FB

FB


Ads

Senin, 05 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 038

“Sudahlah, Hui-ji. Tahan air matamu dan bersikaplah gagah....” Kim Hwee Li mencoba untuk menghibur hati puterinya.

Suma Hui mengangkat muka memandang kepada ibunya. Wajahnya pucat dan basah air mata, sepasang matanya merah membendul karena tangis. Hati ibu ini hancur rasanya. Belum pernah puterinya yang keras hati ini menangis seperti ini. Ciang Bun lebih sering menangis daripada encinya di waktu kecil. Bahkan diam-diam ia sering merasa heran mengapa puterinya berhati baja seperti seorang jantan sedangkan puteranya bahkan berhati lembut.

“Ibu.... ibu.... rasanya aku ingin mati saja....”

Mendengar ini, Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bertangisan. Baru sekarang Hwee Li benar-benar menangis karena iapun dapat merasakan betapa hancur hati puterinya karena kehilangan keperawanannya, apalagi kalau diingat bahwa yang menodainya itu adalah pria yang dicintanya!

“Aku tahu betapa hancur hatimu, anakku. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita gagah, tidak semestinya kalau orang-orang seperti kita ini menghadapi sesuatu dengan tangis. Betapapun besar malapetaka itu, harus kita hadapi dengan gagah! Masih ada pedang kita untuk dapat menebus semua penghinaan yang dilakukan orang atas diri kita, bukan?”

Ucapan ini membangkitkan semangat Suma Hui. Ia bangkit duduk dan menyusut air matanya. Hwee Li membereskan rambut kepala anaknya yang kacau dan kusut. Setelah kedukaan dan keharuan hati mereka mereda, dengan halus Hwee Li lalu berkata,

“Sekarang coba kau ceritakan kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi, agar aku dapat ikut memikirkan.”

Suma Hui lalu menceritakan semua yang telah dialaminya pada malam jahanam itu. Karena kini yang mendengarkannya hanya ibunya, ia lebih berani bercerita dengan jelas.

Tentu saja Hwee Li mendengarkan dengan muka merah karena marahnya, dan beberapa kali wanita ini mengepal kedua tinju tangannya dan mengeluarkan suara kutukan perlahan. Setelah puterinya selesai bercerita, ia bertanya.

“Begitu gelapkah cuaca malam itu dalam kamar sehingga engkau tidak mengenali wajahnya?”

“Selain gelap sekali, juga kepalaku masih pening oleh pengaruh obat bius itu, ibu.”

“Asap yang berbau harum seperti hio?”

“Benar.”

“Itulah dupa harum pembius yang biasa dipergunakan kaum jai-hwa-cat! Sungguh heran sekali bagaimana seorang jenderal muda seperti Cin Liong itu dapat berobah menjadi seorang jai-hwa-cat! Padahal, kalau dia menghendaki, wanita manapun kiranya akan bisa dia dapatkan!”

“Mungkin itu suatu penyakit, ibu! Jahanam itu bukan hanya menodai tubuhku, akan tetapi juga menodai cintaku, menghancurkan kebahagiaan hidupku!”

“Tapi, bagaimana engkau bisa begitu yakin bahwa orang itu adalah Cin Liong?”

“Mana aku bisa salah, ibu. Suaranya sudah kukenal baik, dan bisikan-bisikannya ketika merayu.... ah, ibu.... sungguh dia bukan manusia....” Gadis itu mengusap kedua matanya yang menjadi basah kembali. “Aku.... aku mencintanya, dan diapun kelihatan begitu cinta padaku...., akan tetapi, mengapa dia melakukan perbuatan keji itu terhadapku? Mengapa....? Mengapa, ibu....?” Gadis itu menangis lagi.

Kim Hwee Li hanya duduk bengong terlongong, bingung tak tahu harus menjawab bagaimana. Akan tetapi otaknya bekerja mencari jalan keluar yang baik bagi puterinya yang tertimpa malapetaka itu. Ia tahu bahwa kalau tidak dicarikan jalan yang terbaik, peristiwa ini akan menjadi luka batin yang takkan dapat disembuhkan lagi.

Tiba-tiba ia mendapatkan akal yang dianggapnya cukup baik. Ia sendiri pernah menjadi puteri seorang datuk sesat, biarpun hanya puteri angkat dan iapun pernah menjadi seorang tokoh sesat yang kejam dan liar, bahkan tidak memperdulikan sama sekali apa artinya kegagahan atau jiwa pendekar. Ia baru berobah betul-betul setelah bertemu dengan Suma Kian Lee yang kini menjadi suaminya (baca KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI).

Apa yang dilakukan oleh Cin Liong itu memang jahat sekali, akan tetapi, bukankah perbuatan itu mungkin mempunyai suatu dasar yang ia tidak mengerti? Apakah dengan perbuatannya itu lalu Cin Liong dianggap seorang manusia yang tidak dapat menjadi baik kembali? Dan mereka saling mencinta! Setelah kini Cin Liong menggauli puterinya dengan paksa, maka jalan satu-satunya hanyalah merangkapkan mereka berdua menjadi suami isteri!

“Anakku, dengarkan baik-baik. Hanya satu jalan untuk menebus penghinaan dan aib yang menimpa dirimu dan keluarga kita, Hui-ji.”

“Aku tahu, ibu! Hanya darah keparat itulah yang mampu mencuci bersih noda ini dan hanya nyawanya sajalah yang mampu menebus penghinaan ini!”

“Bukan, ada jalan yang lebih baik lagi, anakku. Dengar, bukankah engkau amat mencintanya?”

“Itu dulu sebelum....”

“Dan diapun mencintamu....?”

“Aku tidak percaya lagi! Kalau dia mencinta, tak mungkin dia melakukan....”

“Perbuatannya itu tentu terdorong oleh sesuatu, anakku. Akan tetapi, apapun yang mendorongnya, hal itu sudah terjadi dan satu-satunya jalan untuk membersihkan namamu dan nama keluarga kita hanyalah kalau engkau menjadi isteri Cin Liong....”

“Tidak....! Tidak....!”

“Mengapa tidak? Dengar, aku akan memaksa pihak keluarga Kao untuk menerimamu sebagai mantunya. Kalau mereka menolak, aku akan mengamuk dan menganggap mereka semua sehagai musuh besar dan aku akan menyatakan perang antara keluarga Suma dan keluarga Kao! Cin Liong hanya dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan menikahimu....”






“Tidak....! Sekali lagi tidak, ibu. Lebih baik mati bagiku daripada harus menjadi isteri seorang jahanam keparat yang telah memperkosaku! Tanggung jawab jahanam itu hanyalah kematiannya. Cintaku sudah hancur dan berobah benci oleh perbuatannya yang keji itu!”

“Tapi, ini demi membersihkan noda dan aib yang menimpa dirimu! Demi membersihkan nama keluarga kita.”

“Tidak, aku harus mencarinya dan aku akan membunuhnya. Setelah itu, akupun tidak mau lagi hidup lebih lama di dunia ini.”

“Jangan bodoh. Kepandaiannya amat tinggi, engkau bukan lawannya!”

“Kalau begitu, biar aku mati di tangannya. Diapun sudah membunuhku sekarang ini, membunuh cintaku, membunuh kebahagiaanku, membunuh harapanku....!”

“Hui-ji! Jangan putus asa seperti itu, anakku....!”

Kim Hwee Li merangkul dan hatinya berduka sekali. Akan tetapi ia maklum bahwa dalam keadaan yang masih panas ini, akan sukarlah membujuk hati Suma Hui. Ia harus bersabar menanti sampai beberapa lama. Mungkin kalau kemarahan anak itu sudah mereda dan kepalanya sudah agak dingin, ia akan mau mengerti dan dapat diajak berunding mengenai masalah yang mereka hadapi.

Manusia telah kehilangan cinta kasih di dalam hidupnya. Seperti cinta Suma Hui terhadap Cin Liong, dalam seketika dapat saja berobah menjadi kebencian yang amat mendalam, kebencian yang hanya akan terpuaskan kalau ia dapat membunuh orang yang dibencinya. Tanpa kita sadari, kita sekarangpun hanya memiliki cinta yang macam ini saja.

Kita mencinta seseorang, tanpa kita sadari bahwa cinta kita itu sesungguhnya hanya merupakan jual beli saja. Kita mencinta seseorang karena ada sesuatu pada orang itu yang menyenangkan hati kita. Karena wajahnya mungkin. Karena hartanya. Karena sikapnya yang manis. Karena pandainya. Karena namanya, kedudukannya atau lain hal lagi.

Pendeknya, kita mencinta karena sesuatu yang ada pada dirinya, sesuatu yang menyenangkan kita. Jadi, bukan ORANGNYA yang kita cinta, melainkan sesuatu pada dirinya yang menyenangkan kita itulah. Karena itu, apabila sesuatu yang menyenangkan itu berobah atau hilang, cinta kitapun luntur dan berobah menjadi benci! Karena kalau tadinya kita DISENANGKAN, kini kita merasa DISUSAHKAN.

Suma Hui tadinya cinta setengah mati kepada Cin Liong karena di samping segala segi baiknya, juga kebaikan pemuda itu menyenangkan hatinya. Kemudian, karena merasa bahwa pemuda itu memperkosanya, menghinanya, kebaikan itu baginya berobah menjadi keburukan dan kalau tadinya disenangkan, kini ia merasa disusahkan dan karena itu, cintanya yang setengah mati itupun berobah menjadi benci setengah mati!

Yang beginikah cinta kasih? Ataukah ini bukan hanya sekedar cinta berahi saja, atau keinginan memiliki sesuatu yang menyenangkan? Di luar kesadaran kita, kita sendiripun menjadi pencinta-pencinta seperti ini! Kalau kita mau mendiamkan pikiran yang sibuk ini dan merenung, mengamati “cinta” kita terhadap orang-orang yang kita cinta, isteri, suami, pacar, sahabat dan sebagainya, maka akan nampak nyata betapa “mengerikan” wajah dari cinta kita itu.

Sesungguhnyalah, kalau yang kita cinta itu orangnya, maka kita tentu akan mampu menerima orang itu dengan segala baik buruknya, segala cacat celanya, segala kelebihan dan kekurangannya, bukan? Cinta kasih itu sesuatu yang indah, tanpa ukuran, tidak membandingkan, tanpa pamrih, wajar, tanpa hari kemarin atau hari esok. Cinta kasih itu sekarang, saat ini, karenanya langgeng.

Ketika Kim Hwee Li mengajukan pendapatnya agar Suma Hui dijodohkan saja dengan Cin Liong untuk menebus aib yang menimpa keluarga mereka itu, Suma Kian Lee termenung dan mukanya menjadi merah, alisnya berkerut. Sampai lama dia tidak bicara dan dia memikirkan pendapat isterinya itu dengan hati yang tidak karuan rasanya.

Kenyataan bahwa Cin Liong adalah keponakan dari Suma Hui saja sudah membuatnya tidak setuju dan menentang perjodohan itu, apalagi setelah Cin Liong melakukan perbuatan yang demikian keji terhadap Suma Hui. Akan tetapi, pendapat isterinya itu harus diakuinya sebagai jalan keluar yang satu-satunya dan yang terbaik. Kalau Suma Hui menjadi isteri Cin Liong, berarti penghinaan itupun tertebus dan aibpun terhapus.

Hanya satu hal saja yang memberatkan, yaitu bahwa Suma Hui menikah dengan keponakan sendiri. Akan tetapi kalau tidak begitu, puterinya itu akan menderita selama hidupnya sebagai seorang gadis yang ternoda, dan nama keluarga mereka akan tercemar, sedangkan keluarganya sudah pasti akan berhadapan dengan keluarga Kao sebagai musuh besar yang dia sendiri merasa ngeri membayangkan akibatnya kelak.

Akan tetapi, masih ada satu jalan lain lagi. Kalau Tek Ciang mau menerima Suma Hui, biarpun gadis itu sudah ternoda! Tentu lebih baik lagi kalau begitu. Aib itu terhapus dan diapun tidak usah malu mendapatkan seorang cucu keponakan sebagai mantu! Dan tentang dendam itu, tentu saja tidak boleh dibiarkan berlalu tanpa balas.

“Pendapatmu itu baik sekali, akan tetapi hanya merupakan jalan ke dua. Aku masih mempunyai jalan pertama yang lebih baik, yaitu mengawinkan anak kita dengan Tek Ciang. Ingat, dialah tunangan anak kita yang sebenarnya.”

“Tapi....!” Isterinya membantah dengan kaget. “Mana mungkin itu terjadi setelah....? Apakah dia perlu diberitahu tentang aib itu? Ah, dia tentu menolak dan sebaiknya kalau hal itu tidak diketahui orang lain kecuali keluarga kita sendiri. Kita bisa saja membatalkan pertalian jodoh itu setelah kini ayahnya meninggal.”

Akan tetapi, dengan alis berkerut Suma Kian Lee menggeleng kepalanya.
“Aku tahu bahwa Tek Ciang mempunyai hati yang baik. Dia pasti akan mau mengerti dan akan mau melanjutkan perjodohan itu, apalagi dia telah menjadi muridku yang akan mewarisi ilmu-ilmuku kelak.”

“Apa? Ilmu keluarga kita akan kau wariskan kepada orang lain? Bagaimana dengan Ciang Bun dan Hui-ji?” isterinya bertanya, penasaran.

“Ingat, isteriku. Kalau dia sudah menjadi mantu kita, dia bukan orang lain lagi namanya! Kulihat Ciang Bun tidak memiliki kekerasan hati, dia terlalu lembut bagi seorang pria, dan Hui-ji.... biarlah dia belajar dari suaminya kelak.”

Kim Hwee Li tidak dapat membantah lagi. Dianggapnya percuma saja berbantahan dengan suaminya mengenai persoalan ini, karena iapun mengerti betapa kukuh suaminya memegang peraturan keluarga. Suaminya ini berbeda sekali dengan Suma Kian Bu, yang lebih bebas dan liar, seperti dirinya sendiri dahulu. Akan tetapi ia tidak mengeluh, bahkan watak suaminya itulah yang mampu menundukkannya, mampu menjinakkan keliarannya.

“Terserah kepadamu. Akan tetapi kalau dia menolak?”

“Kalau dia menolak, dia tidak akan mewarisi ilmu-ilmuku, hanya belajar sekedarnya saja, dan barulah kita memperbincangkan usul dan pendapatmu tadi.”

Jawaban ini melegakan hati Hwee Li yang mengharapkan pemuda yang tidak begitu disukanya itu tentu menolak dan suaminya akan terpaksa menerima Cin Liong sebagai mantu. Hal ini bukan berarti bahwa ia sendiri lebih senang memilih Cin Liong sebagai mantu, melainkan karena ia tahu bahwa puterinya tidak mencinta Tek Ciang, melainkan mencinta Cin Liong.

Andaikata puterinya mencinta Tek Ciang, ia sendiri tentu tidak keberatan karena yang tidak disukainya akan diri Tek Ciang hanya sikapnya yang terlalu sopan, terlalu merendah dan terlalu kelihatan baik itulah.

“Sekarang juga kita hadapi dia,” kata pula Kian Lee dan dia memanggil Tek Ciang untuk datang menghadap.

Suami isteri ini sengaja memilih ruangan dalam untuk mengadakan pembicaraan dengan pemuda itu dan ketika Tek Ciang datang bersama Ciang Bun, Kian Lee segera minta kepada puteranya untuk keluar dari dalam ruangan itu.

“Bun-ji, ayah dan ibumu ingin bicara sesuatu yang penting dengan Tek Ciang, maka biarkanlah kami bertiga sendiri dan larang siapapun juga memasuki ruangan ini tanpa ijin kami,” demikian katanya dengan sikap tegas.

Ciang Bun menoleh sejenak kepada suhengnya, kemudian keluar dari ruangan itu dan segera menemui encinya, yang berada di ruangan belakang.

Dengan jantung berdebar-debar akan tetapi muka tetap tenang dan hormat, Tek Ciang memasuki ruangan itu dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suhu dan subonya.

“Bangkitlah dan duduklah di atas kursi itu, Tek Ciang,” kata Kian Lee sambil menunjuk sebuah kursi di seberang meja.

“Teecu tidak berani....”

“Diperintah guru berani membantah masih mengatakan tidak berani?”

Kim Hwee Li membentak dan pemuda itu terkejut, lalu bangkit dan duduk di atas kursi itu, berhadapan dengan guru-gurunya terhalang meja. Kikuk sekali rasanya duduk semeja dengan gurunya, apalagi dengan ibu gurunya yang galak, yang sekarang menatap wajahnya dengan penuh perhatian dan seperti orang menyelidik.

Kalau saja Hwee Li tahu betapa jantung pemuda tu berdegup keras, tentu ia sendiri akan merasa heran mengapa pemuda ini menjadi begitu gelisah dipanggil menghadap gurunya. Akan tetapi, Tek Ciang memang memiliki keahlian menyembunyikan perasaan hatinya. Wajahnya yang tampan itu nampak tenang saja, penuh rasa hormat.

“Tek Ciang, kami ada urusan penting sekali untuk dibicarakan denganmu.” Kian Lee mulai bicara.

“Teecu siap mendengarkan dan mentaati, suhu,” jawab Tek Ciang dengan sikapnya yang selalu teramat baik itu.

Hwee Li mengerutkan alisnya. Kalau ia yang mempunyai murid seperti ini, tentu sudah dijewernya dan dilarangnya bersikap demikian terlalu amat baik yang berbau kepalsuan itu.

“Begini, Tek Ciang. Sebelum ayahmu meninggal dunia, antara dia dan aku telah ada suatu perjanjian mengenai dirimu. Apakah ayahmu pernah bercerita tentang hal itu kepadamu?”

Tek Ciang tahu betapa kedua orang itu, terutama sekali subonya, memandang kepada wajahnya dengan sinar mata penuh selidik, maka dia menarik muka bodoh seperti orang yang benar-benar tidak tahu-menahu apa-apa dan dia menggeleng kepala.

“Teecu tidak pernah diceritakan apa-apa oleh mendiang ayah, suhu.”

“Bagus! Sudah kuduga bahwa ayahmu tentu akan memegang dan memenuhi janjinya kepadaku. Karena ayahmu meninggal tanpa kita duga sama sekali, sekarang aku terpaksa yang memberitahu kepadamu tentang janji kami itu. Ayahmu dan aku telah mengikatkan perjodohan antara anakku Suma Hui dan engkau, Tek Ciang.”

Berkata demikian, Suma Kian Lee menatap wajah yang tampan itu dan di sampingnya Kim Hwee Li juga memandang dengan penuh perhatian. Demikian pandainya Tek Ciang bersandiwara sehingga dia mampu membuat wajahnya nampak kaget sekali, agak pucat, kemudian berobah merah dan dia menundukkan mukanya, tidak berani memandang kepada suhunya atau subonya! Sungguh seperti seorang perjaka tulen yang masih hijau mendengar dirinya akan dikawinkan!

Melihat ini, Suma Kian Lee bertanya.
“Bagaimana tanggapanmu tentang janji ikatan kami itu, Tek Ciang?”

“Apa.... apa yang dapat teecu katakan, suhu? Apalagi selain rasa terima kasih dan keharuan yang sedalamnya bahwa suhu dan subo sudah begitu baik terhadap diri teecu? Teecu tidak mungkin dapat membalas kebaikan ini dan biarlah kelak pada lain penjelmaan teecu akan menjadi anjing atau kuda peliharaan suhu berdua....”

Kalau tidak ada suaminya di situ, tentu Kim Hwee Li akan tertawa geli mendengar ucapan pemuda ini yang mengingatkan ia akan adegan sandiwara wayang saja! Betapapun juga, diam-diam ia mengagumi pemuda ini yang amat pandai membawa diri dan pandai pula mengatur kata-kata menyenangkan hati orang.

“Jadi engkau setuju menjadi calon jodoh Suma Hui?” tanya pula Kian Lee menegaskan.

Tiba-tiba Tek Ciang menjatuhkan diri berlutut terhadap mereka dan menangis! Kim Hwee Li tadinya sudah hendak menggunakan kepandaian untuk melempar kembali pemuda yang berlutut itu ke atas kursinya, akan tetapi melihat pemuda itu menangis dan bercucuran air mata, iapun tercengang.

“EH, kenapa engkau menangis?” bentaknya heran sedangkan Suma Kian Lee juga memandang dengan heran.

“Teecu.... teecu adalah seorang anak yatim piatu yang tak berguna.... akan tetapi di dunia ini muncul ji-wi suhu dan subo yang begini baik terhadap diri teecu.... ah, teecu tidak dapat menahan keharuan hati teecu....”

Agak terharu juga hati Hwee Li. Apakah selama ini ia terlalu memandang ringan kepada anak ini? Apakah benar-benar anak ini memang merupakan seorang pemuda yang pandai membawa diri, sopan santun, mengenal budi orang dan berhati lembut dan berbudi luhur?

“Tek Ciang, engkau duduklah kembali dan dengarkan kata-kataku lebih lanjut. Belum habis aku bicara dan ada hal-hal yang lebih penting lagi untuk kau dengar selanjutnya.”

Suara Kian Lee terdengar penuh kegelisahan dan pemuda itu menyusut air matanya dan duduk kembali, sambil menundukkan muka. Pipinya masih basah dan matanya agak merah.

“Jadi engkau setuju menjadi calon suami anak kami?” tanya Kian Lee.

“Teecu berterima kasih sekali dan merasa terhormat sekali tentu saja teecu setuju dengan sepenuh hati teecu.”

“Baik, sekarang dengarkan hal yang amat penting. Kami bukanlah orang-orang curang seperti pedagang yang menjual kucing dalam karung. Kami akan bicara sejujurnya dan kemudian terserah kepadamu untuk mengambil keputusan. Kami hanya menghendaki kepastian bahwa kalau engkau menjadi mantu kami, engkau bukannya karena terpaksa melainkan karena suka rela. Mengertikah engkau, Tek Ciang?”

“Teecu mengerti dan siap mendengarkan.”

“Tek Ciang, menurut penuturan Ciang Bun, engkau tahu bahwa sumoimu, atau juga tunanganmu itu, pernah menyerang dan hendak membunuh Cin Liong. Benarkah itu?”

“Benar, suhu. Teecu mencoba melerai namun tidak berhasil.”

“Tahukah engkau mengapa tunanganmu itu menjadi marah, membenci dan hendak membunuh Cin Liong pada pagi hari itu?” tanya pula Kian Lee, suaranya lirih.

“Teecu tidak tahu dan sudah lama teecu bertanya-tanya di hati. Sumoi juga tidak mau memberitahu kepada teecu.”

Suara Suma Kian Lee semakin lirih dan agak gemetar ketika dia bicara lagi,
“Malam itu ada seorang jai-hwa-cat memasuki kamar sumoimu dan jai-hwa-cat itu ternyata adalah Kao Cin Liong dan....”

“Ahhh....!” Pemuda itu terbelalak, mukanya pucat.

“....dan.... dan sumoimu terkena asap pembius dan.... sumoimu diperkosa olehnya....”

“Tidak....! Jahanam itu....! Keparat keji itu....! Teecu bersumpah akan membunuhnya kalau teecu ada kemampuan!”

Kini Tek Ciang bangkit berdiri, mukanya merah sekali penuh geram, matanya mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangannya dikepal kuat-kuat. Kim Hwee Li melihat ini semua dan Suma Kian Lee juga.

“Tenang dan duduklah, Tek Ciang. Bukan itu yang penting bagi kami,” kata pendekar sakti itu.

“Maaf, suhu....”

Tek Ciang lemas kembali dan duduk, mukanya masih keruh dan bengis membayangkan kebencian yang mendalam.

“Tek Ciang, setelah engkau mengetahui bahwa sumoimu, tunanganmu itu kini telah ternoda, apakah.... apakah engkau masih mau untuk melanjutkan ikatan perjodohan ini? Apakah engkau masih mau menerima Suma Hui menjadi calon isterimu?”

Di dalam suara pendekar itu terkandung kegelisahan yang membuat hati isterinya terharu. Hwee Li tahu bahwa kalau pemuda ini menolak, suaminya tidak akan dapat berbuat sesuatu dan tentu suaminya akan mengalami kehancuran hati yang hebat. Maka, biarpun tadinya ia ingin pemuda ini menolak saja agar ia dapat mengusahakan perjodohan antara putrinya dan Cin Liong, kini hatinya bercabang.

Kalau pemuda ini nenolak, perasaan suaminya akan hancur dan ia sendiri akan ikut merasa berduka. Sebaliknya kalau pemuda ini menerima, ia akan ikut membujuk Suma Hui agar mau menjadi calon isteri Tek Ciang. Tidak ada jalan lain yang lebih baik!

Hening sejenak, kemudian terdengar suara Tek Ciang, lantang dan tegas,
“Kenapa teecu tidak mau, suhu? Kejadian terkutuk itu bukanlah kesalahan sumoi, melainkan kesalahan manusia terkutuk itu. Tentu saja teecu mau melanjutkan ikatan perjodohan ini dan mau menerima sumoi sebagai calon isteri teecu.”

Wajah Suma Kian Lee yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri dan diam-diam Hwee Li juga merasa terharu. Pemuda ini memang benar-benar tidak mengecewakan! Pemuda yang berhati lapang, berpemandangan luas dan bijaksana. Ya, bijaksana! Jarang ada pemuda seperti ini.

“Terima kasih, Tek Ciang! Engkaulah yang telah dapat menerangkan persoalan yang mengeruhkan hati kami sekeluarga. Engkaulah yang telah menjadi penolong kami dan menghapuskan aib dari nama kami. Engkau tidak akan menyesal, Tek Ciang, karena dengan demikian, aku telah menentukan sejak saat ini bahwa kelak engkau yang akan mewarisi ilmu keluarga kami!”

Ucapan Suma Kian Lee keluar dari hati yang setulusnya dan Tek Ciang kelihatan gembira sekali, lalu pemuda ini kembali menjatuhkan dirinya berlutut.

“Terima kasih, suhu, terima kasih!”

Hwee Li kini tidak lagi ingin melempar pemuda itu ke kursinya. Ia malah bangkit dan menyentuh pundak pemuda itu.

“Anak bodoh, apakah engkau masih juga menyebut suhu kepada ayah mertuamu?”

“Tek Ciang, bangkit dan duduklah kembali,” kata Suma Kan Lee.

Tek Ciang bangkit dan duduk, mukanya merah karena malu mendengar ucapan subonya tadi, malu akan tetapi girang. Subonya yang biasanya bersikap galak itupun kini bersikap manis kepadanya!

“Suhu dan subo, teecu belum berani lancang merobah sebutan sebelum teecu yakin betul bahwa sumoi akan.... akan mau.... menjadi....” Dia tidak melanjutkan dan menundukkan mukanya kembali.

Hwee Li saling pandang dengan suaminya dan ucapan pemuda itu seperti mengingatkan dan menyadarkan mereka! Sungguh mereka hampir lupa bahwa orang yang bersangkutan bahkan belum tahu. Bagaimana mereka dapat memastikan kalau Suma Hui belum diberi tahu dan belum ditanya pendapatnya? Membayangkan kemungkinan puterinya menolak, Suma Kian Lee sudah marah.

Anak perempuan itu sungguh mendatangkan banyak pusing saja. Petama jatuh cinta kepada keponakan sendiri, ke dua peristiwa perkosaan itu, dan kalau sampai sekarang menggagalkan segala-galanya dengan menolak perjodohannya dengan Tek Ciang, dia sendiri tidak tahu apa yang akan dilakukannya.

“Panggil dia ke sini sekarang juga!” katanya memerintah kepada Tek Ciang.

“Baik, suhu.”

Pemuda itu lalu keluar dengan cepat mencari Suma Hui. Dia mendapatkan sumoinya itu sedang duduk di ruangan belakang bercakap-cakap dengan Ciang Bun.

“Sumoi, suhu memanggilmu agar menghadap sekarang juga,” katanya dengan sikap halus seperti biasa, sama sekali tidak memperlihatkan perobahan sehingga Suma Hui tidak mencurigai sesuatu.

“Ada urusan apakah ayah memanggilku, suheng?”

“Suhu tidak memberitahu, hanya minta sumoi datang menghadap sekarang juga. Suhu dan subo menanti di ruangan dalam,” jawab Tek Ciang dengan suara biasa.

Suma Hui saling bertukar pandang dengan adiknya, mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu bersama Tek Ciang masuk ke dalam. Tadi ia sudah mendengar dari Ciang Bun bahwa ayah ibunya berada di dalam ruangan dalam bertiga saja dengan Tek Ciang, agaknya hendak membicarakan sesuatu yang amat penting sehingga ayahnya memerintahkan Ciang Bun untuk keluar dan tidak memperkenankan siapa pun juga masuk tanpa ijin.

Selain itu, Ciang Bun juga menceritakan kepadanya tentang cerita Tek Ciang kepada adiknya itu dan dia dapat melihat bahwa suheng-nya itu memang baik sekali. Dan kini suheng-nya disuruh memanggilnya menghadap orang tuanya!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar