FB

FB


Ads

Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 043

Biarpun hanya merupakan sebuah kerajaan kecil saja, akan tetapi karena Bhutan memiliki banyak daerah pertanian yang subur, peternakan yang sehat dan terutama sekali karena kerajaan ini berada dalam keadaan aman tenteram dan penuh damai, tidak pernah melakukan perang, baik dengan negara tetangga maupun antara suku dan bangsa sendiri, maka rakyatnya dapat dikatakan hidup serba kecukupan dan tenang.

Kerajaan Bhutan tidak dapat dilepaskan dari Himalaya karena kerajaan ini berada di antara puncak-puncak pegunungan yang amat besar ini. Bhutan merupakan daerah di Himalaya yang bersuhu dingin, berhawa sejuk dan bertanah subur. Kerajaan ini beserta rakyatnya mempertahankan tradisi kehidupan nenek moyang mereka dan pada umumnya rakyatnya beragama Buddha yang bercampur dengan Agama Hindu kuno.

Raja Badur Syah yang sudah berusia sekitar lima puluh tahun itu memerintah dengan adil dan bijaksana. Raja Badur ini menerima mahkota dari Puteri Syanti Dewi yang tadinya menjadi puteri mahkota. Sang puteri ini tidak mau menjadi ratu karena memang ia ingin bebas daripada ikatan, hidup berbahagia bersama suami tercinta, yaitu pendekar sakti Wan Tek Hoat dan seorang anak mereka yang mereka beri nama Wan Hong Bwee alias Gangga Dewi.

Puteri tunggal ini berusia sembilan tahun dan bukan saja menjadi cahaya dalam kehidupan ayah bundanya, akan tetapi juga menjadi kesayangan semua orang, baik di dalam istana maupun di luar istana.

Biarpun Wan Tek Hoat dan isterinya tidak memangku suatu jabatan tertentu, akan tetapi pendekar ini disebut pangeran dan dia bersama isterinya merupakan penasihat-penasihat utama dari Raja Badur Syah. Bahkan dapat dikata bahwa keamanan Kerajaan Bhutan itu berkat adanya pendekar sakti dan isterinya ini.

Mereka yang mempunyai pikiran buruk dan niat jahat merasa sungkan terhadap suami isteri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini. Para penjahat merasa jerih. Pendeknya, Wan Tek Hoat dan isterinya menjadi tokoh-tokoh penting di Bhutan, yang ditakuti lawan dan disegani kawan.

Tak mungkin ada yang sempurna di dunia ini karena setiap ada yang menganggapnya baik tentu akan bertemu dengan fihak lain yang menganggapnya tidak baik. Ini tergantung daripada si penilai yang mendasarkan pandangannya atas perhitungan untung rugi.

Baik buruk hanyalah penilaian banyak fihak yang pada dasarnya ditunggangi oleh perhitungan untung rugi inilah. Maka, kalau Kerajaan Bhutan dipandang baik oleh satu fihak, tenta saja karena dianggapnya menguntungkan bagi fihak itu, tentu ada pula fihak lain yang menganggapnya tidak baik karena merasa dirugikan.

Mereka yang diam-diam menganggapnya tidak baik, tentu saja tidak berani berterang karena terutama sekali adanya wibawa dari Wan Tek Hoat dan isterinya, adalah mereka yang merasa tidak puas.

Sudah jamak di satu pemerintahan negara manapun juga, di antara orang-orang yang merasa diri sendiri besar atau dianggap sebagai orang-orang penting, yakni tokoh-tokoh pemerintahan, ada yang merasa tidak puas dengan pemerintahan yang berkuasa pada saat itu. Ketidakpuasan ini mungkin saja karena mereka merasa tidak mernperoleh kedudukan yang sesuai dengan harapan mereka, atau karena tidak cocok dengan politik pemerintahan, akan tetapi sebagian besar yang merasa tidak suka adalah mereka yang merasa dirugikan, baik lahir maupun batin.

Tidak mungkin ada suatu pemerintahan yang dapat menyenangkan atau memuaskan semua fihak yang masing-masing mempunyai keinginan sendiri-sendiri dan kadang-kadang keinginan-keinginan itu saling bertentangan.

Demikian pula dengan keadaan di Bhutan. Di antara pejabat tinggi atau rendah yang merasa puas dan menjadi pegawai-pegawai yang setia dan jujur, tentu saja terdapat pula pembesar-pembesar yang merasa tidak puas dan diam-diam dalam hati mereka menentang kebijaksanaan yang diambil oleh Raja Bhutan. Mereka ini terutama sekali menentang kebijaksanaan pemerintah yang condong bersahabat dengan Kaisar Kerajaan Ceng dan yang menentang gerakan Nepal.

Mereka akan merasa lebih senang kalau Bhutan bersahabat dengan Nepal, yang selain menjadi negara tetangga dekat, juga memiliki kebudayaan dan agama yang masih serumpun. Akan tetapi karena di Bhutan terdapat Wan Tek Hoat, seorang Bangsa Han yang telah banyak berjasa terhadap Bhutan, dan yang menjadi penasihat nomor satu dari raja, tentu saja mereka yang pro Nepal dan menentang Kerajaan Ceng itu tidak berani mengeluarkan isi hati mereka secara berterang.

Pada suatu siang yang cukup terang, suatu keadaan yang amat menyenangkan bagi daerah Bhutan yang dingin itu, nampak seorang anak perempuan yang cantik dan lincah berloncatan di antara semak-semak belukar dalam sebuah hutan liar di lereng bukit.

Anak perempuan ini usianya sembilan tahun, wajahnya bulat telur dengan dagu meruncing dan kedua tulang pipinya menonjol berwarna merah segar, mulutnya kecil mungil dengan bibir yang penuh dan merah, sepasang matanya bersinar-sinar, lebar dan terang, dua kuncirnya yang gemuk dan panjang itu ikut melambai-lambai ketika ia berloncatan.

Anak ini sungguh cantik, gerakannya lincah, wajahnya selalu berseri dan matanya membayangkan kejenakaan dan kegembiraan, tangan kiri memegang busur kecil, tangan kanan memegang anak panah, sedangkan di punggungnya masih terdapat beberapa batang anak panah cadangan.

Tidaklah terlalu mengherankan kalau anak perempuan berusia sembilan tahun ini sedemikian lincah dan sigap gerakannya karena ia adalah Gangga Dewi atau Wan Hong Bwee, puteri tunggal dari pendekar sakti Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi. Semenjak kecil, baru saja dapat berjalan, ayahnya telah menggemblengnya sehingga biarpun usianya baru sembilan tahun, namun Hong Bwee telah memiliiki tubuh yang sehat dan kuat, gerakan yang gesit dan nyali yang besar.

Apalagi anak ini memang gemar berburu, pekerjaan yang umum di daerah Bhutan dan sudah sering kali anak ini mengikuti rombongan para pemburu untuk berburu rusa dan binatang-binatang hutan. Ia sudah pandai mempergunakan anak panahnya, juga pandai mempergunakan pedang kecil yang tergantung di pinggang itu.

“Heiii, tuan puteri.... perlahan dulu....!” Terdengar suara seorang wanita menegur dari belakang.






“Di hutan ini mana ada puteri-puteri segala macam?”

Hong Bwee mengomel tanpa menghentikan kedua kakinya yang berloncatan dengan sigapnya di antara semak-semak belukar.

“Nona.... nona Hong Bwee, kalau nona berlari-larian seperti itu, tentu rusa-rusa kabur dan burung-burung terbang menjauh!” teriak sutara wanita ke dua.

Mendengar ini, Hong Bwee menghentikan larinya dan menoleh sambil tersenyum melihat dua orang wanita cantik yang berpakaian ringkas seperti para pemburu berlari-lari mengejarnya. Dua orang wanita itu adalah para pengawalnya karena pada siang hari ini Hong Bwee hendak berburu sendiri, hanya ditemani dua orang pengawal itu. Tentu saja dua orang wanita itu bukan wanita sembarangan, melainkan pengawal-pengawal yang memiliki kepandaian silat cukup tinggi.

Sebagai puteri tunggal suami isteri yang berkedudukan tinggi, atau lebih tepat memiliki wibawa dan pengaruh yang besar sekali di istana, dan beribu seorang puteri bekas puteri mahkota, watak Hong Bwee sungguh aneh. Ia tidak manja atau besar kepala, bahkan kalau berada di luar istana, ia ingin bebas dari segala macam peraturan yang mengikatnya, ingin hidup seperti anak-anak lainnya dan karena itulah, tadi ia menegur seorang pengawalnya yang menyebut tuan puteri. Ia lebih suka disebut nona begitu saja sehingga tidak semua orang tahu bahwa ia seorang puteri dari istana.

“Sungguh sialan benar kita hari ini.” Anak itu mengomel. “Sampai begini siang dan sudah berjalan sangat jauh, belum juga bertemu dengan seekorpun rusa atau binatang lain!”

“Nona, sebaiknya kita kembali ke kota. Kita sudah hampir sampai di perbatasan!” seorang pengawal yang alisnya tebal memperingatkan.

“Tidak, kita belum memperoleh seekorpun binatang buruan, bagaimana bisa kembali? Aku akan malu kalau pulang tidak membawa hasil,” bantah Hong Bwee.

“Itu mudah diatur, nona. Kita bisa singgah di rumah pemburu istana, membeli dua ekor rusa gemuk dan....”

“Tak tahu malu!” Hong Bwee memotong ucapan pengawal yang hidungnya mancung itu. “Pemburu macam apa itu? Curang dan rendah, tidak memperoleh buruan lalu membeli di pasar, mengakui binatang belian itu sebagai hasil buruan. Huh, tidak saja, ya? Aku mau mencari terus ke bukit di depan itu. Kelihatan rimbun hutannya!”

“Ihhh.... jangan ke sana!” seru pengawal beralis tebal.

“Kenapa?”

“Bukit itu tidak termasuk wilayah kita dan pula.... ada kabar bahwa akhir-akhir ini ada biruang-biruang hitam yang ganas berkeliaran di sana!”

“Aku tidak takut!”

“Tapi.... tapi biruang hitam itu bisa ganas sekali dan amat berbahaya.”

Hong Bwee memandang kepada dua orang pengawalnya samhil bertolak pinggang, sepasang alisnya dikerutkan.

“Hemm, pengawal-pengawal macam apa yang menemaniku sekarang ini? Kalau kalian takut, pulanglah dan aku akan pergi sendiri. Aku tidak akan pulang sebelum memanggul binatang hasil buruanku dan aku akan bangga sekali kalau dapat menyeret pulang bangkai seekor biruang yang menjadi korban anak panah atau pedangku!”

Setelah berkata demikian, anak itu membalikkan tubuhnya dan melanjutkan perjalanannya. Kemarahannya sudah hilang dan ia berlari-lari sambil bersenandung gembira. Dua orang pengawal itu saling pandang, lalu mengangkat pundak dan keduanya lalu cepat mengikuti anak yang berada di bawah perlindungan mereka.

Ketika mereka tiba di kaki bukit depan itu, tiba-tiba Hong Bwee memberi isyarat ke belakang. Dua orang pengawal itu memandang ke depan dan merasa girang sekali melihat bahwa tak jauh dari situ terdapat sekumpulan rusa sedang makan rumput. Bagus, pikir mereka, kalau nona kecil itu sudah berhasil merobohkan seekor rusa, tentu tidak perlu lagi mereka mendatangi bukit yang berbahaya di depan itu. Merekapun cepat mempersiapkan busur dan anak panah. Angin bertiup ke arah depan, maka mereka dapat berindap-indap menghampiri rusa-rusa itu dengan aman.

Dua orang pengawal itu agaknya sudah mengenal baik watak Hong Bwee. Kalau mereka mendahului menggunakan anak panah merobohkan rusa, tentu anak itu akan marah.

Maka merekapun menanti sampai anak itu melepas anak panah. Setelah mereka bertiga berindap-indap mendekati, menyelinap di antara semak-semak belukar sebagai pernburu-pemburu yang berpengalaman,

Hong Bwee nampak membidikkan anak panahnya dari balik semak-semak. Ia berada di depan dan kini ia dapat melihat jelas binatang-binatang itu, melihat mata mereka yang bening, tanduk mereka yang bagus dan telinga mereka bergerak-gerak. Ia harus berhati-hati karena maklum betapa tajamnya daya tangkap telinga binatang itu. Ia membidik dengan hati-hati ke arah seekor rusa jantan yang paling gagah, besar dan tegap di antara kelompok rusa itu.

Akan tetapi, tiba-tiba rusa itu mengeluarkan suara aneh lalu menghampiri seekor rusa betina, mencium-cium dengan moncongnya seperti orang mencumbu. Rusa betina inipun indah dan rusa inipun senang dicumbu.

Mendadak wajah anak itu berobah merah. Ia tahu apa artinya ketika rusa jantan itu mengangkat tubuh depannya di belakang rusa betina. Rasa jengah membuat Hong Bwee tiba-tiba menjadi marah. Ia tidak memperdulikan keadaan dua ekor rusa itu dan membidikkan anak panahnya ke arah leher rusa jantan yang nampak menjulang tinggi.

“Wuuuutt.... singggg.... ceppp!”

Rusa jantan mengeluarkan pekik yang nyaring dan panjang, tubuhnya meloncat turun dan dalam sekejap mata saja, semua rusa terkejut dan berlompatan melarikan diri dari tempat itu. Pekik rusa jantan yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan ini tentu merupakan pekik peringatan bagi mereka. Rusa betina yang dicumbu tadipun sudah menghilang. Rusa jantan yang terkena anak panah di lehernya itu terhuyung, akan tetapi segera meloncat dan melarikan diri naik ke bukit.

Sejenak dua orang pengawal wanita itu tertegun. Mereka terkejut dan khawatir sekali ketika melihat kenyataan bahwa nona mereka telah menyerang rusa jantan yang sedang bermain cinta dengan rusa betina. Nona mereka ternyata telah melakukan dua macam kesalahan.

Kesalahan pertama adalah pelanggaran kepercayaan tradisionil di antara para pemburu, yaitu menyerang rusa yang sedang berkasih-kasihan. Dan kesalahan ke dua adalah menyerang rusa pemimpin kelompok dengan anak panah sekecil itu.

Orang-orang Bhutan mengenal dongeng yang berasal dari India tentang raja yang telah memanah dan melukai seekor rusa jantan yang sedang berkasih-kasihan dengan betinanya. Rusa jantan itu dalam keadaan sekarat menyumpahi si raja yang telah mengganggu mereka yang sedang bermain asmara, yaitu bahwa kalau raja itu berani mendekati dan bermain cinta dengan isteri-isterinya, dia akan kena kutuk dan tewas.

Raja ini agaknya memandang rendah kutuk yang dilontarkan oleh rusa itu. Setibanya di rumah, dia disambut oleh isteri-isterinya yang cantik. Dia lupa akan kutuk itu dan bermain cinta dengan mereka. Diapun kena kutuk dan roboh tewas. Dongeng ini menjadi peringatan bagi para pemburu di Bhutan agar tidak sekali-kali mengganggu rusa atau binatang lain yang sedang bermain asmara, dari burung sampai binatang buruan lain yang besar-besar.

Dan sekarang, Hong Bwee telah melanggar pantangan itu! Dan kesalahan ke dua adalah kesalahan yang bodoh. Seekor rusa jantan sekuat itu mana dapat dirobohkan oleh sebatang anak panah, walaupun bidikannya tepat mengenai leher? Kalau tepat menembus jantung, barulah rusa itu akan roboh seketika.

Akan tetapi pada saat itu, Hong Bwee sudah meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan mengejar rusa yang sudah terluka dan kabur naik ke bukit yang penuh hutan lebat itu.

“Nona, jangan kejar....!” teriak mereka, akan tetapi melihat anak itu sama sekali tidak perduli dan terus lari memasuki hutan, terpaksa merekapun mengejar secepat mungkin.

Ketika akhirnya kedua orang pengawal itu dapat menyusul Hong Bwee, tiba-tiba mereka menghentikan langkah dan memandang terbelalak ke depan. Rusa merupakan binatang yang dapat berlari paling cepat. Larinya sambil berlompatan tinggi sehingga sukarlah bagi Hong Bwee untuk dapat menyusulnya.

Ketika anak ini berlari sambil berloncatan memasuki hutan, ia kehilangan jejak rusa itu dan tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan seekor biruang hitam betina yang amat besar, yang berada di situ bersama seekor biruang hitam kecil, anaknya yang baru sebesar anjing.

Binatang itu nampaknya juga kaget ketika tiba-tiba bertemu dengan Hong Bwee. Kini Hong Bwee sudah menarik busurnya dan membidikkan anak panah yang sudah siap itu ke arah si biruang kecil.

Wajah anak ini berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar. Ia berhadapan dengan biruang dan memperoleh kesempatan merobohkan seekor biruang! Hanya kegembiraan ini sajalah yang memenuhi pikirannya pada saat itu, yang membuat ia lupa akan bahaya yang mungkin mengancamnya.

“Prattt.... wirrrr.... ceppp....!”

Anak panah itu menyambar dan anak biruang itupun roboh terguling, menguik-nguik dan bergulingan di atas tanah. Pada saat itulah kedua orang pengawal itu datang dan mereka terbelalak berdiri di belakang Hong Bwee, wajah mereka pucat dan khawatir sekali.

Kekhawatiran mereka itu segera terbukti. Biruang betina itu mengeluarkan gerengan dahsyat yang seolah-olah menggetarkan bumi, lalu menerjang ke depan. Sejak tadi Hong Bwee yang gembira melihat betapa anak panahnya berhasil merobohkan anak biruang kecil, sudah mempersiapkan anak panah lagi. Kini, melihat biruang besar lari maju, dengan tabah iapun lalu menyambut dengan lepasan anak panahnya.

Anak panah itu meluncur dan menyambar ke arah biruang betina. Akan tetapi ketika anak panah itu mengenai pundak biruang itu, anak panah meleset dan hanya mendatangkan luka kecil saja. Kulit biruang itu dilindungi bulu yang kuat!

Dua orang pengawal juga cepat melepaskan anak panah mereka, akan tetapi biruang itu tiba-tiba berdiri di atas kedua kaki belakangnya dan kini dua kaki depannya digerak-gerakkan ke depan, menyampok runtuh anak panah yang menyambar, kemudian diapun menyerang dan menubruk ke depan.

“Nona, cepat lari....!” teriak seorang pengawal sambil menarik lengan Hong Bwee ke belakang.

Dua orang pengawal itu mencabut pedang mereka dan menyambut serangan biruang itu dengan pedang di tangan.

Akan tetapi biruang itu sungguh kuat luar biasa. Dia berani menyambut dan menangkis pedang dengan kedua lengan telanjang. Lengannya dilindungj bulu yang kuat dan pedang-pedang tajam itu hanya mampu melukai sedikit saja. Sebaliknya, begitu kedua tangannya menyambar dan menangkis, dua batang pedang itu terlempar dan terlepas dari tangan dua orang wanita pengawal itu.

Biruang itu menerjang terus dan tamparan-tamparan kedua tangannya tak dapat dihindarkan oleh wanita-wanita pengawal itu yang mencoba untuk menangkis. Akan tetapi, begitu lengan mereka bertemu dengan tangan bercakar itu, terdengar bunyi tulang patah dan tubuh mereka terbanting keras ke kanan kiri, membuat mereka tak dapat bangkit kembali dan hanya mengeluh kesakitan sambil memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika melihat binatang yang sudah menjadi semakin buas karena kemarahan itu menerjang ke arah Hong Bwee.

Akan tetapi anak inipun bukan sembarangan bocah. Biarpun ia hanya merupakan seorang anak perempuan yang usianya belum genap sepuluh tahun, namun ia sejak kecil telah mengalami gemblengan lahir batin oleh ayahnya yang sakti sehingga biarpun ia melihat dua orang pengawalnya sudah roboh dan kini biruang itu menyerangnya, ia masih dapat bersikap tenang dan tidak gugup sama sekali. Dengan sigapnya Hong Bwee meloncat ke kiri, jauh dari jangkauan cakar itu sambil melolos pedangnya.

Ia tahu bahwa menyerang biruang itu sama dengan mencari celaka karena biruang itu amat kuat dan ia tidak mau melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh dua orang pengawalnya tadi. Mereka itu mudah celaka dan roboh karena kesalahan sendiri berani menyerang lawan yang demikian kuatnya.

Kini Bwee Hong tidak mau menyerang, hanya menanti dengan pedang di tangan dan waspada terhadap keadaan di sekitarnya. Ia mundur sampai di depan sebatang pohon, sedapat mungkin ia hendak memancing agar binatang itu menjauhi dua orang pengawalnya yang sudah terluka. Karena kalau binatang itu kini menyerang mereka, tentu mereka akan tewas dalam keadaan mengerikan, mungkin akan dicabik-cabik oleh binatang yang sedang marah itu.

Karena tubrukannya yang pertama tidak berhasil, biruang itu mengeluarkan gerengan dahsyat saking marahnya. Agaknya, naluri yang peka dari binatang itu membuat ia tahu siapa yang membunuh anaknya dan kini diserangnya Hong Bwee dengan kemarahan memuncak. Anak itu yang berdiri di depan sebatang pohon, kembali mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mengelebatkan pedangnya, menusuk ke arah muka biruang itu.

“Braaakkk....!”

Pohon itu tumbang dilanda tubuh biruang yang menubruk sekuat tenaga tadi. Dilemparkannya pohon itu dan dia membalik. Hong Bwee sudah siap dengan busurnya. Ketika biruang itu membalik, anak itu melepas tiga batang anak panah berturut-turut dan tiga batang anak panah itu bertubi-tubi menyambar ke arah mata biruang!

Biruang itu menggerak-gerakkan kedua tangannya, berusaha menangkap anak panah, akan tetapi dia hanya berhasil meruntuhkan dua batang sedangkan yang sebatang lagi menyerempet tepi matanya dan menimbulkan luka yang cukup membuat sebelah matanya perih dan tidak dapat dibuka lagi. Tentu saja dia menjadi semakin marah. Diserangnya Hong Bwee bertubi-tubi. Anak itu meloncat ke sana-sini dan pada saat ia kehabisan tempat untuk mengelak, ia menangkis dengan pedangnya.

“Trakkk!”

Pedang itu terlempar jauh dan tubuh Hong Bwee terguling. Pada saat itu biruang yang sudah marah menubruk ke depan. Anak itu hanya terbelalak, maklum bahwa ia tidak akan mampu menyelamatkan diri lagi. Pada saat yang amat berbahaya bagi Hong Bwee, nampak sesosok tubuh kecil menyambar ke depan dan dua buah kaki meluncur cepat menghantam dada biruang yang berdiri di atas kedua kaki belakang dan hendak menubruk Hong Bwee.

“Bukkkk....!”

Tendangan yang merupakan tendangan terbang itu tepat mengenai dada biruang. Binatang itu tidak terjengkang, akan tetapi terhuyung ke belakang dan sebaliknya anak laki-laki yang melakukan tendangan luar biasa itu terpental dan hanya dengan berjungkir balik dia mampu menghindarkan dirinya terbanting. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil menyelamatkan Hong Bwee karena anak perempuan ini dapat memperoleh kesempatan untuk bangkit berdiri dan menjauh.

Anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun lebih itu adalah Suma Ceng Liong. Sejak tadi dia datang bersama Hek-i Mo-ong Phang Kui dan keduanya melihat dengan jelas betapa seorang anak perempuan dengan gagah beraninya melakukan perlawanan terhadap amukan seekor biruang betina yang besar. Bahkan dengan anak panahnya, anak perempuan itu sempat melukai tepi mata binatang itu, padahal dua orang wanita pengawalnya telah terluka dan tidak berdaya membantunya.

Ceng Liong memandang kagum bukan main dan Hek-i Mo-ong juga menonton sambil tersenyum, sedikitpun tidak mempunyai keinginan membantu anak perempuan kecil yang sedang diancam oleh biruang buas. Bahkan diam-diam ada rasa tegang yang amat menggembirakan hatinya, ketegangan mendebarkan yang hanya dapat dirasakan oleh seorang kejam seperti dia membayangkan betapa tubuh anak perempuan yang lunak lembut itu nanti akan dicabik-cabik oleh tangan binatang buas yang amat kuat itu.

Akan tetapi, ketika melihat anak perempuan itu roboh dan terancam bahaya maut, bangkitlah jiwa kependekaran di dalam hati Ceng Liong dan tanpa memperdulikan gurunya yang diam saja, dia sudah meloncat ke depan dan menendang dada binatang itu untuk menyelamatkan Hong Bwee.

Pada saat itu terdengar suara berdengung. Itulah suara terompet tanduk rusa yang ditiup orang. Mendengar ini, Hong Bwee memasang kedua tangan di depan mulut, membentuk corong lalu mengeluarkan pekik melengking. Tak lama kemudian berkelebat datang seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dengan pandang matanya yang mencorong tajam, pria ini memandang ke arah Hong Bwee, kemudian Ceng Liong dan akhirnya ke arah kakek berpakaian petani serba hitam itu.

“Ayah, biruang itu berbahaya sekali!” teriak Hong Bwee yang menjadi girang melihat ayahnya datang.

Sementara itu, biruang yang marah itu kini sudah menggereng. Tadi agaknya dia bingung dan ragu, mana yang harus diserangnya, anak perempuan itu ataukah anak laki-laki yang baru saja membuat dadanya terasa sesak dan nyeri itu. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Wan Tek Hoat, ayah Hong Bwee, sudah mendahuluinya, menyerangnya dua kali dengan sambaran kedua tangan. Gerakan Wan Tek Hoat cepat sekali. Biruang itu terlalu lamban untuk dapat mengelak atau sempat menangkis, dan tahu-tahu secara beruntun, kedua telapak tangan Tek Hoat telah menyambar dan tepat mengenai dada, kemudian kepalanya.

“Plakk! Plakk!”

Nampaknya hanya tamparan biasa saja yang mengenai dada dan kepala biruang itu, akan tetapi akibatnya sungguh hebat. Biruang itu meraung dan sempoyongan, mencoba untuk meloncat ke depan membalas serangan, akan tetapi dia terpelanting, roboh dan berkelojotan lalu mati!

Melihat ini, diam-diam Hek-i Mo-ong Phang Kui terkejut bukan main. Sebagai seorang datuk kaum sesat, tentu saja dia mengenal pukulan sakti yang amat ampuh. Dapat merobohkan biruang sebesar itu hanya dengan dua kali tamparan merupakan bukti bahwa dia berhadapan dengan seorang ahli yang amat tangguh. Apalagi ketika dia melirik dan melihat betapa di dada dan kepala biruang yang penuh bulu itu nampak tanda telapak jari tangan dan di bagian itu, bulu-bulunya rontok seperti terbakar dan tanda telapak jari tangan itu nampak nyata.

Maka diapun segera dapat menduga siapa adanya laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun yang gagah perkasa ini. Bukankah di Bhutan, seperti telah didengarnya, terdapat seorang Han yang kini menjadi pangeran, suami Puteri Syanti Dewi bernama Wan Tek Hoat yang pernah dijuluki Si Jari Maut? Agaknya inilah orangnya, pikirnya dengan gembira sekali. Pertemuan yang sungguh amat menguntungkan dia!

“Ayah....! Kau hebat....!”

Hong Bwee meloncat menghampiri biruang yang mati itu dan memandang kepada ayahnya dengan wajah berseri.

“Hong Bwee, engkau terluka....!” kata Tek Hoat sambil meraih puterinya.

Ternyata anak peremnpuan itu terluka di dekat pundaknya, di pangkal lengan kanan. Luka ini terjadi ketika pedangnya tertangkis dan pedang yang mencelat itu sempat melukai pundaknya sendiri. Untung ia cepat melepaskan pedang dan menarik lengannya sehingga lengannya tidak sampai patah-patah tulangnya bertemu dengan tangan biruang.

“Ayah, anak laki-laki itulah yang tadi menyelamatkan aku dari terkaman biruang.” kata Hong Bwee yang agaknya tidak memperdulikan luka di pundaknya.

Agaknya baru sekarang Tek Hoat teringat kepada anak laki-laki dan kakek itu. Dia menoleh, memandang Ceng Lion penuh perhatian, melihat bahwa anak ini sungguh merupakan seorang anak laki-laki yang memiliki sifat-sifat kegagahan yang membayang pada wajahnya, pandang matanya dan sikapnya, kemudian dia memandang kepada kakek itu. Seorang kakek yang berpakaian petani serba hitam, sederhana, namun ada sesuatu yang membuat Tek Hoat menduga bahwa kakek ini pasti bukan orang sembarangan. Entah nampak pada sinar mata yang tajam berwibawa itu, atau pada sikapnya yang terlampau tenang itu.

“Dua pengawalku telah roboh terluka oleh biruang. Aku mempertahankan diri dengan pedang dan anak panah, akan tetapi akupun roboh dan tentu aku sudah diterkam oleh binatang itu kalau anak laki-laki ini tidak muncul. Dia berani meloncat dan menendang dada biruang dengan kedua kaki! Gaya terjangannya itu indah dan hebat sekali, ayah!”

Hong Bwee memang luar biasa. Tadi dalam keadaan terancam bahaya maut mengerikan, ternyata ia masih sempat memperhatikan gaya terjangan Ceng Liong ketika anak laki-laki itu menyerang biruang.

Mendengar penuturan puterinya, Tek Hoat segera menjura kepada kakek berpakaian petani hitam itu. Dia tahu bahwa di Himalaya berkeliaran banyak sekali pertapa-pertapa dan orang-orang tua yang sakti, maka diapun dapat menduga bahwa tentu kakek ini seorang yang sakti pula bersama muridnya.

“Kami menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan locianpwe dan adik kecil ini atas bantuan yang diberikan sehingga anak perempuan kami terhindar dari malapetaka.”

Hek-i Mo-ong cepat membalas penghormatan itu.
“Aih, taihiap sungguh membuat saya malu dengan sebutan locianpwe! Taihiap yang demikian perkasa, dapat membunuh biruang buas hanya dengan tangan kosong, sungguh amat mengagumkan dan belum pernah saya melihat kegagahan seperti itu. Saya hanyalah seorang tukang obat dan tukang sulap murahan saja, merasa mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan taihiap. Perkenalkan, saya adalah Phang Kui atau biasa disebut Phang-sinshe. Saya melihat nona kecil yang gagah perkasa ini terluka pundaknya, dan juga dua orang nona itu luka-luka dan patah tulang lengannya. Kalau boleh, biarlah saya mengobati mereka.”

Tentu saja Tek Hoat mengangguk membolehkan dengan hati girang. Ketika dia bersama para pemburu mencari-cari anak perempuannya, dia tidak membawa perlengkapan obat.

Phang-sinshe tanpa membuang waktu lagi cepat turun tangan. Mula-mula dia memeriksa dan mengobati luka di pundak Hong Bwee. Setelah diobati, barulah anak perempuan ini merasakan keperihan lukanya, akan tetapi ia tidak pernah mengeluh, hanya menggigit bibirnya, membuat Ceng Liong menjadi semakin kagum saja. Setelah itu Phang-sinshe lalu mengobati dua orang wanita pengawal itu dan sebagai seorang ahli silat yang pandai, Tek Hoat dapat melihat bahwa kakek ini memang ahli dalam hal pengobatan dan menyambung tulang patah. Maka diapun merasa semakin girang.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar