FB

FB


Ads

Selasa, 27 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 071

Ayah dan ibunya tidak pernah mengajaknya bicara tentang perjodahan, apalagi tentang maksud hati ayahnya yang berkunjung ke rumah keluarga Kam yang ternyata adalah untuk membicarakan perjodohannya atau melamar gadis orang! Kemudian terdengar Kam Hong menarik napas panjang, disusul suara ketawanya yang lembut.

“Aih, saudara Sim, sungguh pernyataanmu tadi seperti serangan mendadak yang membuat kami terkejut dan bungkam. Betapapun juga, kami merasa amat berterima kasih, bangga dan girang bahwa engkau mempunyai niat yang demikian mulia terhadap diri puteri kami yang bodoh. Karena pinanganmu ini datangnya terlalu tiba-tiba, dan untuk mengambil keputusan kami perlu mengadakan perundingan dalam keluarga lebih dahulu, maka harap engkau suka bersabar menanti. Tunggulah sampai kami selesai mengurus penguburan jenazah-jenazah ini, baru kami akan memberi jawaban dan keputusan.”

Sim Hong Bu cepat bangkit dan menjura dengan hormat.
“Maaf.... harap ji-wi maafkan karena memang aku telah tergesa-gesa dan lancang sekali. Baik, tentu saja aku harus tahu diri, lupa bahwa sekarang bukan saatnya yang baik. Saya akan menanti dengan sabar, Kam-taihiap.”

“Akan tetapi, kalian tinggal saja di sini,” kata Bu Ci Sian.

“Benar, tinggallah di sini selama beberapa hari,” sambung suaminya.

Hong Bu tidak menolak dan ayah bersama puteranya ini tinggal di rumah gedung tua itu, bahkan membantu pihak tuan rumah ketika mengurus penguburan enam buah peti jenazah. Pekerjaan ini dibantu pula oleh para penduduk yang berdekatan.

Selama itu, biarpun seringkali jumpa, Bi Eng dan Sim Houw tidak pernah bicara. Bi Eng biasanya lincah jenaka dan gembira, pandai bicara, akan tetapi karena para orang tua membicarakan perjodohannya dengan pemuda ini, ia menjadi malu dan tidak berani mendahului menegur pemuda itu.

Sebaliknya, Sim Houw memang seorang pemuda yang pendiam dan canggung kalau berhadapan dengan wanita, maka mereka hanya saling bertukar pandang saja sekilas tanpa saling menegur kecuali mengangguk tanda hormat.

Kam Hong selalu membicarakan perkara perjodohan itu dengan isterinya. Mereka sebetulnya merasa suka melihat putera Hong Bu itu. Mereka mengenal ayah pemuda itu sebagai seorang pendekar perkasa, juga ibunya adalah keturunan keluarga Cu yang sakti. Sim Houw adalah keturunan orang-orang gagah dan pemuda itupun cukup tampan dan bersikap baik, pantas kalau menjadi suami Bi Eng.

Akan tetapi, mereka harus berhati-hati agar jangan sampai salah memilih calon suami puteri tunggal mereka. Oleh karena itu, setelah upacara penguburan para jenazah itu selesai, suami isteri ini mengadakan perundingan dan memanggil puteri mereka. Keluarga ini selalu bersikap bebas dan dalam hal inipun mereka akan bersikap terbuka kepada puteri mereka.

“Eng-ji,” kata ibunya yang bertugas menyampaikan urusan itu kepada puteri mereka, “seperti telah kau dengar sendiri, keluarga Sim datang meminangmu. Engkau telah melihat sendiri pemuda itu dan kami dapat menerangkan bahwa keluarga Sim adalah keluarga gagah perkasa dan ayah pemuda itu sejak dahulu telah menjadi sahabat baik kami. Betapapun juga, ayah ibumu ingin mengetahui isi hatimu karena engkaulah yang akan menjalani dan urusan pernikahan adalah urusan yang menyangkut diri selamanya. Bagaimana pendapatmu, Eng-ji, setujukah engkau kalau menjadi calon isteri Sim Houw?”

Biarpun pada waktu itu, belum dikenal orang tentang kebebasan memilih jodoh sendiri, dan hampir setiap perjodohan yang terjadi selalu terjadi atas pilihan orang tua masing-masing bahkan jarang ada pemuda atau pemudi yang dapat mengenal lebih dahulu siapa calon jodohnya dan tahu-tahu saling berjumpa di waktu upacara pernikahan, namun keluarga Kam memang menganut sikap bebas dalam kehidupan keluarga mereka.

Bagaimanapun juga, tentu saja pengaruh tradisi yang sudah mengakar dan menjadi kebiasaan dan kesopanan umum itu tidak dapat terlepas begitu saja, maka Kam Hong dan Ci Sian juga terpengaruh dan mereka lehih condong untuk menilai dan memilih calon jodoh puteri mereka, walaupun mereka kini menyerahkannya kepada penilaian Bi Eng sendiri.

Di lain pihak, juga Bi Eng sebagai seorang dara muda yang hidup di jaman itu, tidak terlepas dari rasa kikuk dan malu untuk membicarakan urusan perjodohannya. Pada jaman itu, hubungan antara pria dan wanita merupakan suatu hal yang dianggap rahasia dan amat memalukan kalau dilihat atau didengar orang lain, sedangkan urusan pernikahan adalah urusan hubungan antara pria dan wanita, maka setiap orang, terutama gadisnya, tentu akan merasa malu sekali kalau diajak berunding tentang pernikahannya.

Bi Eng yang baru berusia lima belas tahun itu sebetulnya belum pernah berpikir tentang perjodohan, maka ketika tempo hari mendengar pinangan yang diajukan tamunya, ia tidak kuat mendengar terus saking malunya, dan ia melarikan diri bersembunyi ke dalam kamarnya.

Kini, mendengar pertanyaan ibunya, iapun menunduk dan mukanya berobah merah sekali. Ia menjadi bingung karena sama sekali belum pernah membayangkan bahwa ia akan dilamar orang, akan menjadi isteri orang. Harus diakuinya bahwa pemuda yang akan dijodohkan dengannya itu cukup ganteng dan gagah, akan tetapi ia tidak tahu apakah ia akan suka menjadi isteri pemuda itu.

Kini, ia merasa bingung harus berkata apa. Untuk menolak begitu saja tentu dia tidak sampai hati kepada orang tuanya, karena bukankah urusan jodoh adalah urusan orang tua dan anak yang berbakti tinggal mentaatinya saja? Demikianlah anggapan umum para muda pada jaman itu. Menyimpang dari anggapan ini akan dianggap hal yang amat tidak patut sekali! Maka, seperti sikap seorang gadis sopan yang diharapkan semua orang pada jaman itu, iapun menunduk ketika menjawab lirih.

“Aku.... aku tidak tahu, ibu.... hal ini.... terserah kepada ayah dan ibu saja!”

Setelah berkata demikian, Bi Eng lalu pergi meninggalkan orang tuanya, keluar dari rumah melalui pintu belakang dan memasuki kebun belakang yang luas.

Hatinya bingung dan perasaannya masih terguncang oleh pertanyaan ibunya tadi. Selama ini belum pernah ia berpikir tentang perjodohan, maka datangnya pertanyaan itu sungguh merupakan hal yang mengejutkan dan membingungkan hatinya.

“Ah, ia masih terlalu muda untuk dapat mengambil keputusan tentang perjodohannya sendiri.” kata Ci Sian kepada suaminya.






Suaminya mengangguk.
“Akan tetapi kita sudah menanyakan pendapatnya sehingga kelak ia tidak akan dapat menuduh kita melakukan pemaksaan dalam hal perjodohannya. Dan sebagai seorang anak yang amat baik ia telah menyerahkan urusan itu kepada kita untuk mengambil keputusan.”

“Apakah ini berarti bahwa engkau akan menerima begitu saja pinangan Sim Hong Bu?” isterinya bertanya.

Suaminya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
“Memang, dilihat begitu saja tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak menerima pinangan Hong Bu. Dia seorang gagah perkasa yang sudah kita kenal benar wataknya, dan isterinyapun keturunan keluarga Cu yang perkasa. Pemuda itu sendiri kelihatan tidak ada cacatnya dan cukup gagah. Betapapun juga, kita harus berhati-hati sekali memilihkan jodoh anak kita. Akupun tidak tergesa-gesa mengambil keputusan, maka aku mengajakmu berunding dan kitapun tadi sudah menanyakan pendapat Eng-ji sendiri.”

Suami isteri itu termenung, masih diliputi kebimbangan walaupun mereka berdua memang sudah condong sebelumnya untuk menerima pinangan itu dengan girang karena merasa bahwa puteri mereka telah mendapatkan jodoh yang cocok.

Pada jaman itu memang belum ada apa yang dinamakan pergaulan bebas antara para gadis dan pemuda seperti sekarang. Gadis yang sudah mulai dewasa dikurung oleh orang tuanya, dijadikan semacam benda berharga yang menanti penawaran yang tentu saja diharapkan mendapat penawaran tertinggi!

Pingitan para gadis itu oleh orang tua mereka dianggap sebagai hal yang amat baik, bahkan akan mengangkat derajat dan harga diri gadis mereka dalam pandangan para calon besan. Keadaan yang sudah menjadi tradisi ini, yang pada jamannya masing-masing berlaku puda di seluruh bagian dunia agaknya, tidak memungkinkan adanya perjodohan atas pilihan hati sendiri.

Pernikahan terjadi atas pilihan dan kehendak orang tua yang tentu saja dengan cara masing-masing, dengan perhitungan dan pertimbangan masing-masing, bertindak dengan tujuan membahagiakan anak sendiri.

Pada jaman dan mungkin masih ada pula terjadi di jaman sekarang, orang-orang tua menilai keadaan si calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kedudukannya, kekayaannya dan sebagainya. Ini penilaian orang tua si gadis. Adapun orang tua si pemuda akan menilai seorang gadis calon mantu dari keadaan keluarganya, keturunannya, kecantikannya, dan kepandaiannya atau juga sikapnya.

Mereka itu, orang-orang tua yang memang tidak mengerti itu, tidak tahu bahwa perjodohan adalah urusan hati, urusan cinta. Bersatunya dua orang manusia pria dan wanita untuk hidup bersama, membentuk rumah tangga dan keluarga, hanya dapat berhasil apabila terdapat cinta di dalam hati masing-masing.

Tanpa adanya cinta kasih, segala macam sarana lahiriah seperti kedudukan, harta benda, kepandaian dan sebagainya itu tidak mungkin dapat mengokohkan hubungan antara dua orang manusia yang berjumpa setelah keduanya dewasa dan hidup bersama selamanya! Bukan kebahagiaan yang diperoleh, bahkan sebaliknya, mereka akan tersiksa selamanya. Berknmpul terus menyiksa hati, bercerai tidak mungkin seperti keadaan di jaman itu. Sebaliknya, kasih sayang akan mengalahkan segala rintangan.

Harus diakui bahwa memang ada pertumbuhan cinta kasih setelah keduanya bertemu dalam upacara pernikahan. Namun, kebanyakan tidaklah demikian. Kebanyakan hanya memaksa dirinya sendiri sesuai dengan tradisi yang sudah menjadi peraturan, kesusilaan dan kesopanan di jaman itu. Mereka, terutama yang wanita, hanya mampu menangis dan menerima nasib, lalu memaksa diri melayani suaminya sebaik mungkin agar disebut sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga yang baik!

Pada jaman itu “nama baik” merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan. Untuk mengejar “nama baik” ini, orang rela mengorbankan apa saja, kalau perlu berkorban nyawa sekalipun! Betapa banyaknya wanita di jaman itu, bahkan mungkin juga masih ada di jaman sekarang, yang hidup tersiksa batinnya dan menderita sengsara, sebagai seorang isteri yang sebenarnya tidak mencinta suaminya, namun memaksa diri mempertahankan nasibnya itu sampai selama hidupnya, hanya karena ingin menjaga nama baiknya.

Lebih baik hidup menderita selamanya akan tetapi mendapat nama baik sebagai seorang isteri yang setia, yang baik dan sebagainya daripada bebas penderitaan batin namun menjadi bahan cemoohan dan celaan umum, demikianlah pegangan batin mereka.

Perjodohan adalah urusan hati dan dasarnya hanya satu, ialah cinta kasih. Hanya cinta kasih sajalah yang kekal. Cinta bukanlah nafsu. Nafsu hanya sementara saja dan mudah luntur. Boleh saja untuk menentukan jodoh orang memperhitungkan keadaan lahiriah, misalnya keadaan pekerjaan dan keuangan sebagai sarana hidup berumah tangga, namun sesungguhnya bukan itu yang menentukan.

Uang, kedudukan, dan segala keadaan lahiriah itu dapat berobah sewaktu-waktu. Pangkat dapat dicopot, uang dapat habis. Akan tetapi cinta kasih akan dapat mengatasi segala macam gelombang hidup dan akan dapat bertahan dalam keadaan bagaimanapun juga. Akan tetapi, mengapa kita masih saja tidak mau membuka mata melihat kenyataan ini? Mengapa kita sampai sekarang masih meributkan urusan perjodohan dan menilai orang dari keadaan lahiriah seperti keturunan, kekayaan, kedudukan, agama, suku, bangsa dan sebagainya?

Setelah suami isteri itu termenung beberapa lamanya, akhirnya Ci Sian memperoleh suatu hasil pemikiran yang dianggapnya baik sekali.

“Memang kita harus berhati-hati, dan kurasa ada jalan yang amat baik. Kita berdua memang sudah merasa cocok, kalau anak kita menjadi mantu Sim Hong Bu. Bagaimana kalau kita menerima pinangan mereka akan tetapi menangguhkan pernikahannya sampai satu dua tahun lagi? Pertama, mengingat Bi Eng sekarang baru berusia lima belas tahun dan ke dua, penangguhan ini dapat kita pergunakan sebagai waktu untuk melakukan penyelidikan. Kita amati bagaimana tingkah laku calon mantu itu agar hati kita menjadi lega dan puas.”

Kam Hong menjawab hati-hati,
“Usulmu itu memang baik sekali, akan tetapi kurasa tidak mudah untuk dilaksanakan. Engkau tahu, keluarga itu tinggal jauh sekali di Pegunungan Himalaya. Dalam jarak sejauh itu, bagaimana mungkin kita akan dapat mengamati kelakuan calon mantu kita? Tidak, kita harus mencari jalan lain yang lebih baik.”

“Jalan lain bagaimana?”

“Aku mempunyai pikiran yang kukira baik sekali. Ingat, ilmu yang kita warisi, yaitu Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, merupakan lawan paling seimbang dan juga pasangan yang amat baik dari ilmu pedang warisan mereka, yaitu Koai-liong Kiam-sut. Kurasa Sim Houw telah mewarisi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut, sedangkan anak kitapun sudah mewarisi Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut kita, walaupun belum sempurna benar dan tinggal memperdalam dengan latihan saja. Untuk dapat menilai keadaan Sim Houw, satu-satunya jalan adalah kalau dia tinggal bersama kita di sini.”

“Ehh? Bagaimana mungkin? Tidak pantas kalau dia tinggal dulu di sini sebelum menjadi suami Bi Eng....”

“Bukan begitu maksudku. Biarlah perjodohan itu kita ikat, akan tetapi masa pertunangan itu kita manfaatkan, baik juga sebagai syarat pernikahan. Biar Eng-ji mereka didik dan diajari Koai-liong Kiam-sut, sedangkan Sim Houw kita didik dan kita ajari Kim-siauw Kiam-sut. Dengan demikian, kita memperoleh dua keuntungan. Pertama, dengan menjadi murid kita beberapa tahun lamanya, tentu saja kita akan dapat mengenal wataknya yang sebenarnya dan kita dapat menilai apakah dia memang pantas menjadi jodoh anak kita. Dan ke dua, dengan penukaran ilmu itu, tentu anak kita akan menguasai dua ilmu itu dan menggabungnya sehingga ia akan menjadi seorang yang amat tangguh, lebih tangguh daripada kita. Bagaimana?”

Bu Ci Sian termenung. Usul suaminya itu sungguh baik sekali, akan tetapi kalau ia membayangkan harus berpisah dari puterinya selama beberapa tahun, hatinya merasa sedih. Agaknya Kam Hong dapat mengetahui isi hati isterinya. Dia memegang lengan isterinya dengan mesra lalu berkata, suaranya halus dan penuh kasih sayang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa demi cinta kita kadang-kadang harus berani berkorban. Aku sendiripun tentu saja merasa berat harus berpisah dari puteri kita yang kita cinta. Akan tetapi, ingatlah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Sekali waktu, pasti kita akan berpisah dari orang-orang yang kita cinta, termasuk Bi Eng. Akan tetapi, biarpun kita merasa tidak senang kalau harus berpisah dari anak kita, kita harus ingat bahwa perpisahan sementara ini adalah demi kebaikan anak yang kita cinta. Maka, demi anak kita, perasaan kita sendiri haruslah dikesampingkan. Setujukah engkau?”

Bu Ci Sian menghela napas panjang. Tentu saja, demi kebaikan Bi Eng sendiri, mau tidak mau ia harus menyetujui usul suaminya ini. Bagaimanapun juga, amat baik kalau Bi Eng memperdalam ilmunya dengan menguasai Koai-liong Kiam-sut. Ilmu yang amat tinggi dan penting untuk kehidupan puterinya. Bukankah ia dan suaminya sendiri, walaupun sudah memiliki kepandaian tinggi, tidak luput daripada bencana ketika Hek-i Mo-ong dan kawan-kawannya muncul? Dan Bi Eng pernah hendak dijodohkan oleh iblis itu dengan muridnya!

Biarpun kemudian ternyata bahwa murid iblis itu adalah cucu Pendekar Super Sakti, namun sebagai murid iblis itu tentu saja ia tidak setuju kalau menjadi suami Bi Eng. Putera Sim Hong Bu jauh lebih baik dibandingkan dengan murid iblis itu. Maka iapun mengangguk setuju.

Tiba-tiba suami isteri ini terkejut mendengar suara angin dan lengkingan-lengkingan nyaring diseling suara mengaum dan berdesing. Lengkingan itu adalah suara senjata suling anak mereka, dan hal itu berarti bahwa Bi Eng sedang berkelahi mempergunakan sulingnya!

Seperti disengat binatang berbisa karena teringat akan malapetaka yang baru saja menimpa keluarga mereka dengan kemunculan datuk-datuk sesat, suami isteri perkasa ini sudah meloncat dan seperti berlumba saja mereka lari menuju ke arah datangnya suara itu, yalah dari kebun belakang.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Bu Ci Sian melihat bahwa puterinya itu sedang bertanding mati-matian melawan Sim Houw, pemuda yang direncanakan akan menjadi mantunya itu! Tentu saja ia marah dan hendak meloncat dan membentak, akan tetapi lengannya dipegang Kam Hong dan ketika isteri itu menoleh kepada suaminya, ia melihat suaminya memberi tanda agar ia diam saja.

“Agaknya mereka sedang berlatih.” bisik Kam Hong.

Ci Sian memandang dengan mata terbelalak khawatir. Ia sama sekali tidak melihat mereka sedang berlatih, akan tetapi karena perkelahian yang nampak sungguh-sungguh itu agaknya dikuasai oleh Bi Eng yang lebih banyak menyerang dan mendesak dengan sulingnya dibandingkan dengan Sim Houw yang lebih banyak mengelak atau menangkis dengan pedangnya, maka iapun diam saja.

Apakah yang telah terjadi antara Sim Houw dan Bi Eng? Seperti kita ketahui, ketika ia diajak bicara tentang perjodohan oleh ayah ibunya, Bi Eng menyerahkan urusan itu kepada orang tuanya dan karena merasa risi, canggung dan malu, iapun meninggalkan orang tuanya dan memasuki kebun belakang rumahnya.

Kebun ini luas, terdapat banyak pohon buah, sayur dan bunga-bunga yang dirawatnya sendiri dibantu oleh para pelayan yang kini telah tewas semua. Melihat kebunnya, Bi Eng teringat kepada para pembantu yang juga merupakan murid-murid ayahnya dan hatinya bersedih. Apalagi teringat akan pembicaraan ayah ibunya tadi, hatinya menjadi semakin sedih.

Ia belum mengenal Sim Houw dan ia tidak tahu apakah ia suka atau tidak menjadi isteri pemuda itu. Ia lebih suka kepada Ceng Liong, walaupun bukan suka sebagai isterinya. Masih terlalu jauh memikirkan hal itu. Ia suka kepada Ceng Liong yang dianggapnya amat baik kepadanya, juga seorang pemuda gagah perkasa dan berkepandaian tinggi, cucu Pendekar Super Sakti pula!

Tentang Sim Houw, ia tidak tahu sama sekali. Pernah ayah ibunya bercerita tentang Sim Hong Bu, yang menurut cerita ayahnya merupakan seorang pendekar gagah perkasa yang kepandaiannya setingkat dengan ayahnya. Bahkan menurut ibunya, pernah terjadi pertandingan antara ayahnya dan Sim Hong Bu dan ayahnya hanya menang tipis saja. Menurut orang tuanya, keluarga Sim mempunyai ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang masih sesumber dengan Kim-siauw Kiam-sut. Hal ini membuat hatinya penasaran.

Kalau begitu, keluarga Sim adalah musuh, atau setidaknya juga saingan! Mengapa sekarang ia akan dijodohkan dengan puteranya? Pikiran ini membuat hati dara remaja itu menjadi bimbang dan penasaran. Keputusan orang tuanya untuk menjodohkannya dengan putera keluarga Sim apakah tidak akan diartikan orang bahwa keluarga Kam merasa takut terhadap keluarga Sim sehingga ingin mengakhiri persaingan itu dengan perjodohan?

Api penasaran dan kemarahan yang mulai bernyala ini menjadi berkobar ketika tiba-tiba ia melihat seorang pemuda berjalan-jalan di dalam tamannya itu. Pemuda itu adalah Sim Houw. Karena ia sedang merasa penasaran dan marah, timbul tidak senangnya melihat pemuda itu dan di dalam pandangan mata yang dipengaruhi perasaan tidak senang itu Sim Houw kelihatan angkuh dan congkak! Hatinya menjadi semakin panas. Pemuda yang membawa pedang di pinggang itu kelihatan seperti memamerkan pedangnya! Ketika Sim Houw melihat Bi Eng, mukanya berobah merah, akan tetapi dia melangkah maju dan menjura dengan sikap hormat.

“Selamat pagi, nona Kam. Maafkan, karena mengganggu, aku telah berjalan-jalan di dalam kebunmu yang indah ini tanpa ijin.”

Hemm, ternyata pemuda pendiam ini pandai juga bicara, pikir Bi Eng, akan tetapi perasaan marah dan penasaran membuat ia beranggapan bahwa sikap pendiamnya tempo hari itu tentu hanya palsu saja untuk menarik perhatian!

“Pedang di pinggangmu itu tentulah Koai-liong Po-kiam, bukan?” tanyanya, tanpa memperdulikan salam dan ucapan orang.

Sim Houw menunduk dan memandang ke arah pedangnya, merabanya sambil menahan senyum dan menggelengkan kepala.

“Bukan, nona. Koai-liong Po-kiam adalah senjata pusaka milik ayahku, pedangku ini biasa saja.”

“Akan tetapi engkau tentu telah mewarisi semua kepandaian ayahmu dan pandai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut!”

“Memang aku pernah mempelajari ilmu silat ayah dan ibu, akan tetapi tidak berani aku mengatakan pandai,” jawab Sim Houw sederhana.

Akan tetapi karena Bi Eng sedang marah, kesederhanaan jawaban itu dianggap sebagai kepura-puraan yang menyembunyikan kesombongan.

“Koai-liong Kiam-sut adalah ilmu pedang yang tiada bandingannya di dunia ini, bukan?”

“Aku tidak beranggapan begitu, nona.”

“Tak perlu berpura-pura. Keluarga Sim sangat membanggakan ilmu pedang itu dan aku ingin sekali merasakan sendiri sampai bagaimana kehebatannya!”

Berkata demikian Bi Eng mencabut senjatanya yang berbentuk sebatang suling emas kecil, panjangnya tidak sampai dua kaki, besarnya hanya seibu jari dan berlubang-lubang seperti sebatang suling biasa.

Sim Houw membelalakkan matanya.
“Ah, nona Kam, mana aku berani?” katanya bingung.

“Tak usah berpura-pura! Orang tua kita pernah saling bertanding, kini apa salahnya kalau kita melanjutkan dan menguji kehebatan ilmu masing-masing? Ingin kulihat apakah Koai-liong Kiam-sut sehebat Kim-siauw Kiam-sut kami. Cabutlah pedangmu!”

“Aku.... aku tidak berani, nona. Ayah akan marah.”

“Pengecut! Kau bukan anak kecil dan mau atau tidak, aku tetap akan menyerangmu!”

“Wuuuuttt.... singggg....!”

Suling itu meluncur dan mengeluarkan suara berdesing ketika menyambar di atas kepala Sim Houw yang cepat mengelak tadi. Pemuda yang pada dasarnya pendiam inipun memiliki keberanian besar dan hatinya keras. Dimaki pengecut, mukanya berobah pucat dan dia tidak mau bicara lagi. Ketika suling yang ternyata amat hebat itu berkelebat mendesaknya, pemuda inipun terpaksa mencabut pedangnya menangkis.

Bi Eng semakin penasaran karena jurus-jurus serangannya dapat dielakkan atau ditangkis lawan, maka ia melanjutkan serangannya semakin dahsyat. Sim Houw terus melindungi diri dan hanya membalas dengan serangan kalau dia betul-betul terdesak. Serangan balasan itu hanya untuk menahan hujan serangan lawan. Maka kini terdengarlah suara suling yang melengking-lengking dan suara pedang di tangan Sim Houw yang mengeluarkan suara mengaum seperti suara singa marah.

Kam Hong dan Ci Sian melihat pertandingan yang amat menarik itu dan diam-diam Kam Hong melihat kenyataan bahwa sesungguhnya tingkat kepandaian pemuda itu masih menang dibandingkan Bi Eng. Bukan karena ilmu silatnya lebih tinggi, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu menang matang dalam latihan, juga memiliki tenaga yang lebih kuat.

Hati pendekar ini merasa puas, juga girang melihat kenyataan betapa pemuda itu bertanding dengan hati-hati dan selalu mengalah. Hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu memiliki kelembutan hati, juga kegagahan yang membuat dia berpantang mengalahkan seorang dara remaja dalam suatu perkelahian latihan. Dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa puterinya sama sekali bukan berlatih, melainkan dengan sungguh hati menyerang pemuda itu untuk mengalahkannya!

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dekat dua orang yang bertanding itu muncul Sim Hong Bu.

“Tahan....! Houw-ji.... apakah engkau sudah gila? Berani engkau kurang ajar terhadap nona rumah?” bentak Sim Hong Bu dengan marah, mukanya merah dan matanya melotot memandang puteranya.

Sim Houw cepat meloncat mundur dan dengan gerakan kilat, tahu-tahu pedangnya sudah berada kembali di dalam sarung pedang dan diapun menunduk.

“Aku tidak berani, ayah....” katanya lirih.

Jawaban ini cukup melegakan hati ayahnya dan Hong Bu kini menoleh kepada dara itu. Tadi dia melihat betapa puteranya mengalah dan betapa dara itu menyerang dengan sungguh hati, maka timbul kekhawatirannya dan mengira bahwa tentu puteranya melakukan suatu kesalahan maka dara itu menjadi marah.

Kam Hong dan isterinya juga sudah meloncat keluar dari tempat mereka menonton. Ci Sian segera mendekati puterinya dan menegur,

“Bi Eng, apa yang terjadi? Kenapa kau menyerang Sim Houw?”

Wajah dara itu menjadi merah. Dasar ia masih remaja dan berdarah panas, ia tidak merasa betapa pemuda itu tadi banyak mengalah dan ia mengira bahwa sulingnya dapat mengungguli pedang lawan sehingga biarpun ia belum dapat mengalahkan Sim Houw, setidaknya ia dapat mendesaknya dan ini berarti bahwa Kim-siauw Kiam-sut lebih lihai daripada Koai-liong Kiam-sut!

Akan tetapi kini ia ditegur ibunya. Tentu saja ia tidak berani mengaku bahwa ia sengaja menantang pemuda itu, bahkan memaksa pemuda itu mengadu ilmu pedang. Dan ia merasa takut kepada ayahnya yang tentu akan marah kalau tahu akan tantangannya. Maka kini ia menjawab.

“Ibu, kami hanya berlatih. Dia.... dia mengajakku berlatih maka kulayani!”

“Houw-ji, benarkah kalian tadi sedang berlatih?”

Sim Hong Bu tak dapat menahan hatinya untuk bertanya dengan penuh harapan karena dia akan merasa lega kalau dua orang muda itu tadi hanya berlatih, bukan berkelahi sungguh-sungguh yang tentu akan membuat keadaan menjadi tidak enak sekali. Dia datang untuk melamar gadis itu sebagai calon isteri Sim Houw, maka akan repotlah hatinya kalau mereka berdua itu tadi berkelahi sungguh-sungguh.

Sim Houw melirik ke arah Bi Eng yang memandang kepadanya dengan senyum mengejek. Dia mengangguk.

“Benar, ayah, kami hanya berlatih, dan nona Kam telah memberi banyak pelajaran kepadaku.”

Mendengar ucapan ini, Bi Eng merasa bangga dan girang sehingga kedua pipinya merah berseri, matanya bersinar dan hidungnya kembang kempis. Ayahnya melihat hal ini dan diapun tertawa. Pendekar Kam Hong tertawa bergelak menghampiri puterinya.

“Anak bodoh! Kau kira engkau unggul dalam latihan tadi, ya? Hayo lekas mengucapkan terima kasih kepada kakakmu Sim Houw karena dia telah banyak mengalah dan memberi pelajaran kepadamu!”

Lenyaplah seri wajah dara itu, alisnya berkerut. Kegembiraannya lenyap dan berbalik ia menjadi marah. Benarkah pemuda itu tadi mengalah? Kalau begitu, dia mempermainkan aku dan diam-diam mentertawakan aku, pikirnya jengkel dan ketika ia melirik, sinar matanya panas mengejutkan Sim Houw.

“Locianpwe, nona Kam tadi benar-benar hebat ilmu sulingnya, saya merasa kewalahan.”

Kam Hong saling pandang dengan Sim Hong Bu dan keduanya tertawa, sama-sama maklum bahwa Sim Houw sengaja melindungi muka Bi Eng agar jangan sampai menjadi malu.

“Sudahlah, mari kita semua masuk ke dalam. Saudara Sim, kami ingin bicara denganmu sebagai jawaban atas maksud kedatanganmu.”

Mereka lalu masuk ke dalam dan duduk di dalam ruangan dalam. Dua orang pelayan baru yang diambil dari dusun terdekat, lalu menghidangkan arak dan makanan. Kemudian mereka disuruh mundur dan Kam Hong lalu berkata kepada Sim Hong Bu yang mendengarkan dengan hati penuh harapan.

“Saudara Hong Bu, kami sekeluarga mengulang pernyataan terima kasih kami kepada saudara yang telah mengajak kami untuk mengikat tali kekeluargaan. Pinangan saudara sangat kami hargakan dan dapat kami terima dengan baik, akan tetapi....”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar