FB

FB


Ads

Jumat, 09 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 058

Kao Cin Liong bukan hanya seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi juga sudah digembleng oleh banyak pengalaman, baik dalam kehidupannya sebagai seorang pendekar yang berkecimpung di dunia kang-ouw mau pun sebagai seorang panglima muda yang berkecimpung di dalam kancah-kancah peperangan. Semua pengalaman pahit dalam hidupnya membuat pemuda ini matang dan dia dapat menghadapi segala peristiwa dengan tenang.

Akan tetapi, ketika pemuda yang kini usianya sudah tiga puluh dua tahun itu pulang dari tugasnya membebaskan Tibet dari pasukan Nepal, bahkan kemudian dia menyerang Nepal dan berhasil menundukkan negara ini sehingga Kerajaan Nepal terpaksa harus mengakui kedaulatan Kerajaan Ceng yang kuat itu, dia menghadapi hal yang membuat dirinya tertegun.

Setelah kembali ke kota raja dan menerima hadiah dan anugerah Kaisar Kian Liong yang memuji-mujinya, Jenderal Kao Cin Liong lalu berpamit meminta cuti untuk menengok orang tuanya di utara.

Akan tetapi, begitu dia memasuki rumahnya dan menghadap ayah bundanya, jenderal muda itu tertegun melihat sikap ayah bundanya terhadap dirinya. Ayahnya memandang dengan mata mencorong sedangkan ibunya menyambutnya dengan mata merah dan basah! Cin Liong dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat, maka cepat dia menjatuhkan diri berlutut depan kedua orang tuanya yang duduk di kursi panjang.

“Ayah, ibu, aku datang membawa berita kemenangan dan berhasilnya tugas yang kupikul. Akan tetapi, mengapa ayah dan ibu nampak marah dan duka? Harap ayah dan ibu suka mengampunkan kalau aku membuat kesalahan, dan harap memberi tahu kesalahan apa gerangan yang telah kulakukan?”

“Cin Liong, karena ulahmu, atau setidaknya karena engkaulah maka kami berdua, ayah bundamu menerima penghinaan dan makian orang,” kata Kok Cu.

Pendekar ini sudah hampir enam puluh tahun usianya, namun masih nampak gagah perkasa. Buntungnya sebelah lengannya sama sekali tidak membayangkan kelemahan, bahkan menambah kegagahannya, kegagahan yang aneh. Sikapnya tenang dan serius, sepasang matanya mencorong seperti mata naga sehingga patutlah kalau dia dikenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.

Di sampingnya duduk isterinya, Wan Ceng yang kini sudah berusia lima puluh tiga tahun. Nenek yang biasanya gembira itu nampak muram dan ketika ia memandang kepada puteranya, hampir ia tidak dapat menahan air matanya.

Tentu saja Cin Liong merasa terkejut sekali mendengar teguran ayahnya itu. Akan tetapi sebagai seorang yang sudah matang dan berpengalaman, dia tetap tenang. Dia lalu bangkit duduk menghadapi ayah bundanya, dan sambil memandang kepada mereka bergantian dengan sinar mata penuh selidik, dia pun bertanya.

“Ayah dan ibu, apakah yang telah terjadi? Harap suka segera memberi tahu kepadaku.”

Wan Ceng yang tetap tidak mau percaya akan kesalahan puteranya, segera mendahului suaminya.

“Liong-ji, kami telah pergi ke Thian-cin....”

“Ahhh....!” Cin Liong teringat akan urusannya dengan Suma Hui dan tentang permintaan kepada ayah bundanya untuk mengajukan pinangan. “Lalu bagaimana, ibu?”

“Kami tiba di Thian-cin, berhasil menemui paman Suma Kian Lee dan keluarganya, dan kami telah mengajukan pinangan terhadap diri Suma Hui seperti yang kau minta.” Wan Ceng berhenti karena suaminya memotong.

“Pinangan yang janggal karena masih keluarga, dan menurut hitungan, kita kalah tua lagi, dan berakhir dengan aneh dan memalukan pula.”

“Ibu, apakah yang terjadi selanjutnya?”

“Singkatnya, pinangan kita ditolak, bahkan kami berdua dihina dan dimaki!” kata Wan Ceng gemas.

Cin Liong bangkit berdiri dan mengepal tinju, alisnya berkerut.
“Ahhh, sungguh tidak pantas! Mereka boleh saja menolak pinangan, akan tetapi mengapa harus memakai penghinaan dan makian? Sungguh tidak patut, apakah mereka itu begitu tinggi hati karena merasa sebagai keluarga Pulau Es?”

“Cin Liong, lupakah engkau bahwa segala macam penilaian adalah palsu karena penilaian didasari pendapat sendiri yang muncul dari perhitungan untung rugi? Dapatkah kita menilai orang dari keadaan luarnya? Memang, menolak pinangan sambil marah-marah tidak patut sekali, akan tetapi engkau harus menyadari bahwa setiap sikap dan perbuatan itu tentu ada sebab-sebabnya! Jadi, tanpa mengetahui sebab-sebabnya, kita sama sekali tidak berhak menilai sikap atau perbuatan orang lain!”

“Maaf, ayah. Aku terbawa oleh perasaan penasaran mendengar betapa ayah dan ibu sudah ditolak pinangannya masih juga dihina dan dimaki. Sebenarnya, apakah yang telah terjadi, ayah? Mengapa keluarga Suma marah-marah kepada kita?”

“Nah, begitu lebih tepat. Setiap menghadapi persoalan, amatilah diri sendiri dan cari tahu kenapa demikian, cari sebab-sebabnya sehingga kita tidak hanya berbuat menuruti perasaan hati dan nafsu belaka. Ketahuilah, Cin Liong, pada waktu kami mengajukan pinangan, paman Suma Kian Lee dan isterinya menolak. Bukan hanya itu, bahkan Suma Hui dengan lantang mengatakan bahwa engkau telah memperkosanya!”

“Ahhh....!”

Cin Liong terbelalak kaget dan untuk kedua kalinya dia bangkit berdiri, sekali ini dengan muka menjadi pucat dan pandang mata penuh keheranan.

“Kami tidak pernah meragukan dirimu, anakku,” kata Wan Ceng. “Tentu saja kami tidak percaya dan hampir terjadi kesalah pahaman. Akan tetapi, kiranya tidak mungkin pula kalau Suma Hui mengada-ada hendak menjatuhkan fitnah kepadamu. Sebetulnya ada apakah antara engkau dan Suma Hui?”

Cin Liong sudah terduduk kembali dan menutupi muka dengan kedua tangannya, mulutnya menggumam heran,

“Diperkosa.... dan.... dan aku yang memperkosanya? Ya Tuhan, apa artinya semua ini? Ibu dan ayah, aku tidak perlu bersumpah kiranya bahwa aku tidak pernah melakukan perbuatan keji itu. Tidak kepada Suma Hui dan tidak pula kepada siapa pun juga. Melihat penjahat memperkosa wanita, aku akan turun tangan membunuhnya. Kalau aku sendiri yang melakukan perbuatan keji itu, tentu aku akan membunuh diriku sendiri. Tidak, aku tidak pernah melakukan itu. Dan sekarang baru aku mengerti, kiranya ada hubungannya dengan itu maka sikap Suma Hui dahulu itu demikian aneh.”






“Apa yang kau maksudkan?” tanya ibunya.

“Seperti pernah kuceritakan kepada ayah ibu, antara aku dan Suma Hui sudah terjalin tali cinta kasih. Kami saling mencinta dan biar pun kami tahu akan besarnya halangan di antara kami karena ikatan keluarga, kami berdua sudah bertekad untuk bersama-sama menghadapinya. Akan tetapi, ketika aku pergi ke kota raja dan sebelum menerima perintah kaisar, aku pergi ke Thian-cin. Ketika bertemu denganku, secara aneh dan tiba-tiba saja ia menyerangku dan hendak membunuh! Ia begitu marah sehingga sukar diajak bicara, maka aku lalu pergi meninggalkannya. Kemudian, aku terikat tugas dan sampai demikian lamanya tak pernah bertemu dengannya, dan selama ini aku memang bertanya-tanya bagaimana jadinya dengan pinangan ayah berdua.”

Ayahnya mengangguk-angguk,
“Aku makin yakin bahwa tentu ada sesuatu di balik semua itu. Suma Hui menuduhmu memperkosa, bahkan berusaha membunuhmu. Dan engkau tidak merasa sama sekali telah melakukan perbuatan keji itu. Tentu terselip suatu rahasia di antara kedua perbedaan yang saling berlawanan itu.”

“Sudah menjadi kuwajibanku untuk membikin terang persoalan ini, ayah. Aku akan segera berangkat ke Thian-cin dan aku akan bicara terus terang dengan mereka.”

“Akan tetapi, keluarga Suma sudah begitu marah kepadamu....,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya.

“Ayah. Kita semua tahu bahwa Suma Kian Lee locianpwe adalah seorang pendekar besar. Aku yakin bahwa kalau kuajak dia terus terang membicarakan persoalan itu dan menyelidiki rahasianya, dia akan dapat menerimanya.”

“Tapi, Cin Liong....” Suara Wan Ceng menjadi lembut dan pandang matanya penuh iba kepada putera tunggalnya. “Engkau terlambat sudah.... karena tak lama setelah engkau pergi, Suma Hui telah menikah....”

Ciu Liong adalah seorang pemuda yang amat kuat batinnya. Berita yang diucapkan dengan lembut oleh ibunya ini sebetulnya amat hebat menikam jantungnya. Akan tetapi hanya mukanya saja yang sedikit pucat dan matanya tergetar sedikit, akan tetapi selanjutnya dia nampak tenang.

“Ahh, begitukah....?”

“Kami tidak datang karena.... engkau tahu sendiri, tentu tidak enak bagi kami untuk hadir setelah peristiwa peminangan dahulu itu,” kata Kao Kok Cu.

“Kami mendengar bahwa ia menikah dengan suheng-nya sendiri, murid tunggal paman Suma Kian Lee,” sambung Wan Ceng.

“Ah, tentu Louw Tek Ciang itu! Hemmm.... syukurlah kalau begitu, karena pemuda itu kelihatan baik dan berbakat.”

Cin Liong menunduk, tidak tahan melihat pandang mata ibunya yang penuh iba. Dia telah gagal lagi dalam asmara!

“Engkau tentu tidak jadi ke Thian-cin, bukan?” tanya ibunya.

Cin Liong mengangkat muka, memandang kepada ibunya dengan senyum. Senyum layu!
“Tentu saja, ibu. Aku pergi untuk menjernihkan kekeruhan antara keluarga kita dengan keluarga Suma. Bagaimana pun juga, di antara kita masih ada hubungan keluarga, maka tidaklah baik kalau sampai awan hitam itu tidak dijernihkan. Aku harus dapat menyadarkan mereka bahwa aku terkena fitnah, bahwa aku tidak melakukan perbuatan itu.”

“Tapi.... tapi Suma Hui telah menjadi isteri orang. Tidak baik kalau sampai urusannya yang mendatangkan aib itu dibicarakan,” Kao Kok Cu memperingatkan.

“Aku akan membicarakannya dengan Suma-locianpwe dan isterinya. Pula, ketika terjadi keributan, Louw Tek Ciang juga mengetahui sehingga dia pun telah mengetahui segala-galanya. Dia pun sudah mengenalku.”

Karena memang masalah yang merisaukan itu perlu dijernihkan, akhirnya Kao Kok Cu dan Wan Ceng tidak dapat membantah dan setelah bermalam di rumah orang tuanya selama sepekan, berangkatlah Cin Liong kembali ke selatan, hendak pergi ke Thian-cin.

Suatu hari tibalah dia di dusun Pei-san yang terletak di kaki Pegunungan Tai-hang-san, tidak jauh dari kota raja, di sebelah barat. Karena hari sudah lewat senja dan dia pun merasa lelah setelah pada hari itu sejak pagi dia melakukan perjalanan jauh naik turun gunung, maka Cin Liong ingin bermalam di dusun itu. Biar pun dusun Pei-san berada tidak jauh dari kota raja, akan tetapi Cin Liong belum pernah lewat dusun ini.

Dia kini memang sengaja mengambil jalan lain di sepanjang kaki Gunung Tai-hang-san ketika dia menuju ke Thian-cin, untuk melihat-lihat keadaan dan dia memang hendak mengambil jalan memutar agar jangan melalui kota raja. Kalau dia melalui kota raja, dia khawatir kalau dia mendengar sesuatu yang membuat dia menunda kepergiannya ke Thian-cin. Kalau urusannya dengan keluarga Suma sudah selesai, barulah dia akan kembali ke kota raja menunaikan tugasnya sebagai panglima kembali.

Dan karena jenderal muda ini bepergian dengan pakaian preman, tidak ada pejabat atau petugas yang mengenalnya sehingga dia dapat melakukan tugasnya secara bebas kalau dia sedang melakukan penyelidikan. Baru dia mengenakan pakaian kebesaran kalau dia memimpin pasukan dengan resmi.

Pei-san merupakan sebuah dusun di lereng bukit Pegunungan Tai-hang-san. Sebuah dusun yang cukup makmur karena tanahnya yang subur karena letaknya yang dekat dengan kota raja, di sebelah baratnya sehingga dusun ini menjadi semacam pintu masuk atau jembatan, juga menjadi tempat perhentian mereka yang datang dari barat hendak menuju ke kota raja.

Para pedagang yang datang dari barat atau pergi ke barat, selalu singgah di dusun ini, untuk mengaso, atau makan, atau juga untuk melewatkan malam kalau mereka kemalaman di jalan. Tidaklah mengherankan apabila di dusun itu bertumbuhan usaha penginapan dan kedai-kedai makan minum.

Ketika Cin Liong memasuki dusun Pei-san, kesan pertama dalam hatinya adalah bahwa dusun ini amat ramai dan sibuk. Akan tetapi, penglihatannya yang tajam dapat menangkap bayangan-bayangan ketakutan tersembunyi di balik senyum dan pandang mata para penduduk. Agaknya ada sesuatu, atau telah terjadi sesuatu yang membuat hati penghuni dusun itu dicekam ketakutan.

Kesan ini dirasakannya pula ketika Cin Liong memasuki sebuah kedai makan yang tidak begitu ramai dan terletak di ujung jalan raya. Perutnya lapar dan tubuhnya lelah sekali. Dia tidak suka memasuki kedai makan yang penuh sesak oleh tamu, melainkan memilih kedai yang sepi itu. Dalam keadaan lapar, tidak perlu terlalu memilih makanan yang enak. Segala macam makanan terasa enak di mulut kalau perut sedang lapar.

Di kedai itu ada beberapa orang tamu yang duduk berpencaran. Cin Liong memilih sebuah meja di sudut dalam. Seorang pelayan tua segera menghampirinya dan dengan ramah lalu bertanya makanan apa yang hendak dipesan oleh pemuda itu. Cin Liong juga melihat betapa di wajah kakek pelayan ini pun terbayang rasa cemas seperti yang dilihatnya pada wajah orang-orang lain itu.

Dia memesan makanan dan ketika pelayan tua itu datang membawakan makanan, Cin Liong lalu berkata,

“Lopek, aku melihat wajahmu seperti orang ketakutan, dan juga pada wajah penghuni dusun ini ada bayangan ketakutan seperti itu. Apakah yang telah terjadi, lopek?”

Kakek pelayan itu memandang dengan muka pucat, lalu dia menoleh ke kanan kiri, nampaknya semakin takut, akan tetapi juga ada pandang mata heran mengapa ada orang menanyakan hal itu, karena bukankah semua orang sudah tahu?

“Lopek, aku bukan orang sini, dan aku baru saja masuk ke dusun Pei-san ini. Ada peristiwa apakah?”

Tanya pula Cin Liong secara sambil lalu seperti lumrahnya seorang tamu yang ingin tahu dan dia pun makan hidangan yang diantarkan oleh pelayan itu.

“Tidak ada apa-apa, tuan.... tidak ada apa-apa....”

Cin Liong mengerutkan alisnya dan diam-diam dia mengerling ke arah para tamu yang duduk di situ. Akan tetapi para tamu itu tidak memperlihatkan suatu ketidak wajaran. Mereka duduk, ada yang sedang makan minum, ada yang sedang bercakap-cakap urusan perdagangan dan pekerjaan mereka. Dia tahu bahwa kakek ini membohong dan takut bicara.

“Lopek, jangan takut. Ceritakanlah, kalau ada apa-apa aku yang akan tanggung. Kalau ada kesukaran menimpa dusun ini, tentu aku akan berusaha untuk membereskannya,” kata pula Cin Liong lirih agar tidak sampai terdengar oleh orang lain.

Pelayan itu memandang dengan ragu, akan tetapi matanya terbelalak ketika dia melihat betapa tangan tamunya itu meremas sebuah sendok batu yang menjadi hancur seperti tepung di antara jari-jari tangannya tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Tahulah pelayan itu bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar.

“Di.... di dusun ini semenjak dua pekan yang lalu ada.... ada.... Eng-jiauw-pang....”

Hanya sampai di situ saja pelayan itu berani bicara karena dia pun cepat meninggalkan Cin Liong sambil menoleh ke kanan kiri penuh rasa cemas. Cin Liong tidak mendesak lebih jauh, lalu melanjutkan makan sambil termenung. Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda)?

Dia pernah mendengar nama itu. Kalau dia tidak salah ingat, Eng-jiauw-pang adalah perkumpulan orang jahat, perkumpulan para perampok yang amat lihai, terkenal dengan anggota-anggota mereka yang mempergunakan sarung tangan kuku garuda yang selain ahli dalam ilmu silat, juga lihai dalam penggunaan racun.

Akan tetapi, perkumpulan perampok Eng-jiauw-pang itu berada di daerah Se-cuan, jauh di barat. Bagaimana bisa muncul di tempat ini dan apa yang telah mereka lakukan sehingga orang-orang menjadi ketakutan?

Tiba-tiba terdengar jeritan lemah dan Cin Liong cepat menoleh. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat kakek pelayan yang tadi melayaninya, tiba-tiba jatuh terpelanting dan mangkok-mangkok terisi makanan dalam baki yang dibawanya ikut terbanting dan menimbulkan suara gaduh. Gegerlah di rumah makan itu.

Para pelayan lain dan para tamu segera menghampiri. Cin Liong tidak ketinggalan, malah dia paling dulu menghampiri kakek ini, lalu dia berlutut dan memeriksa. Ternyata pelayan itu telah tewas dengan muka berubah kebiruan, sedangkan di leher sebelah kanan nampak tiga guratan yang masih mengeluarkan darah. Guratan tanda kuku garuda! Dan sekali lihat saja maklumlah Cin Liong bahwa kakek ini tewas keracunan yang memasuki tubuhnya melalui guratan-guratan pada leher itu.

Dia menjadi marah sekali dan memandang kepada semua orang yang berada di situ penuh selidik. Akan tetapi, karena dia tidak melihat sendiri penyerangan itu, siapa yang hendak dituduhnya? Pula, melihat kenyataan bahwa tidak ada orang yang melihat bagaimana caranya kakek itu diserang dan dibunuh, menjadi bukti bahwa penjahat itu lihai sekali.

Juga bahwa penjahat itu bisa mendengar atau mengetahui bahwa kakek pelayan tadi telah menceritakan sedikit tentang Eng-jiauw-pang kepadanya, membuktikan bahwa gerombolan penjahat itu benar-benar lihai.

Dia lalu bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling.
“Siapa di antara saudara sekalian yang tahu di mana adanya sarang gerombolan Eng-jiauw-pang?” tanyanya, suaranya halus akan tetapi penuh ancaman dan kemarahan yang ditahan.

Ada kejahatan kejam terjadi di depan hidungnya, sungguh hal ini menjengkelkan sekali, merupakan tantangan kepadanya. Dia merasa menyesal mengapa tadi dia tidak sempat memperhatikan kakek pelayan itu sehingga dia akan dapat mengetahui kalau kakek itu diserang orang. Akan tetapi siapa pula mengira bahwa di situ akan terjadi pembunuhan?

Begitu Cin Liong mengeluarkan pertanyaan ini, semua orang terbelalak. Muka mereka menjadi pucat dan cepat-cepat mereka menjauhkan diri, meninggalkan tempat itu seperti orang ketakutan. Juga para pelayan yang lain menggelengkan kepala, tanpa menjawab pertanyaan itu.

“Wiirrr.... singgg....!”

Cin Liong dengan tenang mengelak dan tangannya bergerak menangkap benda hitam yang meluncur di dekat telinganya, yang tadinya menyambar ke arah lehernya. Dengan ibu jari dan telunjuk, ditangkapnya benda itu yang ternyata adalah sebatang senjata rahasia berbentuk paku yang biasanya disebut Touw-kut-ting (Paku Penembus Tulang). Akan tetapi melihat warnanya yang hitam kehijauan, mudah diduga bahwa paku ini mengandung racun yang amat berbahaya!

Begitu menangkap senjata rahasia itu, Cin Liong meloncat ke pintu, akan tetapi dia tidak melihat bayangan siapa pun yang boleh disangka melakukan penyerangan itu. Akan tetapi di daun pintu nampak sehelai kain yang tertancap pisau belati, di mana terdapat tulisan dengan huruf merah.

ENG-JIAUW-PANG MENANTI DI KUIL TUA HUTAN CEMARA DI SEBELAH TIMUR DUSUN.

“Hemm....!” Cin Liong merasa penasaran sekali dan marah.

Kiranya dia berhadapan dengan perkumpulan yang mempunyai orang-orang pandai dan kejam sekali. Tentu penyerangan senjata rahasia tadi dimaksudkan untuk mengujinya. Kalau dia lulus ujian, tidak mati oleh serangan itu, maka dia dianggap cukup berharga untuk berkunjung ke sarang perkumpulan itu!

Dia tahu betapa bahayanya mendatangi sarang itu, karena para penjahat tentu telah siap siaga menanti kedatangannya. Akan tetapi, Cin Liong adalah seorang pendekar yang selain banyak pengalaman dan cukup waspada, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ketabahan luar biasa.

Cin Liong melemparkan paku itu dengan pengerahan tenaga sampai amblas ke dalam tanah, lalu dia meninggalkan rumah makan itu. Dia langsung menuju ke arah timur dan keluar dari dusun itu melalui pintu gerbang sebelah timur. Tidak sukar mencari hutan cemara itu karena begitu keluar dari pintu gerbang, hutan itu sudah nampak di sebuah lereng bukit di kaki Pegunungan Tai-hang-san.

Sebenarnya, perkumpulan apakah yang menamakan diri Eng-jiauw-pang dan menjadi momok bagi para penghuni dusun itu? Eng-jiauw-pang (Perkumpulan Kuku Garuda) sebetulnya adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang tadinya dipimpin oleh seorang tokoh yang condong kepada golongan hitam atau kaum sesat. Mereka itu kadang-kadang suka melakukan perampokan, meski perampokan kaliber besar, bukan sembarangan perampok dan maling kecil saja.

Mereka hanya melakukan perampokan terhadap rombongan besar para pedagang kaya atau pembesar tinggi yang melakukan perjalanan. Karena nama Eng-jiauw-pang sudah dikenal dan ditakuti, maka para piauwkiok (perusahaan pengawal barang kiriman) rata-rata mendekatinya dan mengirim upeti-upeti sehingga perjalanan mereka tidak akan diganggu oleh perkumpulan ini. Upeti-upeti yang cukup banyak itulah yang menjadi sumber nafkah perkumpulan ini di samping hasil-hasil perampokan mereka terhadap rombongan-rombongan yang tidak mangirim upeti kepada mereka.

Perkumpulan Eng-jiauw-pang memang tadinya berasal dari barat, dari daerah Se-cuan. Akan tetapi semenjak pendirinya, yaitu Eng-jiauw Siauw-ong, tewas, perkumpulan itu meninggalkan Se-cuan dan di bawah pimpinan ketua mereka yang baru, mereka yang terdiri dari tiga puluh orang lebih, pindah ke timur dan kini sedang mencari-cari tempat yang baik sampai mereka tiba di hutan cemara di kaki Pegunungan Tai-hang-san itu.

Cin Liong memasuki hutan cemara dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa dia memasuki sarang harimau atau goa naga. Untung baginya bahwa hutan cemara itu tidaklah begitu liar atau gelap karena pohon-pohon itu tidak lebat.

Tidak lama kemudian setelah dia memasuki hutan cemara itu, nampaklah dinding kuil yang putih, agaknya tembok dinding itu baru mengalami perbaikan dan pengecatan baru. Juga pekarangannya nampak bersih, genteng-gentengnya ada pula sebagian yang baru, agaknya genteng-genteng tua yang jebol telah diganti dan diperbaiki. Akan tetapi, tempat itu kelihatan sunyi saja.

Biar pun begitu, Cin Liong tidak tertipu oleh keadaan yang sunyi dan dia tetap waspada, yakin bahwa pada saat itu, mata pihak musuh tentu sedang mengamati gerak-geriknya. Selagi dia merasa heran mengapa pihak musuh yang biasanya suka bertindak curang itu belum juga turun tangan menyerangnya, tiba-tiba dia melihat gerakan di sekelilingnya dan tahu-tahu tempat itu sudah terkurung oleh sedikitnya dua puluh orang yang kesemuanya nampak beringas dan kejam.

Dengan perasaan heran Cin Liong melihat betapa pada sinar mata dua puluh orang lebih itu terbayang kemarahan dan dendam kebencian yang mendalam kepadanya! Sungguh aneh pikirnya. Mengapa orang-orang Eng-jiauw-pang ini memusuhinya tanpa sebab? Padahal, dia baru saja datang ke dusun itu dan tadi hanya bertanya mengenai Eng-jiauw-pang kepada pelayan rumah makan yang kemudian dibunuh oleh orang-orang Eng-jiauw-pang sendiri.

Akan tetapi, hal ini tidak membuat pendekar ini merasa gentar dan dia pun mencari dengan matanya. Melihat lima orang tinggi besar yang nampak kereng dan agaknya menjadi pemimpin mereka semua, dia lalu menghadapi lima orang itu dan memandang tajam ke sekeliling.

“Kao Cin Liong, engkau datang mengantar kematian. Sungguh bagus dan memudahkan kami untuk membuat perhitungan denganmu!” Seorang di antara mereka yang berkumis lebat berkata.

Cin Liong mengerutkan alisnya.
“Apakah kalian ini yang disebut Eng-jiauw-pang?”

“Benar!” jawab si kumis lebat. “Kami adalah para anggota Eng-jiauw-pang yang hendak membalas kematian ketua kami!”

Cin Liong memandang heran.
“Aku hanya lewat di dusun itu dan mendengar bahwa perkumpulan Eng-jiauw-pang mengacau penduduk, melakukan kejahatan hingga para penghuni dusun hidup dicekam ketakutan. Akan tetapi sekarang kalian mengatakan hendak membalas kematian ketua kalian. Apa artinya ini?” Dia memandang si kumis dan melanjutkan pertanyaannya. “Dan bagaimana kalian dapat mengenal namaku?”

“Jenderal Kao Cin Liong, tidak perlu berpura-pura tanya lagi. Engkau telah membunuh ketua kami dan saat ini engkau akan menebus kematian ketua kami dengan nyawamu.”

“Dan siapakah ketua kalian itu?”

“Ketua kami adalah mendiang Eng-jiauw Siauw-ong Liok Cau Sui! Dan engkau telah membunuhnya di Pulau Es....”

“Ahhhh!”

Kini Cin Liong teringat. Ketika rombongan para datuk kaum sesat menyerbu Pulau Es, dia membela Pulau Es dan dalam pertempuran mati-matian itu dia telah merobohkan dan menewaskan seorang kakek yang memakai sarung tangan kuku garuda, yang merupakan lawan yang amat tangguh dan lihai. Kiranya kakek bersarung tangan kuku garuda itu adalah ketua dari gerombolan ini!

“Kiranya kakek jahat itu ketua kalian? Memang, aku telah menewaskannya karena dia bersama orang-orang jahat lainnya melakukan penyerbuan kepada keluarga Pulau Es. Nah, kalian mau apa? Apakah kalian hendak menyusul ketua kalian itu ke neraka jahanam?”

Tentu saja dua puluh orang lebih yang mengurung pemuda itu menjadi marah mendengar ucapan ini, terutama sekali lima orang pemimpin mereka yang merupakan murid-murid utama dari mendiang Eng-jiauw Siauw-ong.

“Bocah sombong! Kematian sudah berada di depan mata dan engkau masih besar mulut!”

Teriak si kumis yang agaknya merupakan pemimpin nomor satu dan memang sesungguhnya dia adalah murid kepala atau twa-suheng dari semua murid Eng-jiauw Siauw-ong.

Setelah memaki, lima orang itu lalu mengeluarkan sepasang sarung tangan kuku garuda, diturut oleh semua anggota gerombolan itu dan kini semua tangan mereka telah mengenakan sarung kuku garuda yang terbuat dari pada baja. Setelah mengenakan sarung tangan kuku garuda, mereka itu nampaknya menjadi bertambah bengis.

Lalu, atas isyarat si kumis, kepungan mereka makin merapat dan tiba-tiba beberapa orang anggota gerombolan yang berdiri di belakang Cin Liong sudah menubruk dengan serangan mereka menggunakan kedua cakar garuda itu untuk mencengkeram. Mulut mereka mengeluarkan suara seperti teriakan parau burung garuda, ada pun gerakan-gerakan mereka juga seperti burung yang mencakar-cakar. Kedua lengan mereka kadang-kadang dikembangkan dan mereka meloncat dengan gesitnya, menubruk dari atas seperti gerakan burung menyambar dari angkasa, menggunakan kedua cakar baja yang amat runcing itu.

Akan tetapi, yang mereka serang adalah Kao Cin Liong, pendekar muda yang memiliki kesaktian, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Begitu pemuda perkasa ini memutar tubuh dan menggerakkan kedua lengannya sambil membentak, tiga orang penyerang sudah terpelanting dan terbanting ke atas tanah dengan keras, membuat mereka tidak dapat segera bangun kembali karena merasa kepala mereka pening.

Akan tetapi, teman-teman mereka sudah menyerang dari empat jurusan sehingga Cin Liong terpaksa harus mengeluarkan kepandaiannya karena pengeroyokan para anggota Eng-jiauw-pang itu, terutama lima orang pimpinan mereka, bukan merupakan lawan yang lunak!

Kao Cin Liong adalah seorang pendekar gemblengan yang berjiwa gagah perkasa, selalu siap untuk membela yang lemah menentang yang jahat tanpa dipengaruhi perasaan benci. Yang ditentangnya adalah perbuatan yang jahat dan mencelakakan orang lain, akan tetapi dia tidak pernah membenci orangnya. Oleh karena itu, dalam sepak terjangnya menghadapi kejahatan, selalu dia berniat untuk menghukum dan mendidik, tidak mau sembarangan membunuh orang. Jika dia sudah berpakaian jenderal, tentu saja sikap dan tindakannya lain lagi. Sebagai prajurit tentu saja dia harus membasmi musuh negara sesuai dengan hukum yang berlaku.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar