FB

FB


Ads

Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 047

Sepekan lagi hari yang disebutkan oleh fihak Nepal untuk menyeberang ke Tibet melalui Bhutan tiba. Dan selama itu, Tek Hoat belum juga berhasil menemukan puterinya yang hilang. Dia dan isterinya sudah mengambil keputusan untuk berdua pergi ke Nepal dengan cara menyelundup karena merasa yakin bahwa anak mereka tentu ditawan di kerajaan itu. Akan tetapi, sebelum mereka berangkat yang menurut rencana akan mereka lakukan pada keesokan harinya pagi-pagi benar, malam itu Ceng Liong menghadap mereka.

“Locianpwe, saya mau bicara penting sekali!” kata anak itu sambil celingukan ke kanan kiri.

Melihat sikap anak itu yang telah mereka kenal kecerdikannya, Tek Hoat lalu menarik tangannya diajak masuk ke ruangan dalam. Syanti Dewi cepat mengikuti setelah puteri ini merasa yakin bahwa tidak ada orang lain melihat anak laki-laki itu memasuki istana.
“Apa yang hendak kau bicarakan, Ceng Liong? Di mana Phang-sinshe?” tanya Tek Hoat sambil memandang tajam penuh selidik.

“Locianpwe, ada persekutuan yang hendak mengacau malam ini. Mereka bahkan berusaha untuk menduduki istana sri baginda!”

“Apa?”

Tek Hoat terkejut sekali sambil memegang pundak anak itu, lupa akan tenaganya sendiri dan terkejutlah Tek Hoat ketika dari pundak anak itu keluar tenaga penolak yang hebat. Dia cepat menarik kembali tangannya dan memandang anak itu dengan mata terbelalak. Tak pernah disangkanya bahwa anak ini memiliki tenaga sin-kang yang sedemikian hebatnya. Ceng Liong tahu bahwa sumber tenaganya itu kembali telah bergerak otomatis, maka dia merasa tidak enak sekali.

“Apa yang terjadi?” tanya Tek Hoat, lebih ingin tahu tentang persekutuan itu daripada tentang kekuatan tersembunyi di tubuh Ceng Liong.

“Locianpwe, bebarapa orang pembesar dan panglima telah bersekongkol dengan orang Nepal, malam ini akan melakukan pengacauan dan penyerbuan ke istana untuk memancing perhatian, agar semua kekuatan ditujukan untuk menghadapi kekacauan itu sehingga tentara Nepal dapat melewati daerah utara dengan aman.”

Tek Hoat semakin terkejut. Teringatlah dia akan pemberontakan yang dahulu dilakukan oleh Mohinta, putera mendiang Panglima Tua Sangita yang berhasil dia hancurkan ketika dia membela Bhutan (baca KISAH JODOH RAJAWALI ). Apakah kini terulang lagi peristiwa pemberontakan itu? Panglima Jayin telah tiada, telah meninggal dunia karena usia tua, dan kini para panglima Bhutan adalah muka-muka baru, walaupun mereka itu sejak muda sudah mengabdi kepada kerajaan.

“Hemm, ceritakan semua apa yang kau ketahui dan bagaimana engkau bisa tahu!” bentak Tek Hoat, belum mau percaya begitu saja keterangan anak itu.

“Saya mendengar sendiri percakapan mereka dalam rapat sore tadi locianpwe, bahkan saya hadir pula bersama guru saya....”

“Phang-sinshe? Dia ikut bersekongkol?”

Ceng Liong menarik napas panjang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikan kenyataan itu.
“Benar, locianpwe. Dia bersekongkol dengan perwira Brahmani dan yang lain-lain.”

“Brahmani orang Nepal itu? Keparat! Dan engkau sendiri? Engkau kan murid Phang-sinshe?”

“Memang saya muridnya, akan tetapi murid untuk mempelajari ilmu kepandaian, bukan murid untuk mempelajari kejahatan.”

“Biarkan dia bercerita terus. Ceng Liong, ceritakanlah sejelasnya dan apakah engkau tahu pula di mana Gangga Dewi anakku?”

“Di mana ia?”

Tek Hoat membentak dan sudah mencengkeram lagi ke arah pundak Ceng Liong. Akan tetapi dari samping, isterinya memegang pergelangan tangan suamimya,

“Sabar dulu, mungkin dialah yang akan dapat menyelamatkan anak kita.” tegurnya.

“Harap locianpwe berdua jangan khawatir. Selama ini saya telah menghibur dan menemaninya.”

“Bocah setan! Engkau dan gurumu telah menerima budi kebaikan orang, akan tetapi membalasnya dengan perbuatan keji. Kenapa tidak sejak dahulu engkau memberitahukan kami dimana anak kami? Begitu jahatkah kalian?” Tek Hoat membentak lagi.

“Lebih baik cepat katakan di mana anakku agar kami dapat menyerbu dan membebaskannya!” Syanti Dewi juga berkata dengan hati penuh kegelisahan dan ketegangan.






“Jangan, jangan lakukan itu. Itulah sebabnya mengapa saya tidak sejak kemarin memberi tahu kepada ji-wi locianpwe. Kalau locianpwe mempergunakan kekerasan menyerbu tentu dengan mudah mereka akan membunuh puteri locianpwe. Mereka adalah orang-orang kejam. Harus diatur dengan baik agar puteri locianpwe dapat diselamatkan, dan juga agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan.”

Tek Hoat seketika sadar bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang amat cerdik dan berpemandangan luas. Seperti seorang dewasa saja anak ini, pikirnya kagum.

“Baiklah, bagaimana keadaannya yang sebenarnya? Dan bagaimana engkau akan dapat menyelamatkan anak kami?”

“Mereka terdiri dari mata-mata Nepal, yaitu perwira Brahmani, beberapa orang pejabat tinggi dan beberapa orang panglima pasukan, juga.... guru saya ikut di dalamnya. Malam ini, menjelang tengah malam, mereka akan melakukan penyerbuan dan kini mereka sudah berkumpul di markas yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan.”

“Panglima Ram Rohan?”

Tek Hoat terkejut sekali karena panglima itu masih saudara sepupu dari mendiang Mohinta, putera Panglima Tua Sangita yang pernah memberontak itu. Inilah akibatnya kalau raja terlalu lunak terhadap mereka. Setiap kali ada kesempatan, hati yang membenci itu tentu kambuh pula dan mereka ini akan mudah melakukan pemberontakan untuk membalas dendam atas kesalahan mereka yang lalu.

“Saya memberi tahu locianpwe agar penyerbuan ke istana itu dapat digagalkan, sedangkan mengenai nona Hong Bwee, sayalah yang akan melarikannya dari tempat tahanan. Mereka semua percaya kepada saya sebagai murid Phang-sinshe. Dan untuk keperluan ini, saya hanya minta dibekali seguci arak terbaik yang sudah dicampuri obat bius untuk membuat selosin penjaga di dalam itu lumpuh. Kemudian saya akan mencoba membawanya keluar dari gedung itu melampaui para pengawal yang berjaga di luar.”

Melihat gawatnya suasana, Tek Hoat tidak membuang banyak waktu lagi. Dia segera berunding dengan isterinya. Dia sendiri akan cepat melapor kepada sri baginda, mempersiapkan pasukan yang kuat untuk mengepung dan menghancurkan markas pasukan yang dipimpin oleh Panglima Ram Rohan, menghancurkan persekutuan itu, sedangkan isterinya akan membantu Ceng Liong dan membayanginya dari belakang, melindunginya kalau sampai dua orang anak itu diancam oleh para penjaga di luar gedung di mana anak perempuan itu disekap.

Kepada Ceng Liong lalu diberikan seguci arak merah yang wangi dan sudah dicampuri obat bius oleh Tek Hoat yang pernah mempelajari ilmu pengobatan bahkan memiliki kepandaian membuat racun perampas ingatan yang diwarisinya dari Pulau Neraka.

Sebelum berangkat, Ceng Liong membalik dan berkata,
“Locianpwe, saya minta obat penawarnya.”

“Eh? Untuk apa?”

“Siapa tahu para penjaga itu curiga kepada saya dan tidak mau minum arak ini, maka kalau mereka memaksa saya ikut minum, sebelum saya menjaga diri dengan obat penawarnya, kan celaka....”

Tek Hoat mengangguk-angguk dan semakin kagum kepada anak kecil ini. Diambilnya dua butir pel merah.

“Telanlah ini dan biarpun engkau harus menghabiskan seguci arak itu, engkau tidak akan mabok atau terbius.”

Ceng Liong menerimanya dengan girang, lalu pergi dari situ diam-diam dibayangi oleh Syanti Dewi. Sedangkan Wan Tek Hoat sendiri secepatnya pergi menghadap sri baginda. Karena dia yang datang, maka para pengawal berani melaporkan ke dalam bahwa pangeran itu minta ijin menghadap raja karena ada keperluan yang amat penting dan gawat.

Sementara itu, Ceng Liong segera pergi membawa guci arak menuju ke gedung perwira Brahmani, bersiul-siul dan bernyanyi-nyanyi menghampiri para penjaga. Para penjaga di luar gedung sudah mengenal anak ini dengan baik dan mereka semua sudah tahu bahwa anak ini adalah murid Phang-sinshe yang dipercaya sebagai satu-satunya orang yang boleh memasuki kamar tahanan di mana Puteri Gangga Dewi ditahan.

“Hei, Ceng Liong, engkau membawa arak baik ya?”

“Beri kita sedikit ah!”

Ceng Liong tersenyum kepada mereka dengan sikap ramah.
“Mana aku berani? Arak ini adalah pesanan Brahmani tai-ciangkun, kalau berkurang sedikit saja aku akan celaka! Biar nanti kucarikan untuk kalian yang lain saja.”

Sambil berkata demikian dia menyelinap ke dalam gedung tanpa menimbulkan kecurigaan sedikitpun. Dua belas orang pengawal pilihan yang berjaga di luar kamar tahanan Hong Bwee mengira bahwa Ceng Liong membawakan makanan atau minuman untuk anak yang ditawan, akan tetapi melihat anak laki-laki itu membawa guci arak, mereka menjadi heran.

“Eh, Ceng Liong, untuk siapa engkau membawa seguci besar arak itu?” tegur komandan jaga.

Tentu saja mengherankan melihat anak itu membawakan seguci arak untuk tawanan, seorang anak perempuan yang jarang minum arak.

Ceng Liong tertawa.
“Untuk siapa lagi kalau bukan untuk kakak-kakak sekalian? Melihat kakak sekalian siang malam berjaga tak mengenal lelah, aku merasa kasihan dan tadi aku melihat arak berlimpahan dalam pertemuan para panglima. Maka aku minta kepada suhuku untuk diperkenankan membawa seguci arak wangi untuk dihadiahkan kepada kalian.”

Dua belas orang pengawal itu bersorak gembira dan banyak tangan menerima guci arak itu. Tutup guci dibuka dan terciumlah keharuman arak yang amat sedap, membuat mereka bergegas mencari cawan. Akan tetapi, komandan jaga cepat membentak.

“Jangan sentuh dulu arak itu!”

Para anak buahnya terkejut dan kecewa. Mereka memandang kepada komandan mereka dengan alis berkerut.

“Kenapa? Apa salahnya dengan arak ini?”

“Kita sudah bersusah payah, sudah selayaknya menerima hadiah minuman baik!”

Akan tetapi komandan jaga itu tidak menghiraukan omelan anak buahnya. Dia menghampiri guci arak, mencium-cium dan memeriksa isinya. Diam-diam Ceng Liong merasa terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa kepala jaga ini orangnya demikian cerdik dan banyak curiga. Akan tetapi, dia bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum.

Semua pengawal melihat komandan mereka menuangkan arak dari guci ke dalam sebuah cawan dan mereka mengilar melihat arak merah yang jernih dan wangi itu. Akan tetapi komandan itu tidak minum arak ini, melainkan menyodorkan cawannya kepada Ceng Liong sambil berkata,

“Ceng Liong, kau minumlah arak ini!”

Semua pengawal memandang heran dan Ceng Liong juga mengambil sikap seperti orang merasa kaget dan heran.

“Akan tetapi, aku sengaja membawa arak ini untuk kakak sekalian!” bantahnya.

“Hemm, bagaimana kami tahu bahwa arak ini tidak beracun kalau engkau tidak mau minum dulu secawan?” kata si komandan dengan muka berseri, merasa bangga memperlihatkan kecerdikannya.

Kini para anak buahnya, pengawal-pengawal yang berpengalaman, terkejut dan timbul pula kecurigaan mereka. Beramai-ramai mereka lalu mendesak kepada Ceng Liong untuk minum arak dalam cawan itu.

“Hemm, aku tidak pernah atau jarang sekali minum arak, akan tetapi untuk memuaskan hati kakak sekalian, apa boleh buat, akan kuminum arak ini. Akan tetapi, tolonglah aku nanti kalau sampai mabok.”

Tanpa meragu lagi, Ceng Liong lalu mengangkat cawan arak itu, menempelkan ke mulutnya dan menenggaknya sekaligus sampai habis! Dia menjilati bibirnya, nampak keenakan sekali dan mengangguk-angguk.

“Wah, belum pernah aku minum arak seenak ini. Bolehkah aku minta secawan lagi?”

Begitu Ceng Liong berkata demikian, para pengawal itu segera berebut mengisi cawan arak mereka dari guci itu tanpa memperdulikan permintaan Ceng Liong, sambil tertawa-tawa dan si komandan jaga juga tidak lagi melarang mereka, bahkan diapun menuntut agar diberi lebih dahulu.

Tentu saja dua belas orang pengawal itu kini percaya sepenuhnya bahwa arak itu tidak mengandung sesuatu yang tidak baik setelah anak itu berani minum secawan dan tidak kelihatan ada akibat yang mencurigakan. Memang arak itu arak tua yang harum dan lezat, maka merekapun seperti berlumba, minum sebanyak-banyaknya. Akan tetapi, baru menghabiskan dua cawan saja, mereka sudah roboh terguling, terbius dan tidur pulas atau pingsan, malang-melintang tidak teratur di tempat penjagaan di luar kamar tahanan itu.

Ceng Liong tidak mau membuang terlalu banyak waktu lagi. Diambilnya kunci pintu kamar tahanan itu dari saku baju komandan jaga, dan dibukanya pintu kamar tahanan. Hong Bwee sudah mendengar akan kedatangan Ceng Liong dan mendengar percakapan antara Ceng Liong dan para penjaga, mendengar betapa mereka minum arak dan tertawa-tawa. Kini, anak perempuan itu merasa heran sekali mengapa suasana di luar kamar tahanan begitu sunyi seolah-olah semua penjaga telah pergi dan nampak Ceng Liong masuk sendirian saja.

“Ceng Liong, apa yang telah terjadi?”

“Ssttt, diamlah dan mari ikut denganku keluar dari tempat ini,” kata Ceng Liong sambil menaruh telunjuk di depan mulutnya.

Biarpun semua penjaga di luar kamar tahanan telah roboh, akan tetapi masih banyak pengawal yang berjaga di luar gedung dan dia harus berhati-hati untuk dapat membawa keluar anak perempuan itu dari gedung tanpa terlihat mereka.

Ketika ia digandeng keluar dari dalam kamar tahanan oleh Ceng Liong dan melihat dua belas orang penjaga itu malang-melintang dalam keadaan seperti sudah tewas saja, Hong Bwee terkejut dan merasa ngeri.

“Apa yang terjadi dengan mereka?” bisiknya.

“Mereka hanya pingsan minum arak yang ada obat biusnya, yang kudapat dari ayahmu. Mari kita pergi melalui pintu belakang.”

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di luar gedung, seperti suara orang berkelahi. Ceng Liong yang membawa Hong Bwee menyelinap ke belakang, melihat beberapa orang pengawal yang berjaga di bagian belakang gedung itu berlarian ke depan.

Kesempatan ini dipergunakannya untuk membawa anak perempuan itu lari keluar dari gedung, menyusup ke dalam taman yang gelap lalu menjauhkan diri. Ternyata di luar gedung memang terjadi keributan. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Puteri Syanti Dewi sendiri yang tadinya membayanginya, telah mengamuk dan menghajar para penjaga, anak buah Brahmani yang memberontak itu.

Para penjaga melawan dengan hati kecut, karena mereka tahu siapa adanya puteri ini, akan tetapi merekapun setia kepada Brahmani yang pada saat itu berkumpul di rumah Panglima Ram Rohan dan siap untuk menyerbu atau mengacau istana raja. Akan tetapi, para penjaga yang berjumlah belasan orang itu mana mampu menandingi Puteri Syanti Dewi yang memiliki gerakan seperti burung terbang itu?

Cepat bukan main sang Puteri bergerak di antara mereka, merobohkan mereka dengan tamparan atau tendangan. Sang puteri ingin sekali segera membebaskan puterinya yang menurut Ceng Liong ditawan di dalam kamar bawah tanah di belakang gedung perwira Brahmani yang ternyata adalah mata-mata Nepal itu.

Akan tetapi, setelah para penjaga itu berantakan dan sebagian besar melarikan diri tidak berani lagi melawan sang puteri yang memiliki gerakan cepat seperti pandai menghilang itu, dan Syanti Dewi berhasil memasuki gedung, ia tidak dapat menemukan lagi puterinya. Kamar tahanan itu telah kosong dan para penjaganya masih menggeletak tak sadar di luar kamar. Dan Ceng Liongpun tidak nampak di situ.

Sang puteripun tahu bahwa anaknya sudah diajak lari keluar gedung oleh murid Phang-sinshe, maka iapun cepat pergi meninggalkan gedung itu untuk membantu suaminya yang sedang mempersiapkan pasukan untuk menghajar kaum pemberontak yang berkumpul di markas Panglima Ram Rohan.

**** 047 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar