FB

FB


Ads

Rabu, 30 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilis 024

Pilihan Suma Kian Lee itu adalah seorang pemuda berusia Sembilan belas tahun, dan bernama Louw Tek Ciang. Pemuda ini cukup tampan, bahkan kelihatan menarik karena kulit mukanya yang putih bersih. Matanya tajam membayangkan kecerdikan, mulutnya selalu tersenyum dan sikapnya ramah. Biar pun tubuhnya agak pendek, namun tegap dan gagah, apalagi karena pemuda ini selalu berpakaian yang bagus-bagus dan agak pesolek.

Ayahnya bernama Louw Kan atau terkenal di kota Thian-cin sebagai Louw-kauwsu (guru silat Louw) karena kakek berusia lima puluh tahun yang sudah menduda ini membuka sebuah perguruan silat yang diberi nama Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) di mana dia mengajarkan ilmu silat cabang Siauw-lim-pai dengan memungut bayaran.

Semenjak berusia lima tahun, Tek Ciang telah kematian ibunya, dan ayahnya tidak pernah menikah lagi. Dia merupakan anak tunggal yang tentu saja amat dimanja oleh ayahnya. Sejak kecil dia telah digembleng ilmu silat oleh ayahnya sendiri, dan ternyata Tek Ciang memiliki bakat yang amat baik. Di antara murid-murid ayahnya, tidak ada yang dapat menandinginya dalam ilmu silat dan bahkan dia mulai mewakili ayahnya dan membimbing murid-murid ayahnya.

Ketika dia berusia delapan belas tahun, terjadi gejolak batin yang amat hebat dalam diri pemuda ini, tanpa diketahui oleh ayahnya atau pun oleh dirinya sendiri. Ketika itu, untuk ke sekian kalinya, Tek Ciang bertanya kepada ayahnya tentang ibunya.

“Ayah dulu pernah bilang bahwa ada suatu rahasia besar tentang kematian ibu dan jika aku sudah dewasa, baru ayah akan menceritakan rahasia itu. Ayah, aku sangat rindu kepada ibu yang sudah tidak dapat kuingat wajahnya, akan tetapi aku masih ingat bahwa ibu adalah seorang wanita yang cantik. Ceritakanlah, ayah, mengapa ibu mati muda?”

Louw-kauwsu mengerutkan alisnya, dan sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) yang panjang, wajahnya berubah menjadi muram. Kemudian, setelah menghembuskan asap tembakaunya, dia berkata,

“Memang ibumu itu wanita yang amat cantik, paling cantik bagiku di dunia ini dan aku amat mencintainya. Akan tetapi sayang…., batinnya tidaklah secantik wajahnya, hatinya tidak sebersih kulitnya.”

“Kenapa, Ayah?” Tanya Tek Ciang kaget.

“Ia adalah wanita berhati palsu, seorang isteri yang menyeleweng dan menyakitkan hati suaminya, seorang wanita yang gila lelaki.”

“Isteri menyeleweng? Gila lelaki?”

Pemuda itu bertanya bingung mengapa ayahnya yang katanya mencintai isterinya itu kini memakinya dengan kata-kata keji.

“Ya, cintanya terhadap suaminya hanya di mulut saja dan diam-diam dia melakukan penyelewengan, berjinah dengan pria lain. Mula-mula suaminya masih mengampuninya. Akan tetapi penyakit itu tidak dapat sembuh, berulang kali dilakukannya perjinahan itu dengan lelaki demi lelaki. Ia memang gila lelaki sehingga akhirnya, perbuatan yang kotor dan keji itu membuatnya mati terbunuh.”

Tek Ciang mendengarkan dengan muka pucat dan mata terbelalak, dan dia kaget bukan main mendengar ucapan terakhir dari ayahnya itu.

“Terbunuh? Jadi ibu mati terbunuh? Siapa yang membunuhnya, Ayah?”

“Suaminya yang entah berapa kali disakiti batinnya.”

Makin pucat wajah Tek Ciang ketika dia bangkit dari tempat duduknya.
“Jadi…. jadi…. ayah sendiri yang membunuh ibu?”

Louw-kauwsu menarik napas panjang.
“Duduklah, anakku. Memang aku sendiri yang membunuhnya, demi cintaku kepadanya. Karena kalau tidak dibunuh, dia akan terus melakukan hal yang amat tidak sepatutnya itu. Tentu saja bukan tangan ini yang dahulu membunuhnya. Pada penyelewengan terakhir saat tertangkap basah, aku membuatnya berjanji bahwa kalau sekali lagi ia berjinah dan ketahuan, ia akan bunuh diri. Nah, baru beberapa bulan saja, ia telah berjinah lagi dan saat ketahuan olehku, ia lalu membunuh diri, mungkin karena takut atau karena malu. Aku cinta padanya, bahkan aku tidak mau menikah lagi sejak ia meninggal karena aku takut kalau-kalau penyiksaan terhadap perasaanku akan terulang lagi. Jarang ada wanita yang dapat dipercaya, Tek Ciang, oleh karena itu engkau harus berhati-hati sekali dalam memilih jodoh. Dari pada tersiksa hatinya setelah menikah, lebih baik tinggal membujang selama hidup.”

Percakapan dengan ayahnya itulah yang menimbulkan guncangan hebat dalam batin Tek Ciang dan tanpa disadarinya, dia memandang rendah kepada kaum wanita, bahkan ada timbul semacam kebencian! Akan tetapi, hal ini tumbuh di bawah sadar dan dia sendiri tidak merasakannya, karena pada lahirnya, dia suka melihat wanita-wanita cantik dan bukan tergolong seorang pemuda alim.

Dengan para murid ayahnya yang sudah dewasa, kadang-kadang dia pergi bermain main dan ada kalanya pula dia terbawa oleh teman-teman itu pergi mengunjungi tempat pelesir dan bergaul dengan pelacur-pelacur sehingga dalam hal permainan cinta, Tek Ciang bukanlah pemuda yang hijau.

Akan tetapi, dia bersikap halus dan kelakuannya sopan seperti seorang terpelajar, maka tidak seorang pun yang akan menduga bahwa sebetulnya pemuda ini tidak asing di antara para pelacur kelas tinggi di kota Thian-cin.

Tek Ciang terlalu cerdik untuk membiarkan dirinya terlihat oleh umum di tempat-tempat pelacuran itu. Maka ayahnya sendiri pun tak tahu bahwa putera tunggalnya itu bukanlah seorang perjaka tulen dan kadang-kadang menghamburkan uang di tempat pelesir itu.

Juga dia tidak tahu bahwa biar pun pada lahirnya begitu halus, ramah dan sopan, namun setelah berada berdua saja dengan seorang pelacur di dalam kamar, pemuda itu dapat bersikap lain, menjadi kejam dan suka mempermainkan wanita pelacur sesuka hatinya, suka menghinanya dan agaknya menikmati penderitaan lahir batin seorang wanita pelacur. Maka, pemuda ini tersohor sebagai pemuda yang kejam dan tidak disukai di kalangan para pelacur, walau pun dia memang royal dengan uangnya.

Louw Kam atau Louw-kauwsu bersahabat dengan pendekar sakti Suma Kian Lee. Tentu saja guru silat ini mengenal siapa pendekar itu, dan selain kagum, juga amat hormat kepadanya. Maka, dia merasakan sebagai kehormatan besar sekali dapat berkenalan bahkan bersahabat dengan pendekar sakti itu.






Saling berkunjung di antara mereka sering terjadi, dan perkenalannya dengan pendekar ini sungguh amat menguntungkan dirinya. Perguruannya makin maju karena para murid itu berpendapat bahwa seorang guru silat yang menjadi sahabat pendekar sakti Suma Kian Lee, tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Bahkan kalau ada yang diam-diam memusuhi guru silat ini, akhirnya menjadi gentar melihat hubungan yang akrab antara Louw-kauwsu dan pendekar sakti itu. Oleh karena hubungan persahabatan ini maka martabat Louw-kauwsu ikut terangkat. Demikianlah perkenalan kita dengan keluarga Louw ini…..

Pada suatu pagi, Louw-kauwsu merasa girang sekali melihat munculnya Suma Kian Lee di depan pintu rumahnya. Akan tetapi alisnya berkerut ketika ia melihat wajah pendekar itu nampak agak muram yang berarti bahwa hati sahabat yang dihormatinya itu tentu sedang kesal.

“Ah, selamat pagi, Suma-taihiap!” kata guru silat itu dengan ramah. “Silakan masuk dan duduk. Sungguh gembira sekali hati saya menerima kunjungan taihiap sepagi ini.”

“Terima kasih, Louw-twako,” kata Suma Kian Lee dan mereka pun duduk menghadapi minuman teh panas sebagai sarapan pagi di atas meja.

“Eh, kenapa taihiap memakai pakaian berkabung?”

Tiba-tiba guru silat itu terkejut ketika melihat pakaian serba putih dan tanda berkabung yang dipakai oleh pendekar itu.

Pendekar itu menarik napas panjang. Dia tidak ingin menceritakan tentang mala petaka yang menimpa keluarga ayah bundanya di Pulau Es, akan tetapi pakaian berkabung yang dipakainya itu tentu saja tidak dapat disembunyikan. Mengingat bahwa guru silat ini adalah sahabat baiknya dan juga bahkan mungkin akan menjadi calon besannya, maka dia mengambil kebijaksanaan untuk berterus terang saja.

“Anak perempuan kami pulang dari Pulau Es kemarin....”

“Ahh, Siocia sudah pulang? Tentu telah membawa ilmu-ilmu yang luar biasa dari Pulau Es!” teriak guru silat itu dengan kagum.

“Ia membawa berita buruk, yaitu bahwa ayah ibuku telah meninggal dunia.”

“Ahhh....!” Guru silat itu terkejut bukan main, cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat kepada pendekar itu sambil berkata, “Maafkan saya, taihiap, karena tidak tahu maka berani bicara sembarangan. Semoga saja Thian dapat menerima arwah orang tua taihiap dan memberi tempat yang baik.”

“Terima kasih, Louw-twako. Kematian adalah hal yang wajar saja dan kami pun dapat menerimanya dengan tenang. Akan tetapi, dalam perjalanan pulang, terjadi mala petaka di perahu yang mengakibatkan puteraku hilang....”

“Ahhh!” Untuk kesekian kalinya guru silat itu terkejut. “Suma-kongcu hilang? Ke mana dan bagaimana?”

“Dia tercebur ke lautan, terpisah dari enci-nya dan sampai kini belum ada kabar-kabar tentang dia.”

“Siancai....! Sungguh saya ikut merasa berduka sekali, taihiap. Bagaimana mala petaka menimpa demikian berturut-turut?”

“Memang itulah nasibku sekarang ini. Aku dan isteriku akan melakukan perjalanan untuk mencari anakku yang hilang itu dan sebelum aku pergi, aku ingin membicarakan hal penting yang pernah kusinggung dahulu itu, twako, yaitu tentang perjodohan antara puteri kami dan puteramu.”

Berdebar kencang jantung dalam dada Louw Kam. Hal itu memang menjadi idamannya selama ini. Pernah secara iseng-iseng pendekar ini bicara tentang kemungkinannya tali perjodohan itu dan tentu saja dia akan merasa girang dan bangga sekali untuk dapat berbesan dengan pendekar sakti ini.

Mempunyai mantu cucu Pendekar Super Sakti! Tentu saja cucu pendekar itu tidak dapat disamakan dengan perempuan-perempuan biasa macam isterinya itu. Biar pun jantungnya berdebar kencang penuh kegembiraan, namun sikapnya biasa dan tenang saja.

“Bagaimanakah kehendak taihiap? Sejak dahulu kami hanya dapat menanti keputusan taihiap dan tentu saja pihak kami setuju sepenuhnya, bahkan merasa memperoleh kehormatan besar sekali kalau anakku yang bodoh itu terpilih untuk menjadi calon jodoh puteri taihiap yang mulia.”

“Tak perlu memuji atau merendah, twako. Manusia ini di permukaan bumi sama saja, dan kelebihan orang dalam suatu hal tidak perlu dijadikan alasan untuk mengangkatnya tinggi-tinggi. Kami merasa setuju dengan puteramu, tetapi.... maafkan pernyataanku ini, agaknya kelak akan merupakan kepincangan yang kurang sehat kalau ilmu silat antara mereka berselisih jauh.”

Wajah guru silat itu menjadi merah dan dia menutupinya dengan tertawa.
“Ah, biar saya latih seratus tahun lagi, takkan mungkin tingkat kepandaian Tek Ciang akan dapat menandingi tingkat Suma-siocia.”

“Bukan maksudku untuk merendahkan, twako. Tetapi kenyataannya memang demikian, yaitu bahwa puteriku dalam ilmu silat jauh lebih pandai dari pada puteramu. Akan tetapi kulihat puteramu itu pun memiliki bakat yang baik sekali, maka andai kata engkau memperkenankan, kalau dia menjadi muridku dan menerima bimbinganku sehingga dia dapat menyamai tingkat Hui- ji, alangkah akan baiknya itu....”

Louw-kauwsu cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya dan memberi hormat.
“Laksaan terima kasih saya kepada taihiap! Tentu saja saya setuju sepenuhnya dan agaknya sudah menjadi anugerah bagi anakku yang bodoh untuk memperoleh nasib sebaik ini. Heii! Tek Ciang....! Di mana engkau? Ke sinilah!”

“Jangan beri tahukan dia tentang perjodohan itu lebih dulu, twako,” kata Suma Kian Lee berbisik sebelum pemuda itu muncul dari belakang.

Melihat pendekar itu, Tek Ciang segera menjura dengan sikap hormat dan sopan.
“Ahhh, kiranya Suma-locianpwe yang hadir. Harap locianpwe dalam keadaan baik saja dan terimalah hormat saya,” katanya ramah.

“Terima kasih, Tek Ciang,” jawab Suma Kian Lee senang melihat sikap pemuda yang sopan itu. Seorang pemuda yang cukup tampan dan gagah, sayang agak pendek, dan pakaiannya selalu rapi dan bagus.

“Tek Ciang, cepat engkau berlutut pada Suma-taihiap dan menyebut suhu. Dia hendak mengangkatmu sebagai muridnya!” kata Louw-kauwsu dengan girang.

Mendengar ucapan ayahnya ini, Louw Tek Ciang terkejut bukan main dan memandang kepada pendekar itu. Suma Kian Lee mengangguk dan tersenyum kepadanya. Tek Ciang adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menjadi murid pendekar ini, selain kemungkinan besar untuk memperoleh ilmu yang hebat, juga namanya akan terangkat dan tak seorang pun di kota Thian-cin, bahkan sampai di kota raja yang akan berani menentangnya! Maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Kian Lee, memberi hormat sampai delapan kali dan menyebut “Suhu!” berkali-kali.

Kian Lee membangunkan pemuda itu dan berkata,
“Tek Ciang, engkau adalah murid pertama dariku. Selama ini aku belum pernah menerima murid dan hanya mengajarkan ilmu-ilmuku kepada kedua orang anakku saja. Sekarang, melihat kebaikan ayahmu dan besarnya bakatmu, aku suka membimbingmu mempelajari ilmu silat.”

“Terima kasih, suhu. Segala petunjuk dan bimbingan suhu pasti akan teecu taati dan junjung tinggi.”

“Sekarang keluarlah dulu dari ruangan ini karena aku hendak bicara urusan penting dengan ayahmu.”

Tek Ciang kembali menghaturkan terima kasih, kemudian pergi dari tempat itu dengan sikap patuh sekali. Setelah pemuda itu pergi dan dengan pendengarannya yang tajam Kian Lee merasa yakin bahwa pemuda itu sudah pergi jauh ke belakang rumah, dia pun berkata,

“Louw-twako, biarlah sementara ini perjodohan antara puteramu dan anakku tidak diumumkan dulu, akan tetapi kita berdua telah menyetujui untuk menjodohkan mereka. Dan demi kebaikan mereka berdua, kurasa mereka berdua harus dipertemukan dan diperkenalkan. Maka, aku akan mengajak puteramu untuk tinggal di rumahku, dan selama aku dan isteriku pergi mencari putera kami, biarlah anakku yang memberi petunjuk-petunjuk dalam latihan dasar. Dengan demikian, ada dua keuntungan, yaitu pertama, anakku tidak akan bersendirian saja di rumah dan ke dua, mereka dapat saling berkenalan sebelum perjodohan diumumkan. Bagaimana pendapatmu, Louw-twako?”

Louw-kauwsu yang sudah kegirangan dan merasa amat beruntung itu tentu saja merasa setuju sekali dan berkali-kali dia mengangguk. Demikian girang hatinya sehingga guru silat ini tidak lagi mampu berkata-kata! Betapa tidak? Putera tunggalnya yang amat disayangnya itu selain akan dipungut mantu juga diangkat menjadi murid pertama dan tunggal oleh pendekar sakti Suma Kian Lee!

Peristiwa itu tentu saja akan mengangkat namanya setinggi langit. Baru menjadi sahabat dekatnya pendekar itu saja dia sudah merasakan keuntungan besar di bidang nama, kedudukan dan pekerjaannya. Apalagi kalau puteranya menjadi murid, bahkan mantu Suma-taihiap!

“Jika begitu, sebaiknya kalau Tek Ciang hari ini juga berangkat ke rumahku, membawa bekal pakaian karena kami harus segera bersiap-siap. Dalam seminggu ini kami sudah akan berangkat pergi mencari puteraku, Louw-twako. Dan selama kami pergi dan putera twako menemani anakku di rumah, harap twako suka berbaik hati untuk kadang-kadang lewat di rumah kami melihat-lihat keadaan.”

“Jangan khawatir, taihiap. Mulai hari ini, rumah keluarga taihiap sama dengan rumah yang menjadi tanggung jawab saya sendiri. Pasti akan saya bantu jaga seperti rumah saya sendiri selama taihiap berdua bepergian.”

Setelah Suma Kian Lee pulang, Louw-kauwsu menyuruh puteranya segera berkemas. Dia memberi banyak nasehat kepada puteranya itu.

“Tek Ciang, engkau memperoleh berkah yang jauh lebih berharga dari pada harta benda apa saja di dunia ini. Engkau diangkat menjadi murid putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Tahukah engkau apa artinya itu? Berarti bahwa kalau engkau belajar dengan baik-baik, kelak engkau akan menjadi seorang pendekar sakti yang hebat! Bahkan seluruh nasib hidupmu di kemudian hari tergantung pada saat-saat inilah.

Suma-taihiap menghendaki supaya engkau berangkat ke rumahnya sekarang juga. Engkau akan diberi latihan dasar dan disuruh berlatih dengan petunjuk dari Suma-siocia, karena gurumu itu bersama isterinya akan melakukan perjalanan jauh dan meninggalkan engkau di sana bersama puteri mereka. Berhati-hatilah engkau di sana, jagalah rumah itu seperti rumahmu sendiri, bersikaplah sopan terhadap Suma-siocia dan semua pelayan di sana. Berusahalah agar semua orang menyukaimu, Tek Ciang. Dengan demikian, engkau tidak akan membikin malu aku sebagai ayahmu.”

Tek Ciang tersenyum. Ayahnya ini bersikap seperti memberi nasehat kepada seorang anak kecil saja! Tentu saja dia sudah tahu apa yang harus dibuatnya agar suhu-nya suka kepadanya. Dan tentu saja dia sudah mendengar akan Suma-siocia, dara remaja yang kabarnya selain lihai dan sakti, juga memiliki kecantikan yang amat menggairahkan! Ah, betapa beruntungnya dia! Berlatih diri di bawah petunjuk seorang dara remaja yang lihai dan cantik jelita! Akan tetapi, pemuda yang cerdik ini pandai menyembunyikan perasaannya, dan dia pun mengangguk taat.

“Baik, ayah. Aku akan mengingat semua nasehatmu.”

Ketika Tek Ciang tiba di rumah keluarga Suma, Kim Hwee Li dan juga Suma Hui sudah mendengar dari Suma Kian Lee tentang pemuda itu yang diangkat menjadi murid dan akan tinggal di rumah itu selama suami isteri itu pergi mencari Ciang Bun.

“Ayah,” Suma Hui membantah ketika ayahnya memberitahukan perihal pemuda yang belum dikenalnya itu. “Apakah ilmu keluarga kita akan diturunkan kepada orang luar?”

Ayahnya mengerutkan alis.
“Hui-ji, di dalam keluarga kita tidak ada peraturan yang melarang bahwa kita tidak boleh memberikan ilmu-ilmu Pulau Es kepada orang luar. Ayah dari Louw Tek Ciang, yaitu Louw-kauwsu, adalah seorang sahabat baikku. Dia seorang yang bersih namanya dan aku melihat putera tungggalnya itu pun memiliki bakat yang amat baik, juga sikapnya baik. Karena itu aku mengangkatnya menjadi murid. Agar kelak dia dapat menerima ilmu-ilmu dariku secara sempurna, maka dia harus lebih dahulu berlatih sinkang dan semedhi yang bersih, maka dia akan tinggal di sini melatih dasar-dasar sinkang dari kita. Karena aku dan ibumu akan pergi mencari Ciang Bun, maka aku minta engkau mewakili aku dan kadang-kadang memberi petunjuk kepadanya kalau dia berlatih.”

Mendengar kata-kata ayahnya yang diucapkan dengan nada sungguh-sungguh, Suma Hui mengangguk. Ia belum memperoleh kepastian dari ibunya tentang sikap ayahnya terhadap urusannya dengan Cin Liong, maka dari itu ia berpendapat bahwa sebaiknya, sebelum urusan pribadinya itu dibikin terang, ia tidak membuat ayahnya marah. Bagaimana pun juga, hatinya seperti merasa tidak rela ayahnya mengangkat seorang murid.

Ketika Tek Ciang muncul dengan buntalan pakaiannya dan menjatuhkan diri berlutut di depan ayah ibunya dan menyebut mereka suhu dan subo dengan sikap menghormat sekali, Suma Hui terkejut. Tak disangkanya bahwa murid yang diangkat oleh ayahnya itu ternyata adalah seorang pemuda dewasa yang lebih tua darinya! Seorang pemuda yang cukup ganteng dan gagah, dan sikapnya amat sopan.

Pemuda itu sedikit pun tidak pernah melirik kepadanya dan hanya menunduk ketika memberi hormat kepada suami isteri pendekar itu.

“Bangkitlah, Tek Ciang. Perkenalkan, ini adalah puteri kami yang bernama Suma Hui,”

Kata Kim Hwee Li yang sudah diberi tahu oleh suaminya tentang ‘siasat’ suaminya untuk mendekatkan kedua orang muda itu. Hwee Li menyuruh pemuda itu bangkit untuk dapat melihat lebih jelas wajah dan perawakan pemuda yang oleh suaminya telah dipilih untuk menjadi calon mantunya ini.

“Terima kasih, subo,” berkata Tek Ciang sambil memandang kepada suhu-nya dengan ragu-ragu, seolah-olah dia tidak berani bangkit sebelum menerima perintah suhu-nya.

Melihat ini, diam-diam Suma Kian Lee menjadi girang. Bocah ini sungguh amat taat dan bijaksana, berhati-hati dalam sikap agar tidak menyinggung hati gurunya, menandakan bahwa dia amat teliti dalam melakukan tindakan dan menentukan sikap!

“Bangkit dan duduklah, Tek Ciang,” katanya halus.

Baru pemuda itu bangkit dan menjura kepada suhu dan subonya.
“Terima kasih, subo.”

Kemudian dia baru menoleh kepada Suma Hui, akan tetapi hanya sekelebatan saja dia berani menatap wajah itu, wajah yang membuat jantungnya berdebar kencang walau pun baru melihat sekelebatan saja, kemudian dia pun cepat menjura kepada dara itu.

“Suma-siocia (nona Suma), saya Louw Tek Ciang yang bodoh menghaturkan hormat kepada siocia.”

Sepasang alis Kim Hwee Li berkerut sebentar. Pemuda ini terlalu sopan, pikirnya, begitu amat sopan sehingga berkelebihan dan cenderung kepada sikap bermuka-muka dan menjilat. Tentu saja dia segera menekan perasaannya karena dugaan itu pun masih membuat dia ragu.

Sebaliknya, Suma Hui merasa canggung juga diperlakukan dengan sikap yang demikian merendah dan menghormatnya. Ia cepat membalas penghormatan itu.

“Terima kasih, Louw-kongcu (tuan muda Louw),” katanya.

“Hemm, buang saja cara panggilan yang sungkan-sungkan itu!” Suma Kian Lee berkata sambil tersenyum. “Hui-ji, dia adalah murid ayahmu dan biar pun dia murid baru, akan tetapi dia lebih tua darimu dan juga engkau puteriku, bukan muridku. Maka, biar pun sebagai murid tingkatmu lebih tinggi, namun sepatutnya engkau menyebutnya suheng. Dan engkau Tek Ciang, engkau harus menyebut sumoi kepada Hui-ji.”

Kembali Louw Tek Ciang menjura kepada Suma Hui dan tetap saja dia tidak berani mengangkat muka memandang langsung, dan suaranya halus sopan merendah ketika dia berkata,

“Maafkan saya, sumoi (adik perempuan seperguruan), saya hanya mentaati perintah suhu, walau pun sesungguhnya saya tidak berani lancang.”

Bagaimana pun juga, sikap pemuda ini menyenangkan hati Suma Hui. Pemuda ini jelas tidak kurang ajar, dan matanya juga tidak jelalatan ketika memandang kepadanya, tidak seperti mata laki-laki lain yang kalau memandang kepadanya seperti mata seekor singa kelaparan. Maka ia pun menjura dan berkata manis,

“Tidak mengapa Louw-suheng, kurasa ayah benar sekali dan panggilan ini terasa lebih mudah, bukan?”

“Tek Ciang, dalam beberapa hari ini aku dan subo-mu akan pergi merantau untuk beberapa lamanya. Karena itu, sebelum aku pergi, aku akan menurunkan beberapa latihan dasar untuk mempelajari sinkang dan semedhi. Harus kau perhatikan baik-baik karena dasar latihan sinkang ini adalah pokok dari pada ilmu-ilmu yang akan kuturunkan kepadamu. Kalau latihan dasar keliru, maka kelak dalam mempelajari ilmu-ilmu dariku engkau pun tak akan dapat menguasainya dengan sempurna. Karena itu, engkau harus selalu tekun berlatih dan teliti, jangan sampai keliru. Di sini ada sumoi-mu yang akan dapat memberi petunjuk sewaktu-waktu kalau engkau merasa ragu-ragu.”

“Baik, suhu. Sumoi, saya mengharapkan petunjuk-petunjuk dari sumoi, dan untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih kepadamu.”

“Aku bersedia membantumu, suheng. Harap jangan sungkan bertanya,” jawab Suma Hui yang mulai merasa suka kepada pemuda yang sopan dan halus budi ini.

Hanya Kim Hwee Li yang sejak tadi tidak berkata apa-apa, karena nyonya ini masih merasa tidak puas melihat sikap pemuda itu yang dianggapnya tidak wajar dan terlalu sopan, seperti dibuat-buat. Ia hanya mengharapkan bahwa sikap itu adalah sikap yang sewajarnya dan bahwa pemuda itu memang seorang yang sopan dan halus budi, bukannya dibuat-buat karena di baliknya terkandung suatu pamrih tertentu.

“Sekarang pergilah ke kamarmu dan simpan pakaianmu, lalu kita pergi ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) untuk mulai dengan teori-teori dasar latihan sinkang,” kata pula Suma Kian Lee. “Hui-ji, suruh pelayan datang mengantar suheng-mu ke kamarnya yang sudah disediakan untuknya itu.”

“Baik, ayah.”

Melihat sikap ayahnya yang gembira, hati Suma Hui juga menjadi gembira. Ayahnya tidak kelihatan marah, padahal ibunya tentu sudah menyampaikan kepada ayahnya itu perihal urusannya dengan Cin Liong dan ini berarti bahwa ayahnya itu tidak menjadi marah atau menentang. Hal itu pun mendatangkan kegembiraan dalam hati Suma Hui dan ia melakukan perintah ayahnya dengan hati senang pula.

Demikianlah, dalam beberapa hari itu Suma Kian Lee memberi dasar latihan sinkang dengan sungguh-sungguh kepada Tek Ciang. Biar pun pemuda ini pernah mempelajari semedhi dan latihan sinkang dari ayahnya, akan tetapi dasar latihan yang diberikan oleh suhu-nya itu amat berbeda, juga amat sukar sehingga dia harus bersungguh-sungguh kalau dia ingin mengerti benar-benar.

Memang pemuda ini cerdik dan berbakat sekali sehingga walau pun latihan itu tidak mudah dan membutuhkan perhatian dan pengerahan semua kemauan dan kejujuran hati, akhirnya dia dapat juga mengerti.

Selagi ayahnya memberi petunjuk, Suma Hui juga hadir dan gadis ini diam-diam harus memuji ketekunan murid ayahnya ini dan ia pun yakin bahwa seorang murid seperti Tek Ciang ini pasti kelak akan menjadi seorang ahli silat keluarga Pulau Es yang baik dan belum tentu akan kalah tinggi tingkatannya dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Seminggu kemudian, berangkatlah suami isteri itu meninggalkan rumah mereka, memulai dengan perjalanan mereka yang tanpa tujuan tempat tertentu, seperti orang meraba-raba di dalam kegelapan. Bagaimanapun juga, sungguh amat sukar mencari seorang anak yang hilang di tengah lautan yang demikian luasnya. Setelah memberi pesanan banyak nasihat kepada puterinya dan muridnya, Suma Kian Lee dan isterinyapun berangkatlah dengan menunggang dua ekor kuda.

Louw-kauwsu seringkali lewat di depan rumah keluarga Suma dan karena kakek ini ingin sekali agar puteranya jangan sampai “gagal” menjadi mantu pendekar sakti Suma Kian Lee, maka berlawanan dengan kekerasan hatinya sendiri diapun diam-diam membisikkan urusan pertalian jodoh itu kepada puteranya!

“Tek Ciang, engkau harus pandai-pandai membawa diri. Ketahuilah, engkau bukan saja telah diangkat menjadi murid oleh Suma-taihiap, akan tetapi juga bahkan telah diangkat menjadi calon mantu, berjodoh dengan Suma-siocia. Akan tetapi hal ini masih belum diresmikan, maka engkaupun pura-pura tidak tahu sajalah. Aku menceritakannya kepadamu agar engkau pandai-pandai membawa diri.” Demikianlah bisikannya dan mendengar ini tentu saja Tek Ciang menjadi semakin girang.

Dan pemuda ini memang terlalu amat cerdik untuk dapat terpeleset oleh tindakan yang kurang hati-hati maka dia selalu bersikap penuh hormat dan sopan terhadap Suma Hui sehingga tidak ada alasan sedikitpun juga bagi dara ini untuk merasa tidak suka kepada suhengnya ini. Maka dengan sungguh-sungguh Suma Hui juga memberi petunjuk-petunjuk kepada suhengnya ini sehingga Tek Ciang dapat melatih dasar sin-kang itu dengan baik.

**** 024 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar