FB

FB


Ads

Selasa, 13 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 070

“Suhu....!”

Ceng Liong dengan sigap merangkulnya dan ternyata kakek itu terkulai lemas dalam pelukannya, tak bernapas lagi! Kakek itu tewas dengan muka membayangkan kekecewaan dan kedukaan, juga matanya terbuka melotot penuh rasa penasaran! Setelah merasa yakin bahwa kakek itu sudah tidak bernyawa lagi, Ceng Liong merebahkannya di atas tanah dengan sikap tenang.

Kam Hong bertiga tidak jadi pergi dan mereka memandang kepada Ceng Liong. Kemudian Kam Hong melangkah maju.

“Orang muda, ketahuilah bahwa permusuhan antara Hek-i Mo-ong dan kami dimulai oleh kejahatan kakek yang menjadi gurumu itu. Kini, di akhir hidupnya dia masih membawa teman-teman menyebar maut sehingga menewaskan para pelayan yang juga menjadi murid-muridku. Akan tetapi, karena dia telah menyelamatkan puteri kami, maka aku sudah membuang rasa permusuhan itu. Kini dia sudah mati, engkaulah murid yang mewarisi kepandaiannya. Nah, kalau memang engkau mempunyai dendam terhadap kami dan ingin melanjutkan sikap bermusuh mendiang gurumu, silahkan agar urusan itu dapat diselesaikan sekarang juga.”

Jelaslah bahwa sikap dan ucapan Kam Hong merupakan tantangan. Sebenarnya bukan ini maksud hati pendekar itu. Dia dapat melihat betapa pemuda remaja itu memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan kalau kelak sudah dewasa dan matang, akan merupakan lawan yang amat berbahaya sekali. Selain itu, juga sikap pemuda itu sama sekali tidak mirip penjahat, maka kini dia mempergunakan kesempatan itu untuk menyelesaikan dan menghabiskan permusuhan antara dia dan pihak Hek-i Mo-ong sampai di situ saja.

Dia mengharapkan pemuda itu agar mau menyadari keadaan, bahwa setelah raja iblis itu tewas maka tidak ada lagi persoalan yang perlu dijadikan bahan permusuhan, akan tetapi kalau pemuda itu masih mendendam, tentu saja dia ingin segera diadakan perhitungan agar beres.

Bagaimanapun juga, Ceng Liong adalah seorang pemuda yang darahnya masih panas. Bertahun-tahun lamanya dia ikut Hek-i Mo-ong merantau, mengalami banyak sekali peristiwa menegangkan bersama gurunya itu, dan dia merasakan betul kasih sayang gurunya terhadap dirinya.

Gurunya telah mewariskan semua kepandaiannya kepadanya dan gurunya telah menunjukkan cintanya dengan berbagai cara, membelanya mati-matian. Biarpun dia tahu bahwa gurunya adalah seorang tokoh bahkan datuk kaum sesat, namun dia tidak pernah melihatnya melakukan kejahatan, dan terhadap dirinya amat baik.

Memang dia melihat dan mengalami sendiri betapa gurunya dengan bersekongkol dengan datuk-datuk lain telah menyerbu Pulau Es dan menyebabkan terbasminya kakek dan para neneknya di pulau itu. Akan tetapi hal itu terjadi karena ada dendam permusuhan antara mereka. Dia sendiri tidak menyetujui cara hidup gurunya, dan andaikata suhunya tidak menolong dan menyelamatkan nyawanya berkali-kali, tentu dia sendiri akan memusuhi Hek-i Mo-ong sebagai musuh besar keluarganya. Kini, melihat Hek-i Mo-ong membela dia dan Bi Eng sampai berkorban nyawa, hatinya terharu dan berduka juga.

Dan mendengar tantangan Kam Hong, hatinya terasa panas. Pendekar ini telah memperlihatkan sikap angkuh dan menghina terhadap Hek-i Mo-ong. Dia sendiri tidak menyesal kalau tidak diperbolehkan berjodoh dengan Bi Eng karena hal itu adalah kehendak gurunya, bukan kehendaknya sendiri, akan tetapi cara penolakan keluarga Kam itu terhadap gurunya sungguh menghina. Dan kini dia ditantang!

“Kam-locianpwe,” katanya dengan sikap dan nada suara menghormat. “Aku tidak pernah mencampuri urusan pribadi suhu dan ini memang telah menjadi janji antara kami. Kalau aku membelanya di waktu dia masih hidup, hal itu adalah sepatutnya mengingat dia guruku. Kini dia telah tewas, dan aku tidak mendendam kepada siapapun juga. Akan tetapi, pernyataanku ini bukan sekali-kali berarti bahwa aku takut. Kalau ada yang masih hendak memperlihatkan rasa bencinya kepada suhu, dan setelah suhu meninggal kini hendak memperlihatkannya melalui aku sebagai muridnya, akupun tidak akan mengelak. Kalau locianpwe hendak memusuhi aku sebagai murid suhu, akupun tidak akan melarikan diri.”

Ucapan pemuda ini terdorong oleh rasa panas mendengar tantangan Kam Hong tadi, walaupun dia bersikap hormat. Ucapannya mengandung penyambutan tantangan! Kam Hong tersenyum dan dia akan merasa malu kalau harus mundur. Apalagi dia didahului isterinya yang berkata,

“Kalau gurunya seperti Hek-i Mo-ong, mana mungkin muridnya orang baik-baik? Aku khawatir anak ini kelak akan lebih jahat dari pada gurunya!”

Bu Ci Sian memang sejak gadis memiliki watak keras dan hanya setelah menjadi isteri Kam Hong saja dia tidak begitu binal lagi. Akan tetapi ia sudah biasa mengeluarkan semua isi hatinya melalui kata-kata tanpa sungkan-sungkan lagi.

“Hemm, orang muda. Engkau telah kematian gurumu, akan tetapi akupun kematian enam orang muridku. Biarpun para muridku itu bukan tewas di tangan gurumu, akan tetapi sesungguhnya gurumulah yang menjadi biang keladinya sehingga mereka tewas. Agaknya biarpun di antara kita pribadi tidak ada dendam, namun kita telah berdiri di dua pihak yang saling bertentangan. Daripada berlarut-larut, marilah kita selesaikan urusan itu sekarang saja. Nah, kau majulah, orang muda!”

Ini merupakan tantangan terbuka bagi Ceng Liong. Lebih dari itu malah, pendekar itu telah mencabut suling emasnya dan memegang senjata itu dengan sikap siap tempur. Wajah Ceng Liong berobah merah dan dia menahan kemarahannya. Gurunya seringkali mengatakan bahwa kalau kaum sesat dianggap jahat, sebaliknya kaum pendekar amat angkuh dan tinggi hati, selalu memandang rendah kepada golongan lain yang dianggap sesat dan jahat.

Dia sendiri memang tidak membenarkan orang-orang yang suka melakukan kejahatan seperti mendiang Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu, akan tetapi sikap para pendekar yang tinggi hati seolah-olah menyudutkan golongan lain itu sehingga mereka tidak akan dapat merobah jalan kehidupan mereka, bahkan sikap para pendekar itu akan membuat mereka menjadi semakin menjauh dan ganas.

“Locianpwe, sekarang aku sudah bebas, berdiri sendiri. Maka, kalau locianpwe menantangku, maka tantangan itu langsung kuterima pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan Hek-i Mo-ong. Dan karena locianpwe menantang, akupun tidak akan mundur selangkahpun. Siapa yang menantang dia yang harus menyerang dulu. Nah, silahkan!”

Diapun sudah siap memasang kuda-kuda dan karena selama ini memang dia tidak pernah memegang senjata, maka diapun menghadapi pendekar itu dengan tangan kosong saja! Melihat sikap pemuda yang menantangnya seperti itu, wajah Kam Hong juga menjadi merah.

“Bagus, orang muda. Kuhargai kegagahanmu. Nah, keluarkanlah senjatamu!”






”Aku hanya memiliki sepasang lengan dan sepasang kaki, itulah senjataku!”

Tentu saja Kam Hong merasa malu kalau harus menghadapi seorang lawan muda dengan suling emasnya, maka diapun menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya, kemudian dengan kedua tangan di pinggang, dia maju menghampiri Ceng Liong.

“Orang muda, lihat seranganku!” katanya dan diapun menerjang dengan amat cepatnya.

Pada waktu itu, tingkat kepandaian Kam Hong sudah amat tinggi dan serangannya itu membawa hawa pukulan yang dahsyat sehingga angin pukulannya sudah terasa oleh Ceng Liong, menyambar dan mengeluarkan suara bersiutan. Hebatnya, bukan hanya tangan kiri itu saja yang menyambar sebagai alat penyerang ampuh, juga ujung lengan baju yang panjang itu mendahului tangan menyambar, membuat totokan ke arah leher Ceng Liong, sedangkan jari-jari tangan itu menampar ke dada.

Melihat dahsyatnya pukulan orang, Ceng Liong yang memang sudah tahu betapa lihainya lawan, cepat mengelak dengan geseran-geseran kaki ke kiri, masih belum mau balas menyerang, karena dia harus mempelajari dulu bagaimana perkembangan serangan lawan yang lihai ini. Akan tetapi, ujung lengan baju dan tangan pendekar she Kam itu tidak melanjutkan pukulannya.

Tangan kiri ditarik mundur dan kini tangan kanan yang menyambar, mengikuti arah elakan Ceng Liong. Dan kini tangan kanan yang memukul itu melayang tanpa suara, tidak membawa angin seolah-olah tidak mengandung tenaga sedikitpun. Heranlah hati pemuda itu. Mengapa pendekar selihai ini menggunakan pukulan yang sama sekali tidak mengandung sin-kang, seperti pukulan orang biasa saja, bahkan lebih lembut dan lunak? Apakah pendekar itu memandang rendah kepadanya sehingga sengaja melakukan serangan seperti itu ringannya? Dia merasa penasaran kalau dipandang rendah, maka diapun kini menangkis dengan pengerahan tenaga untuk membuat lengan lawan yang lemah itu terpental.

“Dukk!”

Dan tubuh Ceng Liong terpental ke belakang, sebaliknya Kam Hong terpaksa melangkah dua tindak. Keduanya terkejut. Kam Hong tidak mengira bahwa pemuda itu akan mampu membuatnya terdorong mundur dua langkah. Sebaliknya, Ceng Liong terkejut dan merasa heran.

Jelas bahwa pukulan lawannya tadi tidak mengandung tenaga sin-kang akan tetapi begitu ditangkisnya, dia merasa betapa tenaga tangkisannya membalik dan membuat dia terpental tanpa dapat dipertahankannya lagi. Akan tetapi dengan ringan dia mampu berjungkir balik dan tidak sampai terhuyung. Dia makin waspada.

Memang tadi Kam Hong mempergunakan Ilmu Khong-sim Sin-ciang, ilmu pukulan wasiat dari Khong-sim Kai-pang. Keistimewaan ilmu ini adalah seperti Ilmu Silat Bian-kun (Silat Kapas) yang mengutamakan kekosongan dan kelembutan untuk melawan kekerasan. Maka Ceng Liong yang mempergunakan sin-kang tadi terpukul oleh kekuatannya sendiri yang membalik.

Ceng Liong adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Begitu bertemu tenaga, diapun maklum akan sifat ilmu yang dipergunakan lawan. Kini dia membalas serangannya yang dahsyat. Karena maklum bahwa menghadapi lawan seperti Kam Hong ini dia tidak boleh memandang ringan sama sekali, begitu menyerang diapun mempergunakan ilmunya yang paling ampuh dan paling baru, yaitu Coan-kut-ci!

Melihat serangan dengan jari-jari tangan yang meluncur demikian cepatnya, sambil mengeluarkan bunyi bercicitan, Kam Hong terkejut.

“Ilmu keji....!”

Serunya dan diapun tidak berani sembarangan menangkis melainkan mengelak. Akan tetapi, ilmu ini memang hebat, bukan hanya ampuh karena dipenuhi tenaga kuat, melainkan juga mujijat dan mengandung hawa mengerikan karena ketika melatih, yang dipergunakan sebagai sasaran adalah tulang-tulang dan tengkorak manusia.

Jari-jari tangan ilmu ini seolah-olah dapat mencium tulang dan seperti ada daya tarik sembrani. Maka, biarpun Kam Hong sudah bergerak mengelak, jari-jari tangan Ceng Liong tetap saja menyambar dan mengikuti ke mana arah elakan lawan dengan cepat sekali, seolah-olah setiap batang jari hidup sendiri-sendiri seperti ular-ular yang ganas.

“Plak-plak-plakk!”

Terpaksa Kam Hong menangkis beberapa kali untuk memunahkan daya serang lawan. Agaknya, mengelak saja dari serangan Coan-kut-ci ini amat berbabaya dan setelah berturut-turut dia menangkis dengan pengerahan sin-kang, barulah daya serang jari-jari tangan itu dapat ditolak. Kembali kedua pihak merasa lengan mereka tergetar hebat oleh beradunya kedua tangan itu.

“Ayah, jangan serang dia! Dia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Dia adalah Suma Ceng Liong, keluarga para pendekar Pulau Es!”

Tiba-tiba Bi Eng berteriak karena dara ini merasa khawatir melihat perkelahian antara ayahnya dan Ceng Liong.

Mendengar ini, Kam Hong dan juga Bu Ci Sian mengeluarkan seruan kaget, bahkan Kam Hong sudah meloncat ke belakang seperti diserang ular. Matanya terbelalak memandang wajah pemuda remaja yang tampan itu dan alisnya berkerut.

“Apa katamu....?” Dia berseru kepada puterinya, akan tetapi matanya tetap menatap wajah Ceng Liong.

“Dia.... dia she Suma....?”

“Ayah, Ceng Liong adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, Hek-i Mo-ong yang memberitahu padaku,” kata Bi Eng.

Kam Hong masih memandang heran. Sikapnya sudah berbeda, tidak lagi siap tempur. Bahkan dia kini bertanya halus.

“Orang muda, benarkah engkau cucu Suma Locianpwe, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Kalau benar demikian, bagaimana engkau dapat menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong? Sungguh sukar dipercaya.”

Ceng Liong mengerutkan alisnya, lalu berkata dengan suara tegas,
“Kam-locianpwe, orang tidak dapat dinilai begitu saja dari namanya. Urusan aku menjadi murid Hek-i Mo-ong adalah urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Kam-locianpwe, selamat tinggal!”

Dia lalu menghampiri mayat Hek-i Mo-ong, mengangkat dan memondongnya, kemudian meloncat dan lari pergi dari tempat itu tanpa mau menoleh lagi.

“Ceng Liong....!”

Bi Eng memanggil, akan tetapi pemuda itu tetap tidak menoleh dan sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata. Dara remaja itu merasa kecewa dan menyesal. Ia sudah merasakan benar kebaikan-kebaikan pemuda yang menjadi sahabat barunya itu dan merasa berhutang budi. Maka, tentu saja ia merasa menyesal sekali melihat penolongnya itu berkelahi melawan ayahnya dan pergi dalam keadaan tidak bersahabat.

“Bi Eng, sebenarnya, apakah yang telah terjadi? Dan mana mungkin seorang cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong?” kini Bu Ci Sian bertanya.

Bi Eng lalu menceritakan semua yang telah dialaminya sejak ia dirobohkan oleh Louw Tek Ciang secara curang, kemudian ia diselamatkan oleh Suma Ceng Liong dan Hek-i Mo-ong.

“Entah, ayah dan ibu, dalam pandanganku, biarpun ia berwatak aneh, akan tetapi Hek-i Mo-ong tidak jahat kepadaku. Dan Ceng Liong amat baik.”

Kam Hong mengangguk-angguk dan mengelus dagunya.
“Hemmm, sungguh aneh sekali, sukar dipercaya bahwa cucu Pendekar Super Sakti menjadi murid Hek-i Mo-ong! Setahuku, Pendekar Super Sakti mempunyai tiga orang keturunan. Pertama adalah Puteri Milana yang menikah dengan pendekar sakti she Gak, kemudian dua orang puteranya adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Entah yang mana di antara kedua pendekar itu yang menjadi ayah Suma Ceng Liong. Dan bagaimana sampai bisa menjadi murid datuk sesat yang julukannya saja Raja Iblis itu? Sungguh sukar dimengerti.”

“Dan bagaimana tentang perjodohan seperti dikatakan oleh iblis itu tadi?”

Bu Ci Sian bertanya, nada suaranya masih penasaran walaupun kini nadanya agak lunak karena pemuda yang menjadi murid iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti!

Kita dapat memaafkan sikap Ci Sian ini karena kalau kita membuka mata memandang kehidupan masyarakat kita ini, di mana termasuk juga diri kita, bukankah kita semua telah mempunyai penyakit yang sama? Kedudukan dan nama seorang amat penting bagi kita sehingga kita tidak lagi memandang orangnya, manusianya, melainkan kedudukannya, hartanya, kepandaiannya, namanya, agamanya, dan sebagainya lagi.

Ketika mendengar puterinya akan dijodohkan dengan murid Hek-i Mo-ong yang dikenalnya sebagai seorang datuk sesat, hati nyonya ini menjadi marah karena merasa direndahkan atau terhina dan tentu saja seratus prosen ia menentang. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa murid kakek iblis itu ternyata adalah cucu Pendekar Super Sakti, terdapatlah suatu perasaan lain! Kalau keturunan Para Pendekar Pulau Es yang hendak berbesan dengannya, hal itu menjadi lain sama sekali!

“Ibu, mengenai perjodohan itu adalah satu di antara keanehan watak Hek-i Mo-ong. Dia berpura-pura tidak mau mengobatiku kalau aku tidak mau berjanji kelak akan menjadi isteri Ceng Liong. Tentu saja aku menolak dan aku tidak sudi berjanji seperti itu. Dan ternyata dia mengobatiku juga sampai sembuh, hanya dia memaksa Ceng Liong yang berjanji agar kelak mau menjadi suamiku. Ceng Liong berjanji karena ingin agar gurunya menyembuhkanku.”

Suami isteri itu saling pandang, tidak tahu harus bicara apa.
“Sudahlah, memang orang-orang sesat memiliki watak yang aneh-aneh, akan tetapi dia sudah mati dan tentu saja tidak ada ikatan apa-apa antara Bi Eng dan pemuda itu. Mari kita pulang untuk mengurus jenazah para pelayan.”

Biarpun mereka itu hanya pelayan, akan tetapi mereka menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong sehingga merekapun dapat disebut murid-muridnya. Maka, ketika menyembahyangi enam buah peti mati yang berjajar di halaman depan rumahnya, Kam Hong, Ci Sian dan Bi Eng merasa berduka sekali.

Bahkan Ci Sian dan Bi Eng tak kuasa menahan air mata mereka. Enam orang itu tewas karena membela keluarga mereka. Akan tetapi, siapakah yang akan dikutuk? Hek-i Mo-ong yang agaknya menjadi biang keladi penyerbuan itu telah tewas, juga Jai-hwa Siauw-ok sudah tewas. Hanya tinggal murid-murid mereka.

Banyak juga tamu berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada jenazah enam orang itu. Mereka sebagian besar adalah penduduk dusun di sekitar pegunungan itu. Ada pula beberapa orang tokoh ilmu silat yang kebetulan mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga pendekar Kam lalu datang pula berkunjung untuk menyatakan belasungkawa.

Malam itu tidak ada tamu lain. Hanya tiga orang anggauta keluarga itu saja yang masih duduk di ruangan depan, menjaga enam buah peti jenazah. Bulan bersinar terang sehingga pekarangan depan pondok itu, yang merupakan istana tua, nampak jelas. Maka, ayah, ibu dan anak itupun dapat melihat dengan jelas ketika ada dua bayangan orang berkelebat di pekarangan mereka.

Kam Hong memberi isyarat dengan tangan kepada isteri dan puterinya agar waspada. Akan tetapi dua orang wanita itu juga sudah melihat berkelebatnya bayangan dua orang dan merekapun sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Setelah peristiwa penyerbuan Hek-i Mo-ong dengan kawan-kawannya, keluarga Kam menjadi waspada dan selalu dalam keadaan tegang dan curiga.

Kini dengan gerakan gesit, dua bayangan itu telah tiba di tengah pekarangan, berdiri di situ dengan tegak. Di bawah sinar bulan, nampak jelas bahwa mereka adalah dua orang pria. Yang seorang berusia hampir empat puluh tahun, kira-kira tiga puluh enam tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah, dengan pakaian sederhana dan ringkas membayangkan tubuh yang masih kekar, wajahnya cerah dan mulutnya membayangkan senyum ramah. Adapun pria yang ke dua, berusia kurang lebih enam belas tahun, wajahnya putih bundar dan alisnya tebal, nampak tampan dan gagah.

Kalau pria setengah tua itu membawa sebatang pedang di punggung, pemuda itu membawa sebatang pedang di pinggang dan kedua orang itu jelas merupakan orang-orang yang datang bukan dengan maksud baik.

Maka, terdorong oleh rasa duka dan marah kehilangan enam orang pelayan yang tewas, dara ini tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah melayang ke depan, agak tinggi dan membuat gerakan jungkir balik tiga kali baru tubuhnya itu hinggap dengan ringannya di depan dua orang pria itu yang memandang dengan kagum.

“Gin-kang yang bagus!” Pria setengah tua itu berseru memuji.

Sementara itu, Bu Ci Sian sudah bangkit berdiri dan wanita inilah yang lebih dulu mengenal pria itu.

“Hong Bu....! Dia Hong Bu, Sim Hong Bu....!”

Dan sekali meloncat, tubuh nyonya inipun melayang sampai ke depan dua orang pria itu, di sisi puterinya yang memandang ragu mendengar seruan ibunya. Kam Hong juga melangkah keluar menyambut dengan wajah berseri. Kini diapun mengenal pria yang gagah itu, dan diapun terkenang akan masa lalu, belasan tahun yang lalu.

Pria itu bernama Sim Hong Bu, seorang ahli pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang amat lihai dan boleh dibilang masih seketurunan dalam ilmu silat dengannya, karena Ilmu Pedang Naga Silunan berasal dari sumber yang sama dengan Ilmu Pedang Suling Emas (baca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ). Bukan itu saja. Sim Hong Bu dahulu, di masa mudanya, pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian.

Ketika masih gadis, Bu Ci Sian menjatuhkan hati banyak sekali pemuda-pemuda pilihan, di antaranya Jenderal Muda Kao Cin Liong dan pendekar pedang Sim Hong Bu ini. Akan tetapi akhirnya Bu Ci Sian memilih yang dekat, memilih dia yang menjadi suhengnya sendiri walaupun usianya belasan tahun lebih tua. Selain pernah jatuh cinta kepada Bu Ci Sian, juga Hong Bu inilah yang merupakan lawan paling tangguh di antara semua jagoan yang pernah dilawannya.

Sim Hong Bu inilah yang paling gigih melawan Ilmu Pedang Suling Emas, merupakan lawan yang seimbang, dan sungguh tidak mudah mengalahkan Hong Bu pada belasan tahun yang lalu itu. Mereka pernah saling gempur, bertanding mati-matian, kemudian berpisah sebagai sahabat.

Dan kini, setelah belasan tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar, tahu-tahu pendekar itu muncul pada saat mereka berkabung atas kematian enam orang pelayan atau murid itu. Pendekar bernama Sim Hong Bu itu menjura kepada Bu Ci Sian.

“Nona Bu Ci Sian.... eh, maaf, nyonya Kam Hong, selamat bertemu! Aku berani bertaruh bahwa nona ini tentulah puterimu!” Sikap Sim Hong Bu nampak gembira sekali.

Kam Hong yang sudah tiba pula di situ tersenyum.
“Saudara Sim Hong Bu, apa kabar? Dan akupun berani bertaruh bahwa pemuda ini tentulah puteramu!”

Sim Hong Bu tertawa bergelak, kemudian menepuk pundak pemuda di sebelahnya.
“Houw-ji (anak Houw), lihatlah baik-baik. Inilah keluarga yang sering kuceritakan kepadamu. Inilah Kam-taihiap yang perkasa, Pendekar Suling Emas yang tanpa tanding, dan isterinya yang lihai pula!”

Pemuda itu adalah putera tunggal Sim Hong Bu. Pendekar ini kemudian menikah dengan Cu Pek In, puteri dari gurunya sendiri yang bernama Cu Han Bu. Dia bersama isteri dan anak mereka itu tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Himalaya, di mana tinggal keluarga Cu yang merupakan keluarga sakti itu. Dan di sini pula Sim Hong Bu menggembleng putera tunggalnya yang kini diajaknya melawat ke timur mengunjungi bekas lawan, juga bekas sahabat yang menikah dengan wanita yang menjadi cinta pertamanya itu. Ketika dia diperkenalkan kepada keluarga Kam yang memang sudah seringkali diceritakan oleh ayahnya, Sim Houw memberi hormat.

“Saya Sim Honw memberi hormat kepada Kam-locianpwe dan....”

“Wah, anak baik. Kalau engkau putera saudara Sim Hong Bu, jangan menyebut locianpwe kepadaku. Sebut saja paman!” kata Kam Hong gembira.

Pemuda itu kembali menjura.
“Terima kasih, paman Kam Hong dan bibi!”

Bu Ci Sian memandang kepada pemuda itu sambil tersenyum. Ia merasa suka kepada pemuda yang gagah ini, yang mengingatkan ia akan keadaan Sim Hong Bu di waktu mudanya. Sejak kecil Sim Hong Bu adalah seorang pemburu binatang buas di hutan sehingga sikapnya gagah dan jantan. Demikian pula sikap pemuda yang menjadi puteranya ini.

“Sim Houw, apakah seperti ayahmu, engkau juga suka berburu binatang?” tanya nyonya ini sambil tersenyum.

“Karena daerah tempat tinggal kami penuh dengan hutan-hutan, maka saya memang kadang-kadang suka pergi berburu, bibi,” jawab Sim Houw sederhana.

“Kam-taihiap,” kata Hong Bu yang memang sejak dahulu menyebut taihiap kepada Kam Hong. “Maafkan kami yang datang mengganggu di waktu malam. Akan tetapi kami tadi menjadi ragu-ragu melihat adanya perkabungan di sini. Enam buah peti jenazah! Apakah yang telah terjadi dan siapakah yang meninggal dunia?”

“Mereka adalah enam orang muridku yang tewas di tangan penjahat-penjahat yang datang menyerbu tempat tinggal kami. Engkau tentu masih ingat kepada Hek-i Mo-ong?”

“Apa? Iblis tua itu yang datang menyerbu?” Sim Hong Bu bertanya kaget.

“Dia dan Jai-hwa Siauw-ok murid Im-kan Ngo-ok, bersama dua orang murid mereka.”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu berseru kaget dan marah. “Dan di mana mereka? Tentu taihiap telah dapat memukul mundur mereka.”

Kam Hong menarik napas panjang.
“Dua orang datuk sesat itu tewas dan murid-murid mereka melarikan diri. Mari, mari kita bicara di dalam, saudara Hong Bu,” ajak Kam Hong.

Sim Hong Bu dan Sim Houw lalu mengikuti Kam Hong sekeluarga setelah Bu Ci Sian memperkenalkan Kam Bi Eng yang segera memberi hormat kepada “paman Sim Hong Bu”. Ayah dan anak yang datang sebagai tamu itu lalu memasang hio di depan enam buah peti jenazah. Kemudian mereka duduk di ruangan depan sambil bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman-pengalaman mereka semenjak berpisah belasan tahun yang lalu.

“Tempat tinggal kalian terlalu jauh, di Himalaya, maka kami tidak pernah mendapat kesempatan untuk berkunjung ke tempat sejauh itu,” kata Bu Ci Sian kepada tamunya.

“Baik sekali kalian datang berkunjung, kami merasa gembira dan berterima kasih”.

Sim Hong Bu menarik napas panjang.
“Bertahun-tahun kami seperti hidup terasing di Lembah Gunung Naga Siluman dan baru sekarang saya mendapat kesempatan mengajak anak kami memperluas pengetahuan dan menjelajah ke timur. Di dalam perjalanan menuju ke sini, saya mendengar berita di dunia kang-ouw bahwa Kam-taihiap telah mempunyai seorang puteri. Maka ketika puteri kalian tadi muncul, saya dapat mengenalnya, apalagi karena wajahnya mirip benar dengan ibunya”.

“Dan puteramu mirip sekali dengan ayahnya,” kata Bu Ci Sian.

“Kam-taihiap dan lihiap, begitu melihat puteri kalian, saya merasa terharu dan timbul suatu niat dalam hati, bahkan maksud hati ini pernah saya bicarakan dengan isteri saya sebelum saya berangkat.”

“Kenapa isterimu tidak ikut datang berkunjung?” Bu Ci Sian bertanya seperti baru teringat.

“Ibunya Houw-ji pasti akan datang berkunjung kalau maksud hati kami ini mendapatkan sambutan baik dari Kam-taihiap berdua.”

“Saudara Sim Hong Bu, katakanlah terus terang, apakah maksud baik kalian itu?”

Kam Hong sudah dapat menduga, akan tetapi dia menginginkan kepastian maka dia mengajukan pertanyaan itu.

“Baiklah, saya akan berterus terang saja. Dan kehadiran anak-anak kita di sinipun saya kira tidak menjadi halangan, karena bukankah kita senantiasa menghargai keterbukaan dan kejujuran? Kam-taihiap, kita menikah dalam waktu yang tidak begitu jauh selisihnya, bahkan mungkin saya lebih dahulu beberapa bulan. Mengingat bahwa setahun kemudian terlahir Houw-ji, maka saya yakin Houw-ji lebih tua dari puteri taihiap berdua. Nah, maksud hati kami adalah untuk mengharapkan persetujuan Kam-taihiap berdua, kalau berkenan di hati, kami ingin sekali melihat anak kami yang bodoh dapat berjodoh dengan puteri taihiap yang mulia.”

Hening sejenak, keheningan yang terasa seperti mencekik leher Bi Eng. Sebagai seorang dara remaja, biarpun sejak kecil ia digembleng menjadi orang gagah yang berpikiran terbuka, namun kalau orang-orang membicarakan tentang perjodohannya, tentu saja ia merasa risi, rikuh dan malu.

Akhirnya, keheningan yang menyambung akhir ucapan Sim Hong Bu yang jujur itu, begitu mencekam hatinya dan iapun tanpa bicara bangkit berdiri perlahan-lahan, dengan kepala tunduk lalu pergi meninggalkan ruangan itu, masuk ke dalam kamarnya! Adapun Sim Houw, pemuda remaja itu, juga tidak berani bergerak dari tempat duduknya, menundukkan mukanya yang menjadi merah.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar