FB

FB


Ads

Senin, 05 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 040

Malam itu gelap sekali dan hawa udara amat dinginnya. Semenjak lewat tengah hari hujan lebat turun menyiram bumi dan setelah malam tiba, hujan berhenti akan tetapi angin malam menghembus kuat mendatangkan hawa dingin yang membuat orang malas untuk keluar dari dalam rumahnya. Apalagi malam itu gelap. Awan masih memenuhi udara menghalang sinar bintang dan menyelimuti kota Thian-cin dengan kehitaman. Sunyi dan dingin.

Akan tetapi Tek Ciang tidak memperdulikan kegelapan dan kedinginan malam itu. Dia harus pergi ke kuil kecil tua di luar kota itu. Dia telah berjanji kepada Jai-hwa Siauw-ok untuk datang ke kuil itu setiap seminggu sekali. Selama beberapa bulan ini, Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng tidak pernah muncul. Akan tetapi Tek Ciang tetap datang tiap pekan sekali dan biarpun malam hari ini amat sunyi, gelap dan dingin, dia tetap memegang janjinya.

Pemuda ini maklum bahwa menghadapi seorang datuk seperti Jai-hwa Siauw-ok, dia harus memegang janji. Apalagi mengingat bahwa datuk sesat itu telah berjasa besar dalam hidupnya, bahkan juga yang memegang kunci rahasia pribadinya. Dia tahu bahwa berhubungan dengan datuk itu amatlah menguntungkan, baik sebagai sekutu ataupun sebagai guru. Sebaliknya, mempunyai seorang lawan seperti Jai-hwa Siauw-ok yang demikian sakti dan juga amat cerdiknya, amatlah berbahaya.

Setelah tiba di dalam kuil, Tek Ciang memasuki ruangan satu-satunya yang masih terlindung di kuil itu dan atapnya juga masih rapat. Dinyalakannya dua batang lilin seperti sudah mereka sepakati berdua. Dua batang lilin itu sebagai tanda rahasia mereka agar masing-masing dapat mengenal teman. Setelah dua batang lilin itu bernyala dan diletakkannya di atas lantai, diapun lalu duduk bersila menanti.

Dia akan menanti sampai dua jam di tempat itu, seperti biasa. Kalau selama itu jai-hwa Siauw-ok tidak muncul, dia akan memadamkan lilin dan meninggalkan kuil, kembali ke rumah keluarga Suma dengan diam-diam tanpa diketahui oleh suhu atau subonya. Bahkan pelayan hanya tahu bahwa dia pergi berjalan-jalan. Sekarang, menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok dilakukannya sambil berlatih samadhi seperti yang diajarkan oleh suhunya kepadanya.

Selama kurang lebih enam bulan ini, dia telah digembleng secara hebat sekali oleh gurunya. bukan saja dalam gerakan ilmu silat tinggi, akan tetapi juga dalam latihan menghimpun tenaga sin-kang. Bahkan kini dia mulai dapat mempergunakan Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api) yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu sakti dari Pulau Es! Maka dalam menanti munculnya Jai-hwa Siauw-ok, diapun tidak mau menyia-nyiakan waktu. Apalagi di kuil itu merupakan tempat yang amat baik untuk bersamadhi menghimpun tenaga dalam, selain tempatnya sunyi, juga malam itu dingin sekali, cocok untuk berlatih.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara yang amat lembut. Selama digembleng ini, panca inderanya menjadi peka sekali. Munculnya orang secara halus itupun dapat didengarnya dan diapun siap waspada karena tidak tahu siapa yang muncul.

Tiba-tiba ada desir angin lembut. Dia terkejut dan sudah mengerahkan tenaga untuk menjaga diri dan semua urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi, desir angin yang tajam itu tidak menyerangnya, melainkan menyambar ke arah dua api lilin sehingga padam!

Melihat kenyataan ini, Tek Ciang terkejut sekali. Itulah serangan jarak jauh yang amat ampuh. Akan tetapi karena ditujukan untuk memadamkan lilin, diapun tahu bahwa yang datang itu tidak berniat jahat kepadanya.

“Siapa....?” bentaknya sambil meloncat berdiri.

“Sssttt.... Tek Ciang, aku sengaja memadamkan lilin-lilin itu!”

“Locianpwe....!” teriak Tek Ciang dengan girang ketika mengenal suara Jai-hwa Siauw-ok.

“Ssttt, jangan berisik. Cepat ke sini....” Suara itu berbisik.

Tek Ciang merasa heran karena jelas terdengar dari suara datuk itu bahwa dia sedang dalam keadaan bingung atau ketakutan. Diapun cepat ke luar melalui pintu belakang dan dalam cuaca yang hanya remang-remang karena kini sebagian awan telah disapu angin dan ada sekelompok bintang berkesempatan memuntahkan sinarnya ke bumi, dia melihat sesosok bayangan yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Tek Ciang cepat memberi hormat.

“Locianpwe, ada apakah....?” tanyanya heran.

“Aku berada dalam kesulitan. Aku dikejar oleh jenderal Kao Cin Liong....”

“Apa....? Di.... di mana dia....?” Tek Ciang terkejut bukan main mendengar ini.

“Sementara aku dapat terlepas dari bayangannya, akan tetapi dia tentu akan muncul juga.”

“Kenapa tidak dilawan saja, locianpwe?” tanya Tek Ciang penasaran.

“Ah, kau tidak tahu. Dia lihai sekali dan biarpun belum tentu aku kalah, aku sedang lelah dan aku telah terluka.... engkau harus dapat menolongku menghindarkan diri dari kejarannya, Tek Ciang.”

Otak pemuda itu bekerja dengan cepat.
“Jangan khawatir, locianpwe. Locianpwe bersembunyi saja di dalam hutan dan aku akan memancingnya agar dia mengejarku. Kebetulan kita menggunakan mantel yang hampir bersamaan. Karena hari hujan sayapun memakai mantel hitam ini. Nah, cepatlah locianpwe bersembunyi. Dari jurusan manakah dia datang mengejar?”

“Dari sana.... nah, aku pergi. Kau harus dapat menyelamatkan aku sekali ini!”

Bayangan Jai-hwa Siauw-ok itu berkelebat dan lenyap di dalam kegelapan. Tek Ciang tidak membuang waktu lagi, terus dia menuju keluar kuil dan mengintai dari balik sebatang pohon besar ke arah dari mana mungkin munculnya Cin Liong.






Ada satu jam dia menanti dan akhirnya di bawah penerangan bintang-bintang yang makin banyak bertebaran di angkasa, dia melihat bayangan berkelebatan datang. Dia tidak dapat melihat jelas wajah bayangan itu, akan tetapi bentuk tubuh itu masih dikenalnya. Tidak salah lagi agaknya, orang itu tentulah Kao Cin Liong.

Di depan kuil tua itu, dia melihat bayangan itu berhenti dan seperti ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri. Tek Ciang tahu bahwa itulah saat baginya untuk memancing pengejar Jai-hwa Siauw-ok itu meninggalkan tempat itu, maka diapun cepat meloncat ke depan dan lari secepatnya.

“Engkau hendak lari ke mana?”

Kini tak salah lagi karena Tek Ciang mengenal suara Cin Liong. Dia melarikan diri dengan cepat dan karena dia sering datang ke hutan ini, dia mengenal jalan dan dia berloncatan sambil menyelinap diantara pohon-pohon dan semak-semak. Bayangan itu terus mengejarnya. Akan tetapi Tek Ciang dapat memancingnya sampai jauh meninggalkan kuil itu, ke arah yang lain dari tempat Jai-hwa Siauw-ok bersembunyi.

Sambil berlari, diam-diam timbul suatu niat di hati Tek Ciang. Dia sudah berlatih setengah tahun dan menurut suhunya, dia memperoleh kemajuan pesat yang hanya dapat dicapai orang lain setelah berlatih sedikitnya tiga tahun! Bagaimana kalau dia mencoba kepandaiannya terhadap Cin Liong? Dalam keadaan seperti ini, mudah saja baginya untuk menggunakan alasan karena dikejar-kejar dan tidak mengenal siapa pengejarnya.

Maka dia lalu menyelinap di balik semak-semak belukar dan menanti. Tak lama kemudian muncullah bayangan Cin Liong yang mengejarnya. Tek Ciang membentak keras dan meloncat ke depan, menyerang Cin Liong dan langsung saja dia menggunakan Ilmu Hwi-yang Sin-Ciang. Pukulannya menyambar ganas dan mendatangkan hawa yang amat panas!

Cin Liong yang mengira bahwa lawannya adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikejarnya dan dibayanginya, karena sudah maklum akan kelihaian datuk ini, cepat mengelak dan balas menyerang. Akan tetapi lawannya ini dapat menangkis dan dia merasakan hawa panas menjalar melalui lengannya ketika tertangkis itu, juga ketika lawan itu membalas, dia merasa betapa dalam pukulan itu terkandung hawa amat panas. Ilmu seperti ini hanyalah dimiliki keluarga Pulau Es. Dia meragu, lalu menangkis lagi untuk mencoba.

“Dukk!” Lawannya terpental dan terhuyung, akan tetapi dia merasa lengannya panas.

“Hwi-yang Sin-ciang....!”

Serunya kaget akan tetapi lawannya sudah menyerang lagi bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan dahsyat dari Hwi-yang Sin-ciang! Cin Liong yang menjadi terheran-heran itu cepat mengelak beberapa kali, lalu meloncat ke belakang.

“Tahan....!” katanya.

Tek Ciang juga berhenti bergerak dan mendekat. Kini, di bawah cahaya redup bintang-bintang di angkasa, mereka saling mengenal.

“Louw-susiok....!”

“Kao-taihiap....!” Tek Ciang berseru dan mendahului. “Kukira tadinya penjahat cabul itu....!”

“Ehh? Justeru aku mengira bahwa susiok adalah Jai-hwa Siauw-ok yang kukejar dan kubayangi selama beberapa hari ini! Mantelnya mirip dan munculnya di tempat yang sama, jadi aku telah keliru sangka. Aih, Louw-susiok, bagaimana engkau dapat muncul di sini....?”

“Aku sore tadi berburu kelinci ke hutan ini seperti yang sering kulakukan dan aku kehujanan, meneduh di dalam kuil tua itu. Karena keenakan di situ dan hawanya dingin sehabis hujan, aku tertidur dan baru setelah gelap aku terbangun. Ketika hendak pulang, baru keluar dari kuil aku bertemu dengan seorang pria yang kukenal adalah penjahat cabul yang dulu pernah kulihat berkelahi denganmu itu....”

“Nah, dia itu Jai-hwa Siauw-ok!” kata Cin Liong. “Lalu bagaimana? Ke manakah dia?”

“Aku melupakan kelemahan sendiri. Mengenali dia sebagai orang yang pernah berkelahi denganmu, aku menduga bahwa tentu dia itu penjahat cabul, maka akupun menyerangnya. Akan tetapi, dia lihai sekali. Dalam beberapa jurus saja aku sudah terdesak, bahkan nyaris celaka kalau aku tidak cepat-cepat meloncat ke dalam gelap dan bersembunyi di balik pohon. Aku mendengar dia menggerutu,

Huh, tidak ada tempat aman, lebih baik sembunyi di kota raja dan diapun lenyap. Eh, tak lama kemudian dia muncul lagi maka aku melarikan diri. Kiranya yang muncul adalah engkau yang kukira penjahat itu. Setelah aku lari terus dan akhinya tidak kuat lagi, aku nekat dan menyerangmu yang kukira dia!”

“Dan kusangka engkau adalah Jai-hwa Siauw-ok! Hemm, dia memang cerdik. Kiranya dia hendak bersembunyi di kota raja? Kalau tidak kebetulan engkau mendengarnya, siapa akan mengira dia bersembunyi di kota raja? Bagus, aku akan menangkapnya di sana!”

“Kao-taihiap, bagaimana engkau dapat mengejarnya sampai ke sini?” Tek Ciang bertanya, suaranya mengandung kekaguman.

“Ah, sudah lama kucari-cari dia. Ingin aku bertanya dia tentang peristiwa malam itu di Thian-cin. Akan tetapi dia tidak pernah mau bicara, bahkan melawanku atau lari. Aku membayangi terus sampai ke sini. Susiok, bagaimana keadaan.... eh, keadaan.... bibi Hui dan keluarganya?”

“Apakah engkau tidak mendengarnya, Kao-taihiap?”

Cin Liong menarik napas panjang, menggeleng kepala.
“Aku tidak berani mendekati keluarga Suma, bahkan aku belum pernah kembali ke kota raja, berkeliaran saja mencari Jai-hwa Siauw-ok dan hanya kebetulan saja aku bertemu dengan dia beberapa hari yang lalu. Selain itu, juga banyak urusan mengenai pemberontakan yang harus kutangani.”

“Ah, banyak hal terjadi di dalam keluarga Suma, taihiap, dan aku sendiri sungguh menjadi tidak enak dan berada dalam kedudukan yang serba salah.”

“Apakah yang telah terjadi, susiok?” Cin Liong mendesak. “Apakah paman kakek Suma Kian Lee belum pulang?”

“Sudah, suhu dan subo sudah pulang bersama sute Suma Ciang Bun.”

“Hemm, syukurlah kalau paman Ciang Bun sudah pulang dengan selamat. Lalu peristiwa apa yang membuatmu tidak enak?”

“Aku melihat suami isteri yang gagah perkasa datang bertamu. Aku sendiri tidak berani ikut menyambut. Akan tetapi mendengar bahwa mereka adalah ayah ibumu, taihiap, yaitu Kao Kok Cu-locianpwe dan isterinya.”

“Benarkah?” Jantung Cin Liong berdebar tegang. “Lalu bagaimana?”

“Mereka hanya sebentar saja bertamu, lalu keluar lagi dan baru kemudian aku dengar bahwa mereka datang untuk meminang sumoi untukmu.”

“Lalu....?”

“Agaknya pinangan itu oleh suhu ditolak, taihiap. Maklumlah, mungkin karena masih ada hubungan keluarga.”

Tentu saja Cin Liong merasa terpukul, walaupun dia sudah dapat menduga akan hal itu. Pula, setelah kini Suma Hui membencinya dan bahkan berkeras hendak membunuhnya, apalagi artinya andaikata pinangan diterima juga?

“Kemudian bagaimana?”

“Kemudian.... kemudian pada suatu hari suhu memanggilku. Suhu dan subo memberi tahu bahwa sebetulnya antara suhu dan mendiang ayah telah ada perjanjian untuk.... menjodohkan sumoi dan aku....”

“Hemm, begitukah? Lalu....?”

“Lalu suhu dan subo minta agar perjodohan itu dilanjutkan....”

“Dan engkau....?”

“Itulah, taihiap, yang membuat aku merasa tidak enak dan serba salah. Aku adalah seorang yatim piatu yang tidak berharga dan tidak berguna. Kemudian keluarga suhu dan subo sudah melimpahkan kebaikan kepadaku dan sudi mengambil aku sebagai murid. Bagaimana mungkin aku dapat menolak kalau mereka mengajukan permintaan agar perjodohan itu dilanjutkan?”

“Hemmm....”

“Di lain fihak, hatiku juga merasa berat sekali karena aku tahu betul bahwa antara taihiap dan sumoi....”

“Ya....?”

“Terdapat pertalian cinta kasih yang mendalam! Mana mungkin aku merusak hubungan baik kalian itu?”

Tentu saja diam-diam Cin Liong merasa berterima kasih sekali kepada pemuda ini yang dianggapnya benar-benar seorang yang bijaksana dan baik.

“Ah, terima kasih, susiok. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu itu, walaupun sekarang baru dalam taraf pernyataan. Akan tetapi, sekarang, lalu bagaimana baiknya?”

“Kita harus bersabar, taihiap. Aku juga sedang mencari jalan bagaimana untuk dapat keluar dari kesulitan ini dengan baik. Sementara itu, kurasa sebaiknya kalau taihiap tidak memperlihatkan diri lebih dulu kepada keluarga Suma.”

Cin Liong mergangguk-angguk dan menganggap bahwa pendapat itu memang tepat. Muncul dalam keadaan sekarang ini sungguh tidak menguntungkan. Bukan hanya Suma Hui yang tiba-tiba membencinya, akan tetapi juga keluarga Suma agaknya telah menolak pinangan ayah ibunya.

“Baiklah, aku akan melanjutkan pengejaranku terhadap Jai-hwa Siauw-ok. Aku yakin bahwa dia ada sangkut-pautnya dengan sikap Suma Hui terhadap diriku. Sampai jumpa, Louw-susiok!”

“Selamat jalan, taihiap!”

Cin Liong berkelebat lenyap dari depan pemuda itu. Sampai lama dia termenung dan berusaha menenteramkan perasaanya yang tadinya terguncang. Jelaslah bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Cin Liong!

“Bagus.... bagus sekali! Engkau telah memperoleh kemajuan hebat dalam kecerdikan. Ha-ha-ha, engkau sungguh membuat aku kagum dan bangga, Tek Ciang!”

Pemuda itu terkejut bukan main melihat munculnya Jai-hwa Siauw-ok secara tiba-tiba itu.
“Ssshhh, locianpwe, jangan ke sini dulu. Bagaimana kalau dia datang kembali?”

“Ha-ha-ha, jangan bodoh. Aku tidak akan sesembrono itu. Sudah kulihat bahwa dia pergi jauh menuju ke kota raja. Ha-ha-ha!”

Legalah hati Tek Ciang dan diapun tertawa.
“Yang belum kuat harus menggunakan kecerdikannya, locianpwe.”

“Tepat. Yang belum kuat, bukan tidak kuat. Engkau akan menjadi orang yang kuat, jauh lebih hebat daripada aku. Aku suka sekali kepandainmu, dan malam ini engkau telah menyelamatkan nyawaku. Ketahuilah, aku bertemu dengan jendral muda itu selagi aku terluka dalam sebuah pertempuran. Maka, aku tidak mungkin dapat melawannya sepenuh tenagaku. Untung engkau mendapat akal yang sebaik itu, mengatakan aku ke kota raja. Mari kita kembali ke dalam kuil dan bicara.”

Mereka berdua kembali ke kuil tua itu dan dengan penerangan dua buah lilin mereka duduk bersila berhadapan. Jai-hwa Siauw-ok membuka bajunya dan ternyata ada bekas luka yang cukup dalam di pundaknya, bekas tusukan pedang. Tek Ciang melihat datuk itu mengobati lukanya.

“Apakah yang telah terjadi, locianpwe? Bagaimana orang sesakti locianpwe sampai terluka?”

Kakek pesolek itu tertawa. Memang merupakan watak kakek cabul ini untuk selalu bergembira dan selalu memandang kehidupan ini dari segi yang menggembirakan. Maka dalam keadaan terluka sekalipun dia masih bisa tertawa gembira.

“Kau kira orang seperti aku ini sudah tidak dapat dilukai atau dikalahkan orang? Ketahuilah, Tek Ciang. Betapapun tingginya gunung masih ada awan yang lebih tinggi lagi. Karena itu, engkau harus belajar sebanyak mungkin. Engkau harus lebih lihai daripada aku, dan hal ini tidak mustahil bagimu yang kini menjadi murid yang akan mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es. Luka ini gara-gara seorang perempuan yang tadinya kusangka perawan tidak tahunya janda genit. Sialan!”

Dia tertawa lagi dan menceritakan betapa di kota Pao-ting, seperti biasa, ketika melihat seorang gadis cantik bersembahyang di kelenteng, hatinya tertarik. Dia membayangi gadis itu sampai ke rumahnya dan pada malam harinya, jai-hwa-cat ini seperti biasa mendatangi rumah itu, melepas dupa asap pembius dan berhasil menculik wanita itu.

Akan tetapi dia ketahuan dan dikepung. Tak disangkanya bahwa pemilik rumah gedung di mana wanita itu tinggal adalah seorang jago pedang yang lihai dari Bu-tong-pai bersama saudara-saudara dan murid-muridnya. Betapapun lihainya, karena memanggul tubuh wanita yang diculiknya, akhirnya dia terkena tusukan dan melarikan diri sambil membawa wanita itu.

“Aku berhasil membawanya keluar kota, ha-ha, dan jerih payahku terbayar, luka di pundakku tak kurasakan ketika aku berdua saja dengannya. Akan tetapi, sialan, ia hanya seorang janda genit yang menjadi selir jago pedang itu. Maka setelah puas kubunuh saja janda itu. Tak tahunya para pengejar tiba dan aku dikeroyok lagi. Untung aku dapat melarikan diri membawa luka.”

Wajah Tek Ciang berseri dan matanya bersinar-sinar ketika dia mendengar cerita datuk itu tentang penculikan wanita dan pemerkosaan korbannya. Dia membayangkan betapa menyenangkan hal itu.

“Lalu locianpwe bertemu dengan Cin Liong?”

Kakek itu mengangguk dan menyumpah.
“Memang aku sedang sialan! Dalam perjalanan menuju ke Thian-cin karena aku ingin beristirahat dan minta bantuanmu karena aku sedang terluka, aku bertemu dia dan dia segera menyerangku. Tentu saja payah bagiku untuk dapat melawan sepenuhnya karena lukaku terasa nyeri sekali. Aku melarikan diri dan untung ada engkau yang menyelamatkan aku.”

Kakek itu sudah selesai mengobati luka di pundaknya dengan obat yang selalu dibawa dalam saku jubahnya, lalu dipakainya kembali baju dan jubahnya. Tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan nampak sinar berkilat di bawah cahaya lilin. Tek Ciang terkejut sekali melihat bahwa tangan kiri kakek itu sudah memegang sebatang pisau belati yang berkilau tajam. Akan tetapi dia dapat menguasai dirinya sehingga kelihatan tenang saja.

“Tek Ciang, engkau tahu bahwa kita sudah saling tolong. Aku suka padamu dan aku melihat bahwa kelak engkaulah orang yang dapat mengangkat tinggi namaku. Aku ingin mewariskan ilmu-ilmuku kepadamu.”

Tentu saja Tek Ciang girang sekali dan cepat berlutut.
“Locianpwe maksudkan untuk mengambil saya sebagai murid?”

“Bodoh! Engkau adalah murid Pulau Es! Tidak, bukan murid, melainkan sebagai anakku!”

“Anak....?”

“Ya, di antara kita terdapat kecocokan yang mungkin melebihi kecocokan anak dan ayah. Bagaimana, maukah engkau menjadi anak angkatku dan kelak mewarisi kepandaianku dan melanjutkan kebesaran namaku?”

Tek Ciang maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang datuk sesat yang aneh. Dia memang suka kepada orang ini dan kalau dia menolak, bukan hal aneh kalau orang ini begitu saja membunuhnya dengan pisau itu! Jelas jauh lebih banyak untungnya kalau dia menerima daripada menolak.

“Locianpwe telah begini baik kepadaku, bagaimana aku berani menolak?”

“Engkau mau? Mau menjadi puteraku?”

“Tentu saja aku mau.”

“Bagus! Hayo kau sebut ayah padaku!”

“Ayah!”

“Ha-ha-ha!”

Jai-hwa Siauw-ok tertawa bergelak, merangkul pemuda yang sedang berlutut itu dan menciumi pipinya dan suara ketawanya kini berobah menjadi setengah menangis! Menangis saking girangnya. Lalu tertawa lagi sehingga diam-diam Tok Ciang mengkirik serem.

“Ha-ha-ha, selamanya aku tidak bisa mempunyai keturunan, karena itu aku tidak mau beristeri. Tapi tanpa isteri kini aku punya anak, sudah sebesar engkau, setampan dan secerdik engkau. Hati siapa takkan girang? Ke sinikan lenganmu!”

Tek Ciang menjulurkan lengan kirinya. Kakek pesolek itu menangkap lengan itu dan menyingsingkan lengan bajunya, juga dia sudah menyingsingkan lengan baju tangan kirinya, kemudian secepat kilat pisaunya menyambar.

Tek Ciang terkejut akan tetapi pemuda yang cerdik ini maklum bahwa andaikata datuk itu hendak membunuhnya sekalipun, dia tidak akan mampu melarikan diri, maka diapun pasrah dan sedikitpun tidak nampak takut. Hal ini agaknya menggirangkan hati Jai-hwa Siauw-ok dan ujung pisaunya sudah menggurat permukaan lengan Tek Ciang. Terasa perih sedikit dan nampaklah darah menitik keluar lengan. Lengan kiri Jai-hwa Siauw-ok sendiripun sudah luka tergores dan berdarah pula.

Datuk sesat itu lalu menempelkan bagian lengannya yang terluka dan berdarah itu pada lengan Tek Ciang yang berdarah sehingga darah yang menetes-netes keluar dari luka lengan mereka itu bercampur dan ketika kakek itu mengangkat kembali lengan kirinya, darah yang sudah bercampur itu sebagian melekat di lengannya dan sebagian melekat di lengan Tek Ciang. Dia lalu mengisap dan menjilati darah di lengannya itu.

“Hayo minum darah di lenganmu itu!” katanya.

Tek Ciang mencontoh perbuatan ayah angkatnya, mengisap dan menjilati, menelan darah yang berlepotan di lengannya sampai bersih.

“Ha-ha-ha, kita sekarang sudah sedarah, bukan? Engkau anakku dan aku ayahmu. Mulai sekarang, engkau akan kulatih dengan diam-diam sehingga kelak engkau akan mewarisi semua ilmu-ilmuku.”

Demikianlah, mulai saat itu, Tek Ciang memperoleh pengganti ayah dan juga guru. Tentu saja dia menjadi semakin lihai. Akan tetapi dengan amat cerdiknya, pemuda ini dapat merahasiakan semua ilmu yang diperolehnya dari ayah angkatnya sehingga Suma Kian Lee dan isterinya yang cerdik itupun sama sekali tidak pernah menduganya.

**** 040 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar