FB

FB


Ads

Jumat, 09 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 056

Pesta pernikahan yang diadakan tiga bulan kemudian di rumah pendekar Suma Kian Lee di Thian-cin itu amat meriah. Pestanya sendiri sederhana saja karena keluarga ini bukan keluarga kaya. Namun karena nama besar pendekar Suma Kian Lee sudah amat terkenal, apalagi sebagai keturunan keluarga pendekar Pulau Es, maka banyaknya para tamu yang datang membuat perayaan itu menjadi meriah dan megah.

Bukan hanya para pendekar di dunia kang-ouw yang membanjiri perayaan itu di samping para pembesar, akan tetapi bahkan tokoh-tokoh dunia hitam ada pula yang muncul sebagai tamu karena menghormati keluarga Pulau Es.

Dan sebagian besar yang datang itu tidak menanti undangan. Orang kang-ouw yang mendengar bahwa keluarga Suma mempunyai kerja, merasa tertarik dan datang begitu saja sebagai tamu tak diundang! Akan tetapi, Suma Kian Lee sekeluarga menerima kedatangan semua tamu tanpa pandang bulu, menyambut mereka dengan sikap hormat tanpa membeda-bedakan.

Perayaan itu menjadi amat meriah karena kesempatan itu dipergunakan oleh para pendekar Pulau Es untuk berkumpul. Bertemulah semua keluarga mendiang Pendekar Super Sakti di rumah Suma Kian Lee di Thian-cin dan tentu saja pertemuan keluarga ini mendatangkan suasana gembira dan juga terharu.

Mereka bergembira karena dapat memperoleh kesempatan saling bertemu dan berkumpul sekeluarga besar, dan mereka terharu karena mereka bersama kehilangan orang tua yang mereka hormati dan sayang, yaitu Pendekar Super Sakti dan kedua orang isterinya yang tewas di Pulau Es, hanya disaksikan oleh tiga orang cucu Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Hui yang kini menikah, Suma Ciang Bun dan Suma Ceng Liong yang pada kesempatan itu belum juga pulang!

Kakak kandung Suma Kian Bu, yaitu satu-satunya puteri Pendekar Super Sakti yang bernama Milana, tidak dapat datang. Puteri Milana dan suaminya kini telah menjauhi keramaian dunia dan bertapa di puncak Beng-san yang bernama Puncak Telaga Warna. Akan tetapi suami isteri yang tidak lagi mau berurusan dengan keramaian dunia ini telah diwakili oleh putera kembar mereka, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.

Seperti telah diceritakan dalam kisah ’Suling Emas dan Naga Siluman’, pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana, hanya mempunyai sepasang anak kembar itu. Pada waktu mereka berdua datang berkunjung ke dalam pesta pernikahan Suma Hui, usia mereka sudah kurang lebih tiga puluh tahun, akan tetapi keduanya masih belum menikah!

Agaknya ada keistimewaan pada sepasang pendekar kembar ini, yaitu mereka agaknya tidak rela kalau saudaranya menikah dengan wanita lain! Padahal, agaknya sukar dilaksanakan kalau mereka harus menikah hanya seorang isteri saja. Persoalan sepasang pendekar kembar inilah yang membuat suami isteri Gak Bun Beng menjadi kecewa dan mereka lebih banyak mengasingkan diri di puncak Gunung Telaga Warna. Ada pun dua orang pendekar kembar itu sendiri pun agaknya sudah putus asa untuk mendapatkan jodoh yang cocok.

Suma Kian Bu dan isterinya juga hadir. Sepasang suami isteri pendekar ini pun berada dalam keadaan tidak begitu gembira, bahkan mereka menahan dan menyembunyikan kegelisahan hati mereka. Sampai sekian lamanya mereka belum berhasil menemukan kembali putera mereka, yaitu Suma Ceng Liong, walau pun keduanya sudah mengikuti jejak Hek-i Mo-ong sampai jauh ke barat dan kemudian kehilangan jejak orang itu di Pegunungan Himalaya!

Suma Kian Bu dan isterinya tentu saja merasa heran melihat bahwa Suma Hui menikah dengan seorang pemuda yang menjadi murid Kian Lee, padahal mereka pernah melihat hubungan asmara antara Suma Hui dengan Kao Cin Liong yang masih terhitung keponakan sendiri dari Suma Hui. Akan tetapi tentu saja mereka menekan keheranan mereka ini dan tidak berani bertanya, takut kalau-kalau menyinggung.

Keluarga Kao Kok Cu tidak muncul. Tentu saja mereka yang juga mendengar tentang pernikahan itu merasa canggung dan tidak enak untuk muncul setelah pinangan mereka terhadap diri Suma Hui ditolak, bahkan setelah terjadi keributan dengan adanya tuduhan bahwa putera mereka, Kao Cin Liong, telah memperkosa Suma Hui. Sejak itu, ada ganjalan mendalam di antara kedua keluarga ini dan bagaimana pun juga, tidak mungkin Kao Kok Cu dan isterinya berani datang berkunjung sebagai tamu.

Di antara para tokoh pendekar yang kenamaan, yang hadir dalam perayaan pernikahan itu, nampak pula seorang pendekar tua yang gagah perkasa. Wajahnya tampan, sikapnya ramah dan simpatik dan semua orang yang berada di situ memandang ketika rombongan tamu ini datang memasuki ruangan.

Dia adalah Bu-taihiap, seorang pendekar kenamaan berusia lima puluh delapan tahun, namun masih nampak gagah, diiringkan tiga orang wanita cantik yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Tiga orang wanita cantik ini adalah isteri-isterinya dan pendekar bernama Bu Seng Kin itu memang terkenal sebagai seorang pria romantis yang semenjak muda dicinta banyak wanita dan bahkan mempunyai isteri di mana-mana!

Tiga orang isterinya itu pun bukan wanita sembarangan. Yang tertua, berusia lima puluh satu tahun, adalah seorang puteri peranakan Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal. Ilmu silat dan ilmu perangnya cukup hebat dan namanya terkenal sebagai Puteri Nandini. Yang ke dua, berusia empat puluh delapan tahun, masih nampak cantik manis, adalah seorang wanita berpakaian nikouw akan tetapi memelihara rambut dan ia pun menjadi isteri pendekar petualang asmara itu, bernama Ga Cui Bi. Yang ke tiga, mungkin yang paling lihai di antara tiga orang isteri itu, juga termuda, dua tiga tahun lebih muda dari pada nikouw itu, adalah seorang wanita cantik genit hernama Tan Cun Ciu yang berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa).

Dia sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu silat amat tinggi, jarang dapat ditemukan tandingan, masih ada tiga orang isterinya yang kesemuanya lihai-lihai selalu berada di sampingnya! Tentu saja jarang ada pihak yang berani mengganggu keluarga jagoan ini. Masih banyak sekali tamu yang terdiri dari orang-orang kenamaan. Bahkan Kaisar Kian Liong sendiri mengirim utusan pribadi dan mengirim sumbangan, suatu kehormatan yang besar sekali! Maka, suasana pesta pernikahan itu menjadi meriah, megah dan gembira sekali.

Suma Kian Lee dan isterinya sibuk menyambut dan melayani para tamu, menerima ucapan-ucapan selamat dan mereka merasa gembira bukan main. Tak mereka sangka bahwa pernikahan puteri mereka yang diawali dengan hal-hal amat menggelisahkan itu kini dapat berlangsung dengan lancar.

Suma Hui sendiri pun tidak banyak rewel, dan memang gadis ini benar-benar telah menyerahkan kesemuanya kepada ayahnya tanpa membantah. Agaknya sudah bulat tekadnya yang bertujuan satu, yaitu mengajak suaminya untuk membantunya membalas dendam dan membunuh Kao Cin Liong kelak! Untuk itu ia siap mengorbankan diri dan hati dan akan menerima nasib menjadi isteri Louw Tek Ciang!

Baginya toh sama saja menjadi isteri siapa pun, hanya pada diri Louw Tek Ciang ia dapat mengharapkan bantuan menghadapi Cin Liong. Dan bagaimana pun juga, Tek Ciang adalah suheng-nya sendiri dan sudah dipercaya oleh ayahnya. Ia boleh salah pilih, akan tetapi agaknya ayahnya cukup teliti sehingga tidak akan salah memilihkan suami untuknya. Dengan pikiran ini, Suma Hui dapat melaksanakan segala upacara pernikahan itu dengan tenang dan diam saja. Tidak nampak senyum di wajahnya, juga tidak nampak duka. Ia hanya menunduk dan menutup semua panca indera terhadap hal lain, dan mengikuti upacara secara membuta saja.






Kiranya hanya Ciang Bun seorang yang dapat menyelami hati enci-nya. Pemuda yang halus perasaan ini mengerti sepenuhnya bahwa enci-nya itu bagaimana pun juga masih mencinta Cin Liong dan bahwa enci-nya melaksanakan pernikahan itu dengan memaksakan diri. Dia dapat membayangkan betapa hancur hati enci-nya dan diam-diam dia pun merasa menyesal dan berjanji dalam hatinya untuk kelak menegur dan membalas dendam kepada Cin Liong yang dianggapnya tidak bertanggung jawab dan telah menghancurkan kebahagiaan hidup enci-nya.

Perayaan pernikahan itu berjalan lancar sampai selesai. Meriah dan tidak terjadi sesuatu yang tidak baik, seperti yang sering terjadi dalam perayaan di rumah seorang pendekar. Agaknya, hadirnya para pendekar gagah membuat kaum pengacau menjadi gentar dan tidak ada yang berani mencoba-coba.

Setelah semua tamu bubaran, Suma Kian Bu dan isterinya juga berpamit karena mereka hendak kembali ke rumah mereka yang sudah terlalu lama mereka tinggalkan dalam usaha mereka mencari Ceng Liong. Sepasang pendekar kembar she Gak juga berpamit dari paman mereka. Tinggallah kini keluarga tuan rumah yang mempunyai kerja.

Seperti biasa pada semua keluarga yang mempunyai kerja, di waktu pesta terlaksana tidak terasa apa-apa, akan tetapi begitu pesta selesai, terasalah betapa lelahnya badan! Keluarga itu menyerahkan semua pemberesan perabot-perabot dan pembersihan tempat kepada tenaga-tenaga bantuan, dan mereka sendiri sore-sore telah memasuki kamar masing-masing. Juga sepasang pengantin sudah memasuki kamar mereka.

Malam itu sungguh sunyi setelah pada siang harinya tempat itu demikian meriah dikunjungi banyak orang. Tidak terdengar suara berisik, bahkan para tenaga bantuan yang masih bekerja membersihkan tempat, bekerja dengan hati-hati dan tidak berani berisik. Setelah hari gelap benar, mereka pun menghentikan pekerjaan mereka dan mengaso di bagian belakang rumah keluarga Suma itu.

Suma Kian Lee dan isterinya telah merebahkan diri beristirahat. Ciang Bun bergulingan gelisah di tempat tidurnya. Tak dapat dia melepaskan pikirannya dari membayangkan keadaan enci-nya. Dia menjadi gelisah dan sedih.

Sementara itu, di dalam kamar pengantin sendiri, sepasang pengantin sudah bertukar pakaian. Suma Hui duduk termenung di atas kursi. Kamar yang terhias amat indah itu, dengan bau semerbak harum kamar pengantin, seperti tidak dirasakannya. Ia merasa seperti ada kelumpuhan di dalam batinnya, dan kadang-kadang ia tersentak kaget dan memejamkan mata membayangkan orang yang juga berada di kamar ini, yang kini menjadi suaminya dan yang harus dilayaninya!

Ngeri ia membayangkan semua itu, akan tetapi ia maklum bahwa bagaimana pun juga, ia harus taat! Tek Ciang sendiri nampak gugup dan canggung. Pengantin pria ini pun sudah berganti pakaian yang longgar, pakaian dari sutera biru yang membuat dia nampak tampan.

Pada saat Tek Ciang menghampirinya dan menyentuh pundaknya, Suma Hui merasa tubuhnya seperti dimasuki ratusan ekor semut yang membuatnya gemetar dan bulu tengkuknya meremang. Mengerikan, pikirnya. Tapi dia adalah seorang wanita pendekar, seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Apa pun yang terjadi, dia sudah menyerah dan ia harus mempertanggung jawabkan semua itu.

“Hui-moi.... Hui-moi....” terdengar suara Tek Ciang, suara yang kedengaran aneh bagi telinga Suma Hui.

Biasanya, kalau memanggilnya sumoi dan kalau bicara kepadanya, di dalam suara Tek Ciang mengandung suara halus merayu dan juga perendahan diri. Kini, suara itu selain mengandung rayuan juga kekuasaan! Maka aneh kedengarannya. Namun ia menoleh dan menjawab lirih,

“Ada apakah?”

Tentu saja jawaban ini membuat Tek Ciang menjadi agak gugup. Dia bukan orang yang tidak biasa berdekatan dengan wanita-wanita. Banyak sudah dia mendekati wanita dan berhubungan dengan wanita, yang dilakukan secara diam-diam selama ini. Akan tetapi, dia harus mengakui bahwa berdekatan dengan Suma Hui ini lain lagi, ada sesuatu yang membuatnya merasa agak gentar.

Tadi, panggilannya sudah jelas maknanya, panggilan seorang suami untuk isterinya, seorang pengantin pria kepada mempelainya, yang bernada rayuan, tuntutan atau pun pembuka jalan. Namun isterinya itu langsung bertanya terang-terangan ada keperluan apa, maka tentu saja dia menjadi canggung.

Dia pun membelai tangan Suma Hui yang dipegangnya. Tangan yang memiliki jari-jari tangan kecil runcing dan berkulit halus, akan tetapi agak dingin dan Tek Ciang tahu betapa berbahayanya jari-jari tangan berkulit halus ini! Suma Hui mendiamkan saja ketika tangannya dibelai, hanya jantungnya berdebar demikian kencangnya sampai kedua telinganya dapat mendengar detak jantungnya sendiri.

“Moi-moi, engkau tentu lelah. Mari kita mengaso di pembaringan....”

Suma Hui melirik ke arah lilin di atas meja, lalu bangkit berdiri dan berkata lirih seperti berbisik,
“Padamkan dulu lilinnya....”

Tek Ciang tersenyum gembira, melepaskan tangan halus itu dan menghampiri meja. Sementara itu, Suma Hui sudah mendahuluinya menuju ke pembaringan dan segera menyingkap kelambu dan naik ke atas pembaringan yang berbau harum itu. Detak jantungnya makin menghebat. Lilin padam dan kamar itu hanya remang-remang saja, mendapat sedikit penerangan yang menerobos masuk melalui celah-celah atas jendela dari luar.

Detak jantung di dalam dada Suma Hui hampir disusul jerit yang ditahan ketika dia merasa betapa Tek Ciang sudah naik ke atas pembaringan pula dan merangkulnya, menindihnya dan menggelutinya, lalu menciumi seluruh mukanya, matanya, pipinya, hidungnya dan mengecup bibirnya.

Akan tetapi ia tidak mengelak, tidak menolak, tidak pula menyambut, hanya diam saja bergumul dengan perasaan hatinya sendiri. Hatinya ingin menolak, akan tetapi dengan kekerasan kemauan dia melumpuhkan keinginan hatinya sendiri dan menyerah saja, bahkan memejamkan matanya, hanya merasakan apa yang diperbuat oleh Tek Ciang atas dirinya.

“Moi-moi.... ahh, Hui-moi.... akhirnya engkau menjadi isteriku.... ahh, betapa aku cinta padamu....” Dengan bisikan tersendat-sendat dan jari-jari tangan gemetar Tek Ciang menggeluti isterinya.

Mendadak terdengar jeritan melengking keluar dari mulut Suma Hui. Tanpa disengaja tangannya meraba punggung suaminya yang tak berpakaian lagi itu dan jari tangannya meraba benjolan daging di punggung kiri. Tonjolan daging sebesar telur burung yang ditumbuhi rambut!

“Engkau....!” Dan ia pun menghantamkan tangannya ke arah kepala suaminya!

Tek Ciang kaget setengah mati. Akan tetapi dia masih sempat menggulingkan tubuhnya dari atas pembaringan sehingga terhindar dari hantaman maut.

“Hui-moi, ada apakah....?”

“Keparat jahanam! Kiranya engkau malah orangnya....?” Suma Hui pun menjerit sambil menangis.

Cepat Suma Hui membereskan kembali pakaiannya yang tadi sudah hampir tertanggal seluruhnya oleh jari-jari tangan Tek Ciang. Tek Ciang sendiri dalam kekagetannya cepat membereskan pakaiannya sendiri, lalu menyalakan lilin. Kamar itu kini menjadi terang kembali dan Suma Hui meloncat turun dari atas pembaringan, menghadapi suaminya dengan sepasang mata berapi-api walaupun ada air mata menetes-netes turun.

“Engkau....!” Telunjuknya menuding ke arah muka Tek Ciang yang memandang dengan mata terbelalak. “Engkaulah orangnya! Jahanam terkutuk, engkaulah orangnya yang telah memperkosaku dahulu!”

Setelah berkata demikian, dengan kemarahan meluap Suma Hui menerjang ke depan dan menyerang dengan sekuat tenaganya, menghantam ke arah dada Tek Ciang dengan tangan terbuka. Akan tetapi Tek Ciang mengelak dan meloncat ke belakang.

“Hui-moi, apa yang kau katakan ini....? Sudah jelas perbuatan terkutuk itu dilakukan oleh Kao Cin Liong....”

“Tutup mulutmu yang busuk! Baru sekarang aku mengerti! Ternyata engkau adalah seekor ular busuk yang amat jahat, khianat, curang dan pengecut! Engkaulah yang melakukan perbuatan terkutuk itu, dan engkau menimpakan kesalahan kepada orang lain! Tidak perlu engkau menyangkal, daging menonjol dan berambut yang tumbuh di punggungmu itulah saksinya.” Suma Hui menyerang lagi dengan sengit.

“Kau salah sangka....” Tek Ciang membela diri akan tetapi suaranya gemetar dan lemah karena dia kehabisan akal setelah rahasianya terbuka.

Dia merasa menyesal sekali mengapa di punggungnya tumbuh daging jadi itu, dan mengapa pula sampai Suma Hui mengetahui tentang tonjolan daging itu. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dahulu ketika dia memperkosa Suma Hui, biar pun gadis itu berada dalam keadaan terbius, namun Suma Hui masih setengah sadar ketika tangannya bergerak dan jari-jari tangannya menyentuh punggung yang telanjang dan bertemu dengan tonjolan daging berambut itu. Dia menyimpan rahasia itu di dalam hatinya. Hanya itulah satu-satunya tanda yang dikenalnya dari tubuh pemerkosanya. Sungguh tak pernah dia mengira bahwa yang punggungnya menonjol itu adalah Tek Ciang!

Suma Hui menyerang dengan beringas dan kini Tek Ciang juga berusaha untuk menundukkan. Pria ini maklum bahwa rahasianya sudah terbuka dan dia hendak menundukkan Suma Hui melalui kekerasan. Maka, sambil mengelak dia pun balas menyerang dan sebuah tendangan mengenai paha Suma Hui, membuat wanita ini terguling.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras dan daun pintu jebol. Muncullah Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li. Suami isteri ini terkejut sekali mendengar suara gaduh di kamar pengantin dan ketika mereka keluar dari kamar menghampiri kamar pengantin, mereka mendengar perkelahian itu, bahkan mereka sempat mendengarkan kata-kata Suma Hui yang terakhir tadi yang membuat mereka terkejut setengah mati.

Pada saat perkelahian menghebat, Suma Kian Lee tidak sabar lagi dan sekali dorong robohlah daun pintu. Mereka melihat Suma Hui baru merangkak hendak bangkit dan Louw Tek Ciang berdiri dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

“Apa yang telah terjadi?” Suma Kian Lee bertanya, suaranya marah, penuh selidik.

“Hui-ji, apa artinya kata-katamu tentang pemerkosaan dan daging tumbuh di punggung tadi?” Kim Hwee Li juga bertanya.

Tendangan tadi tidak mendatangkan luka berat, tetapi tetap saja Suma Hui melangkah dengan terpincang-pincang menghampiri ibunya. Air matanya bercucuran.

“Ibu.... ayah.... dia.... dialah.... iblis terkutuk yang dahulu memperkosaku! Buktinya adalah tonjolan daging berambut di punggungnya.... dahulu aku mengetahui tanda itu secara tidak disengaja dan tadi.... tadi pun hanya kebetulan saja.... dialah jahanam busuk itu!”

“Aihhhh....!” Kim Hwee Li menjerit.

“Hahhh....?!” Suma Kian Lee juga berteriak kaget.

Dia lalu melangkah maju menghampiri muridnya. Tek Ciang menjadi semakin pucat dan dia sudah melirik ke arah jendela dan pintu, seperti tikus tersudut hendak mencari jalan keluar untuk melarikan diri.

“Tek Ciang! Apa artinya ini? Benarkah apa yang diceritakan Hui-ji?”

Suma Kian Lee bertanya ragu karena dia belum mau percaya begitu saja akan hal yang demikian jauh berlawanan dengan perkiraan dan harapan hatinya.

“Ti.... tidak.... suhu....,” jawab Tek Ciang gugup dan suaranya gemetar.

“Kalau tidak, buka bajumu dan perlihatkan kepada kami apakah benar ada tonjolan daging jadi di punggungmu!” Kim Hwee Li membentak.

Kini wanita yang cerdik itu pun sudah dapat menduga dan membayangkan apa yang dahulu telah terjadi. Suma Kian Lee hanya berdiri terbelalak, sampai tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking hebatnya perasaan memenuhi hatinya. Marah, heran, ragu-ragu, menyesal dan malu bercampur aduk menjadi satu.

Dialah yang setengah memaksakan terikatnya perjodohan antara puteri tunggalnya dan Tek Ciang, bahkan dia telah mengangkat Tek Ciang menjadi murid utama, murid yang mewarisi semua ilmu-ilmu keluarga Pulau Es dan kini, ternyata pemuda ini yang telah memperkosa Suma Hui! Tentu saja sukar baginya untuk dapat menerima kenyataan ini.

“Ayah, aku sekarang mengerti semuanya!” Suma Hui berteriak lantang. “Ayahnya tewas karena bersama penjahat bayaran bermaksud membunuh Cin Liong. Penyerangan itu tentu dilakukan oleh karena mereka hendak menyingkirkan Cin Liong yang dianggap menghalangi niat mereka untuk menarik kita sebagai keluarga. Keparat ini mendendam kepada Cin Liong atas kematian ayahnya maka dia merencanakan perbuatan terkutuk itu dengan mempergunakan nama Cin Liong untuk memfitnah. Cin Liong kita musuhi sedangkan dia sendiri, si keparat busuk ini, tampil sebagai pahlawan yang membela nama baik keluarga kita! Dia memperoleh keuntungan ganda. Dapat membalas dendam kepada Cin Liong dengan fitnah itu, dapat menguasai diriku, dan dapat mewarisi ilmu keturunan keluarga kita, ayah....”

“Louw Tek Ciang! Cepat jawablah dan coba sangkal semua itu dengan penjelasan yang tepat kalau memang engkau bukan seorang iblis terkutuk seperti yang digambarkan oleh Hui-ji!” Suma Kian Lee membentak dan mukanya berubah merah sekali.

“Suhu, teecu....”

Tek Ciang berkata gagap karena memang apa yang dikatakan Suma Hui itu semua tepat sekali, menelanjangi seluruh perbuatannya sehingga dia tidak dapat menyangkal lagi.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara ketawa seorang laki-laki.
“Ha-ha-ha, Tek Ciang, apakah engkau bukan laki-laki lagi yang tidak berani menghadapi semua ini?”

Mendengar suara yang amat dikenalnya ini, suara Jai-hwa Siauw-ok, gurunya yang lain, guru rahasia, wajah Tek Ciang menjadi cerah. Datangnya bantuan ini sungguh di waktu yang tepat sekali. Dia mengangkat dadanya dan berkata,

“Suhu, semua itu benar dan setelah sekarang aku menjadi suami Hui-moi....”

“Jahanam!”

Suma Kian Lee sudah menubruk maju dan langsung melakukan pukulan maut dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang. Angin keras yang amat panas menyambar ke depan.

Tek Ciang tentu saja mengenal pukulan ini dan tahu betapa hebat dan berbahayanya serangan gurunya. Akan tetapi karena hatinya sudah menjadi besar dengan datangnya Jai-hwa Siauw-ok, dia pun mengerahkan tenaganya. Sambil mengelak dia menangkis, mengerahkan tenaga sambil membongkokkan tubuhnya. Ketika lengannya menangkis, terdengar suara aneh seperti suara katak dari perutnya.

“Desss....!”

Tubuh Tek Ciang terhuyung, akan tetapi dengan menggulingkan tubuhnya, dia dapat meloncat bangkit kembali.

Suma Kian Lee terbelalak. Tenaga tangkisan itu tadi cukup kuat dan bukan dari ilmu keluarganya, melainkan ilmu aneh yang mirip Ilmu Hoa-mo-kang atau Ilmu Katak Buduk. Memang dugaannya benar. Ketika menangkis tadi, Tek Ciang mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari Jai-hwa Siauw-ok, untuk menyatakan bahwa mulai saat itu dia adalah lawan keluarga Suma, pula kalau dia mengeluarkan Hwi-yang Sin-ciang pula, jelas dia kalah kuat oleh gurunya.

Kim Hwee Li dan Suma Hui sudah menerjang maju pula, akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan dari luar,

“Tek Ciang, keluarlah!”

Tek Ciang menggerakkan tangan, melemparkan sesuatu ke tengah kamar itu. Segera terdengar bunyi ledakan keras dan asap memenuhi kamar.

“Awas asap beracun!”

Teriak Suma Kian Lee untuk memperingatkan anak isterinya dan dia sendiri cepat melompat ke arah jendela dari mana tadi dia melihat tubuh Tek Ciang berkelebat keluar.

Setibanya di luar, dia melihat pemuda itu telah meloncat ke atas genteng dan di atas wuwungan telah berdiri seorang laki-laki yang berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian indah pesolek dan wajahnya ganteng.

“Iblis busuk, jangan lari!”

Suma Kian Lee yang kini merasa marah bukan main itu kembali menyerang Tek Ciang. Serangannya jauh lebih hebat dari pada tadi karena dia menggunakan kedua tangan menyerang secara beruntun, tangan kanannya mengerahkan tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan tangan kiri menghantam dengan pengerahan tenaga sakti Swat-im Sin-ciang yang amat dingin.

Walau pun belum mampu menggabungkan kedua tenaga yang berlawanan intinya itu, pendekar ini ternyata kini sudah demikian mahirnya untuk mempergunakannya secara beruntun dengan kedua tangan.

Tentu saja Tek Ciang menjadi gentar. Dia maklum akan kehebatan gurunya ini, dan dia sendiri walau pun telah mempelajari kedua ilmu mukjijat itu, namun latihannya belum matang dan tentu saja dia belum mampu menggunakannya secara berbareng pada kedua lengannya.

Melihat serangan hebat ditujukan kepada muridnya, Jai-hwa Siauw-ok mendengus dan berkata,
“Mana ada murid dibunuh gurunya sendiri?” Dan dia pun melangkah maju menangkis dari kiri sedangkan Tek Ciang menangkis dari kanan.

“Dess! Desss!”

Kedua orang itu menangkis dua macam pukulan. Tek Ciang yang menangkis pukulan Swat-im Sin-ciang itu merasa tubuhnya kedinginan dan dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi, tangkisan Jai-hwa Siauw-ok membuat dia dan Suma Kian Lee melangkah mundur, tanda bahwa kekuatan mereka berimbang.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan antara guru dan murid?” bentak Suma Kian Lee, terkejut melihat bahwa orang ini lihai pula.

“Ha-ha, dia muridku, tentu saja kubela dia,”

Kata Jai-hwa Siauw-ok sambil membalas serangan lawan. Kedua tangannya bergerak, jari-jari tangan terbuka dan terdengar suara bercicitan ketika jari-jari tangan itu meluncur cepat sekali mendatangkan hawa dingin.

“Cuiiiittt....!”

Jari tangan Jai-hwa Siauw-ok kembali menyambar ke arah dada Suma Kian Lee dan pada saat itu, Tek Ciang juga menyerangnya dengan pukulan Toat-beng Bian-kun!

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Suma Kian Lee melihat muridnya sendiri berani menyerangnya dengan pukulan maut. Bahkan mengeroyoknya bersama seorang tokoh jahat, dan menggunakan ilmu keluarga Pulau Es untuk menghantamnya.

“Iblis murtad!” bentaknya dan dia menyambut pukulan Tek Ciang dengan pengerahan tenaga untuk merobohkan murid itu.

Akan tetapi, sambaran jari tangan Jai-hwa Siauw-ok sudah tiba dan biar pun Kian Lee mengelak dan membatalkan niatnya merobohkan Tek Ciang, tetapi hanya menangkis serangan pemuda itu, tetap saja jari tangan Jai-hwa Siauw-ok menyerempet bajunya.

“Brettttt....!”

Baju di dada Kian Lee terobek, kulitnya tergurat sehingga terasa perih seperti tergurat pedang. Dia terkejut dan maklum bahwa itu adalah ilmu yang disebut Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat lihai.

Pada saat itu, Suma Hui dan Kim Hwee Li berlompatan naik ke atas genteng. Ketika Suma Hui melihat kakek pesolek itu, ia terkejut dan membentak,

“Jai-hwa Siauw-ok manusia iblis! Engkau datang mengantar kematian!”

Suma Hui sudah menerjang ke depan membantu ayahnya, juga Kim Hwee Li yang melihat bahwa lawan suaminya seorang lihai, cepat membantu suaminya. Kian Lee dan isterinya terkejut mendengar bentakan puteri mereka itu. Baru mereka tahu bahwa yang datang membantu Tek Ciang adalah datuk sesat yang pernah menculik dan melarikan Suma Hui itu.

Marahlah hati Kian Lee. Kini makin jelas baginya. Kiranya sejak dahulu, Tek Ciang adalah seorang yang palsu, dan diam-diam mengelabuinya, dengan sikap pura-pura baik, sehingga bukan hanya berhasil mempelajari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es, akan tetapi juga malah berhasil memperisteri Suma Hui setelah memperkosanya! Berhasil pula mengadu domba antara keluarganya dan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir!

“Bedebah!” bentaknya dan dia bersama isteri dan puterinya mengamuk.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar