FB

FB


Ads

Senin, 05 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 033

Malam itu Suma Hui tidak dapat tidur, gelisah saja di atas pembaringannya. Ia memerintahkan pelayan rumah untuk menutup semua pintu dan jendela setelah kekasihnya pergi dan setelah membersihkan diri, iapun memasuki kamarnya. Ia tahu bahwa suhengnya tidak ada, seperti katanya tadi ketika makan bersama, suhengnya itu akan melanjutkan usahanya mencari jejak jai-hwa-cat. Juga kekasihnya akan ikut membantu dalam pengusutan dan pencarian jejak penjahat itu. Akan tetapi ia sendiri tidak perduli. Hati dan pikirannya sudah penuh dengan masalahnya sendiri, penuh dengan kekhawatiran bahwa ayahnya akan menentang perjodohannya.

Akhirnya pikiran yang sibuk itu membuatnya lelah dan mulailah dara itu terlelap. Lapat-lapat ia seperti mendengar suara suhengnya perlahan-lahan bicara dengan pelayan di belakang. Suhengnya sudah pulang agaknya, demikian pikirannya yang terakhir. Lalu ia mencium bau harum yang aneh. Sejenak ia terlena dan bau harum itu membuat ia sadar dan curiga akan bau harum ini. Cepat ia membuka mata dan bangkit.

Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa kepalanya pening begitu ia membuka mata dan bangkit. Pada saat itu, sesosok bayangan yang amat ringan gerakannya meloncat masuk kamar melalui jendela yang dipaksanya terbuka dari luar.

Biarpun kepalanya pening, akan tetapi kewaspadaan seorang pendekar silat masih ada pada Suma Hui, membuat dara ini cepat membalikkan tubuh dan siap menghadapi lawan.

Akan tetapi orang itu ternyata lihai bukan main, sekali mengulur tangannya dia telah mengirim totokan-totokan secara beruntun. Suma Hui mencoba untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi tetap saja pundaknya terkena totokan, disusul totokan pada lehernya yang membuat ia tiba-tiba menjadi lemas dan tak dapat mengeluarkan suara.

Dalam keadaan lemas dan setengah terbius, juga dalam cuaca dalam kamar yang remang-remang, ia tidak mengenal orang ini, hanya melihat bentuk tubuh seorang pria yang bertubuh sedang dan tegap.

“Cin.... Cin Liong....”

Hatinya berbisik karena ia tidak mampu bersuara setelah urat gagunya tertotok. Karena ia kini direbahkan dengan muka menghadap ke dinding dalam keadaan miring, ia tidak melihat apa yang dilakukan oleh orang yang menotoknya itu.

Hatinya penuh dengan keheranan dan juga kemarahan. Orang itu bentuk tubuhnya seperti Cin Liong dan melihat kelihaiannya, agaknya pantaslah kalau ia menduga orang itu kekasihnya. Akan tetapi, mungkinkah Cin Liong melakukan hal aneh ini? Ia tidak tahu bahwa orang itu berkelebat keluar dari lubang jendela.

Waktu rasanya berjalan amat lambat bagi Suma Hui yang tidak mampu bergerak itu. Bau harum masih memasuki hidungnya dan kepalanya terasa semakin berat dan mengantuk, tubuhnya tak dapat digerakkan dalam keadaan lemas seperti orang tidur dan iapun tidak mampu membuka mulut. Asap harum yang mengandung obat bius itu makin menguasainya, membuat pandang matanya semakin suram.

Tiba-tiba ia menjadi kaget setengah mati ketika merasa betapa sepasang lengan memeluknya. Ia berusaha membuka mata melihat, akan tetapi cuaca terlalu gelap dan pandang matanya juga sudah kabur. Ia hanya merasa ada orang yang memeluknya ketat, lalu ada orang yang menciumi mukanya, menciumi bibirnya. Ia hanya mendengar desahnya napas memburu, lalu mendengar bisikan-bisikan lembut.

“Hui-moi.... aku cinta padamu.... aku cinta padamu....”

Cin Liong! Demikian hatinya berteriak. Akan tetapi ia merasa betapa pikirannya pusing, dunia seperti berputar dan kiamat rasanya ketika ia merasa betapa jari-jari tangan meraba dan membelainya, membuka pakaiannya.

“Tidak....! Tidak....! Jangaaaannn....!”

Hatinya menjerit-jerit akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Ingin ia menjerit, ingin ia meronta dan mengamuk, ingin ia menangis. Akan tetapi hanya air matanya saja yang menetes-netes dalam tangis tanpa suara.

“Hui-moi.... engkau calon isteriku....”

Demikian suara itu berbisik-bisik dan selanjutnya Suma Hui bergidik ngeri merasakan apa yang akan menimpa dirinya dan pada saat terakhir, iapun tidak ingat apa-apa lagi, tak sadarkan diri karena tidak dapat menahan guncangan batin yang terjadi melihat kenyataan bahwa dirinya diperkosa oleh orang yang dicintanya tanpa mampu mencegah, melawan atau bahkan berteriak.

Ketika ia siuman kembali, Suma Hui masih belum mampu menggerakkan tubuhnya. Hancur luluh rasa hatinya, dunianya seperti kiamat. Ia dapat merasakan apa yang telah menimpa dirinya, malapetaka terbesar bagi seorang wanita, terutama bagi seorang gadis.

Aib telah menimpa dirinya, aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawa, dicuci dengan darah. Yang membuat ia merasa semakin sedih adalah kenyataan bahwa yang melakukan hal itu adalah Cin Liong, pria yang dikasihinya, yang dicintanya, calon suaminya, calon ayah dari anak-anaknya! Cin Liong telah memperkosanya! Padahal, tanpa diperkosa sekalipun, kalau waktunya telah tiba, ia akan menyerahkan segala-galanya kepada pemuda itu. Akan tetapi, Cin Liong telah merusaknya, menghancurkan kebahagiaannya dengan perbuatannya yang keji dan hina!

“Ya Tuhan....!”

Dalam hatinya Suma Hui mengeluh dan merintih. Ia teringat kepada ayah ibunya dan kembali air matanya bercucuran. Gadis ini biasanya keras hati dan tidak mudah baginya mengucurkan air mata, akan tetapi sekali ini, dirinya telah tertimpa malapetaka yang amat hebat, yang lebih berat daripada kematian sendiri.

Ia lalu teringat bahwa dalam keadaan tertotok, ia harus dapat menenteramkan batinnya agar dapat membuka jalan darah melalui kekuatan Swat-im Sin-kang. Dengan segala kekuatan dan kemauan yang ada, iapun lalu memejamkan matanya, mengheningkan cipta.

Perlahan-lahan, setelah ia dapat melupakan segala peristiwa yang menimpanya, ia mulai merasakan gerakan hawa dalam tian-tan di pusarnya. Ia membiarkan hawa itu bergerak perlahan, makin lama makin cepat dan makin terasa kekuatannya, Dengan kemauannya yang membaja, akhirnya ia dapat menggerakkan hawa itu naik, membuka jalan darah yang masih dipengaruhi totokan.






Dapat juga ia membebaskan diri dari totokan sebelum waktunya. Akan tetapi, karena pengaruh obat bius masih membuat kepalanya pening, iapun dengan hati-hati bangkit berdiri, turun dari pembaringan dan bersila di atas lantai dekat jendela yang dibukanya, lalu menghadap keluar dan membersihkan diri melalui pernapasan, mengumpulkan hawa pagi yang murni.

Malam telah hampir terganti pagi ketika akhirnya ia sadar sama sekali dan bebas dari pengaruh obat bius. Mulailah dia meneliti dirinya dan ia mengepal tinju dengan kemarahan memuncak ketika melihat betapa sebagian pakaiannya bernoda darah. Tanpa melihat tanda inipun ia sudah tahu apa yang menimpa dirinya, yaitu bahwa ia telah diperkosa orang, atau lebih tepat lagi, diperkosa Cin Liong ketika ia tak sadar.

Dengan menahan tangis ia lalu berganti pakaian, akan tetapi makin lama, kemarahan makin memuncak dan menusuk-nusuk hatinya seperti jarum beracun. Makin panaslah ia dan tanpa disadarinya ia lalu mengamuk! Meja kursi dipukuli dan ditendanginya, kasur dirobek dan diawut-awut dan mulutnya memaki-maki.

“Jahanam! Keparat bedebah engkau! Manusia laknat, aku bersumpah untuk membunuhmu, memusuhimu sampai tujuh turunan!”

Terdengar suara hiruk-pikuk yang mengejutkan dari dalam kamarnya, membuat pelayan dan Tek Ciang datang berlari-larian.

“Brakkkk!”

Kini daun pintu kamar itu pecah tertendang oleh Suma Hui, hampir saja menimpa Tek Ciang dan si pelayan yang sudah tiba di luar pintu. Untung Tek Ciang bergerak cepat, menarik tangan si pelayan dan meloncat ke belakang ketika daun pintu ambrol. Keduanya berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Suma Hui yang muncul dengan rambut awut-awutan, pakaian kusut dan mata beringas.

“Nona....!” Pelayan itu menjerit kaget.

“Sumoi....! Ada apakah, sumoi? Apakah yang telah terjadi....?” Louw Tek Ciang juga menegur sambil melangkah maju. “Ingatlah, sumoi, ingatlah. Apa yang telah terjadi denganmu, sumoi....?”

Suma Hui yang seperti kesetanan itu, tiba-tiba terbelalak memandang Tek Ciang dan pelayannya. Mendengar suara Tek Ciang yang halus dan penuh perhatian itu, tiba-tiba saja ia memperoleh pelepasan dan gadis itu tidak dapat menahan lagi tangisnya.

“Suheng.... ah, suheng.... hu-hu-huuuhhh....”

Ia terhuyung dan Tek Ciang cepat memegang pundaknya. Karena Tek Ciang merupakan satu-satunya orang yang dekat dengannya, Suma Hui lalu menangis mengguguk dan menjatuhkan dirinya dalam pelukan pemuda itu, menangis sambil menyandarkan muka di dada Tek Ciang. Pemuda ini mengelus kepala Suma Hui sambil menghiburnya dengan kata-kata yang tenang dan ramah.

“Sumoi, segala hal dapat diurus dengan baik. Tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi dengan ketenangan dan kebijaksanaan. Sumoi, apakah yang telah terjadi....”

Akan tetapi, Suma Hui makin mengguguk dalam tangisnya sehingga Tek Ciang membiarkannya saja, malah berkata halus,

“Menangislah, sumoi. Menangislah sepuasmu kalau tangis dapat meringankan hatimu, sumoi....”

Dan memang tangis saja yang dapat meringankan hati yang sedang sesak oleh kedukaan bercampur kemarahan. Setelah menangis terisak-isak dan menumpahkan banyak air mata, Suma Hui dapat menguasai dirinya lagi. Tentu saja ia tidak mau menceritakan malapetaka apa yang menimpa dirinya. Ia melepaskan diri dari pelukan Tek Ciang, memandang kepada suhengnya itu dengan berterima kasih.

“Maafkan kelemahanku, suheng....”

“Sumoi, engkau sungguh membuat aku terkejut dan khawatir sekali. Apakah yang telah terjadi? Kenapa engkau mengamuk?” Dia memandang ke dalam kamar yang kalang-kabut itu. “Nampaknya seperti ada perkelahian di dalam kamarmu. Engkau berkelahi dengan siapakah?”

Suma Hui menggeleng kepalanya.
“Aku sendiri tidak tahu dia siapa. Tapi, suheng, apakah semalam engkau tidak mendengar apa-apa dan tidak melihat orang memasuki rumah kita?”

Tek Ciang menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut.
“Aku baru pulang menjelang pagi, bahkan belum dapat tidur ketika tiba-tiba mendengar suara ribut-ribut dari kamarmu. Semalam aku keliling kota melakukan penyelidikan dan kebetulan sekali aku melihat perkelahian yang amat hebat antara Kao-taihiap dan seorang yang tidak kukenal....”

Seketika perhatian Suma Hui tertarik.
“Dia....? Dia.... berkelahi? Di mana dan siapa lawannya? Bagaimana....?” Pertanyaan-pertanyaan itu diajukan dengan gagap.

“Aku sedang melakukan penyelidikan ke lorong-lorong gelap ketika aku melihat berkelebatnya bayangan orang yang meloncat ke atas genteng. Aku terkejut sekali dan menyelinap ke tempat gelap sambil mengintai. Tiba-tiba aku melihat Kao-taihiap juga meloncat ke atas sambil membentak. Mereka lalu berkelahi di atas genteng, bahkan lalu keduanya meloncat turun dan melanjutkan perkelahian di atas tanah. Orang itu lihai sekali dan agaknya menjadi tandingan yang seimbang dari Kao-taihiap. Keduanya berkelahi tanpa menggunakan senjata. Entah berapa lama dan siapa yang unggul aku tidak dapat mengikuti saking cepatnya mereka bergerak. Akan tetapi akhirnya, lawan Kao-taihiap melarikan diri dikejar oleh Kao-taihiap. Aku berusaha mengejar pula dan mencari-cari, akan tetapi mereka lari terlampau cepat dan aku kehilangan jejak mereka. Aku terus mencari sampai hampir pagi tanpa hasil, kemudian aku pulang.”

Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati tertarik. Siapakah yang berkelahi melawan Cin Liong? Dan apakah sesudah berkelahi itu Cin Liong lalu memasuki kamarnya?

“Apakah engkau tidak melihat bagaimana wajah lawannya itu, suheng? Bagaimana pula bentuk tubuhnya?”

“Keadaannya amat gelap, sukar mengenal wajahnya. Akan tetapi pakaiannya mewah dan agaknya dia setengah tua, tubuhnya sedang....”

“Ah, tentu dia Jai-hwa Siauw-ok!” Suma Hui berseru.

“Mungkin, karena ketika mengejar, Kao-taihiap juga berseru begini : Jai-hwa-cat, jangan lari!”

Suma Hui termenung.
“Mengasolah, suheng. Akupun hendak istirahat....”

“Tapi, sumoi.... apa yang terjadi di sini? Engkau belum menceritakan kepadaku.”

Suma Hui menggeleng kepala.
“Tidak apa-apa. Ada yang memasuki kamarku. Kami berkelahi, akan tetapi dia keburu pergi tanpa aku dapat mengenalinya. Sudahlah, suheng, aku lelah dan hendak istirahat.”

Suma Hui memasuki kamarnya dan mengangkat pintu yang jebol itu, menutupkannya begitu saja.

Sejenak Tek Ciang bengong di depan pintu, lalu mengangkat pundak dan memberi isyarat kepada pelayan yang juga ikut bengong itu untuk pergi dan membiarkan nona itu beristirahat dalam kamarnya yang awut-awutan.

Suma Hui memandang sekeliling kamarnya. Meja kursi hancur berantakan oleh amukannya. Kasurnya robek awut-awutan. Akan tetapi ia tidak perduli dan ia menjatuhkan badannya ke atas pembaringan kayu yang kasurnya sudah robek-robek itu, memejamkan matanya dan menahan tangisnya. Tidak, tidak ada gunanya lagi menangis, pikir dara yang keras hati ini. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi. Hidupnya sudah berakhir, kebahagiaannya sudah hancur. Ia harus menuntut kepada Cin Liong, ia akan minta pertanggungan jawabnya.

Bagaimanapun juga, ia tidak mungkin dapat mencinta Cin Liong lagi setelah pemuda itu melakukan hal yang demikian kejinya terhadap dirinya. Cintanya sudah lenyap bersama dengan kehormatannya yang direnggut oleh pemuda pujaannya itu. Ah, benarkah bahwa cinta antara bibi dan keponakan seperti ia dan Cin Liong itu dikutuk oleh para leluhur, dikutuk oleh Thian sehingga menimbulkan malapetaka yang begini hebat atas dirinya?

Siapa kalau bukan Cin Liong yang melakukan perbuatan keji itu? Suaranya tak dapat dilupakannya, dan kelihaian pemerkosa itupun menunjukkan bahwa Cin Liong orangnya. Akan tetapi, mengapa Cin Liong mempergunakan asap pembius? Apakah agar tidak dikenal? Tapi, ucapan pemuda itu jelas memperkenalkan dirinya! Apakah dasar dari perbuatan kekasihnya itu? Hanya karena dorongan nafsu berahi? Tak mungkin! Ketika mereka berpelukan semalam sebelum pemuda itu meninggalkannya, iapun dapat merasakan gairah berahi pada diri pemuda itu, namun Cin Liong cepat memisahkan diri.

Cin Liong bukan seorang pemuda hamba nafsu. Ataukah.... Suma Hui membuka matanya ketika teringat akan hal itu, dan ia bangkit duduk, mengepal tinju, apakah pemuda itu melakukan perbuatan keji itu dengan maksud agar ayahnya terpaksa memenuhi tuntutan mereka untuk dapat saling berjodoh? Karena ia sudah dinodai maka ayahnya takkan dapat menolak pinangannya lagi karena aib yang menimpa dirinya takkan dapat tercuci?

“Tidak!” Ia mendesis. “Aku tidak sudi! Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang yang berhati palsu! Noda ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!”

Kemarahannya membuat ia melotot, akan tetapi ia segera membayangkan wajah Cin Liong yang begitu tampan dan sikapnya yang begitu halus dan gagah, dan tak terasa lagi air matanya menetes turun. Sejenak ia membiarkan kekecewaan dan penyesalan menguasai dirinya, akan tetapi kekerasan hatinya segera timbul kembali. Ia bangkit berdiri dan membanting-banting kaki kirinya beberapa kali, kebiasaan yang tidak disadari kalau ia sedang marah.

“Kao Cin Liong keparat busuk! Cintaku sudah hancur dan lenyap dan mulai malam tadi, engkau telah menjadi musuhku sampai tujuh turunan!”

Dan iapun segera membereskan rambut dan pakaiannya, berdandan dengan ringkas, kemudian dengan hati panas seperti dibakar ia melangkah keluar, membawa sepasang pedangnya yang digantungkan di punggung. Hanya satu tujuan memenuhi batinnya, yaitu mencari Cin Liong di rumah penginapan dan membunuhnya kalau mungkin!

“Sumoi....!”

Louw Tek Ciang telah berdiri di depannya. Pemuda itu nampak pucat seperti orang kurang tidur atau orang yang gelisah, akan tetapi tidaklah sepucat Suma Hui dan pemuda itu memandang penuh kegelisahan ke arah punggung sumoinya di mana terdapat sepasang pedang bersilang. Tidak pernah sumoinya pergi meninggalkan rumah membawa-bawa pedang.

“Sumoi, engkau hendak pergi ke manakah sepagi ini? Dan engkau membawa pedang.... mau apakah engkau....?”

Suma Hui mengerutkan alisnya, merasa tidak senang dan terganggu, maka jawabnya dengan suara dingin,

“Suheng, engkau jaga rumah baik-baik dan jangan mencampuri urusanku. Aku mempunyai keperluan dan tak seorangpun boleh mencampuri.” Setelah berkata demikian, ia membalik dan hendak melanjutkan perjalanannya.

“Hui-moi....!”

Suma Hui terperanjat seperti disambar petir, akan tetapi, kemarahannya memuncak mendengar suara Cin Liong dan dengan perlahan ia membalik dan menghadapi pemuda yang baru muncul itu. Melihat wajah pemuda itu juga lesu dan ada tanda-tanda kurang tidur, hati Suma Hui merasa semakin yakin akan kesalahan orang yang tadinya amat dicintanya itu.

“Singggg....!” Nampak sinar berkelebat dan sepasang pedang telah berada di kedua tangan gadis itu.

“Keparat jahanam Kao Cin Liong, rasakan perbalasanku!”

Bentaknya dan dengan kemarahan meluap-luap, Suma Hui sudah menyerang Cin Liong dengan sepasang pedangnya, langsung mempergunakan jurus Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hehat karena ia tahu bahwa yang diserangnya adalah orang yang amat lihai.

“Heiiii....!”

Terkejut sekali Cin Liong melihat serangan itu dan saking kaget dan herannya, terlambat dia mengelak.

“Crottt....!”

Pangkal lengan kirinya terkena serempetan pedang. Agaknya tadinya dia mengira bahwa gadis itu hanya main-main, maka barulah dia sadar bahwa sesungguhnya kekasihnya itu tidak main-main dan serangan yang ditujukan kepadanya tadi adalah serangan maut!

“Hui-moi.... tahan dulu....! Apa dosaku? Apa salahku? Apa yang terjadi? Kenapa engkau menyerangku, memusuhiku....”

“Penghinaan itu hanya dapat dicuci dengan darah dan ditebus dengan nyawamu, manusia hina-dina!”

Dan kini Suma Hui sudah menyerang lagi dengan lebih hebat karena kemarahannya semakin memuncak, seolah-olah melihat darah yang membasahi baju pada pangkal lengan Cin Liong itu mengingatkan ia akan darahnya sendiri dan membuatnya sedih sekali.

“Eh, Hui-moi, nanti dulu....!” Cin Liong menjadi bingung sekali.

“Hyaaaattt.... sing-sing-singgg....!”

Suma Hui menyerang bertubi-tubi, sepasang pedangnya itu menjadi dua sinar bergulung-gulung dan menyambar-nyambar mengarah bagian yang berbahaya dari tubuh Cin Liong. Karena panik dan bingung, hampir saja tubuh Cin Liong terbabat dan gerakannya menjadi kacau sehingga dia hanya mampu melempar tubuh kebelakang, lalu bergulingan dengan cepat.

“Hui-moi, aku menuntut penjelasan....!” teriaknya penasaran. “Apa salahku?” Dia sudah berhasil meloncat dan bangkit berdiri lagi.

Akan tetapi, Suma Hui sudah tidak sudi bicara lagi. Pedangnya menyambar lagi dan ia menyerang dengan jurus-jurus pilihan Siang-mo Kiam-sut yang memang hebat bukan main. Biarpun Cin Liong memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi, namun menghadapi serangan ilmu pedang itu tanpa membalas, tentu saja amat berbahaya. Dia berloncatan dan menyelinap di antara gulungan sinar pedang, beberapa kali nyaris tubuhnya tercium ujung pedang, bahkan ada beberapa bagian ujung pakaiannya yang robek oleh sambaran pedang yang amat tajam itu.

“Hui-moi, kita bicara dulu....!”

“Engkau atau aku yang harus mampus!” bentak Suma Hui dan ia menyerang terus dengan hebat.

“Sumoi.... sumoi.... sabarlah, sumoi....!”

Berkali-kali Tek Ciang juga menasihati sumoinya, akan tetapi dia tidak berani melerai karena dia merasa tidak akan mampu menghadapi permainan pedang yang dahsyat itu.

“Sing-singgg.... wuuutttt....!”

Segumpal rambut kuncir dari Cin Liong terkena sabetan pedang dan rontoklah gumpalan rambutnya ke atas tanah. Pemuda ini terkejut sekali. Beberapa sentimeter lagi selisihnya, nyaris lehernya yang putus. Dia melihat bahwa kekasihnya itu sungguh-sungguh dan bahwa pada saat itu bukan waktunya untuk bicara.

Tentu saja kalau dia mau, dia dapat merobohkan Suma Hui dan membuatnya tidak berdaya lalu mengajaknya bicara, akan tetapi dia mengenal watak keras dari kekasihnya itu sehingga kalau dia merobohkannya, hal itu tentu akan menambah gawatnya keadaan karena tentu gadis itu akan menjadi semakin marah. Jalan satu-satunya hanyalah menjauhkan diri dan membiarkan sampai hati gadis itu yang terbakar menjadi agak dingin dan marahnya mereda. Barulah dia akan datang bicara.

“Ah, Hui-moi.... Hui-moi....” keluhnya dan cepat dia meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali lalu berlompatan jauh melarikan diri.

“Jahanam jangan lari!” Suma Hui membentak akan tetapi Cin Liong sudah lari dengan cepatnya.

“Sumoi, jangan kejar....!” Tek Ciang juga berlari mengejar gadis itu.

Karena hari telah pagi dan banyak orang di jalan, tentu saja mereka merasa heran melihat orang-orang muda itu berlarian, apalagi dengan ilmu lari cepat. Suma Hui tidak memperdulikan seruan suhengnya dan ia terus mengejar menuju ke rumah penginapan di mana Cin Liong mondok.

Akan tetapi ketika ia tiba di situ, ternyata Cin Liong sudah lama pergi membawa bekal pakaiannya. Terpaksa Suma Hui membanting-banting kakinya dan menahan tangis, lalu pulang. Di jalan ia bertemu dengan Tek Ciang yang mengejarnya.

“Sumoi, percuma saja engkau mengejar. Kalau ada sesuatu, kalau engkau merasa penasaran kepada Kao-taihiap, laporkan saja kelak kepada suhu. Tentu suhu akan dapat turun tangan. Engkau sendiri kiranya takkan dapat melawan Kao-taihiap yang amat lihai itu.”

Suma Hui hanya mengangguk dan berjalan pulang dengan cepat. Hatinya meradang, marah dan penasaran sekali. Jelas bahwa Cin Liong bersalah, kalau tidak, tentu tidak akan melarikan diri. Keparat itu! Hatinya terasa sakit sekali, lebih nyeri rasanya karena ia tahu benar bahwa ia masih tetap mencinta pemuda itu. Setelah tiba di rumah, Tek Ciang memberanikan diri bertanya,

“Sumoi, sebenarnya apakah yang terjadi? Mengapa sumoi begitu marah dan hendak membunuh Kao-taihiap?”

Suma Hui mengerutkan alisnya, memandang kepada suhengnya lalu berkata,
“Louw-suheng, aku mengharap agar engkau tidak mengajukan pertanyaan itu lagi kepadaku dan tidak menceritakan semua yang terjadi tadi kepada siapapun juga. Kalau suheng melanggar pesanku ini, aku akan marah sekali!”

Setelah berkata demikian, dara itu lalu pergi memasuki kamarnya, meninggalkan Tek Ciang yang memandang bengong.

Semenjak hari itu, Suma Hui jarang bicara, baik terhadap Tek Ciang maupun terhadap pelayan rumah itu. Bahkan jarang ia menemani Tek Ciang makan, dan lebih sering duduk termenung di dalam kamarnya. Karena kurang makan dan kurang tidur, sebentar saja wajahnya menjadi pucat dan tubuhnya menjadi kurus.

Sang pelayan dan Tek Ciang menjadi prihatin sekali akan tetapi mereka tidak berani bicara. Terpaksa Tek Ciang selalu berlatih sendirian saja karena gadis itu sama sekali tidak pernah mau menemaninya latihan lagi.

Beberapa pekan kemudian, ketika Suma Kian Lee dan Kim Hwee Li pulang bersama Suma Ciang Bun, mereka terkejut bukan main melihat Suma Hui yang begitu kurus dan agak pucat. Akan tetapi, begitu melihat adiknya, Suma Hui merangkulnya sambil menangis.

“Bun-te.... ah, Bun-te, syukur engkau selamat....!” katanya sambil merangkul Ciang Bun yang juga merasa terharu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar