantunya ini.

**** 072 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar