FB

FB


Ads

Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 042

Ceng Liong tertawa.
“Aih, nona jangan main-main. Sudah jelas kakekku adalah seorang ahli pengobatan, ahli ramal dan sulap. Dan aku cucunya.”

Kui Lan menarik napas panjang.
“Sukar dipercaya! Dan di mana rumahmu? Di mana rumah kakekmu itu?”

“Di mana saja, nona. Dunia ini adalah rumahku, langit atapku, bumi lantaiku. Kalau dikecilkan, gerobak itulah pondok kami. Di mana adanya gerobak kami, di situlah kami tinggal. Kami adalah perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, nona, seperti burung-burung di udara, mau hinggap di pohon manapun bebas!”

Sepasang mata yang bening itu berseri memandang wajah tampan Ceng Liong.
“Ihhh, bicaramu juga seperti orang bersyair! Betapa senangnya hidup seperti burung, bebas melayang ke mana-mana, tidak terhalang sangkar. Aku seperti burung dalam sangkar!”

“Nona adalah puteri seorang bangsawan tinggi yang beruntung, mana bisa dibandingkan dengan aku?”

“Aku suka padamu, Ceng Liong. Engkau tidak seperti anak-anak lain. Selamanya aku tidak akan melupakanmu, tidak akan lupa ketika engkau menghentikan kuda dengan menunggangi kuda yang sedang kabur itu. Ih, masih ngeri kalau aku mengingatnya.”

Ceng Liong lalu diajak makan, terpisah dari kakeknya yang juga sedang makan minum dengan Gubernur Yung Hwa. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sinshe Phang untuk berkenalan dan menjajagi hati bangsawan itu. Maka dengan hati-hati dan halus diapun membawa percakapan menuju ke kota raja dan istana, membicarakan keadaan negara.

“Engkau banyak melakukan perantauan, Phang-sinshe. Bagaimana keadaan di timur dan selatan? Apakah kehidupan rakyat baik dan keamananpun baik?”

Gubernur itu bertanya demikian karena dia juga mendengar bahwa terjadi pergerakan dan pergolakan di barat dan utara.

Kakek itu mengerutkan alisnya, bersikap pura-pura keberatan untuk menyatakan pendapatnya. Sang gubernur melihat ini, maka sambil tersenyum lalu menyambung,

“Harap engkau jangan khawatir, Phang-sinshe. Aku bertanya dengan jujur dan engkaupun boleh menyatakan sejujurnya bagaimana keadaan di sana. Kita ini sedang mengobrol sebagai dua orang teman, bukan pemeriksaan seorang pejabat terhadap terdakwa!” Gubernur itu tertawa dan Phang-sinshe juga ikut tersenyum lega.

“Terus terang saja, taijin. Keadaan di daerah-daerah di timur juga tidaklah begitu baik. Banyak rakyat yang hidup kekurangan dan merasa tidak puas, dan di sana-sini terdapat gejala pergerakan menentang pemerintah.”






Gubernur itu menghela napas.
“Sudah kuduga demikian. Setiap pemerintahan tidak mungkin dapat memuaskan hati seluruh rakyat. Sudah tentu ada saja fihak yang merasa tidak puas. Sudah tentu mendiang Kaisar Yung Ceng yang memegang kendali pemerintahan, banyak fihak yang menentang, hal itu tidaklah terlalu mengherankan mengingat akan sifat-sifatnya yang keras dan kadang-kadang penuh kelaliman. Akan tetapi, sekarang kendali pemerintahan dipegang oleh Kaisar Kian Liong yang halus budi dan bijaksana. Bagaimanapun juga, tidak mungkin beliau dapat memuaskan hati semua orang. Memang demikian keadaan di dunia ini, tidak ada yang sempurna.”

Mendengar ucapan ini, diam-diam Sinshe Phang terkejut. Dia tidak melihat sedikitpun rasa dendam dalam ucapan itu.

“Bagaimanakah pendapat paduka tentang pergolakan-pergolakan yang terjadi di mana-mana?”

Gubernur itu mengerutkan alisnya.
“Orang yang merasa penasaran tentulah mereka yang merasa dirugikan. Dan melihat kenyataan betapa bijaksana Kaisar Kian Liong, maka yang merasa dirugikan sehingga penasaran dan memusuhinya tentulah orang-orang yang tidak bijaksana! Mereka yang ambisius dan menginginkan kedudukan yang lebih tinggi. Mereka itu tidak tahu bahwa andaikata kekuasaan tertinggi berada di tangan orang lain, tidak seperti Kaisar Kian Liong, maka keadaan negara tentu menjadi lebih kacau dan sengsara.”

Kini yakinlah Sinshe Phang bahwa tidak mungkin orang dengan pendirian seperti gubernur ini dapat ditarik menjadi sekutu. Bahkan berbahaya sekali untuk membocorkan rahasianya kepada seorang seperti gubernur ini. Bagaimanapun juga, dia harus dapat menarik keuntungan dalam perjumpaannya dengan Gubernur Yung Hwa agar tidak percuma semua jerih payah yang telah diperhitungkan dan direncanakannya.

“Bagaimanapun juga, hamba sendiri tidak pernah mau melibatkan diri dalam urusan negara. Hamba adalah seorang rakyat dan hamba paling suka merantau sampai ke daerah yang terpencil. Dapat berhubungan dengan rakyat jelata, dari yang paling tinggi kedudukannya sampai yang paling rendah, melalui pengobatan dan hiburan permainan sulap, hamba sudah merasa cukup puas.”

“Sinshe adalah seorang yang bijaksana dan dapat menolong orang-orang lain, sungguh kehidupan itu dapat mendatangkan kebahagiaan dan panjang usia. Kami mengharap agar engkau dapat lama-lama tinggal di kota ini dan silahkan menempati gedung kami dan sinshe akan kami anggap sebagai tamu terhormat.”

Sinshe Phang bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
“Taijin sudah melimpahkan kebaikan kepada hamba, mana hamba berani mengganggu lebih lama lagi? Hamba telah mempunyai rencana, yaitu besok pagi hamba dan cucu hamba akan melanjutkan perjalanan hamba dalam perantauan ini.”

Gubernur itu nampak kecewa.
“Ah, mengapa begitu tergesa-gesa?”

“Hamba tanggung bahwa toanio sudah sembuh sama sekali dan peningnya tidak akan dapat kambuh kembali. Hamba sudah merencanakan untuk pesiar merantau ke Bhutan....”

Dia menghentikan kata-katanya dan dengan cermat memandang wajah gubernur itu, walaupun nampaknya seperti sambil lalu. Dan dengan girang dia melihat betapa wajah itu berseri.

“Ke Bhutan....? Ah, apakah sinshe mempunyai keperluan di negara yang jauh itu?”

“Hamba pernah mengenal seorang pertapa yang hamba jumpai di daerah Himalaya dan diapun seorang ahli pengobatan yang kini kabarnya tinggal di Bhutan. Selain menemui sahabat itu, juga hamba sudah lama sekali mendengar akan kemakmuran dan keindahan negara Bhutan dan ingin sekali melihatnya. Hanya satu hal yang hamba khawatirkan.”

“Apakah itu, Phang-sinshe?”

“Hamba adalah seorang asing di Bhutan, selain sahabat itu tidak mempunyai kenalan. Sebelum hamba berhasil bertemu dengan sahabat itu, hamba khawatir kalau-kalau dicurigai dan akan menemui halangan di negara asing itu.”

“Ah, jangan khawatir, Phang-sinshe! Aku mengenal baik seorang yang mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar di sana dan kalau engkau membawa surat dariku, aku tanggung takkan ada yang mengganggumu di Bhutan sana.”

Bukan main girangnya hati kakek itu.
“Terima kasih banyak atas kebaikan hati taijin.”

Gubernur itu lalu membuat sehelai surat pernyataan di mana dikatakannya bahwa Sinshe Phang adalah seorang sahabat baiknya dan para pejabat setempat diminta untuk membantunya dalam segala hal. Surat itu ditandatanganinya dan dibubuhi cap kebesarannya.

Setelah berhasil memperoleh surat yang amat berguna baginya ini, dan diberi bekal pula sekantung emas, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali berangkatlah Sinshe Phang dan Ceng Liong bersama gerobak kuda mereka.

Kui Lan sendiri mengantar keberangkatan itu sampai di pekarangan luar gedung gubernuran dan anak perempuan itu menangis ketika melihat Ceng Liong menggerakkan kuda memberangkatkan kereta dan melambaikan tangan kepadanya.

**** 042 ****







TEMPAT WISATA MANCA NEGARA

 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara
 Grand Canyon
Grand Canyon
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa - Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone

===============================
Burj Khalifa - Dubai

 Taj Mahal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar