FB

FB


Ads

Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 050

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Hui, dan sekarang marilah kita mengikuti perjalanannya.

Dengan hati yang dihimpit kedukaan, kekecewaan dan kemarahan gadis ini minggat dari rumahnya, meninggalkan sepucak surat untuk orang tuanya, mengatakan bahwa ia pergi hendak mencari dan membunuh Kao Cin Liong. Hatinya dihimpit kedukaan dan kekecewaan mengingat akan perbuatan Cin Liong terhadap dirinya dan pernyataannya dalam surat bahwa ia hendak mencari dan membunuh Cin Liong tidak dilebih-lebihkan, karena memang pada saat itu satu-satunya keinginan hatinya adalah bertemu dengan Cin Liong, menantangnya dalam perkelahian yang akan berakhir dengan kematian Cin Liong atau kematian dirinya sendiri.

Dan ia marah kepada ayahnya yang memaksanya berjodoh dengan Tek Ciang. Kenapa ayahnya tidak mau tahu bahwa ia tidak cinta kepada suheng-nya itu dan tidak mungkin menjadi isterinya? Ia sudah memberi alasan dan mengajukan syarat agar Tek Ciang dapat mengalahkannya, tapi ayahnya malah membantu Tek Ciang dengan menjanjikan untuk mewariskan semua ilmunya kepada pemuda itu agar dapat mengalahkannya. Ia sungguh marah dengan keputusan ayahnya itu!

Tentu saja tempat yang ditujunya untuk mencari Cin Liong adalah kota raja. Semua orang tahu siapa Jenderal Muda Kao Cin Liong dan di mana letak istananya. Akan tetapi, alangkah kecewa hatinya ketika mendengar bahwa jenderal muda itu telah pergi ke barat memimpin pasukan untuk memerangi pasukan Nepal yang telah menguasai Tibet.

Dengan nekat, gadis yang hidupnya menjadi pahit getir oleh rasa dendam ini menyusul ke barat, ke Tibet! Dapat dibayangkan betapa susah payahnya perjalanan yang amat jauh itu. Apalagi dengan adanya perang di Tibet, keadaan di tengah perjalanan menjadi tidak aman. Orang-orang jahat yang suka mengail di air keruh banyak mempergunakan kesempatan itu untuk beraksi. Banyak perampok bermunculan di jalan-jalan.

Suma Hui adalah seorang pendekar wanita yang sama sekali tidak gentar menghadapi semua gangguan di perjalanan. Akan tetapi, oleh karena setiap kali bertemu penjahat ia tentu turun tangan dan membasminya, dan baru puas kalau ia sudah berhasil, maka perjalanannya menjadi semakin lambat. Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan, barulah ia tiba di perbatasan Tibet.

Akan tetapi, betapa kecewa rasa hatinya ketika ia mendengar bahwa perang di daerah itu telah selesai dan kini pasukan pemerintah Ceng melakukan pengejaran terhadap pasukan musuh ke Negara Nepal!

Biar pun Suma Hui seorang gadis yang keras hati dan tabah, bahkan selama perjalanan berbulan-bulan itu ia tidak pernah mau menyerah dengan keadaan yang sukar dan tetap tabah, kali ini tidak dapat menahan air matanya karena kecewa. Ia meninggalkan perbatasan itu, kembali ke timur dan ketika ia berhenti di luar sebuah dusun yang sunyi, ia duduk di atas batu dan menangis.

Ia tidak dapat menghentikan kenangannya akan masa lalu, mengingat kembali nasib yang menimpa dirinya. Rasanya baru kemarin terjadinya. Mula-mula ia hidup dengan riang gembira bersama Ciang Bun dan Ceng Liong di Pulau Es. Akan tetapi dalam satu hari saja, berubahlah seluruh kehidupannya, dimulai dengan penyerbuan Pulau Es oleh para datuk sesat dan sejak hari itu, bermacam mala petaka menghantuinya.

Cintanya dengan Cin Liong terhalang oleh tentangan ayahnya, kemudian yang terakhir sekali peristiwa terkutuk di malam jahanam itu ketika Cin Liong menghancurkan segala-galanya dalam dirinya, lahir batin. Semua itu masih ditambah beban batin lagi ketika ayahnya mendesaknya untuk menikah dengan Tek Ciang.

“Ya Tuhan.... apa yang harus kulakukan....?” Demikian gadis itu menangis dan merintih dalam batinnya.

Kemudian timbul lagi semangatnya. Bagaimana pun juga, ia akan menanti sampai Cin Liong kembali dari perang, kemudian mencarinya dan menuntut balas. Kalau ia kalah dan tewas di tangan pemuda itu, hal yang ia merasa yakin pasti terjadi mengingat bahwa pemuda itu jauh lebih lihai dari padanya, maka hal itu baik sekali. Memang Cin Liong sama dengan telah membunuhnya, membunuh semua gairah hidupnya dengan melakukan perbuatan terkutuk memperkosanya itu.

Akan tetapi kalau pemuda itu mengalah dan tidak melawan, dia akan membunuhnya! Dan setelah itu, entah apa yang akan dilakukannya! Setidaknya, ia masih mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu menanti dan menemui Cin Liong untuk membalas dendam! Dengan jalan pikiran ini, hatinya terasa lebih tenang dan tangisnya terhenti.

Duka adalah permainan pikiran yang mengenang kembali hal-hal yang telah lalu atau membayangkan hal-hal yang belum terjadi sehingga terciptalah rasa iba diri yang menimbulkan rasa duka. Kenangan masa lalu tentang peristiwa-peristiwa yang merugikan dirinya lahir mau pun batin, dan bayangan-bayangan masa depan yang suram dan tidak menyenangkan.

Tanpa mengenangkan masa lalu atau membayangkan masa depan, melainkan menghadapi saja kenyataan saat ini dengan penuh kewaspadaan, akan melenyapkan rasa duka. Di dalam pengamatan penuh kewaspadaan akan saat ini, yaitu setiap saat dalam hidup ini, tanpa pamrih untuk menemukan sesuatu, hanya mengamati saja dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa penilaian atau perbandingan, berarti kita hidup dalam arti kata yang sesungguhnya!

Sesungguhnyalah bahwa hidup adalah saat ini, bukan kemarin dan bukan esok, bukan tadi dan bukan nanti. Ini bukan berarti bahwa setiap saat kita harus bersenang-senang atau mengejar kesenangan! Akan tetapi, apa manfaatnya membenamkan diri ke dalam lembah duka dari kekecewaan?

Setelah hatinya tenang, Suma Hui melanjutkan perjalanannya. Tiada gunanya baginya untuk menanti di daerah Tibet yang baru saja dilanda perang dan rakyatnya masih dalam keadaan panik dan sengsara itu.

Dia kembali ke timur dan setelah melakukan perjalanan berbulan lamanya, pada suatu hari tibalah ia di kota Ceng-tu di Propinsi Se-cuan. Di sebelah selatan kota ini terdapat Omei-san, sebuah gunung yang indah dan menjadi tempat pesiar penduduk daerah itu. Karena tertarik, pada suatu pagi yang cerah, Suma Hui juga mendaki Omei-san untuk menikmati pemandangan indah di gunung itu di mana terdapat pohon-pohon yang ratusan tahun usianya dan bunga-bunga yang tidak dapat ditemukan di daerah timur.

Tetapi agaknya ia datang terlalu pagi. Tempat itu masih sunyi, belum ada pengunjung lain yang datang. Namun bagi Suma Hui, hal ini malah kebetulan karena orang yang sedang murung biasanya lebih suka menyendiri. Ia bahkan dapat menikmati matahari terbit muncul dari balik puncak tanpa terganggu oleh kehadiran orang lain.






Angin pagi pegunungan amat sejuk dan menyegarkan udara yang bersih itu. Cuaca amat lembut dengan cahaya matahari yang belum muncul sepenuhnya, mengecat segala sesuatu dengan warna keemasan yang cemerlang. Mutiara-mutiara embun bergantung di ujung daun-daun pohon berkilauan amat indahnya, juga ujung rumput-rumput hijau subur dihias mutiara embun sehingga sekilas pandang rumput-rumput itu seperti hiasan dari batu giok hijau yang dirias mutiara.

Sinar matahari lembut yang menerobos celah-celah daun pohon menciptakan seberkas cahaya yang mempesonakan, seolah-olah merupakan bukti hubungan yang tak dapat terpisahkan antara bumi dan langit.

Apakah artinya bumi tanpa adanya cahaya matahari yang menghidupkannya dan yang membuatnya demikian indahnya? Sebaliknya, apa pula artinya cahaya matahari tanpa adanya bumi yang menampungnya? Kesatuan Im dan Yang ini menciptakan kemukjijatan, kebesaran, keagungan, dan keindahan yang amat hebat dan mengharukan. Namun sayang, manusia terlalu disibukkan oleh hal yang remeh-remeh, yang kecil-kecil, yang bersumber kepada kepentingan dan kesenangan diri pribadi sehingga kemukjijatan itu tidak pernah dapat dinikmati atau dikaguminya lagi.

Suma Hui duduk di atas batu besar dan pada saat itu, ia menikmati semua keagungan ini. Ia seperti ditelan oleh keheningan yang mempesona. Ia tidak merasa bahwa dirinya terpisah dari semua itu, tidak terpisah dari cahaya matahari, dari rumput-rumput dan mutiara-mutiara embun itu, dari burung-burung yang mulai berloncatan, beterbangan dan berkicau riang.

Ia seperti kehilangan dirinya yang sudah dilebur menjadi satu dengan keheningan itu sendiri. Tidak ada duka, tidak ada kecewa, tidak ada sengsara, tidak ada apa-apa lagi. Yang ada hanyalah keheningan yang amat indahnya, bukan indah lagi karena sudah tidak dapat diukur oleh pikiran dan akal budi.

Tiba-tiba telinganya menangkap bentakan-bentakan disusul suara angin pukulan tanda-tanda orang berkelahi. Bagaikan diseret kembali ke dalam dunia kenyataan, Suma Hui menengok ke kiri, ke arah dari mana datangnya suara itu dan melihat seorang pemuda dikeroyok oleh tiga orang. Mereka adalah seorang pemuda dan dua orang gadis.

Dari jauh Suma Hui melihat bahwa pemuda yang dikeroyok itu memiliki gerakan yang lebih mantap dan cepat, akan tetapi jelas bahwa pemuda itu mengalah sehingga terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya yang kelihatan marah sekali itu.

Akan tetapi, Suma Hui terkejut sekali dan tertarik hatinya ketika mengenal gerakan pemuda yang dikeroyok itu. Gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Cepat tubuhnya melesat dan ia pun sudah berlari turun dari lereng itu menghampiri mereka yang sedang berkelahi. Setelah kini dapat melihat jelas, ia menjadi semakin kaget mengenal bahwa pemuda yang dikeroyok itu bukan lain adalah adiknya sendiri, Suma Ciang Bun!

Pada saat itu, Ciang Bun yang selalu mengalah, tidak pernah membalas itu terkena hantaman tangan kanan pemuda yang mengeroyoknya, terkena pukulan pada pundak sehingga tubuhnya terjengkang dan roboh. Akan tetapi, biar pun pukulan itu keras sekali, agaknya tidak sampai melukai tubuh Ciang Bun yang terlatih dan dengan sinkang-nya pemuda ini dapat melindungi tubuhnya. Maka dia pun sudah dapat bangkit lagi sambil berkata,

“Kenapa engkau memukulku....?”

Melihat ini, Suma Hui tidak dapat menahan sabarnya lagi. Adiknya dikeroyok tiga dan jelas bahwa adiknya mengalah. Kalau adiknya balas menyerang, ia merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak akan dapat bertahan lama. Maka ia pun mengeluarkan suara melengking panjang dan tubuhnya meluncur ke depan, kaki tangannya bergerak cepat bukan main dan ia telah terjun ke dalam gelanggang perkelahian, menyerang tiga orang pengeroyok itu bertubi-tubi. Hebat bukan main serangan Suma Hui ini, terlampau cepat bagi tiga orang lawannya.

“Plakk! Plakk! Dukkk!”

Dua orang gadis pengeroyok itu telah kena ditamparnya, sedangkan pemuda itu harus menerima tendangannya. Tubuh mereka terpelanting dan terdengar mereka mengaduh.

Masih untung bagi mereka bahwa Suma Hui tidak menggunakan semua tenaganya. Dara ini memang tidak bermaksud membunuh mereka. Ia belum tahu urusannya maka dia pun hanya menyerang untuk menghentikan pengeroyokan mereka saja. Walau pun yang dikeroyok adiknya sendiri, akan tetapi sebelum ia tahu urusannya, ia tidak mau menurunkan tangan maut.

“Enci, jangan....!” Suma Ciang Bun berseru.

Pemuda ini sudah memegangi lengan enci-nya, agaknya merasa khawatir kalau-kalau enci-nya akan melanjutkan serangannya menghajar tiga orang pengeroyok itu.

Suma Hui memandang adiknya dan merangkulnya. Sudah kurang lebih dua tahun ia tidak berjumpa dengan adiknya dan wajah adiknya yang tampan itu kini nampak kurus.

“Bun-te....!”

“Enci Hui.... aku mencarimu ke mana-mana tanpa hasil....”

“Bun-te apakah yang telah terjadi? Siapakah mereka ini?”

Agaknya Ciang Bun baru teringat akan ketiga orang pengeroyoknya dan jawabannya sangguh membuat enci-nya terheran-heran,

“Mereka.... adalah sahabat-sahabatku.”

Tentu saja selain merasa heran, hati dara perkasa itu juga marah sekali. Ia melepaskan rangkulannya dari pundak adiknya dan melangkah maju, menghadapi tiga orang yang kini telah bangkit berdiri itu.

“Hemm, kalian ini manusia-manusia tidak tahu malu. Kalian mendengar sendiri betapa adikku menyebut kalian sahabat-sahabat dan tadi jelas bahwa adikku mengalah. Kalau tidak, apa sukarnya bagi adikku untuk merobohkan atau bahkan membunuh kalian dalam sepuluh jurus saja?”

Dua orang gadis pengeroyok itu hanya cemberut dan Suma Hui kini melihat bahwa mereka adalah dua orang gadis yang cukup manis. Sedangkan pemuda yang tampan dan usianya antara dua puluh tahun itu menarik napas panjang, memandang Suma Hui dan berkata dengan nada suara sedih,

“Kami tahu bahwa dia adalah seorang pendekar yang berkepandaian tinggi, akan tetapi budinya tidak setinggi kepandaiannya sehingga kami melupakan kebodohan sendiri dan terpaksa menentangnya.”

Suma Hui menoleh kepada adiknya. Ia ingin tahu persoalannya, akan tetapi ia lebih senang mendengarnya dari mulut adiknya dari pada mendengarkan keterangan fihak lawan.

“Bun-te, apakah yang telah terjadi?”

Pemuda itu menundukkan mukanya dan menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa, enci Hui, akulah yang bersalah.” Dan dia pun tidak mau bicara apa-apa lagi, nampak sungkan dan malu.

Akan tetapi Suma Hui menjadi semakin penasaran. Tidak mungkin adiknya salah. Ia mengenal benar watak adiknya yang halus budi dan tidak mau melakukan hal-hal yang tidak betul. Maka ia pun menoleh kepada pemuda tampan tadi dan bertanya,

“Coba ceritakan, apa kesalahan adikku maka kalian bertiga mengeroyoknya secara tak tahu malu.”

Bagaimana pun juga, suara Suma Hui agak lunak ketika melihat bahwa tiga orang itu sebenarnya mempunyai pedang yang tergantung di punggung masing-masing. Tadi ketika mereka mengeroyok Ciang Bun, mereka hanya menggunakan tangan kosong, hal ini saja membuktikan bahwa biar pun mereka marah-marah kepada Ciang Bun, akan tetapi mereka tidak berniat untuk membunuh.

Pemuda itu lalu bercerita. Akan tetapi bagaimana pun juga jujurnya, tentu saja ceritanya mengandung dasar memenangkan diri sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri pengalaman Suma Ciang Bun sampai dia bertemu dengan mereka dan mengapa dia sampai dikeroyok oleh tiga orang muda itu.

Seperti kita ketahui, sepeninggal enci-nya, Ciang Bun merasa tidak betah di rumah dan tak lama kemudian dia pun pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari enci-nya. Dia merasa gelisah memikirkan enci-nya, dan juga dia merasa sakit hati mendengar bahwa ayahnya akan mewariskan semua ilmu keluarga mereka kepada Tek Ciang yang tidak disenanginya.

Akan tetapi, tidaklah mudah mencari jejak seorang gadis seperti Suma Hui yang melakukan perjalanan diam-diam dan cepat pula. Dengan susah payah Ciang Bun mencari enci-nya, sampai berbulan-bulan tanpa hasil. Bahkan dia pun sudah pergi ke kota raja, karena dia menduga bahwa enci-nya yang pergi mencari Cin Liong tentu menyusul ke kota raja.

Akan tetapi, di kota raja dia tidak dapat menemukan enci-nya. Dia mendengar bahwa Cin Liong juga tidak berada di kota raja karena jenderal muda itu memimpin pasukan untuk mengusir Bangsa Nepal yang menduduki Tibet.

Pemuda yang cerdik ini berpendapat bahwa enci-nya sedang mencari Cin Liong. Kalau jenderal itu kini pergi ke Tibet, enci-nya yang keras hati itu besar kemungkinannya pergi menyusul ke Tibet pula. Dengan pikiran ini, dia pun mengambil keputusan untuk pergi menyusul ke barat, akan tetapi kesempatan itu hendak digunakannya untuk menikmati keramaian kota raja.

Tidak mudah bagi Ciang Bun untuk mendapatkan sebuah kamar di rumah-rumah penginapan di kota raja. Pada waktu itu, kota raja sedang dibanjiri pemuda-pemuda dari berbagai penjuru daerah yang datang ke kota raja untuk mengikuti ujian dan mereka ini memenuhi rumah-rumah penginapan.

Ujian itu berjalan selama kurang lebih satu bulan karena pengikutnya amat banyak sehingga perlu dilakukan giliran. Dan walau ujian sudah berjalan satu minggu lebih maka kota raja masih penuh dengan para pemuda itu. Di jalan-jalan raya banyak pemuda-pemuda berpakaian sasterawan hilir-mudik sehingga kota raja menjadi semakin ramai.

Karena tidak berhasil mendapatkan kamar di rumah-rumah penginapan yang penuh sesak, terpaksa Ciang Bun lalu mondok di sebuah kuil. Ternyata di sini pun penuh dengan para pemuda pelajar. Mereka terdiri dari para pelajar kurang mampu yang memilih tempat bermalam yang tidak usah bayar atau kalau mengeluarkan uang pun tidak perlu banyak karena biasanya yang menginap di kuil-kuil hanya memberi sekedar sokongan saja kepada kuil itu.

Ketika memasuki ruangan belakang kuil di mana berkumpul belasan orang pemuda pelajar yang datang dari berbagai kota itu, Ciang Bun merasa gembira sekali. Dia merasa kagum kepada mereka yang bersikap lembut dan sopan, wajah-wajah tampan halus yang membayangkan kecerdasan. Dia sendiri merasa bagaikan seekor burung gagak yang masuk di antara kelompok burung merpati. Dibandingkan dengan mereka, pengetahuannya tentang sastera amatlah dangkalnya, dan makin terasa olehnya bahwa dia adalah seorang kasar yang sejak kecil lebih banyak belajar ilmu silat yang kasar!

Ketika Ciang Bun memasuki ruangan, para pemuda itu tengah asyik bercakap-cakap tentang sastera dan tentang mata ujian yang diadakan di kota raja. Mereka hanya menengok sebentar kepada Ciang Bun, lalu melanjutkan percakapan mereka. Dia lalu mencari tempat di sudut yang masih kosong, menurunkan buntalan pakaiannya lalu duduk bersandar dinding ruangan itu.

Seorang pemuda jangkung yang tampan mengangkat mukanya dari buku yang tengah dibacanya dan memandang kepada Ciang Bun, wajahnya membayangkan keramahan dan mulutnya tersenyum. Wajah yang tampan dan menarik, pikir Ciang Bun. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh tahun. Dia pun lalu balas tersenyum dan mengangguk.

“Maaf,” kata pemuda itu, “Saudara baru datang? Dari kota manakah dan kapan mulai mengikuti ujian?”

Melihat keramahan pemuda itu yang mengajukan pertanyaan bertubi-tubi itu, Ciang Bun tersenyum. Dia sendiri seorang pemuda yang tidak bisa banyak cakap, termasuk serius dan pendiam walau pun dia dapat pula bersikap ramah.

“Ya, aku baru saja datang, tempat tinggalku di Thian-cin dan aku tidak mengikuti ujian, melainkan hanya melancong saja ingin melihat-lihat kota raja.”

Pemuda itu menutup bukunya dan menyimpannya di dalam buntalan, lalu menggeser duduknya mendekati Ciang Bun. Matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri ketika dia berkata,

“Ah, betapa senangnya engkau! Kalau saja aku bisa sepertimu, bebas dan tidak harus banyak menghafal dan mengikuti ujian yang amat sukar ini!”

Ciang Bun memandang dengan mata terbelalak.
“Aihh, mengapa demikian? Justru aku yang merasa kagum dan iri kepada kalian yang memperoleh kesempatan menguji ilmu sastera dan mengikuti ujian kota raja untuk meraih gelar siucai!”

Tiba-tiba pemuda itu tertawa dan wajahnya nampak semakin tampan ketika dia tertawa.
“Ha-ha-ha, memang demikianlah kita ini, saudara yang baik! Saling pandang, saling mengiri dan mengira bahwa keadaan orang lebih baik dan menyenangkan dari pada keadaan kita. Aku jadi teringat akan dongeng perumpamaan tentang dua ekor burung. Yang terbang bebas merasa iri hati terhadap seekor burung lain yang hidup dalam kurungan dan siang malam di situ tersedia makanan dan minuman tanpa susah payah mencari dan bebas dari gangguan dan ancaman, dianggapnya kehidupan burung dalam kurungan lebih nikmat dan aman dari pada kehidupannya di luar kurungan. Sebaliknya, burung dalam kurungan merasa iri melihat betapa burung yang lain itu dapat terbang bebas ke tempat mana pun ia suka, tidak seperti dia yang gerakannya terbatas dalam kurungan.”

“Akan tetapi kita bukan burung....”

“Ha-ha, apa bedanya? Engkau yang bebas ingin seperti aku, sebaliknya aku yang terikat oleh segala macam buku pelajaran dan aturan ujian tentu saja ingin bebas seperti engkau. Sudahlah, keadaan tidak mungkin dapat dirubah semau kita. Saudara yang baik, perkenalkan, aku she Tan bernama Hok Sim. Bolehkah aku mengetahui namamu?”

“Namaku Suma Ciang Bun,” jawab Ciang Bun sederhana, dalam hatinya khawatir kalau-kalau she-nya itu akan memancing banyak pertanyaan.

Akan tetapi, Tan Hok Sim adalah seorang pemuda pelajar, bukan seorang kang-ouw maka she yang akan menarik perhatian kalangan kang-ouw ini, baginya tidak terlalu istimewa.

Perkenalan itu sebentar saja membuat mereka menjadi sahabat yang akrab karena Tan Hok Sim pandai bergaul, ramah-tamah dan agaknya suka kepada Ciang Bun. Ketika mereka bicara mengenai ujian, Hok Sim lalu mengajak Ciang Bun untuk keluar dari ruangan itu menuju ke pelataran belakang kuil yang sunyi.

“Tidak enak bicara di sana,” kata Tan Hok Sim. “Yang akan kuceritakan kepadamu ini adalah suatu rahasia. Tentu saja sebagian dari mereka ada yang sudah tahu, akan tetapi kalau sampai terdengar orang luar dapat mengakibatkan hal yang tidak enak pula.”

“Rahasia apakah, twako?” tanya Ciang Bun yang menyebut kakak kepada Tan Hok Sim yang tiga empat tahun lebih tua darinya.

“Tentang ujian. Tahukah engkau bahwa ujian itu dikendalikan oleh pembesar yang memperkaya diri secara berlebihan setiap kali diadakan ujian?”

“Tukang korupsi?”

Hok Sim mengangguk.
“Betapa pun pandainya engkau, tanpa ada uang sogokan yang amat besar, takkan mungkin dapat lulus! Kecuali kalau di kota raja ini engkau memiliki keluarga yang berpengaruh, baik karena kedudukannya atau hartanya, jangan harap akan dapat lulus.”

“Eh, mengapa begitu?” tanya Ciang Bun heran dan penasaran. “Kalau yang pandai tidak diluluskan sedangkan yang bodoh asal bisa nyogok diluluskan, itu namanya bukanlah ujian.”

“Memang bukan kepandaian yang diuji, semata-mata melainkan isi kantongnya,” Tan Hok Sim menjawab marah.

“Lalu bagaimana dengan engkau, twako?”

“Hemm, aku tidak mempunyai harapan lagi walau pun besok masih akan kulanjutkan mengikuti ujian. Aku yakin akan dapat lulus, walau pun tidak mencapai angka terbaik, kalau saja para penguji tidak hijau matanya oleh uang. Kalau disuruh menyogok, mana aku mampu? Aku belum bekerja, sedangkan ayahku hanyalah seorang guru silat....”

“Ayahmu seorang guru silat!” Ciang Bun berseru kaget dan gembira. “Ahh, kalau begitu engkau tentu pandai ilmu silat!”

“Ahh, pandai sih tidak. Keluarga kami tinggal di Ceng-tao, jauh di barat dan di daerah kami, ilmu silat amat diperlukan untuk berjaga diri. Ayahku seorang guru silat bayaran dan engkau tahu, berapa hasil seorang guru silat. Karena itu maka ayahku setengah memaksa aku dan adik perempuanku untuk lebih tekun mempelajari bun (sastera) dari pada bu (silat). Engkau sendiri, karena tidak banyak mempelajari bun, tentu mahir sekali ilmu silat, bukan?”

“Aku suka merantau dan banyak menghadapi kesukaran di perjalanan, memang pernah mempelajari silat, akan tetapi tidak terlalu tinggi. Twako, sebetulnya, siapakah yang berhak memutuskan lulus tidaknya ujian kota raja itu?”

“Di sana terdapat pengawas-pengawas dan mereka inilah yang harus disogok. Akan tetapi, tentu saja para pengawas itu pun harus menyogok atasan mereka dan orang yang paling berwenang dalam hal ujian itu tentu saja menteri.”

“Hemm, tentu menteri bagian kebudayaan atau pendidikan.”

“Kurasa begitulah. Akan tetapi mengapa engkau menanyakan hal itu?”

“Mengapa engkau tidak mendatangi saja menteri itu, dan kemudian melaporkan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh para pengawas?” tanya Ciang Bun.

Tan Hok Sim membelalakkan matanya.
“Wah, mana aku berani? Kalau aku melakukan perbuatan nekat itu, selain tidak mungkin diluluskan, juga aku tentu akan ditangkap, dipenjara atau mungkin dibunuh. Siapa yang akan dapat melindungiku?”

Ciang Bun menarik napas panjang.
“Tan-twako, dalam hal ujian ini, yang terhimpit dan dirugikan adalah kalian para pemuda pelajar. Kalau kalian sebagai orang-orang yang terkena ketidak beresan itu diam-diam saja, lalu siapa yang akan mampu memperbaiki keadaan? Kenapa engkau tidak mengajak semua pelajar itu untuk memprotes kepada menteri dan melaporkan kecurangan para pengawas itu?”

Hok Sim menunduk dan mengerutkan alisnya. Ucapan Ciang Bun tadi menggerakkan hatinya. Dia tahu bahwa di dalam hatinya, dalam hati semua pemuda pelajar yang mengalami nasib yang sama, memang ada api pemberontakan itu untuk menentang kecurangan para pengawas, namun siapa yang berani? Para pengawas itu dilindungi oleh pasukan dan menterinya sendiri belum tentu jujur. Bagaimana jika para pembesar itu bersekongkol dan melindungi anak buah mereka?

“Hal itu tidak mungkin dilakukan, adik Bun. Bahkan sebagian besar para pengikut ujian sendiri, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang berada, lebih suka kalau keadaannya seperti sekarang ini. Terus terang saja, aku sendiri kalau mempunyai uang, juga lebih senang mengeluarkan uang dan ujianku lulus, dari pada bersusah payah memeras otak akan tetapi hasilnya belum tentu, bahkan harapannya sedikit sekali.”

Ciang Bun diam saja. Dia merasa penasaran akan tetapi dia pun maklum bahwa kegetiran membuat semua pemuda berpendapat seperti Hok Sim itu. Kalau dengan uang dapat lulus dengan mudah, perlu apa repot-repot memeras otak yang akhirnya toh tidak akan diluluskan kalau tanpa uang?

“Kalau begitu, biarlah aku yang akan mengajukan protes itu. Aku tidak ikut ujian maka aku tidak khawatir tidak diluluskan.”

Tan Hok Sim memandang dengan mata terbelalak dan dia memegang lengan sahabat barunya itu.

“Bun-te, apa yang hendak kau lakukan?”

Ciang Bun tersenyum.
“Tenanglah dan tunggu saja hasilnya. Kuharap besok pagi sudah akan ada perubahan. Nah, kau masuklah dulu, twako dan tunggu saja aku di dalam kuil.”

Setelah berkata demikian, Ciang Bun meninggalkan sahabatnya yang berdiri melongo, mengikutinya dengan pandang mata heran akan tetapi tidak percaya. Apa yang akan dapat dilakukan oleh pemuda itu terhadap pemerintah? Urusan ujian yang kotor dan bergelimang korupsi itu sudah berjalan puluhan tahun, sepanjang pendengarannya, mana mungkin kini akan dirubah hanya oleh tindakan seorang pemuda seperti Suma Ciang Bun?

Dia sangat mengkhawatirkan pemuda itu. Bagaimana pun juga, sahabat barunya itu menarik hatinya. Dia akan merasa menyesal sekali kalau karena percakapan mereka, Ciang Bun melakukan tindakan yang mustahil dan akhirnya malah akan ditangkap dan dihukum! Dia pun lalu kembali ke dalam ruangan belakang kuil itu, mendekati teman-temannya dan berbisik-bisik menceritakan tentang pemuda kenalan barunya yang aneh itu.

Teman-temannya tentu saja terkejut, ada yang merasa gembira dan penuh harapan, yaitu mereka yang hendak menghadapi ujian dengan pengetahuan mereka saja karena mereka tidak mampu membayar. Ada juga di antara mereka yang tidak senang dan mereka ini adalah pelajar-pelajar yang mengharapkan lulus dengan pengaruh uang atau pengaruh kenalan atau keluarga di kota raja.

Apa pun tanggapan mereka, berita tentang seorang pemuda yang bukan pengikut ujian tetapi hendak melaporkan kecurangan para pengawas itu kepada menteri, menjadi bahan percakapan mereka dan menimbulkan ketegangan.

**** 050 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar