FB

FB


Ads

Jumat, 09 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 053

“Taihiap....”

Ciang Bun sadar dari lamunannya dan menoleh ketika mendengar suara yang halus itu di sampingnya. Gadis itu sudah berdiri dekat dengannya dan Ciang Bun mengerutkan alisnya melihat betapa gadis itu memandangnya dengan sinar mata begitu mesra dan mengandung daya pikat yang kuat.

“Ada apakah, nona?”

“Suma-taihiap, aku.... aku mohon sesuatu darimu, kalau boleh....”

Melihat sikap nona yang ragu-ragu dan takut-takut itu, Ciang Bun tersenyum menenangkan.
“Engkau minta apakah, nona? Katakanlah, sebagai seorang sahabat, kalau memang aku dapat memenuhinya, tentu takkan kutolak permintaanmu.”

“Aku hanya.... mohon petunjuk tentang ilmu silat....”

Ciang Bun tersenyum.
“Nona, ayahmu adalah seorang guru silat yang berpengalaman, tentu dia lebih pandai membimbingmu dalam ilmu silat.... “

“Tapi, ayah dan Sim-ko mengatakan bahwa ilmu silatmu jauh lebih tinggi daripada tingkat ayah. Maka, aku mohon padamu, berilah sedikit petunjuk.... dan tempat ini amat baik untuk berlatih silat, bukan? Maukah engkau, taihiap?”

Tentu saja Ciang Bun merasa tidak enak kalau harus menolak begitu saja. Gadis ini dan sekeluarganya telah menerimanya sebagai tamu terhormat dan sudah bersikap amat ramah dan baik kepadanya. Wajarlah kalau sekarang dia memberi petunjuk ilmu silat kepada Seng Nio sekedar untuk membalas kebaikan mereka. Tentu saja tidak mungkin mengajarkan ilmu silat dalam waktu singkat. Maka diapun berkata ramah.

“Baiklah, aku akan memberi sedikit petunjuk. Untuk itu engkau harus mainkan jurus-jurus silatmu dan aku akan mencoba untuk memperbaiki jurus-jurus itu.”

“Terima kasih, taihiap. Engkau baik sekali. Nah, sambutlah jurus-jurus ini dan tunjukkan mana yang kurang betul!”

Seng Nio tidak menanti jawaban dan langsung saja mulai menyerang pemuda itu dengan pukulan-pukulan kedua tangannya. Ia merasa gembira sekali mendapatkan kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang dikaguminya ini dan mengharapkan dari latihan ini akan bukan saja dapat bersentuhan akan tetapi juga dengan harapan akan dapat meningkatkan keakrabannya.

Sebetulnya bukan maksud Ciang Bun agar gadis itu menyerangnya. Dengan melihat gadis itu bermain silat saja dia sudah akan dapat mengetahui bagian-bagian yang lemah. Akan tetapi karena Seng Nio telah menyerangnya, tentu saja diapun mengelak sambil memperhatikan.

Dia melihat bahwa gadis ini tidak mengecewakan menjadi puteri seorang guru silat karena gerakan-gerakannya cukup cepat dan mengandung tenaga lumayan. Dia memberi kesempatan kepada gadis itu untuk menyerangnya beberapa jurus sambil memperhatikan. Tiba-tiba dia menangkap lengan Seng Nio.

“Tahan....!” Ciang Bun melepaskan lengan gadis itu dan melanjutkan. “Nona, jurusmu yang terakhir ini tadi mengandung kelemahan yang dapat merugikan dirimu. Maukah engkau mengulang agar dapat aku memberi contoh dan pembetulan?”

Seng Nio memandang dengan wajah berseri dan iapun mengulang serangannya yang terakhir, yaitu jurus Sian-jin-ci-louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Serangan ini dilakukan dengan tangan kiri, menggunakan dua buah jari menusuk ke arah leher lawan dengan gerakan cepat.

Ciang Bun mengelak ke kanan dan dari kanan tangannya “masuk” melalui bawah ketiak gadis itu, menggunakan kesempatan selagi lengan gadis itu menyerang lurus sehingga dada di bawah lengan ini terbuka, tahu-tahu tangannya sudah membuat gerakan memukul ke arah dada di bawah ketiak, dekat buah dada kiri gadis itu.

“Ihhhh....!”

Seng Nio menjerit manja dan mukanya berobah merah. Tentu saja Ciang Bun tidak sampai menyentuh dada itu. Tanpa memperdulikan muka gadis itu yang berobah merah seperti orang malu-malu, Ciang Bun memberi petunjuk.

“Jurus seranganmu itu cukup baik dan cepat, akan tetapi dengan serangan itu harus diketahui bahwa di bawah lenganmu menjadi terbuka dan pertahananmu lemah. Setiap serangan memang berarti membuka satu bagian pertahanan, karena itu cara menusukkan jari tangan itu tadi harus dilakukan cepat dan jangan sampai terulur sepenuhnya. Dengan demikian, andaikata serangan gagal dan lawan memasuki bagian yang lowong, lenganmu dapat cepat ditarik dan siku lengan dapat menangkis serangan lawan. Coba ulangi lagi, sekarang dengan lengan tidak terulur sepenuhnya dan siap membagi sedikit kewaspadaan untuk menjaga bagian yang terbuka.”

Dengan gembira Seng Nio mengulang serangan dengan jurus Sian-jin-ci-louw itu. Pada saat lengannya meluncur dan jari tangannya menusuk ke arah leher Ciang Bun, pemuda ini mengelak dan seperti tadi, membalas dengan cepat, sekali ini bukan memukul melainkan menendang ke arah lambung yang terbuka.

“Dukk!”

Seng Nio yang kini sudah waspada dan tidak menggunakan seluruh kekuatan pada serangannya tadi, menekuk siku dan lengannya menangkis ke bawah sehingga tendangan itu dapat tertangkis.

“Bagus! Sekarang lanjutkan, nona.”

Dengan gembira Seng Nio melanjutkan dengan beberapa jurus, menyerang pemuda itu dengan sungguh-sungguh karena selain ingin memperoleh petunjuk, juga ia ingin bersentuhan dengannya. Kembali ada jurus yang diperbaiki dan sekali ini, pukulan Seng Nio menurut petunjuk Ciang Bun harus dilanjutkan atau dirobah menjadi cengkeraman untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan.

“Begini sebaiknya, nona.” kata Ciang Bun memberi contoh dengan pukulan seperti tadi dan ketika si nona menangkis, pukulan itu berubah menjadi cengkeraman dan tahu-tahu pergelangan tangan gadis itu telah ditangkapnya. “Nah, sekarang engkau cobalah meniru gerakanmu tadi.”

Seng Nio menirunya, menyerang dengan jurus yang sudah diperbaiki tadi, ketika Ciang Bun menangkis, cepat pukulannya berubah cengkeraman dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan pemuda itu.






Akan tetapi ia mencengkeram dengan kuat, tidak mau melepaskannya lagi sehingga Ciang Bun berseru kaget dan menarik lengannya. Karena tangannya memang jauh lebih besar, tarikan yang tiba-tiba itu membuat tubuh Seng Nio terguling! Tentu gadis itu akan roboh terbanting, kalau saja Ciang Bun tidak cepat-cepat menangkap dan merangkulnya.

Ciang Bun merangkul gadis itu hanya untuk menghindarkan tubuh gadis itu jatuh terbanting. Akan tetapi Seng Nio membiarkan dirinya dirangkul, bahkan menyandarkan kepalanya ke dada pemuda itu!

“Eh, nona, maafkan aku tidak sengaja....”

“Ah, tidak mengapa, taihiap, aku.... aku justeru senang sekali begini....” dan kini kedua lengan Seng Nio merangkul leher!

“Eh.... Tan-siocia, apa artinya ini....?”

Ciang Bun menegur heran dan kaget, dengan lembut hendak melepaskan kedua lengan yang merangkul lehernya. Akan tetapi gadis itu memperkuat rangkulannya.

“Taihiap.... koko.... masih perlukah aku bicara....? Aku kagum padamu, aku jatuh cinta kepadamu....”

“Ihhh....!” Dengan sentakan agak keras Ciang Bun merenggutkan dirinya dan gadis itu terhuyung hampir jatuh. “Nona, jangan bersikap tidak sopan!”

Wajah Seng Nio berubah pucat dan kedua matanya memandang terbelalak.
“Tapi.... tapi aku cinta....”

“Jangan bicara tentang cinta! Aku tidak mencinta siapapun!” Ciang Bun membentak marah. “Sikapmu sungguh tidak tahu malu....!”

Wajah yang pucat itu kini berubah merah sekali dan dengan isak perlahan Seng Nio meninggalkan Ciang Bun, lari mencari Ci Loan yang tadi sengaja menjauhkan diri dan memetik kembang yang sebenarnya hanya merupakan alasan yang dicari-cari saja.

Melihat gadis ini lari sambil menangis, Ciang Bun lalu duduk di atas batu dan termenung. Baru terasa olehnya betapa kasarnya sikapnya tadi terhadap Seng Nio. Kekasaran yang tidak disengaja karena dia terkejut dan juga tidak senang mendengar pengakuan cinta gadis itu. Dan diapun termenung dengan bingung dan menyesal. Dia tahu bahwa kalau Seng Nio jatuh cinta kepadanya, hal itu sudahlah wajar. Akan tetapi dia, sebagai seorang pemuda, menerima pernyataan cinta seorang gadis dengan hati yang muak dan tidak suka, ini baru namanya tidak wajar dan dia merasa menyesal sekali.

Akan tetapi, apa yang harus dilakukannya? Dia tadi bicara dan bergerak menurutkan naluri atau perasaan hatinya, tanpa disengaja dan baru sekarang dia tahu betapa dia telah menyakiti hati Seng Nio! Sampai lama dia termenung memikirkan keadaan dirinya sendiri dan makin banyak dia melihat kelainan pada dirinya, terutama dalam hal perasaan hatinya terhadap pria dan wanita.

“Suma-taihiap....”

Suara wanita yang halus ini menyadarkannya dari lamunan dan ketika dia menoleh, dilihatnya Ci Loan telah berdiri di dekatnya. Diapun cepat bangkit berdiri.

“Suma-taihiap, mana adik Seng Nio?”

Ci Loan bertanya sambil tersenyum manis sekali. Senyum gadis ini memang manis sekali, pikir Ciang Bun. Akan tetapi senyum dibarengi pandang mata seperti itu selayaknya hanya diberikan oleh gadis ini kepada tunangannya saja, jangan kepada pria lain! Akan tetapi pertanyaan gadis ini tentang Seng Nio membuat dia gugup juga.

“Tan-siocia.... telah pergi....”

“Pergi? Eh, kenapa? Bukankah ia tadi belajar silat darimu, taihiap?”

“Ya, akan tetapi ia sudah pergi....”

“Kenapa dan ke mana?”

“Entah.... aku tidak tahu....”

Kini Ciang Bun duduk kembali di atas batu karena merasa bingung dan khawatir kalau-kalau gadis ini tahu tentang peristiwa tadi. Sungguh tidak enak kalau diketahui orang lain, apalagi kalau sampai Hok Sim juga mengetahuinya.

Akan tetapi kembali dia terkejut ketika melihat bahwa Ci Loan, tunangan sahabatnya itu, kini menghampirinya dan duduk pula di atas batu di sampingnya. Dia merasa kikuk sekali, akan tetapi sebaliknya Ci Loan kelihatan begitu ramah dan akrab.

“Taihiap, kenapa engkau nampak seperti orang marah-marah?” Gadis itu bertanya dan dari samping ditatapnya wajah Ciang Bun dengan tajam.

Ciang Bun menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa....”

“Apakah adik Seng Nio membuatmu marah? Kalau begitu maafkanlah, taihiap.”

“Tidak apa-apa....”

Hening sejenak dan Ciang Bun tidak berani menoleh, hanya mengerutkan alisnya karena duduk bersanding dengan gadis ini sungguh membuat hatinya merasa tidak tenang.

“Suma-taihiap, kalau boleh aku bertanya, apakah.... engkau sudah bertunangan dengan seorang gadis?”

Sungguh sebuah pertanyaan yang tak diduga-duganya dan membuatnya terkejut. Kalau saja dia tidak ingat bahwa Ci Loan adalah tunangan Tan Hok Sim yang telah menjadi sahabat baiknya tentu dia akan menganggap pertanyaan itu amat tidak sopan dan tidak tahu malu. Mana ada gadis bertanya demikian kepada seorang pemuda?

“Belum....” katanya lirih sambil menggeleng kepala tanpa menengok wajah di sampingnya itu.

“Tapi, tentu hatimu sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang gadis cantik, tentu engkau telah mempunyai seorang kekasih.”

Kembali jantung di dalam dada Ciang Bun berdebar keras. Sungguh semakin tak tahu sopan saja pertanyaan gadis ini. Akan tetapi dia masih bersabar dan kembali dia menggeleng kepala tanpa menjawab.

“Akan tetapi itu sungguh aneh luar biasa! Kenapa, taihiap? Kenapa engkau belum bertunangan, bahkan belum mempunyai pacar?”

Terlalu, pikir Ciang Bun. Dia ingin marah dan mendamprat gadis itu, akan tetapi dia masih teringat betapa tadi dia telah bersikap keras terhadap Seng Nio. Dia tidak mau menambah kesalahan itu lagi dengan bersikap tidak manis terhadap tunangan sahabatnya ini.

“Hmmm, siapa suka kepadaku?” jawabnya sekedarnya dan diapun turun dari batu dan bangkit berdiri.

Ci Loan melompat turun dan menghampirinya.
“Siapa yang tidak suka? Aihh, taihiap, engkau adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, pandai, budiman dan tampan, seorang pendekar muda pilihan, keturunan keluarga Pulau Es pula. Dan engkau bertanya siapa suka kepadamu? Setiap orang gadis akan berlumba untuk menjadi kekasihmu, Suma-taihiap, bahkan akupun.... aku amat suka kepadamu.... dan seandainya aku belum bertunangan.”

Ciang Bun terbelalak. Alangkah beraninya gadis ini, bahkan lebih berani, lebih kurang ajar, lebih tidak sopan daripada Seng Nio tadi! Melihat kalimat terakhir yang ditahan, diapun merasa penasaran dan bertanya.

“Kalau belum bertunangan bagaimana?”

Gadis itu memegang kedua tangannya, menarik kedua tangannya ke dada sehingga dia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh dada yang menonjol.

“Kalau saja aku belum bertunangan, aku akan berbahagia sekali menjadi pacarmu....”

“Keparat!”

Ciang Bun tak dapat menahan kemarahannya lebih lama lagi. Dia merenggutkan kedua tangannya terlepas dan hampir saja dia menampar muka gadis itu. Akan tetapi dia menahan diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Loan.

“Engkau perempuan tak tahu malu! Engkau tidak patut menjadi tunangan Tan Hok Sim. Pergi engkau dari sini sebelum kuhajar engkau, perempuan rendah!”

Seketika wajah Ci Loan yang cantik menjadi pucat sekali. Tak disangkanya bahwa Ciang Bun akan dapat bersikap segalak itu, apalagi sampai memakinya. Tadi ia mendapat laporan Seng Nio betapa pemuda itu menghina Seng Nio dan menolak cintanya. Maka ia menghibur Seng Nio dan hendak mendekati pemuda itu, akan tetapi karena memang di lubuk hatinya ia telah jatuh cinta kepada pendekar muda yang mengagumkan itu, setelah tiba di depan Ciang Bun, ia lupa akan tugasnya hendak menjodohkan adik ipar itu dengan Ciang Bun, dan sebaliknya ia sendiri malah merayunya! Dan akibatnya, ia dimaki-maki. Karena malu iapun menjadi marah sekali.

“Manusia tak tahu diri, tidak mengenal budi!” Dan Ci Loan sudah menyerangnya dengan pukulan kilat.

“Plakkk!”

Ciang Bun menangkis dengan pengerahan tenaga dan akibatnya tubuh Ci Loan terpelanting dan roboh terbanting di atas tanah!

“Manusia kejam Suma Ciang Bun, berani engkau memukul kakak iparku?”

Tiba-tiba muncullah Seng Nio dan agaknya kini gadis ini memperoleh alasan untuk membalas sakit hatinya ketika cintanya ditolak mentah-mentah bahkan ia dihina oleh Ciang Bun tadi.

Melihat Ci Loan terpelanting, iapun lalu mencabut pedangnya dan menyerang Ciang Bun dengan marah. Tentu saja Ciang Bun cepat mengelak dan ketika dia melihat Ci Loan juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedang, Ciang Bun lalu melarikan diri untuk kembali ke rumah keluarga Tan dan kemudian dia hendak cepat meninggalkan keluarga itu.

“Manusia rendah, engkau hendak lari ke mana?”

Dua orang gadis itu dengan pedang di tangan dan nyeri di hati melakukan pengejaran dari belakang secepatnya.

Tentu saja Ciang Bun dapat berlari jauh lebih cepat daripada mereka dan agaknya dia akan dapat cepat meninggalkan rumah keluarga itu sebelum kedua orang gadis yang mengejarnya tiba di rumah. Akan tetapi, tiba-tiba muncul Tan Hok Sim di tengah jalan.

Seperti telah kita ketahui, pemuda ini diam-diam menyusul ke Omei-san setelah tunangan dan adiknya pergi bersama Ciang Bun lebih dulu ke puncak dan dia sengaja turun lagi dengan alasan ada yang ketinggalan.

“Heiii.... Bun-te.... engkau hendak ke mana dan mengapa berlari-lari?” tegur Hok Sim.

Melihat munculnya Hok Sim, terpaksa Ciang Bun menghentikan larinya. Dia hendak menyembunyikan semua peristiwa itu dari Hok Sim, tentu saja kalau dia nekat melarikan diri, pemuda sasterawan itu akan menjadi curiga. Akan tetapi setelah dia berhenti berlari dan berhadapan dengan Hok Sim, dia bingung sendiri harus bicara apa!

“Bun-te, apakah yang telah terjadi? Di mana Loan-moi dan adikku Seng Nio?”

Hok Sim bertanya dengan hati khawatir. Dia melihat sesuatu pada wajah pemuda pendekar itu dan hatinya gelisah sekali.

“Mereka.... mereka di belakang....” jawabnya gugup.

“Tapi kenapa....?” Tiba-tiha dia melihat bayangan kedua orang gadis itu mengejar dan menuruni lembah. “Eh, itu mereka....! Kenapa mereka juga berlari-lari mengejarmu?”

“Kami.... main kejar-kejaran....”

Hok Sim tertawa dan dia masih belum curiga mendengar alasan yang lucu itu. Main kejar-kejaran? Seperti anak-anak kecil saja.

“Eh....? Kenapa mereka membawa pedang?” tanyanya kaget ketika melihat dua orang gadis itu sudah datang dekat.

Dan dia menjadi lebih kaget lagi ketika melihat Seng Nio dan Ci Loan bermuka merah penuh kemarahan.

“Sim-ko, manusia keparat itu telah membuat aku terpelanting roboh!” teriak Seng Nio.

“Dan dia.... dia memaki-maki aku....!” sambung Ci Loan.

“Eh, kenapa? Mengapa begitu?” Hok Sim bingung.

“Agaknya dia.... dia hendak memperkosa kami!” kata Seng Nio yang sudah kepalang tanggung, malu karena cintanya ditolak dan karena dihina maka kini dia hendak membalas dendam.

“Ahh? Benarkah itu?” bentak Hok Sim.

“Benar, dia memang manusia berwatak rendah!”

Ci Loan menambahkan dan kini Hok Sim tidak ragu-ragu lagi. Kalau adiknya sendiri dan tunangannya sudah begitu marah dan keterangan mereka sudah meyakinkan, apakah perlu diragukan lagi? Mendengar betapa pemuda itu hendak mengganggu tunangannya, hati Hok Sim berkobar dengan api kemarahan dan diapun mencabut pedangnya.

“Dengarkan dulu....” kata Ciang Bun akan tetapi Hok Sim sudah menjawabnya dengan tusukan pedangnya.

Dua orang gadis itupun sudah menyerang pula dengan pedang mereka sehingga terpaksa Ciang Bun harus menghindarkan diri dari keroyokan tiga orang berpedang itu. Melihat Hok Sim ikut mengeroyok, Ciang Bun merasa serba salah dan kalau saja dia menghendaki, tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan tiga orang pengeroyoknya.

Akan tetapi dia merasa tidak tega kepada Hok Sim yang hanya salah sangka terhadap dirinya, maka diapun hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran tiga batang pedang yang mengeroyoknya.

Seperti telah kita ketahui, pada saat Ciang Bun dikeroyok oleh tiga orang itulah muncul Suma Hui! Tentu saja dengan mudah Suma Hui dapat mengakhiri pengeroyokan itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Hok Sim dimintai keterangan oleh Suma Hui mengapa dia bersama dua orang gadis itu mengeroyok Ciang Bun.

“Siapa yang tidak marah? Suma Ciang Bun telah kami anggap sebagai seorang pendekar budiman dan kami terima sebagai seorang tamu agung, yang kami hormati. Akan tetapi dia telah melakukan perbuatan kotor terhadap tunangan dan adikku! Dia menghina adikku dan hendak memperkosa tunanganku!” demikian Hok Sim menutup ceritanya yang tentu saja berbeda dengan kenyataan itu kepada Suma Hui.

“Hemm, benarkah keterangan itu bahwa engkau hendak memperkosa tunangan orang dan menghina seorang gadis lain? Benarkah itu, adikku?” Suma Hui bertanya heran dan penuh ketidak percayaan sambil memandang kepada Ciang Bun.

Ciang Bun menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali bahwa Hok Sim yang tidak bersalah apa-apa terpaksa akan menderita tekanan batin kalau mengetahui persoalannya. Dia tidak ingin melihat pemuda yang disukanya itu menderita.

“Aku tidak perlu bercerita. Silahkan kedua orang nona ini saja yang bercerita, dan kuharap mereka akan menceritakan hal yang sebenarnya.”

Sambil berkata demikian, sepasang matanya mencorong seperti mata naga menatap wajah Seng Nio dan Ci Loan, dan kedua orang gadis itu menjadi pucat.

Kini timbul keraguan dalam hati Hok Sim melihat sikap Ciang Bun dan kedua orang gadis itu timbul keraguannya karena rasanya memang sukar dapat dipercaya bahwa seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun sampai melakukan hal yang demikian rendahnya!

“Seng-moi, hayo ceritakan yang sesungguhnya apa yang terjadi! Engkau tadi bilang bahwa engkau dihina dan dipukul, hayo ceritakan mengapa demikian dan yang sesungguhnya terjadi bagaimana? Jangan membohong!”

Wajah Seng Nio menjadi merah sekali. Ia merasa serba salah. Ia tahu bahwa Ciang Bun adalah seorang pendekar sakti dan agaknya kakak perempuannya inipun seorang pendekar yang lihai sekali. Berbohong takkan berguna, apalagi bukankah kakaknya sendiri yang mendorongnya agar ia berusaha mendekati Ciang Bun?

“Aku hanya menyatakan perasaan hatiku kepadanya, Sim-ko. Bukankah ayah dan engkau sendiri menghendaki agar aku berjodoh dengan Suma-taihiap? Aku menyatakan.... cinta dan.... dan dia marah-marah.... dan dia memaki aku tidak sopan dan tidak tahu malu!”

Hok Sim mengerutkan alisnya. Tahulah dia mengapa Ciang Bun marah-marah. Tentu Seng Nio “mendesak” dengan cintanya dan pemuda pendekar itu menganggap Seng Nio sebagai seorang gadis tidak tahu malu. Dia mengeluh dalam batinnya. Jelaslah bahwa Ciang Bun tidak dapat membalas cinta kasih Seng Nio.

“Dan engkau, Loan-moi? Apa yang terjadi?” kini Hok Sim menoleh kepada Ci Loan.

Wajah gadis ini menjadi pucat sekali. Ia mengerti bahwa apa yang terjadi antara ia dan Ciang Bun hanya diketahui oleh mereka berdua saja. Bahkan Seng Nio juga tidak mengetahuinya. Kalau ia mengaku, maka tentu pertunangannya dengan Hok Sim akan putus. Ia melirik ke arah Ciang Bun dan pendekar ini hanya berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang. Kini tergantung kepada pendekar itu, pikirnya.

“Aku menerima laporan adik Seng yang menangis dan merasa terhina. Lalu kudatangi Suma-taihiap dan kutegur, akan tetapi dia.... dia bersikap kasar sehingga kami cekcok dan aku menyerangnya, lalu datang adik Seng yang membantuku. Dia lari dan kami kejar sampai bertemu denganmu, koko.”

Hok Sim membanting kakinya dan menarik napas panjang.
“Ah, akulah yang bodoh dan terburu nafsu, tidak bertanya dulu, lalu percaya saja kepada omongan perempuan dan menyerangmu. Suma-taihiap, maafkan aku, maafkan kami....”

“Sudahlah, mari kita pergi, enci Hui!” kata Ciang Bun. “Aku akan mengambil pakaianku lebih dulu di rumah, Tan-twako.”

Kakak beradik itu sekali berkelebat lenyap dari situ, membuat Hok Sim dan kedua orang gadis itu melongo dan semakin gentar. Lalu Hok Sim mengomel,

“Ah, kalian yang kurang waspada dan ceroboh sekali. Kalau sampai Seng-moi tidak berjodoh dengan dia masih tidak mengapa. Akan tetapi kita kehilangan seorang sahabat yang amat baik dan gagah perkasa. Sekarang, keluarga Pulau Es itu marah kepada kita, semua ini karena kalian berdua kurang hati-hati.”

Dua orang gadis itu hanya menundukkan mukanya, diam-diam merasa malu sekali atas kelakuan mereka terhadap Ciang Bun tadi.

“Tapi, aku melihat sikapnya kepadamu amat akrab!” tiba-tiba Seng Nio berkata.

“Bahkan kadang-kadang amat mesra!” tambah Ci Loan. “Kami sering membicarakan hal ini, dan kami merasa heran mengapa sikapnya jauh lebih mesra terhadapmu daripada terhadap kami.”

Diam-diam Hok Sim terkejut dan teringat bahwa memang demikian keadaannya. Ciang Bun kadang-kadang bersikap terlalu mesra kepadanya! Bahkan sekarang dia teringat bahwa andaikata Ciang Bun seorang wanita, agaknya dia akan menjadi saingan Ci Loan!

“Sikapnya itu kadang-kadang membuat aku curiga, jangan-jangan dia itu seorang gadis yang menyamar pria!” kata pula Seng Nio.

“Ahhh....! Kalian bicara yang bukan-bukan karena sedang marah saja. Sebetulnya dia itu laki-laki sejati, seorang pendekar budiman yang gagah perkasa. Mungkin saja dia.... eh, agaknya pemalu dan tidak biasa bergaul dengan wanita sehingga begitu dekat dengan kalian dia merasa canggung dan malu-malu. Sudahlah, betapapun juga, kita kehilangan seorang sahabat yang luar biasa!” Merekapun pulang dengan hati kecewa dan menyesal.

“Bun-te, engkau terlalu lemah. Kenapa engkau tidak hajar saja kedua orang gadis yang tidak tahu malu itu?”

Suma Hui menegur adiknya ketika mereka melakukan perjalanan dan di tengah jalan Ciang Bun terpaksa menceritakan persoalannya dengan dua orang gadis tadi.

“Ah, aku kasihan kepada mereka, enci. Apalagi, Tan Hok Sim begitu baik kepadaku. Kalau aku berterus terang, tentu akan mengakibatkan terputusnya tali perjodohan antara dia dan tunangannya. Pula, aku tidak menganggap mereka yang.... eh, suka kepadaku itu sebagai suatu kesalahan, hanya aku yang tidak dapat membalas cinta mereka....”

“Hemmm, engkau memang aneh. Kulihat mereka itu cantik-cantik, kenapa engkau tidak suka dan bahkan bersikap keras kepada mereka?”

“Aku.... aku memang tidak pernah suka kepada gadis-gadis....” Ciang Bun agaknya menemui wadah penuangan perasaannya melalui encinya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar