FB

FB


Ads

Selasa, 13 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 068

Dia menuruni kaki gunung dan meninggalkan Pegunungan Tai-hang-san karena dia dapat menduga bahwa Kam Hong dan isterinya yang tidak tahu harus mengejar ke mana itu tentu akan mencari-cari di sekitar Pegunungan Tai-hang-san dan untuk mencari daerah yang luas itu membutuhkan waktu sedikitnya tiga hari!

Maka dia meninggalkan daerah Tai-hang-san. Kalau tidak cerdik, tentu dia memilih yang dekat, dan dianggap aman, yaitu di dalam hutan-hutan yang lebat dari daerah itu dan kalau dia berbuat demikian, tak mungkin dia dapat menghindarkan diri dari suami isteri yang luar biasa lihainya itu.

Pada keesokan harinya, di dalam sebuah hutan di luar Tai-hang-san, di tepi pantai Sungai Huang-ho, mereka beristirahat. Seperti yang telah dijanjikannya, Hek-i Mo-ong mencarikan obat untuk Bi Eng. Obatnya aneh karena dia menyuruh Ceng Liong mencari anak-anak katak yang banyak terdapat di tepi sungai. Puluhan ekor katak kecil itu diremas-remas oleh Hek-i Mo-ong, air perasan ditampung dan dicampur dengnn obat pulung yang dibawanya. Hampir tidak dapat Bi Eng menelannya karena baunya yang amis, akan tetapi Ceng Liong membujuknya dengan halus.

“Minumlah, Bi Eng. Ini obat dan aku yakin bahwa obat dari Hek-i Mo-ong tentu manjur. Minumlah.”

Bi Eng teringat akan puluhan ekor anak katak yang diperas dan ia bergidik. Akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada Ceng Liong dan sambil memejamkan kedua matanya iapun menuang obat cair itu ke dalam perut dan terus ditelannya. Dengan menutup hidungnya, obat itu tidak terasa apa-apa, bahkan baunya yang amispun tidak terasa. Baru setelah obat itu memasuki perutnya dan ia melepaskan jari tangan yang menutup hidung, tercium bau amis yang hampir membuat ia muntah. Akan tetapi, dara remaja yang sejak kecil menerima gemblengan orang tuanya itu cepat mengerahkan tenaga mencegah muntah.

Akan tetapi, dorongan dari dalam hampir tak dapat dikuasainya lagi dan pada saat wajahnya menjadi pucat sekali menahan rasa hendak muntah, terdengar suara Hek-i Mo-ong,

“Ha-ha, nona kecil, kalau engkau muntah, engkau akan langsung mati, dan kalau engkau menahan muntah itu, engkau akan mati dalam waktu tiga hari lagi, ha-ha-ha!”

Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Bi Eng mendengar ucapan itu dan seketika rasa hendak muntah itu hilang. Tentu saja ia tidak mau muntah langsung mati! Biarpun demikian, wajahnya menjadi semakin pucat karena nyawanya hanya tinggal tiga hari saja.

Kekagetan hati Bi Eng kiranya tidak sehebat Ceng Liong ketika dia mendengar ucapan gurunya. Dia meloncat ke depan kakek itu, matanya mencorong menakutkan.

“Mo-ong, apa artinya kata-katamu itu?” tanyanya dengan suara membentak.

“Heh-heh, Ceng Liong. Kata-kataku sudah jelas bukan? Gadis ini akan mati seketika kalau muntah, dan akan mati tiga hari kemudian kalau tidak muntah.”

“Mo-ong, engkau sengaja meracuni Bi Eng?” Ceng Liong berkata lagi dan dia mengepal kedua tangannya.

Kakek itu mengangguk dan tertawa.
“Ha-ha, aku melakukan demi engkau, muridku yang baik.”

Keheranan yang amat besar melanda hati Ceng Liong, membuat dia melupakan rasa marahnya.
“Apa.... apa maksudmu....?”

“Heh-heh, kau tunggulah saja.”

Kakek itu lalu memandang Bi Eug yang masih duduk dengan muka pucat dan memegangi perutnya yang mual.

“Nona, nyawamu tergantung kepada keputusanmu sendiri. Yang kau makan tadi menambah hebatnya pengaruh pukulan Hoa-mo-kang dan engkau tentu akan mati dalam waktu tiga hari. Tidak ada obat yang akan dapat menyembuhkanmu kecuali obat dari pemilik ilmu Hoa-mo-kang atau.... obat dariku. Sekarang, aku mau menukar nyawamu itu dengan sebuah janjimu.”

Bi Eng merasa marah sekali, akan tetapi karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan kakek itu, ia menjawab dengan ketus,

“Kakek iblis berhati keji! Janji apakah yang kau kehendaki dariku maka engkau tidak segan melakukan kekejian yang kotor ini?”

“Berjanjilah bahwa engkau kelak akan menjadi isteri Ceng Liong, dan aku akan mengembalikan nyawamu!”

“Ahhhh....!”

Teriakan ini keluar dari mulut Ceng Liong yang sudah menerjang gurunya dengan pukulan keras.

“Dukkk!”

Hek-i Mo-ong menangkis dan terjengkang, dari mulutnya keluar darah segar lagi karena untuk menangkis pukulan hebat tadi dia harus mengeluarkan tenaga sin-kang sekuatnya, padahal luka di dalam tubuhnya belum sembuh benar.

“Ahhh....”

Kembali Ceng Liong berseru, kini bukan karena marah melainkan karena kaget melihat suhunya terjengkang lalu bangkit berdiri sambil terhuyung. Cepat dia menubruk dan merangkul suhunya, dipapahnya duduk di atas rumput.

“Heh-heh-heh....!”

Hek-i Mo-ong terkekeh melihat betapa muridnya yang tadinya memukulnya itu kini malah memapahnya.

“Engkau murid yang baik, heh-heh.... selama menjadi muridku, baru sekarang berani memyerangku, kusangka tadinya engkau lemah, kiranya berani memukulku. Hebat....”






Ceng Liong sudah lama hidup di dekat kakek iblis itu dan sudah mengenal wataknya yang amat aneh, tidak lumrah manusia. Diapun tahu bahwa kakek itu dalam pandangan umum tentu merupakan iblis yang kejam dan ganas, akan tetapi dia sendiri mengenalnya sebagai seorang kakek yang wataknya aneh dan kekejaman-kekejamannya itupun termasuk satu di antara keanehan-keanehannya yang tidak normal.

Kadang-kadang dia berpikir bahwa gurunya ini sebenarnya menderita suatu penyakit dalam otaknya atau jiwanya, sudah gila sehingga segala yang dilakukannya itu sama sekali bukan karena kekejaman, melainkan karena pandangannya yang berbeda, bahkan kadang-kadang terbalik dari pandangan umum.

Kinipun gurunya telah melakukan hal yang amat luar biasa. Guru ini dapat tertawa bergelak kesenangan melihat muridnya berani melawan dan memukulnya. Mana ada guru macam ini di seluruh dunia ini? Dan dia sendiri merasa amat menyesal. Dia dapat merasakan cinta yang mendalam di hati gurunya terhadap dirinya, dan kini dia berani memukul gurunya yang sedang terluka parah itu! Diapun merasa tidak perlu minta maaf walaupun hatinya menyesal. Bagi orang seperti Hek-i Mo-ong, tidak ada kata maaf!

“Mo-ong, mengapa kau lakukan itu? Terlalu sekali engkau!”

“Apanya yang terlalu? Sudahlah, kau diam saja dan biarkan aku menyelesaikan urusanku dengan gadis itu!”

Kakek itu masih bersila, akan tetapi kini sambil mengatur pernapasan, dia memandang kepada Bi Eng yang berdiri bengong terlongong, sebentar memandang kepada Ceng Liong dan sebentar pula kepada kakek iblis itu, mukanya yang tadi pucat tiba-tiba berobah merah, lalu pucat kembali.

“Bagaimana, nona cilik? Jawablah sebelum terlambat. Kalau racun itu keburu bekerja, engkau takkan bisa menjawab lagi.”

“Kakek iblis! Kau kira aku ini orang macam apa? Kau kira aku takut mampus? Lebih baik mati daripada menuruti kehendakmu yang hina!”

“Eh-eh-eh, bocah sombong! Kau bilang hina kalau aku minta engkau menjadi calon isteri Ceng Liong? Ha-ha-ha, bercerminlah. Sepuluh kali engkaupun belum tentu pantas menjadi isteri muridku, tahu?”

“Mo-ong....!” Ceng Liong memprotes.

“Diamlah dan jangan mencampuri urusanku!” kakek itu membentak muridnya dan Ceng Liong terdiam sambil cemberut.

Sungguh keterlahuan gurunya ini. Membicarakan urusan perjodohannya dan mengatakan bahwa dia tidak boleh mencampuri urusannya. Diam-diam dia merasa geli. Biarkan saja kakek gila ini melanjutkan kehendaknya. Masih ada batu penghalang besar bagi keinginannya yang gila itu. Kalau gurunya itu nanti hendak melanjutkan niatnya, masih ada dia yang tentu saja boleh dan berhak menolak! Kalau gadis itu tidak mampu menolak karena tertekan dan terancam nyawanya, masih ada dia yang dapat menolak dan dia tidak terancam apapun!

“Iblis tua, kenapa engkau mempunyai pikiran yang gila ini, tanpa sebab menyuruh aku berjanji.... seperti itu?”

Bi Eng yang menjadi tertarik dan ingin tahu, mengajukan pertanyaan sebelum mengambil keputusan, walaupun dara ini tadi sudah menunjukkan ketidak setujuannya tanpa memperdulikan ancaman nyawa.

“Heh-heh, kenapa aku ingin menjodohkan muridku denganmu, begitukah maksud pertanyaanmu? Karena.... karena dia mencintamu, anak bodoh!”

“Ahhhh....!”

Kembali Ceng Liong yang berteriak mendengar ini dan matanya melotot, mukanya menjadi merah sekali dan dia memandang gemas kepada gurunya, namun teringat bahwa dia harus membiarkan gurunya itu menyelesaikan “urusannya” dengan gadis itu.

Bi Eng memandang kepada Ceng Liong dan berjebi, tersenyum mengejek. Perbuatan kakek itu otomatis membuat dia juga membenci pemuda yang menjadi murid kakek iblis ini. Bahkan kini timbul dugaannya bahwa Ceng Liong menolongnya dengan niat buruk, mungkin sudah diatur terlebih dahulu dengan gurunya! Siapa tahu sikap pemuda itupun hanya pura-pura, hanya sandiwara saja!

“Kakek iblis, kau kira aku sudi menjadi isteri murid seorang iblis macam engkau? Lebih baik seribu kali mati dari pada.... aukhhh....!”

Dara remaja itu hampir muntah. Ia menekuk tubuhnya dan menekan perutnya yang terasa mual. Sekali meloncat, Ceng Liong sudah berada di dekatnya dan menyentuh pundak dara itu.

“Bi Eng, jangan muntah....” katanya khawatir sekali. Sekali muntah, dara ini akan tewas! Betapa mengerikan bayangan ini.

“Ha-ha-ha, bocah sombong kau! Kau belum tahu siapa muridku ini, hah? Dia adalah Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan kau bilang seribu kali lebih baik mati daripada menjadi isterinya?”

“Mo-ong.!”

Ceng Liong meloncat dan kembali dia memukul ke arah gurunya karena tidak dapat menahan kemarahan hatinya. Gurunya ini sungguh amat menghina Bi Eng dan seolah-olah memaksa gadis itu agar mau berjanji menjadi isterinya!

“Desss....!”

Dalam keadaan bersila itu, Hek-i Mo-ong menangkis hantaman muridnya yang tertuju ke arah kepalanya dan tubuhnya terlempar dan bergulingan. Ketika dia bangkit duduk, dia tertawa-tawa sambil muntahkan darah segar lagi.

“Ahhh!”

Ceng Liong terkejut dan cepat menghampiri, berlutut dan membantu pernapasan gurunya dengan saluran sin-kang dari telapak tangannya.

“Heh-heh-heh,” Hek-i Mo-ong merangkulnya penuh kasih sayang. “Tahukah engkau bahwa baru ini engkau memukulku? Semua terjadi karena engkau mencinta gadis itu, tahukah engkau?”

Ceng Liong terkejut bukan main. Memang aneh. Dia merasa berhutang budi kepada kakek ini, bahkan tanpa disadarinya, dia merasa sayang kepadanya. Dan memang benarlah, dia menyerang gurunya sampai dua kali karena kemarahan melihat gurunya menghina Bi Eng!

“Tapi, Mo-ong, kenapa kau lakukan ini? Kenapa....?”

“Uakhhhh....!”

Mendengar suara muntah ini, Ceng Liong menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Bi Eng tak dapat menahan lagi muntahnya, dan sudah mulai hendak muntah. Melihat ini, sekali meloncat tubuh Ceng Liong mencelat ke dekat Bi Eng dan tangannya bergerak menotok. Bi Eng yang sedang dilanda rasa muak hehat itu tidak sempat mengelak dan roboh terkulai. Ceng Liong cepat memondongnya dan merebahkannya di atas rumput. Dalam keadaan tertotok pingsan, dara itu tidak jadi muntah. Kini Ceng Liong kembali meloncat ke dekat gurunya.

“Mo-ong, cepat, sembuhkan Bi Eng! Cepat sebelum ia muntah!” teriaknya kepada gurunya sambil memegang pundak gurunya.

“Heh-heh-heh....!” Kakek itu hanya tertawa.

“Cepat, Mo-ong!”

Ceng Liong mengguncang-guncang pundak itu sehingga tubuh Hek-i Mo-ong bergoyang-goyang keras.

“Heh-heh, kalau aku tidak mau mengobatinya?”

Tangan yang mengguncang pundak itu mencengkeram makin kuat.
“Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!” bentak Ceng Liong.

“Ha-ha-ha, muridku yang pandai. Dengan cara bagaimana.?”

Ceng Liong kehabisan akal dan tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin dia akan dapat memaksa kakek iblis ini? Gertakan-gertakannya tentu hanya akan disambut dengan ketawa geli saja. Menghadapi kakek iblis ini dia merasa kalah segala-galanya.

“Ha-ha-ha, engkau paling-paling hanya dapat membunuhku! Dan kalau engkau membunuhku, gadis itupun akan mati dan engkau ditinggalkan dua orang yang mencintamu, atau setidaknya ditinggalkan aku yang mencintamu dan gadis itu yang kau cinta. Ha-ha, apa enaknya hidup begitu? Masih lebih enak aku yang mati!”

Melihat bahaya mengancam nyawa Bi Eng dan mendengar ucapan gurunya yang menutup semua harapan dan jalan keluar, tiba-tiba Ceng Liong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya!

“Suhu, kau tolonglah Bi Eng....!”

Tiba-tiba sepasang mata Hek-i Mo-ong terbelalak dan dia meloncat berdiri, mukanya yang tadinya pucat itu berobah merah. Memang seorang manusia yang luar biasa kakek ini! Menerima penghormatan seperti itu dia malah merasa tersinggung dan marah, sedangkan kalau muridnya bersikap tak acuh dan tidak menghormat, menyebutnya Mo-ong saja dia malah merasa girang!

“Enak saja! Aku baru mau mengobatinya kalau kau mau berjanji. Kalau tidak, biar kau membunuhku, aku tidak akan sudi mengobatinya!”

“Baiklah, suhu, aku akan memenuhi semua permintaanmu.”

“Nah, berjanjilah bahwa kelak engkau akan menjadi suami gadis ini!”

Ceng Liong terbelalak. Bi Eng sendiri yang rebah tak berdaya juga terkejut mendengar permintaan aneh itu.

“Hayo cepat berjanji sebelum aku berobah pikiran dan menolak pengobatan atas diri gadis ini!” Hek-i Mo-ong mengancam.

Tidak ada lain jalan bagi Ceng Liong.
“Baiklah, aku berjanji kelak akan menjadi suami gadis ini....”

“Sebutkan namamu dan nama nona itu!”

“Aku Suma Ceng Liong berjanji kelak akan menjadi suami nona Kam Bi Eng.” katanya dengan suara terpaksa sekali.

Sementara itu, wajah Bi Eng berobah merah, akan tetapi nona ini tidak mampu berkutik. Kalau ia bisa berkutik, tentu ia akan mengamuk dan menyerang guru dan murid itu kalang kabut. Akan tetapi ada keheranan besar di dalam hatinya, keheranan yang muncul ketika ia mendengar bahwa Ceng Liong she Suma dan cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es. Benarkah itu?

Menurut penuturan ayahnya, Pendekar Super Sakti adalah seorang pendekar yang amat tinggi ilmunya, seorang pendekar terkenal yang memiliki keluarga hebat terdiri dari pendekar-pendekar budiman. Mengapa kini cucu pendekar itu malah menjadi murid seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong? Benar-benar ia tidak mengerti sama sekali.

“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Ingat, seorang gagah harus memegang teguh janjinya sampai mati!” kata kakek itu dengan girang bukan main.

“Suhu....”

“Heh? Apakah engkau sudah lupa bahwa aku ini Hek-i Mo-ong dan tidak menyebutku Mo-ong lagi?”

“Tidak, engkau adalah guruku dan sudah sepatutnya kusebut suhu. Nah, suhu, sekarang cepatlah obati Bi Eng agar sembuh dan tidak terancam nyawanya.”

“Ha-ha-ha, siapa yang mengancam nyawanya? Ia sudah sembuh kalau engkau tidak usil tadi. Bebaskan totokan itu dan biarkan ia muntah-muntah, tentu sembuh!”

Ceng Liong melongo.
“Ehh....? Jadi....”

“Jadi apa? Yang kuminumkan tadi memang obatnya, dan memang wajar kalau ia mau muntah karena racun itu sudah terkumpul dan tersedot oleh obat, kini tinggal muntahkan saja dan sembuh!”

Ceng Liong tertegun. Kiranya kakek ini tidaklah sekejam yang disangkanya. Sama sekali kakek ini bukan hendak mencelakai Bi Eng! Dia percaya sepenuhnya dan cepat dia menotok tubuh Bi Eng sehingga gadis itu dapat bergerak kembali. Begitu bangkit duduk, Bi Eng muntah-muntah! Dan yang dimuntahkan adalah gumpalan-gumpalan darah hitam!

Ceng Liong mendekatinya, berlutut dan menekan-nekan tengkuk dan mengelus punggung gadis itu untuk membantunya mengeluarkan semua racun dari dalam tubuhnya. Mula-mula Bi Eng yang dirangsang muntah itu membiarkan saja, akan tetapi setelah ia berhenti muntah-muntah, ia menepiskan tangan Ceng Liong, meloncat bangun berdiri dengan sinar mata galak. Ia merasa kepalanya agak pening dan tubuhnya gemetar, wajah dan lehernya penuh keringat, akan tetapi dalam tubuhnya terasa ringan dan enak. Ia benar-benar telah sembuh.

Dengan pikiran tidak karuan, bercampur aduk antara rasa girang dan marah, terima kasih dan dendam, ia memandang kepada guru dan murid itu, kehabisan akal harus bicara apa dan bertindak bagaimana.

Mereka telah menghinanya, menipunya, akan tetapi juga telah menyelamatkan nyawanya! Apa yang harus dilakukannya untuk mengimbangi semua perbuatan mereka? Mendadak ia memejamkan matanya karena rasa pusing membuat pandangan matanya berputar melihat segala di sekelilingnya.

“Calon mantuku, engkau baru saja terbebas dari serangan racun yang amat berbahaya. Duduklah dan bersilalah menghimpun hawa murni.”

Kata Hek-i Mo-ong dan seperti mimpi Bi Eng duduk bersila dan ia memejamkan mata, menaati perintah itu karena sebagai puteri seorang pendekar sakti iapun tahu bahwa nasihat itu amat tepat baginya.

Begitu bersila dan mengatur pernapasan, tubuhnya terasa amat enak dan nyaman. Akan tetapi pikirannya tidak mau diam, melayang-layang tidak karuan. Penyebab kacaunya pikiran itu adalah ingatan tentang keadaan Ceng Liong seperti yang dikatakan oleh kakek iblis itu tadi. Cucu Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Hal inilah yang mengganggu pikirannya. Pada saat itu terdengar bentakan orang.

“Hek-i Mo-ong, akhirnya aku dapat juga menemukanmu setelah mencari bertahun-tahun lamanya!”

Hek-i Mo-ong saat itu sudah duduk bersila dan mengatur pernapasannya. Dia telah menderita luka yang cukup berat. Pukulan yang diterimanya dari mendiang Jai-hwa Siauw-ok membuat luka dalam yang dideritanya ketika dia melawan Pendekar Suling Emas Kam Hong makin menghebat dan dalam keadaan luka parah sekali itu dia masih mengadu tenaga dengan muridnya sendiri.

Kalau bukan Hek-i Mo-ong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pukulan sakti yang melandanya bertubi-tubi itu. Maka ketika terdengar bentakan itu, walaupun telinganya dapat menangkapnya, dia masih saja duduk bersila dengan mata terpejam dan dia sibuk mengatur pernapasan.

Juga Bi Eng masih duduk bersila dan mengatur pernapasan mengusir kepeningan kepalanya. Tinggal Ceng Liong seorang yang begitu mendengar bentakan ini lalu membalikkan tubuh menghadapi orang yang baru datang itu.

Ternyata yang muncul itu seorang pemuda yang usianya antara sembilan belas atau dua puluh tahun. Seorang pemuda bertubuh jangkung, dengan punggung agak bongkok, pakaiannya sederhana dan sikapnya juga sederhana seperti orang biasa.

Akan tetapi sepasang mata yang mencorong itu, dan wajah yang mengandung bayangan dendam penuh kebencian, membuat Ceng Liong cukup waspada karena dia dapat menduga bahwa orang ini datang bukan dengan niat hati yang baik. Dengan penuh perhatian dia mengamati wajah pemuda itu karena dia merasa seperti pernah mengenal wajah ini, akan tetapi telah lupa lagi kapan dan di mana.

Pemuda itu agaknya tidak memperhatikan Ceng Liong karena pandang matanya ditujukan terus kepada Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila. Kemudian, dengan sikap perlahan dan tenang namun penuh ketegasan, dia melolos pedang dari balik jubahnya dan terkejutlah Ceng Liong ketika dia mengenal sebatang pedang pusaka yang ampuh.

Pedang itu mengeluarkan sinar berkilat ketika dicabut dan tahulah dia bahwa pedang itu bukan pedang sembarangan, melainkan sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang amat baik dan ampuh.

“Hek-i Mo-ong, jangan berpura-pura tidak tahu. Bangkitlah dan lunasi hutangmu!”

Pemuda itu membentak dan dengan langkah perlahan dia menghampiri Hek-i Mo-ong yang masih duduk bersila tanpa membuka kedua matanya.

“Perlahan dulu, sobat!” Tiba-tiba Ceng Liong berseru dan sekali menggerakkan kedua kakinya, tubuhnya sudah mencelat ke depan pemuda berpedang itu dan dia bertolak pinggang menghadang. “Mau apa engkau datang menghampiri guruku dengan menghunus pedang?”

Pemuda itu tertegun, mengamati wajah Ceng Liong dan akhirnya dia berkata setelah menarik napas panjang.

“Aih, jadi engkau ini murid Hek-i Mo-ong, bocah setan itu? Bagus, membasmi pohon beracun harus dengan akar-akarnya agar tidak tumbuh lagi!”

Ceng Liong mengerutkan alisnya dan kini dia melihat sesuatu yang menggugah ingatannya. Tahi lalat di ujung bawah telinga kiri itu! Terbayanglah dia ketika anak laki-laki berusia tiga belas tahunan itu memondong jenazah Yang I Cin-jin yang tewas di tangan Hek-i Mo-ong, pandang mata anak laki-laki itu yang penuh dendam kebencian kepada Hek-i Mo-ong!

“Ah, kiranya engkau murid mendiang Yang I Cin-jin.!”

Pemuda itu tersenyum.
“Dan engkau murid Hek-i Mo-ong yang memiliki ingatan baik sekali. Memang, aku Pouw Kui Lok, murid suhu yang dahulu membawa pergi jenazah suhu ketika suhu terbunuh oleh gurumu. Dan sekarang tiba saatnya bagiku untuk membalas dendam yang bertumpuk-tumpuk!”

Ceng Liong melihat betapa sikap pemuda ini gagah dan tidak kelihatan jahat. Diapun teringat kepada mendiang Yang I Cin-jin yang juga lebih pantas menjadi seorang pendekar daripada seorang sesat, walaupun pada waktu itu Yang I Cin-jin agaknya ikut pula bersekutu dengan para pemberontak. Diapun menarik napas panjang.

“Pouw Kui Lok, urusan antara guruku dan gurumu dahulu itu adalah urusan pribadi. Tentu engkau pada waktu itu mengetahui juga bahwa yang menyerang lebih dahulu adalah gurumu dan mereka lalu berkelahi secara adil. Kalau seorang di antara mereka kalah dan tewas, bukankah hal itu wajar saja? Urusan di antara mereka, kenapa engkau harus mencampurinya?”

Diam-diam Pouw Kui Lok tertegun mendengar ucapan ini. Sama sekali tidak disangkanya bahwa murid seorang iblis seperti Hek-i Mo-ong itu mempunyai pandangan seperti itu! Maka, kemarahannya terhadap Ceng Liong sebagai murid Hek-i Mo-ong mereda dan suaranyapun terdengar lembut.

“Orang muda, urusan antara aku dan gurumu juga urusan pribadi. Engkau tidak tahu berapa banyak hutang gurumu kepadaku. Dia pernah membunuh mendiang kakek guruku yang bernama Thian Teng Losu, kemudian membunuh paman guruku Yang Heng Cin-jin dan memperkosa isterinya. Kemudian, ketika guruku mencoba untuk membalas dendam, guruku malah tewas di tangannya. Sebagai muridnya, mana mungkin aku mendiamkannya saja? Selama ini aku menggembleng diri tak kenal lelah, semua kulakukau hanya untuk hari ini, untuk membalas semua itu kepada gurumu. Sebaiknya engkau jangan mencampuri, dan aku tidak akan mengganggumu. Biarlah permusuhan habis di sini saja setelah gurumu atau aku tewas dalam suatu perkelahian yang adil!”

Sikap Pouw Kui Lok gagah sekali dan diam-diam Ceng Liong merasa menyesal mengapa dia harus berdiri di situ sebagai murid Hek-i Mo-ong, sehingga dia terpaksa terlibat dalam urusan permusuhan pribadi yang tidak menyenangkan itu, karena bagaimanapun juga dia dapat merasakan bahwa permusuhan itu diawali oleh perbuatan gurunya yang tidak benar.

“Pouw Kui Lok, adalah hakmu untuk menuntut balas kematian gurumu. Aku tidak akan mencampuri urusan permusuhan pribadi, akan tetapi pada saat ini Hek-i Mo-ong sedang dalam keadaan sakit, maka aku akan melarangmu kalau engkau hendak menyerangnya. Aku terpaksa mencampuri karena melihat ketidak-adilan.”

“Ho-ho-ho, siapa bilang aku sakit? Ha-ha, kalau hanya murid Yang I Cin-jin, jangankan hanya seorang, biar ada sepuluh orang aku masih sanggup untuk membunuhnya satu demi satu!” Tiba-tiba Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan tertawa-tawa dengan sikap mengejek.
“Suhu....!”

Ceng Liong berseru kaget dan juga marah karena dia tahu bahwa suhunya hanya berpura-pura saja karena sebenarnya suhunya terluka parah dan tidak mungkin dapat menghadapi lawan tangguh.

“Heh-heh, Ceng Liong. Sejak kapan gurumu ini gentar menghadapi ancaman musuh? Jangan kau turut campur, biar kuhabiskan riwayat bocah sombong itu!”

Mendengar ini, Pouw Kui Lok menjadi marah. Kalau tadinya dia merasa agak ragu-ragu mendengar bahwa musuh besarnya berada dalam keadaan sakit, kini mendengar ucapan dan tantangan Hek-i Mo-ong, tentu saja dia merasa lega. Dengan pedang di tangan, dia lalu mengeluarkan suara geraman nyaring menyerang ke arah Hek-i Mo-ong. Akan tetapi, bayangan Ceng Liong berkelebat dan pemuda remaja ini sudah menghadangnya dan memandangnya dengan tajam.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar