FB

FB


Ads

Rabu, 30 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 029

Dengan napas terengah-engah karena hampir seluruh perjalanan menuju ke rumah ayahnya dilakukan sambil berlari cepat, Tek Ciang menghadap ayahnya. Guru silat Louw terkejut melihat puteranya datang terengah-engah seperti itu dan cepat menyambutnya.

“Wah, celaka, ayah! Aku tidak sudi menikah dengan Suma Hui....!”

“Hushhh....!” Louw-kauwsu terkejut bukan main, menarik tangan anaknya masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kamarnya. “Ucapan apa itu?” bentaknya ketika dia berada aman di dalam kamar bersama puteranya.

“Siapa sudi menikah dengan gadis seperti itu? Ia gadis tak tahu malu, ayah, berpacaran dengan keponakannya sendiri!”

Dengan suara mengandung kemarahan Tek Ciang lalu menceritakan semua yang telah didengar dan dilihatnya ketika pemuda bernama Kao Cin Liong datang berkunjung ke rumah suhunya. Bukan main kaget dan herannya hati Louw Kam mendengar penuturan puteranya. Sungguh merupakan hal yang amat aneh dan sukar dapat dipercaya.

“Benarkah ceritamu itu? Benarkah pemuda itu keponakannya?”

Kalau Suma Hui mempunyai seorang pacar, hal itu masih dianggapnya biasa walaupun tentu saja tidak menyenangkan. Akan tetapi berpacaran dengan seorang keponakan sendiri? Mustahil rasanya!

“Akupun tadinya tidak percaya, ayah. Akan tetapi setelah diperkenalkan, orang itu mengaku keponakan Suma Hui, bahkan dia menyebut aku susiok.”

“Jangan-jangan hanya murid keponakan saja, bukan keluarga.”

“Dia menyebutnya Hui-i, berarti sumoi adalah i-i-nya, bukan hanya sekedar bibi gurunya. Ayah, aku tidak sudi berjodoh dengan gadis tak tahu malu begitu!”

“Tolol! Engkau menjadi murid, bahkan calon mantu seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Lee-taihiap, dan engkau mengatakan tidak sudi! Kita harus berusaha untuk menggagalkan hubungan mereka, dan aku yakin kalau Suma-taihiap mengetahui hubungan antara puterinya dan keponakan puterinya itu, tentu dia akan menentang. Bukankah dia sudah memilih engkau untuk menjadi calon mantunya? Pula, kurasa hubungan itu hanya hubungan akrab antara bibi dan keponakannya saja.”

“Hubungan akrab? Ayah, kalau mereka itu sudah saling berpelukan, saling berdekapan, saling berciuman bibir, mungkin sekali mereka itu sudah saling bermain cinta, tidur bersama....!” kata Tek Ciang marah.

“Hushh....! Tahan mulutmu. Pemuda itupun sungguh jahat dan kurang ajar. Kalau benar dia itu keponakan Suma Hui, kenapa dia berani bermain gila dengan bibi sendiri? Tek Ciang, kita adalah calon keluarga Suma-taihiap, dan engkau sendiri malah muridnya yang ditugaskan menemani nona Suma di rumah. Kini, pemuda itu datang mengacau, kita harus melindungi kehormatan calon isterimu. Aku sendiri yang akan menghajar dan membunuh pemuda tidak sopan itu. Di mana dia?”

Louw-kauwsu tentu saja marah dan khawatir sekali melihat bahaya kegagalan ikatan jodoh antara puteranya dan puteri Suma Kian Lee. Hal ini berarti akan hancurnya semua kebanggaan hatinya dapat berbesan dengan keturunan Pendekar Super Sakti, keluarga Pulau Es yang amat terkenal itu.

“Tadi aku membayanginya dan dia bermalam di hotel Tong-an, kamar nomor lima yang berada di bagian kiri.”

“Baik, engkau jangan ikut-ikut. Malam ini akan kubereskan dia! Kukira itu satu-satunya jalan untuk membela kehormatan calon mantuku dan melenyapkan saingan untukmu. Nah, kau kembalilah ke rumah suhumu dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.”

“Tapi, ayah....!”

Tek Ciang yang merasa cemburu dan panas hatinya membantah karena sudah tertanam rasa tak senang bahkan benci terhadap diri Suma Hui yang mengecewakan hatinya.

“Diam! Engkau harus mentaati perintahku. Ketahuilah bahwa aku melakukan semua ini demi masa depanmu sendiri, tahu?” Tek Ciang tidak berani merbantah lagi lalu kembalilah dia ke rumah keluarga Suma.

Bagaimanapun juga Tek Ciang adalah seorang pemuda yang cerdik dan pandai menyembunyikan perasaan hatinya. Ketika sore hari itu Cin Liong datang dan diapun diundang untuk makan bersama, dia duduk semeja dengan Cin Liong dan Suma Hui menikmati masakan gadis itu dan biarpun Cin Liong dan Suma Hui menjaga sikap mereka sehingga tidak menonjolkan kemesraan di antara mereka, namun Tek Ciang merasa sekali adanya kemesraan itu di dalam pandang mata, senyum dan suara mereka.

Tentu saja hatinya terasa panas membakar, namun dia menekannya dan diam saja. Akan tetapi begitu selesai makan, diapun berpamit dengan alasan untuk berlatih di dalam kamarnya.

Cin Liong bercakap-cakap dengan Suma Hui. Dia mengatakan bahwa dia akan tinggal beberapa hari saja di Thian-cin, karena kedatangannya itu hanya untuk menyampaikan berita tentang akan datangnya orang tuanya ke Thian-cin untuk mengajukan pinangan.

Mereka bercakap-cakap dengan santai dan tentu saja dengan mesra, seperti yang hanya dapat dirasakan oleh dua orang yang saling mencinta. Kekhawatiran yang timbul bahwa hubungan mereka akan ditentang oleh ayah gadis itu, dapat mereka lenyapkan dengan kebulatan tekad mereka bahwa apapun yang akan terjadi, mereka berdua akan menghadapinya bersama dan tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat menghalangi huhungan mereka dan niat mereka untuk menjadi suami isteri!

Senja telah berganti malam ketika Cin Liong meninggalkan rumah kekasihnya. Bagaimanapun juga, dia dan Suma Hui masih menjaga anggapan orang luar yang kurang baik sehingga pemuda itu bermalam di rumah penginapan, dan diapun tidak berani terlalu malam bertamu walaupun hatinya merasa berat untuk meninggalkan kekasihnya. Dia berjalan menuju ke rumah penginapan Tong-an dengan mulut tersenyum dan hati penuh rasa bahagia.

Biarpun usianya sudah dua puluh sembilan tahun, namun baru dua kali inilah Cin Liong jatuh cinta. Pertama kali, cintanya terhadap pendekar wanita Bu Ci Sian mengalami kegagalan karena cintanya tidak terbalas dan semenjak itu, dia tidak pernah mengalami jatuh cinta lagi sampai dia bertemu dengan Suma Hui. Maka, kebahagiaan yang terasa di hatinya membuat pemuda ini melenggang dengan senangnya, seperti seorang pemuda remaja mengalami cinta pertama saja.






Cin Liong adalah seorang jenderal muda yang namanya sudah amat terkenal di kota raja, di antara perajurit dan perwira, juga terkenal di dunia sesat, di antara para datuk yang menganggapnya sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai, putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir.

Akan tetapi, rakyat tidak mengenalnya karena dia selalu pergi dengan pakaian preman, seperti seorang pemuda pelajar biasa. Hanya ketika memimpin pasukan sajalah dia berpakaian seragam seorang panglima. Kebiasaan berpakaian preman ini dilakukan karena memudahkan dia dalam tugasnya untuk melakukan penyelidikan-penyelidikan rahasia.

Itulah sebabnya, walaupun Thian-cin sebuah kota yang tidak jauh letaknya dari kota raja, akan tetapi ketika pemuda ini melenggang menuju ke hotelnya, tidak ada yang mengenalnya sebagai Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu.

Demikian pula Louw Kam atau Louw-kauwsu bersama dua orang pembantunya yang sejak tadi membayanginya, sama sekali tidak tahu bahwa pemuda yang dibayangi dan hendak diserang itu adalah seorang panglima kerajaan yang ternama, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir yang sakti.

Andaikata Louw-kauwsu tahu akan hal ini, tentu dia akan menghitung sampai seribu kali sebelum dia berani menggunakan tindakan menyerang pemuda ini dan tentu akan menggunakan akal lain.

Penyerangan itu dilakukan ketika Cin Liong tiba di lorong yang gelap dan sepi itu. Ketika ada tiga orang laki-laki menyerangnya dari belakang dan kanan kiri, mempergunakan golok dan pedang, Cin Liong cepat mengelak dan melompat ke depan, lalu membalikkan tubuhnya.

Penyerangan gelap merupakan hal yang tidak aneh baginya, bahkan dia sudah hampir terbiasa oleh peristiwa seperti ini. Dia dalam tugasnya, sudah seringkali dia menghadapi penyerangan gelap yang dilakukan oleh pihak lawan. Orang-orang ini tentu kaki tangan pemberontak, atau mata-mata yang mengenalinya dan yang berusaha membunuhnya dengan jalan membokong. Diapun tidak merasa heran ketika melihat bahwa dia sama sekali tidak mengenal tiga orang ini.

Sementara itu, melihat betapa serangan mereka yang pertama itu dengan mudah dapat dielakkan lawan, Louw-kauwsu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Tadinya sudah dibayangkannya bahwa pemuda itu akan dapat dirobohkan dengan sekali serang saja. Maka diapun lalu membentak marah,

“Penjahat cabul perusak anak gadis orang, rasakan pedangku!” Dan diapun sudah menyerang lagi dengan tusukan pedangnya ke arah dada Cin Liong.

“Wirrr....!”

Cin Liong mengelak lagi. Pemuda ini agak heran mendengar tuduhan orang. Biasanya, kalau dia diserang orang-orang secara menggelap, tentu ada hubungannya dengan tugas dan kedudukannya sebagai panglima. Akan tetapi sekali ini dia diserang orang dengan tuduhan menjadi penjahat cabul perusak anak gadis orang! Tentu saja dia menjadi penasaran sekali.

“Eh, nanti dulu, sobat. Kalian salah melihat orang!” bantahnya.

Akan tetapi, dua orang pembantu Louw Kam sudah menyerangnya dari kanan kiri, menggunakan golok mereka. Serangan mereka itu jelas serangan untuk membunuh dengan gerakan yang cepat kuat dan keji sekali. Memang dua orang ini adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang disewa oleh Louw Kam untuk membantunya membunuh pemuda yang dianggapnya menjadi penghalang dan pengacau besar itu.

Karena menghadapi serangan maut, Cin Liong tidak tinggal diam lagi. Cepat tubuhnya berkelebat ke belakang dan pada saat dua batang golok itu menyambar, dia bergerak seperti kilat ke depan sambil menggerakkan kaki kiri dan tangan kanannya.

“Bukkk! Dessss....!”

Dua orang itu terpelanting, golok yang berada di tangan mereka terpental dan mereka mengaduh-aduh kesakitan. Yang seorang tertendang patah tulang lututnya, dan orang ke dua terkena tamparan dan patah-patah tulang pundaknya.

Melihat ini, Louw Kam makin kaget dan juga makin penasaran. Dua orang pembantunya itu adalah pembunuh-pembunuh bayaran yang walaupun tidak memiliki ilmu silat terlalu tinggi, akan tetapi cukup dapat diandalkan. Siapa kira dalam segebrakan saja mereka sudah roboh dan tidak berdaya menghadapi pemuda yang tadinya dianggap sebagai makanan lunak itu.

Karena sudah terlanjur, guru silat yang ambisius ini lalu menyerang lagi dengan pedangnya. Cin Liong dapat mengenal jurus ilmu silat yang baik, jauh lebih baik dan lebih tangguh dibandingkan dua orang pertama tadi, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ke tiga inilah pemimpinnya. Dia cepat mengelak dan membiarkan tusukan itu lewat di samping tubuhnya dan dengan perlahan dia mendorong dengan tangan kirinya. Louw Kam tak dapat menahan hawa dorongan dahsyat itu dan diapun terjengkang!

Akan tetapi, Louw Kam sudah meloncat bangun lagi. Dia menjadi nekat. Kini dia tahu bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa hal ini tidak diselidiki lebih dahulu. Betapa bodohnya dia. Tentu saja seorang anggauta keluarga Pulau Es memiliki kepandaian yang tinggi!

Kenekatan Louw Kam membuat dia dapat meloncat bangun dan segera menyerang lagi, kini menggunakan jurus-jurus dari ilmu silat Siauw-lim-pai. Biarpun baru diserang beberapa kali, Cin Liong sudah dapat mengenal dasar gerakan silat Siauw-lim-pai ini maka diapun mengelak lagi, merasa ragu menjatuhkan atau melukai lawan.

“Nanti dulu, sobat. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Mengapa engkau menyerangku?”

Makin jelaslah bagi Louw-kamsu bahwa pemuda ini benar-benar seorang ahli silat yang pandai sehingga dalam beberapa jurus saja sudah mengenal dasar ilmu silatnya. Dia merasa makin menyesal akan tetapi tentu saja dia tidak dapat berterus terang. Terus terang sama saja artinya dengan membongkar rahasianya. Jalan satu-satunya hanyalah membunuh orang ini.

Dia menyerang lagi tanpa menjawab dan kini dia menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Pedangnya berdesing dan mengeluarkan sinar ketika menyambar ke depan, dibarengi bentakannya yang nyaring.

Cin Liong menjadi marah. Diapun tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai ada pula yang murtad, di antaranya adalah mendiang Kaisar Yung Ceng sendiri. Maka tentu orang di depannya ini juga seorang murid Siauw-lim-pai yang murtad, atau bukan murid Siauw-lim-pai yang mencuri ilmu perguruan silat itu. Dia harus dapat membongkar rahasia penyerangan ini dan untuk itu, dia tidak akan membunuh lawannya.

“Bressss....!”

Serangan Louw Kam disambut oleh Cin Liong dengan sebuah tendangan kilat yang amat dahsyat dan membuat tubuh guru silat itu terlempar sampai empat meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah.

Diam-diam guru silat itu merasa terkejut bukan main. Kalau bukan seorang sakti, mana mungkin menghadapi serangan pedangnya tadi dengan tendangan yang membuatnya terlempar? Dia merasa sakit pada iganya, maklum bahwa ada tulang iganya yang patah.

Akan tetapi, tidak ada jalan lain baginya. Menyerah dan mengaku berarti akan mencelakakan namanya dan nama puteranya. Kalau sampai terdengar oleh Suma Kian Lee bahwa dia mengajak dua orang pembunuh bayaran berusaha membunuh cucu keponakan pendekar itu, sungguh dia tidak berani membayangkan apa yang akan menjadi akibatnya sehubungan dengan rencana perjodohan antara puteranya dan puteri pendekar sakti itu!

Satu-satunya jalan hanyalah melawan dan berusaha sedapat mungkin untuk membunuh pemuda ini. Dua orang kawannya sudah dapat bangkit kembali dan mereka kini sudah maju pula, biarpun dengan terpincang-pincang. Ternyata dua orang pembunuh bayaran itu juga memegang teguh janji mereka dan biarpun mereka sudah terluka, melihat betapa Louw-kauwsu melawan terus, merekapun mencoba untuk membantunya..

Diam-diam Cin Liong merasa heran dan juga penasaran. Dia sudah menghajar orang-orang ini, akan tetapi mereka nekat terus. Apakah yang menyebabkan mereka begini nekat dan membencinya? Tentu ada sebabnya, dan mungkin juga hanya suatu kesalah pahaman belaka.

Maka, ketika mereka menerjang lagi, diapun cepat bergerak dan mendorong mereka sampai mereka terlempar jauh ke belakang. Sekali ini, dua orang pembantu Louw Kam tidak dapat bangkit kembali, hanya mengaduh-aduh saja. Louw Kam sendiri mengalami patah tulang pundak kirinya dan dia maklum bahwa melawan terus tidak ada artinya.

Pemuda itu sungguh terlampau kuat untuk dilawan olehnya. Dan dia tahu bahwa pemuda itu agaknya hendak menangkapnya dan hendak memaksanya mengaku mengapa dia dan dua orang temannya melakukan serangan-serangan tanpa alasan. Hal ini membuat Louw Kam menjadi bingung sekali.

Akan tetapi tiba-tiba dia memperoleh jalan terbaik untuk menolong nama puteranya dan juga untuk menjatuhkan fitnah buruk terhadap pemuda yang menjadi penghalang kebahagiaan puteranya ini.

Melihat betapa kedua orang temannya menggeletak tidak jauh dari tempat dia roboh, cepat dia menggerakkan pedangnya. Dua kali dia menusuk dan pedangnya menembus jantung dua orang pembantunya itu. Darah muncrat dan mereka berkelojotan sekarat.

“Heiiii!”

Cin Liong berseru kaget bukan main melihat perbuatan laki-laki murid Siauw-lim-pai itu. Dia melihat orang itu meloncat dan melarikan diri. Tentu saja dia tidak mau membiarkan orang itu lari.

“Tunggu dulu, jangan lari!” bentaknya dan dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul.

Akan tetapi, tiba-tiba Louw Kam membalik dan menggunakan pedang di tangannya menggorok leher sendiri.

“Celaka....!”

Cin Liong berteriak dan cepat kakinya menendang lengan yang memegang pedang. Namun karena perbuatan guru silat itu sama sekali tidak pernah diduganya, biarpun tendangan itu tepat mengenai lengan dan pedang itu terlempar, akan tetapi leher orang she Louw itu sudah tergorok hampir putus dan tubuh Louw Kam berkelojotan lalu tewas tak lama kemudian!

Sejenak Cin Liong termenung, memandangi tiga mayat itu dengan hati sedih. Banyak orang jahat memusuhinya, akan tetapi setiap kali dia merobohkan lawan, tentu dia mengenal siapa lawan itu dan apa sebabnya lawan menyerangnya.

Akan tetapi, tiga orang ini menyerangnya tanpa alasan dan mereka mati bukan di tangannya. Mengapa mereka begitu nekat? Mengapa pemimpin mereka itu sampai tega membunuh kawan-kawan sendiri kemudian membunuh diri? Hanya satu jawaban, yakni bahwa orang itu tentu menyimpan rahasia dan tidak ingin diketahui rahasianya, tidak ingin dikenal dan lebih baik mati daripada menyerah dan tertangkap!

Cin Liong lalu pergi mengunjungi perwira yang menjadi komandan keamanan di kota Thian-cin. Ketika Cin Liong malam-malam datang ke rumah komandan ini dan memperkenalkan diri, tentu saja komandan itu terkejut sekali dan dengan gugup melakukan penyambutan atas kedatangan Jenderal Kao Cin Liong, panglima muda yang amat terkenal dan yang datang dengan pakaian preman itu. Cin Liong menceritakan tentang penyerangan tiga orang itu.

“Harap ciangkun suka melakukan penyelidikan, siapakah mereka itu dan mengapa pula mereka menyerangku mati-matian. Besok kutunggu laporanmu di hotel Tong-an.”

Coa-ciangkun, komandan itu, mengangguk-angguk.
“Baik, Kao-goanswe, akan saya laporkan besok. Akan tetapi, apakah Kao-goanswe sebaiknya tidak bermalam saja di rumah kami? Daripada di rumah penginapan umum itu....”

Akan tetapi Cin Liong menggoyang tangan.
“Engkau tahu, aku lebih suka menyamar dan melakukan perjalanan dengan diam-diam untuk dapat melakukan pengamatan dan penyelidikan dengan mudah. Jangan beritakan tentang kehadiranku di kota ini.”

Biarpun kehadiran jenderal muda itu dirahasiakan sehingga tidak ada yang tahu, namun peristiwa itu diketahui umum dan menggegerkan kota Thian-cin. Louw Kam yang dikenal sebagai Louw-kauwsu, bersama dua orang yang dikenal sebagai pembunuh-pembunuh bayaran, telah tewas di tepi jalan tanpa diketahui siapa pembunuhnya!

Tentu saja Tek Ciang menjadi terkejut sekali dan pemuda ini menangisi jenazah ayahnya. Hanya dialah seorang yang tahu benar mengapa ayahnya tewas dan dia dapat menduga siapa pembunuh ayahnya itu. Akan tetapi, dia tidak dapat membuka mulut mengatakan kepada siapapun juga karena hal itu akan membuka rahasia ayahnya yang hendak membunuh Cin Liong dan juga membuka rahasia dirinya sendiri.

“Ayah, aku bersumpah untuk membalaskan kematian ayah kepada Kao Cin Liong itu, apapun jalannya!”

Begitulah dia berbisik dalam hati ketika dia menyembahyangi peti mati ayahnya. Suma Hui yang mendengar berita itupun terkejut sekali dan dara ini menyatakan duka citanya atas malapetaka yang menimpa diri ayah suhengnya.

Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia pun mewakili mereka untuk datang melayat dan bersembahyang di depan peti mati guru silat Louw Kam. Dara ini tidak tahu betapa selagi ia bersembahyang, sepasang mata Tek Ciang memandangnya dengan penuh dendam dan kemarahan yang ditahan-tahan.

Sementara itu, pada keesokan harinya Cin Liong menerima laporan dari komandan Coa mengenai tiga orang itu. Akan tetapi, laporan itu hanya menjelaskan siapa adanya mereka.

“Kami tidak dapat mengetahui mengapa mereka itu menyerang paduka,” demikian kata komandan Coa. “Louw Kam adalah seorang duda, pekerjaannya guru silat, seorang murid Siauw-lim-pai yang belum pernah melakukan kejahatan. Sedangkan dua orang itu adalah dua orang pembunuh bayaran dan siapapun akan mereka serang dan bunuh asalkan mereka diberi uang. Louw-kauwsu sudah tewas, kami tidak dapat mencari keterangan mengapa dia minta bantuan dua orang penjahat itu untuk menghadang dan menyerang paduka. Putera tunggalnya juga tidak tahu, apalagi karena sudah beberapa bulan ini putera tunggalnya tinggal bersama Suma-taihiap....”

“Suma-taihiap?” Cin Liong bertanya kaget. “Suma-taihiap siapa?”

“Pendekar Suma Kian Lee. Kabarnya, putera Louw-kauwsu itu menjadi murid Suma-taihiap dan memang ada jalinan persahabatan antara Suma-taihap dan Louw-kauwsu.”

“Ahhh....!”

Cin Liong tidak bertanya lagi dan mengucapkan terima kasih. Kemudian pergilah dia bergegas ke rumah Suma Hui. Gadis itu menyambutnya dengan berita yang mengejutkan itu.

“Cin Liong, telah terjadi malapetaka hebat. Ayah Louw-suheng tewas terbunuh orang!”

Akan tetapi, bukan Cin Liong yang terbelalak kaget, sebaliknya malah Suma Hui yang memandang dengan mata terbelalak melihat kekasihnya itu tenang saja, bahkan menjawab,

“Aku sudah tahu, Hui-moi, karena orang itu adalah aku sendiri.”

“Apa.... apa maksudmu....?”

Cin Liong menyambar tangan kekasihnya yang terasa agak dingin itu dan menariknya masuk ke dalam rumah.

“Mari kita bicara di dalam.”

Setelah mereka berada di dalam rumah, Cin Liong lalu menceritakan semua pengalamannya malam tadi sesudah meninggalkan rumah kekasihnya.

“Aku berusaha untuk mengetahui sebab-sebab mengapa mereka menyerangku kalang-kabut tanpa alasan, dan aku sudah berhati-hati agar tidak sampai membunuh mereka. Maka aku hanya merobohkan mereka dengan mematahkan tulang pundak saja. Siapa kira, orang itu membunuh kedua orang temannya dengan tusukan pedang, kemudian melarikan diri. Ketika aku mengejarnya, tiba-tiba dia menggorok leher sendiri. Aku menyesal tidak dapat mencegah kenekatannya itu. Komandan Coa yang kuperintahkan menyelidiki, juga tidak dapat menerangkan mengapa guru silat Louw itu hendak membunuhku.”

Suma Hui merasa demikian kaget dan heran sehingga tak dapat berkata-kata sampai beberapa lamanya. Kemudian ia menarik napas panjang.

“Sungguh mati kejadian itu amat aneh dan sukar dipercaya. Ketika komandan Coa itu datang dan bertanya kepada Louw-suheng pagi tadi, akupun berada di sana melayat. Louw-suheng tidak dapat memberi keterangan apa-apa, karena diapun sama sekali tidak tahu dan sudah empat bulan selalu berada di rumah ini.”

Cin Liong mengangguk akan tetapi alisnya berkerut karena dia ingat betapa siang hari kemarin, Tek Ciang membayanginya dari rumah ini sampai ke rumah penginapan! Ada sesuatu yang aneh pada sikap pemuda itu, pikirnya.

“Aku ingin dapat bicara dengan Louw Tek Ciang. Bagaimanapun juga, aku ingin mengetahui apa sebabnya ayahnya yang sama sekali tidak kenal denganku itu demikian membenciku dan ingin membunuhku, sampai ditebus dengan nyawanya sendiri. Tentu ada sebab-sebab yang amat penting di balik perbuatannya itu dan agaknya, tidak mungkin kalau puteranya tidak tahu.”

Suma Hui memandang khawatir.
“Akan tetapi, suheng tidak tahu bahwa yang menyebabkan kematian ayahnya adalah engkau! Perlukah hal itu diberitahukan kepadanya?”

Cin Liong tersenyum dan memandang wajah kekasihnya, lalu memegang tangannya.
“Hui-moi, kenapa engkau? Bukankah itu sudah seharusnya? Seorang gagah tidak akan memyembunyikan semua perbuatannya, bahkan berani bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Guru silat she Louw itu tewas bukan oleh tanganku, melainkan membunuh diri karena tidak mau kutangkap. Dan serangan-serangan itupun dimulai dari pihaknya terhadap diriku tanpa alasan. Betapapun pahitnya, Louw Tek Ciang harus berani menghadapi kenyataan ini, dan kalau dia menganggap aku sebagai pembunuh ayahnya dan mendendam, dia bukan seorang gagah dan tidak patut menjadi suhengmu!”

Suma Hui sadar dan iapun mencengkeram tangan kekasihnya.
“Engkau benar, Cin Liong, engkau benar dan memang seharusnya hal ini dibicarakan dengan terus terang kepadanya. Aku sungguh merasa heran sekali. Ayahnya adalah sahabat baik ayahku. Agaknya ayahku tidak akan keliru memilih sahabat.”

“Akupun sudah mendengar pelaporan Coa-ciangkun bahwa Louw-kauwsu belum pernah melakukan kejahatan. Hal ini membuat aku semakin tertarik dan ingin tahu apa sesungguhnya yang menjadi sebab sehingga dia membenciku. Apakah dia telah tersesat menjadi kaki tangan pemberontak? Dan ada satu hal lagi yang amat mengganggu pikiranku. Sebelum roboh dan sebelum membunuh diri, orang itu pernah memakiku sebagai seorang penjahat cabul perusak gadis orang!”

“Ehhh....?” Suma Hui mengerutkan alisnya, menjadi makin heran dan tidak mengerti.

Kekasihnya dimaki penjahat cabul perusak anak gadis orang? Sungguh aneh, lucu dan membuat orang menjadi penasaran! Kekasihnya seorang jenderal muda, seorang panglima yang terhormat, seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi dan gagah perkasa!

“Itulah sebabnya yang mendorongku untuk bicara dengan Tek Ciang. Mungkin dia dapat membantu memecahkan persoalan yang membingungkan ini.”

Terpaksa Cin Liong menunggu sampai upacara pemakaman jenazah Louw Kam selesai dan diapun memperpanjang tinggalnya di Thian-cin selama beberapa hari lagi.

Setelah penguburan selesai dan Tek Ciang kembali ke rumah suhunya dengan pakaian berkabung, Cin Liong datang menemuinya dengan perantaraan Suma Hui. Wajar Tek Ciang masih pucat ketika dia duduk berhadapan dengan Cin Liong dan Suma Hui.

“Louw-suheng, Cin Liong ingin bicara dengan jujur dan terbuka denganmu mengenai ayahmu,” Suma Hui memulai dengan percakapan yang amat tidak enak itu.

Tek Ciang mengangkat mukanya yang agak pucat, sejenak memandang kepada Cin Liong, kemudian menoleh kepada Suma Hui.

“Sumoi, apa lagi yang dapat dibicarakan? Ayahku telah meninggal....” suaranya gemetar dan matanya menjadi merah.

“Louw-susiok,” kata Cin Liong dengan sikap tenang. Dia tetap menyebut susiok untuk menghormati Suma Kian Lee biarpun kekasihnya sudah menegurnya akan hal itu.

“Apakah engkau tahu bagaimana meninggalnya ayahmu?”

Tek Ciang memandang dan matanya mengandung kemarahan dan dendam.
“Dia dibunuh penjahat, apalagi yang perlu diketahui? Kalau aku dapat mengetahui siapa penjahat itu....!”

Pemuda ini mengepal tinjunya dan pandang matanya menjadi beringas. Tentu saja hati Suma Hui menjadi semakin tidak enak. Kalau saja bukan kekasihnya yang menghadapi urusan ini, tentu ia lebih baik pergi saja dan tidak usah menjadi saksi dalam perkara yang tidak enak ini.

“Susiok, ayahmu sama sekali tidak dibunuh penjahat. Ayahmu telah membunuh dirinya sendiri dengan menggorokkan pedangnya sendiri ke lehernya.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar