FB

FB


Ads

Rabu, 30 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 027

Mendengar ini gubernur itu menoleh dan memandang kepada Thong-ciangkun dengan heran, akan tetapi melihat panglimanya itu mengangguk dan panglima itu mengunakan kedua telapak tangan menutupi kedua telinganya sendiri, diapun melakukan hal serupa.

Sementara itu, Pek-bin Tok-ong, Siwananda dan Tailucin sudah mengatur pernapasan dan mengerahkan sin-kang karena mereka maklum apa yang akan dilakukan oleh rekan mereka itu. Hanya Ceng Liong yang tidak mengerti dan anak ini hanya memandang kepada gurunya yang amat dikagumi karena gurunya tadi telah mengalahkan lawan dengan baik sekali.

“Ceng Liong, kau tutup kedua telingamu dengan tangan, atau untuk sementara keluarlah engkau dari ruangan ini,” kata Hek-i Mo-ong kepada muridnya.

“Aku ingin nonton, Mo-ong!”

Ceng Liong membantah dan gurunya tertawa. Anak itu sungguh tabah dan membanggakan hati yang menjadi gurunya. Sementara itu, Thai Hong Lama telah mulai meniup suling dengan tangan kanannya. Terdengar suara melengking nyaring, makin lama makin tinggi dan halus sekali, memasuki anak telinga seperti jarum menusuk-nusuk! Itulah suara suling yang ditiup dengan pengerahan khi-kang yang amat kuat.

Hek-i Mo-ong melempar pandang sekali lagi ke arah muridnya, akan tetapi dia tidak bicara lagi karena diapun harus mengerahkan sin-kangnya untuk menghadapi serangan suara ini. Dia merasa tubuhnya agak tergetar dan maklumlah dia bahwa suara suling itu sungguh berbahaya dan kalau dia tidak hati-hati, maka pertahanannya dapat dibobolkan sekali ini oleh Lama yang lihai itu.

“Rrrrtttt....!”

Tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dan tasbeh di tangan kiri kakek gundul itu telah menyambar ke arah sepasang sumpit yang menjepit daging. Hek-i Mo-ong terkejut dan cepat menarik tangan kiri mengelak, akan tetapi dia merasa betapa jari tangannya tergetar, tanda bahwa pertahanannya sudah goyah oleh suara suling itu. Urat-urat halus di jari-jari tangan yang memegang sumpit itu terpengaruh dan keadaannya berbahaya sekali.

“Rrrrkkkkkkk!”

Kembali tasbeh menyambar, sekali ini ke arah pergelangan tangan yang memegang sumpit.

“Trikkkkk!”

Hek-i Mo-ong terpaksa melempar daging itu ke atas, menggunakan sumpitnya menangkis tasbeh dan ketika daging itu meluncur turun, disambutnya dengan sepasang sumpitnya lagi! Sungguh indah sekali pertahanan ini sampai Thai Hong Lama mengangguk sedikit tanpa menghentikan permainan sulingnya. Memang hebat Raja Iblis ini, pikirnya. Akan tetapi dia masih mempunyai tiga jurus lagi.

Sementara itu, ketika suling mulai ditiup, Ceng Liong mendengarkan dengan penuh perhatian. Ada getaran halus yang menyerang telinganya, membuat tubuhnya tergetar, akan tetapi tanpa disadarinya, sumber tenaga sin-kang yang amat kuat, yang berada di pusarnya, bergerak sendiri naik dan melindungi tubuhnya yang segera terasa hangat dan suara suling itu sama sekali tidak mempengaruhi telinga, jantung maupun syarafnya.

Hanya anak ini merasa tidak senang sekali oleh suara itu, yang dianggapnya sumbang dan tidak enak seperti orang mendengarkan kaleng diseret. Maka, kegemasan mendengar suara tidak enak ini mendorong Ceng Liong untuk memukul-mukulkan sumpit gading di bibir mangkok kosong di atas meja di depannya sehingga terdengarlah bunyi tang-ting-tang–ting nyaring.

Suara tang-ting-tang-ting ini berlawanan dengan suara suling, dan karena Ceng Liong memukulnya dengan sengaja untuk mengacaukan suara suling yang dianggapnya tidak enak itu, maka terdengarlah paduan suara yang sumbang dan tidak karuan!

Mula-mula suara ini membuat Thai Hong Lama terheran, akan tetapi perhatiannya segera tertarik dan suara sulingnya tersendat-sendat seperti dihalangi oleh suara pukulan mangkok itu. Tentu saja kekuatan dalam suara suling menjadi terpecah dan kehilangan banyak daya serangnya.

Hal ini terasa oleh Hek-i Mo-ong dan Raja Iblis inipun tertawa, suara ketawanya mengandung khi-kang dan segera sisa tenaga dalam suara suling itu lenyap oleh suara ketawa ini.

“Ha-ha-ha, Lama apakah engkau sudah lupa akan sisi seranganmu?”

Diejek demikian, tanpa mengandalkan suara sulingnya lagi, Thai Hong Lama lalu menggunakan suling yang sudah dilepas dari mulutnya itu untuk menotok ke arah pundak lawan sedangkan tasbehnya menyambar ke arah daging di sumpit.

“Wirrr.... wuuuutt!”

Kembali serangan itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Hek-i Mo-ong yang kini telah terbebas dari gangguan suara suling sehingga dia mampu mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mempertahankan daging di ujung sumpit.

Dua kali lagi berturut-turut Lama itu menyerang, akan tetapi, selain sumpit itu selalu dapat dihindarkan dari benturan, juga kini tangan kiri Hek-i Mo-ong membantu dan melakukan penangkisan.

Pada serangan terakhir, tiba-tiba tangan kiri Hek-i Mo-ong menyambar sepotong bakso di dalam mangkok dan sekali menyentilkan bakso itu dengan telunjuk kirinya, “peluru” ini meluncur cepat dan memasuki lubang suling. Kalau tadinya suling yang digerakkan itu mengeluarkan suara, kini tiba-tiba saja suara itu terhenti seperti jengkerik terpijak! Serangan terakhir itu menjadi kacau dan tidak berhasil menjatuhkan daging dari jepitan suling di tangan Hek-i Mo–ong.

“Sungguh Hek-i Mo-ong amat lihai, pinceng mengaku kalah,” kata pendeta berjubah merah itu yang segera kembali ke tempat duduknya semula.

Kini Pek-bin Tok-ong mempersilahkan Siwananda untuk maju akan tetapi Siwananda yang merasa bahwa dia adalah wakil pemerintah Nepal, seorang wakil koksu negara, bersikap tenang dan berkata,

“Silahkan Tok-ong maju memperlihatkan kepandaian, kami ingin memperluas pengetahuan dengan menjadi saksi saja.”






Terpaksa Pek-bin Tok-ong maju dan menghampiri Hek-i Mo-ong. Kakek iblis ini tertawa dan mengganti daging baru yang diambilnya dari dalam mangkok.

“Ha-ha-ha. Tok-ong, terhadap engkau aku akan menghormati dengan daging baru, dan juga harus berhati-hati. Jangan-jangan semua ototku akan putus dan tulang-tulangku akan terlepas!”

Jelaslah bahwa dengan kata-kata itu Hek-i Mo-ong hendak menyindir calon lawan ini dengan Ilmu Hun-kin Coh-kut-ciang yang dimiliki Si Raja Racun itu. Pek-bin Tok-ong tersenyum. Tokoh Go-bi pertapa ini sudah pandai menyimpan perasaannya dan wajahnya nampak sabar dan tenang walaupun sesungguhnya orang ini memiliki kekejaman yang luar biasa.

“Mo-ong, aku selalu tidak percaya bahwa ada ilmu lain dapat menandingi ilmu barumu Tok-hwe-ji itu. Marilah kita coba-coba dalam kesempatan ini!”

Sambil berkata demikian, kakek ini menyingkap jubah putihnya, menggulung lengan bajunya sehingga nampak kedua lengannya yang kurus panjang seperti tulang terbungkus kulit saja. Akan tetapi, begitu dia menggerak-gerakkan kedua lengannya, kulit lengan yang tadinya putih pucat itu berobah menjadi agak biru seperti warna baja matang! Biru mengkilap dan kelihatan keras sekali.

Diam-diam Hek-i Mo-ong terkejut juga dan maklumlah dia bahwa lawannya ini ternyata telah melatih sin-kang yang amat kuat, yang membuat kedua lengan itu menjadi seperti baja dan jari-jari tangan itu tentulah amat kuat pula sehingga mampu memutuskan otot dan melepaskan tulang lawan. Maka, diam-diam diapun mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan diri dengan ilmunya yang mujijat, yaitu Ilmu Tok-hwe-ji yang mengerikan itu.

Dengan tubuh tegak di bangkunya, tangan kanan memegang sumpit yang menjepit daging baru, tangan kiri siap di atas meja di depan dadanya, Hek-i Mo-ong memandang lawan dengan mata beringas.

Dari pandang matanya saja keluar tenaga mujijat dan walaupun dia tidak bermaksud mempergunakan ilmu sihirnya di dalam ujian itu, namun tenaga ilmu hitam keluar dari matanya dan membuat Pek-bin Tok-ong bergidik. Tokoh inipun maklum bahwa kalau saja pertandingan ilmu ini bukan hanya sekedar ujian dan main-main, dia akan berpikir beberapa kali sebelum menentang seorang seperti Raja Iblis ini.

“Mo-ong, jagalah seranganku!”

Tiba-tiba Pek-bin Tok-ong berseru nyaring dan berbareng dengan bentakannya itu, tubuhnya sudah bergerak dan kedua lengannya menyambar ke arah lawan melalui atas meja yang menjadi penghalang di antara mereka. Kedua tangannya itu menyambar ke depan dengan jari terbuka, seperti sepuluh batang pisau yang amat kuat dan cepat menyambar ke arah pundak dan lengan kanan Mo-ong. Terdengar suara bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar dan terasa angin yang dingin sekali bertiup. Itulah ilmu pukulan Hun-kin Coh-kut-ciang yang dahsyat itu.

Namun, Hek-i Mo-ong tidak merasa gentar dan cepat tangan kirinya melakukan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan siku untuk menangkis atau mematikan serangan pertama itu, sedangkan tangan kanan yang memegang sumpit juga bergerak untuk mengelak. Serangannya belum mencapai sasaran dan di tengah gerakan telah disambut oleh totokan jari tangan yang dia tahu amat ampuh itu, maka tentu saja Pek-bin Tok-ong terpaksa menarik kembali serangannya sehingga serangan pertama itu gagal.

Selanjutnya, dia menyerang lagi dengan Hun-kin Coh-kut-ciang dan lawannya menyambut dengan Tok-hwe-ji yang menggerakkan ilmu totokan Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang) yang amat ampuh itu. Hebatnya, ketika mengerahkan ilmu ini, bukan hanya jari-jari tangannya yang amat hebat, dapat menembus tulang, akan tetapi juga dari mulutnya keluar uap putih yang amat panas dan inilah yang membuat Pek-bin Tok-ong merasa kewalahan. Beberapa kali kedua lengan bertemu, bahkan jari-jari tangan mereka sempat bertemu, akan tetapi selalu pertemuan itu mengakibatkan lengan dan tangan Raja Racun Muka Putih itu terpental dan tubuhnya tergetar.

Setelah lewat lima jurus dia menyerang tanpa hasil, akibatnya malah muka dan lehernya penuh keringat dan mukanya yang putih itu menjadi kemerahan seperti terbakar. Itulah akibat dari serangan atau tangkisan Ilmu Tok-hwe-ji!

“Hebat.... engkau memang pantas menjadi calon koksu, Mo-ong!” kata kakek muka putih itu sambil menjura dan kembali ke tempat duduknya.

Melihat kemenangan Hek-i Mo-ong secara berturut-turut itu, Yong-taijin memuji dan merasa girang sekali. Mempunyai seorang pembantu atau koksu seperti Hek-i Mo-ong sungguh membesarkan hati, pikirnya. Akan tetapi di situ masih terdapat Siwananda yang menjadi seorang diantara sekutunya yang terpenting. Bukankah kakek berkulit kehitaman ini wakil dari Kerajaan Nepal yang amat diharapkan akan dapat memperkuat kedudukannya kalau tiba waktunya dia menyerang kota raja? Maka, Gubernur Yong lalu berkata sambil tersenyum,

“Sekarang tiba giliran saudara Wakil Koksu Nepal untuk menguji calon pembantu kami.”

Siwananda bangkit berdiri dengan sikap angkuh, menjura kepada sang gubernur dan berkata,

“Maaf, taijin. Sesungguhnya, kami sudah melihat kelihaian calon koksu yang menjadi pembantu taijin dan merasa kagum sekali. Karena tiga orang rekan kami tadi sudah mengujinya dan dia lulus dengan baik, biarlah sekarang kami menguji sampai di mana kekuatan batinnya, karena kekuatan badan saja bukan merupakan syarat mutlak untuk menjadi seorang koksu yang baik.”

Gubernur Yong sudah mendengar bahwa orang Nepal ini, di samping ilmu silatnya, juga mahir ilmu sihir. Akan tetapi diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong juga seorang ahli sihir, maka dia merasa gembira akan dapat menyaksikan pertandingan adu kekuatan sihir. Dia mengangguk gembira dan berkata,

“Silahkan, saudara Siwananda.”

Kakek Gurkha yang tinggi besar ini segera menghampiri meja kecil di mana Hek-i Mo-ong telah menantinya dan duduk berhadapan dengan Raja Iblis itu. Sejenak mereka hanya saling berpandang mata. Biarpun bagi orang lain mereka itu hanya saling pandang, namun sesungguhnya kedua orang ini sedang mengukur tenaga dan kekuatan batin mereka masing-masing melalui pandang mata itu!

Terjadilah adu kekuatan mujijat melalui sinar mata mereka dan diam-diam Siwananda terkejut. Diapun sudah mendengar bahwa Hek-i Mo-ong pandai ilmu sihir, akan tetapi dia tidak mengira bahwa kekuatan yang terkandung dalam sinar mata itu demikian kuatnya!

Dia tidak tahu bahwa kekuatan ilmu sihir memang menjadi berlipat ganda dengan kuatnya tenaga sin-kang yang dimiliki Hek-i Mo-ong. Biarpun mereka yang hadir itu hanya menduga-duga bahwa kedua orang itu saling mengukur tenaga batin, namun mereka mulai merasakan getaran aneh yang memenuhi ruangan itu, yang membuat mereka merasa tegang dan juga seram.

“Hek-i Mo-ong, yang kau pegang dengan sumpit itu seekor burung hidup!”

Tiba-tiba terdengar suara Wakil Koksu Nepal itu. Semua orang memandang ke arah potongan daging yang dijepit sumpit di tangan Hek-i Mo-ong dan terbelalaklah mereka ketika melihat bahwa daging itu kini benar-benar telah menjadi seekor burung kecil yang menggelepar-geleparkan sayapnya berusaha untuk lolos dari jepitan sepasang sumpit.

Kalau burung itu sampai lolos, maka berarti Hek-i Mo-ong kalah karena bukankah ujian itu untuk merampas daging dari jepitan sumpitnya? Dan agaknya tidak akan mudah menahan terbangnya burung itu dengan jepitan sumpit saja.

“Biarpun burung hidup, kalau sayapnya gundul, mana bisa terbang?” tiba-tiba terdengar suara Hek-i Mo-ong, sama berwibawanya dengan suara Siwananda tadi.

Dan burung yang tadinya menggeleparkan sayapnya itu tiba-tiba saja kehilangan kekuatannya dan sayap itu benar-benar telah kehilangan bulunya, menjadi gundul dan hanya dapat digerak-gerakkan naik turun dengan lemah saja!

“Hek-i Mo-ong, sepasang sumpitmu itu adalah sepasang ular!”

Dan semua orang terbelalak kaget dan heran karena begitu Siwananda mengeluarkan teriakan ini, sepasang sumpit di tangan Raja Iblis itu benar-benar berobah menjadi dua ekor ular, sedangkan burung tadi telah berobah pula menjadi sepotong daging!

“Sepasang ular yang membantuku menjaga agar daging jangan terlepas!”

Hek-i Mo-ong menyambung, dan dua ekor ular itu kini “menari–nari” berlenggak-lenggok, akan tetapi daging itu mereka gigit dengan kuat-kuat sehingga tidak mungkin terlepas lagi.

Siwananda tertawa dan bangkit sambil menjura.
“Hek-i Mo-ong memang hebat dan kami mengucapkan selamat kepada Yong-taijin yang telah memperoleh seorang calon koksu yang amat pandai!” Kakek Gurkha ini lalu memberi hormat kepada Gubernur Yong.

Pembesar ini merasa girang sekali, memandang kepada Hek-i Mo-ong yang kini mengantar sepotong daging dengan sepasang sumpitnya yang telah kembali berbentuk sumpit biasa itu ke mulut, lalu makan dengan lahapnya seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

Ceng Liong merasa bangga dan girang. Dia menghampiri gurunya dan berkata,
“Mo-ong, aku mengucapkan selamat atas pengangkatanmu sebagai koksu!” Dan dengan hati setulusnya anak ini mengangkat kedua tangan ke dada untuk memberi hormat!

“Ha-ha-ha, terima kasih, Ceng Liong. Akan tetapi aku belum menjadi koksu, hanya baru calon saja. Mudah-mudahan semua usaha kita bersama ini berhasil sehingga aku benar-benar menjadi koksu dan engkau menjadi seorang pemuda bangsawan, murid koksu. Ha-ha-ha!”

Tailucin, Thai Hong Lama, dan Pek-hin Tok-ong juga mengucapkan selamat atas kemenangan dan keberhasilan Hek-i Mo-ong menempuh ujian itu, dan Thai Hong Lama yang tadi merasa betapa suara sulingnya dikacaukan oleh anak itu sehingga memudahkan Hek-i Mo-ong memperoleh kemenangan atas dirinya, menambahkan,

“Omitohud.... Mo-ong, muridmu ini benar-benar hebat dan kelak dia akan lebih hebat dan lebih jahat daripada gurunya!”

Dikatakan jahat bagi seorang datuk sesat macam Hek-i Mo-ong sama saja dengan menerima pujian! Maka diapun tertawa bergelak. Akan tetapi Ceng Liong memandang pendeta Lama itu dengan mata mendelik, lalu terdengar dia berkata lantang.

“Lama, jangan sembarangan saja bicara! Aku bukan seorang penjahat dan tidak akan menjadi seorang penjahat biarpun aku mempelajari ilmu dari Hek-i Mo-ong!”

Tentu saja semua orang menjadi heran mendengar ucapan anak itu, akan tetapi Hek-i Mo-ong tertawa semakin keras karena dia melihat betapa lucunya keadaan yang ditimbulkan oleh sikap muridnya yang aneh ini. Semakin aneh watak muridnya, semakin sukalah hati Hek-i Mo-ong, karena bagi kaum sesat, yang diutamakan adalah keanehan dan sifat yang lain daripada orang lain, dan menerjang semua hukum-hukum yang telah ada tanpa memperdulikan tata susila atau kesopanan pula.

Gubernur Yong yang diam-diam tidak suka dengan watak orang-orang ini akan tetapi terpaksa bersikap ramah terhadap mereka karena memang dia amat membutuhkan bantuan mereka, lalu mengajak mereka untuk mulai berunding yang sesungguhnya merupakan acara inti dari pertemuan itu.

Sebagai seorang yang mengharapkan kedudukan koksu dan pembantu utama gubernur yang hendak memberontak itu, Hek-i Mo-ong mendengarkan dengan penuh perhatian. Juga Ceng Liong, walaupun belum dapat menangkap seluruh maksud dari percakapan itu, mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia mendapatkan perasaan bahwa apa yang didengarnya itu amat penting baginya.

Dengan panjang lebar dan jelas, Gubernur Yong menceritakan rencana mereka bersama. Kerajaan Nepal akan mengirim pasukan yang kuat dan besar untuk menyerang Tibet. Serbuan ini diharapkan dapat berhasil dalam waktu yang tidak terlalu lama dan mengandalkan bantuan dari dalam yang akan digerakkan dan diatur oleh Thai Hong Lama.

“Jangan khawatir, untuk keperluan itu pinceng telah memiliki banyak kawan sehaluan dan sewaktu-waktu tentu kami akan dapat membantu. Pendeknya, dengan bantuan kami, bala tentara Nepal tentu tidak akan suka untuk menduduki Tibet.”

Demikian Thai Hong Lama mengutarakan isi hatinya. Menurut perjanjian mereka, setelah Tibet jatuh ke tangan Kerajaan Nepal, Thai Hong Lama yang akan diangkat sebagai penguasa Tibet, tentu saja sebagai negara taklukan dari Nepal. Dan untuk keperluan menyerbu Tibet, Gubernur Yong akan membantu, yaitu dengan mencegah datangnya bala bantuan berupa bala tentara Kerajaan Ceng.

Dengan demikian, tentu Tibet akan mudah direbut dan bantuan Gubernur Yong ini amatlah penting karena kalau sampai bala tentara Ceng membantu Tibet, tentu akan sukarlah daerah itu direbut oleh pasukan Nepal. Apalagi kalau bala tentara Kerajaan Ceng itu dipimpin oleh panglima-panglima pandai seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong yang pernah membuat tentara Nepal kocar-kacir beberapa tahun yang lalu (baca KISAH SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ).

Kemudian, setelah mereka berhasil merebut Tibet, barulah mereka akan mengadakan pasukan gabungan antara bala tentara Nepal, Tibet dan pasukan-pasukan yang berjaga di barat dan telah dikuasai oleh Thong-ciangkun sebagai pembantu Gubernur Yong dan melakukan penyerbuan ke timur untuk menentang Kerajaan Ceng.

“Akan tetapi, kita harus bertindak hati-hati sekali, tidak perlu tergesa-gesa dan menanti saat yang baik. Kita harus ingat bahwa kerajaan memiliki banyak panglima yang pandai dan pasukan yang kuat,” kata sang gubernur.

“Ha-ha-ha, harap taijin tenangkan hati dan tidak perlu khawatir tentang orang-orang pandai itu. Dengan bantuan para rekan yang kini hadir, saya sanggup untuk menentang dan membasmi para jagoan kerajaan itu. Dengan bantuan teman-teman, bahkan para penghuni Pulau Es pun tidak dapat melawan kami!”

Akan tetapi, ketika bicara sampai di situ, Hek-i Mo-ong merasa betapa ada sepasang mata yang mendelik kepadanya. Dia menoleh dan terkejut melihat bahwa orang yang melotot kepadanya itu adalah muridnya. Dia sadar dan tidak melanjutkan kata-katanya. Akan tetapi ucapannya yang terakhir itu telah membuat para tokoh di situ menjadi terbelalak.

“Apa katamu? Para penghuni Pulau Es....?” kata Pek-bin Tok-ong kaget.

“Omitohud....! Kau maksudkan bahwa engkau telah berhasil membunuh Pendekar Super Sakti dari Pulau Es?” tanya pula Thai Hong Lama yang menganggap berita itu seperti petir menyambar di siang hari panas.

Hek-i Mo-ong menjadi serba salah. Dia tahu bahwa di depan muridnya, amat tidak baik membicarakan tentang kebinasaan para penghuni Pulau Es, akan tetapi dia telah terlanjur bicara dan takkan dapat ditariknya kembali. Maka diapun menarik napas panjang.

“Manusia mana di dunia ini yang sanggup mengalahkan Pendekar Super Sakti, majikan Pulau Es? Bahkan dewa sekalipun akan sukar mengalahkannya. Tidak, kami tidak berani melawan Pendekar Super Sakti. Kami hanya melawan isteri-isterinya dan hal itupun mengakibatkan tewasnya banyak anak buah dan hampir semua kawan-kawanku. Mereka itu sungguh hebat bukan main. Aku sendiri nyaris binasa. Bagaimanapun juga, kini Pulau Es telah terbakar habis berikut para penghuninya, dan kami akan terus melakukan sampai semua pendekar yang menentang kami lenyap dari permukaan bumi. Bukankah kalau sudah begitu, gerakan taijin akan lebih mudah dilakukan?”

Gubernur Yong mengangguk-angguk, akan tetapi Pek-bin Tok-ong agaknya masih penasaran mengenai Pulau Es.

“Mo-ong, kau katakan bahwa Pulau Es terbakar habis berikut para penghuninya. Benarkah itu? Apakah engkau dan kawan-kawanmu yang telah berhasil membakar pulau itu?”

Kalau saja dia tidak teringat kepada kehadiran muridnya, tentu dengan senang dan bangga sekali Hek-i Mo-ong akan membual dan mengaku bahwa dialah yang telah menghancurkan dan membakar Pulau Es. Akan tetapi, kehadiran Ceng Liong membuat dia tidak mungkin dapat membohong. Watak muridnya ini aneh sekali, siapa tahu muridnya akan membuatnya malu dan menyangkalnya kalau dia berbohong.

“Tidak, kami sisa para penyerbu telah meninggalkan pulau ketika kami melihat dari jauh pulau itu terbakar habis.”

Karena tidak ingin mereka itu mendesak lebih lanjut tentang Pulau Es dan kini sikap Ceng Liong telah biasa kembali, Hek-i Mo-ong lalu berkata cepat,

“Akan tetapi, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan perjuangan kita. Lebih baik kita sekarang melihat halangan dan hambatan apa yang kiranya akan mengganggu gerakan kita dan kita lenyapkan halangan itu.”

Semua orang mengangguk setuju dan Wakil Koksu Nepal lalu berkata,
“Memang benar apa yang dikatakan Mo-ong. Kita harus menghalau semua hambatan dan ada beberapa hal yang membuat kami merasa gelisah. Pertama-tama adalah negara tetangga kami yang kecil, yakni Bhutan. Negara kecil itu menjadi penghalang besar bagi gerakan kami menyerbu Tibet karena sampai sekarang Bhutan tidak mau tunduk, bahkan tidak memiliki sikap bersahabat dengan kami. Karena itu, setiap gerakan kami yang melanggar wilayah mereka, tentu akan mereka tentang dan hal ini sungguh memusingkan dan membuang banyak tenaga kalau kami harus menggempur Bhutan lebih dulu.”

“Bhutan? Negara yang demikian kecilnya?” Gubernur Yong memandang rendah. “Apa sih kekuatan negara kecil itu? Mengapa tidak ditundukkan saja lebih dulu? Hal itu tentu jauh lebih mudah daripada menundukkan Tibet.”

“Agaknya Yong-taijin belum mendengar. Bhutan sekarang tidak dapat disamakan dengan Bhutan belasan tahun yang lalu. Biarpun negara itu kecil, akan tetapi memiliki pasukan pilihan yang amat kuat, di bawah pimpinan Puteri Syanti Dewi yang lihai dan suaminya yang lebih lihai lagi. Tidak, menyerbu Bhutan sama dengan mencari penyakit,” kata Siwananda, orang Gurkha yang menjadi Wakil Koksu Nepal itu dan sikapnya nampak jerih.

Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa heran. Wakil koksu itu sendiri demikian lihai, akan tetapi kelihatan jerih ketika menyebutkan nama seorang Puteri Bhutan dan suaminya.

“Omitohud, pinceng pernah mendengar tentang mereka dan kabarnya suami isteri itu memang luar biasa lihainya. Kabarnya, puteri itu pandai menghilang saking cepatnya ia dapat bergerak, sedangkan suaminya adalah seorang Han yang pada belasan tahun yang lalu pernah menggegerkan dunia kang-ouw. Kalau tidak salah, dia berjuluk Toat-beng-ci atau Si Jari Maut. Sang puteri kabarnya tidak mau menggantikan ayahnya dan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang saudara laki-laki, sedangkan ia sendiri bersama suaminya menjadi panglima-panglima yang memimpin bala tentara Bhutan. Benarkah demikian, saudara Siwananda?” Yang ditanya mengangguk membenarkan.

“Dan halangan lain, apakah itu, saudara Siwananda?” tanya sang gubernur.

“Selain adanya Bhutan yang menjadi penghalang, juga kini banyak terdapat tokoh-tokoh pertapa di Himalaya yang kabarnya diam-diam juga mengamati gerak-gerik kami. Mereka itu kadang-kadang mengambil sikap bermusuh dan agaknya mereka tentu akan ikut menentang kalau kami menyerbu Tibet. Semua ini adalah gara-gara Jenderal Kao Cin Liong yang dahulu pernah menentang kami dan di sana dia telah mempunyai banyak sahabat yang siap membantunya dan menentang kami.”

Semua orang merasa khawatir dengan berita yang tidak baik ini.
“Ah, kalau begitu.... gerakan kita menghadapi ancaman yang berat.” kata Gubernur Yong, kemudian ia teringat akan Hek-i Mo-ong yang menjadi pembantu utamanya, maka diapun menoleh kepada Raja Iblis itu.

“Lo-sicu, kita menghadapi rintangan yang cukup berat, kalau menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?”

Pertanyaan ini selain memancing, juga agaknya sang gubernur ingin melihat kegunaan dari orang lihai ini. Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk sambil mengerutkan sepasang alisnya yang sudah beruban, seperti seorang ahli pikir yang sedang mengerjakan otaknya yang cerdik.

“Hal itu sudah saya pikirkan sejak mendengar dari saudara Siwananda tadi, taijin. Harap taijin jangan khawatir. Kalau yang menjadi penghalang itu berupa pasukan besar, tentu saja yang harus menghalaunya juga pasukan yang lebih kuat lagi. Akan tetapi kalau yang dikhawatirkan itu perorangan, seperti suami isteri bangsawan Kerajaan Bhutan itu atau tokoh-tokoh pertapa di Himalaya, serahkan saja kepada saya, tentu akan dapat saya enyahkan mereka!”

Sang gubernur mengangguk-angguk girang.
“Lalu, sekarang apa yang hendak sicu lakukan?”

“Perkenankan saya dan murid saya pergi ke Bhutan dan Himalaya untuk melakukan penyelidikan dan saya akan membasmi setiap orang yang hendak menentang gerakan kita dari Nepal ke Tibet lalu ke timur.”

”Omitohud....! Itulah yang terbaik!” kata Thai Hong Lama. “Kalau Mo-ong mau membantu, nanti akan pinceng tunjukkan siapa-siapa orangnya yang patut dibasmi. Kita dapat bekerja sama, Mo-ong.”

“Akupun mengenal mereka yang berpihak kepada Kerajaan Ceng!” kata Pek-bin Tok-ong. “Dan engkau bisa mendapatkan bantuanku untuk menghantam para pertapa itu, Mo-ong.”

Hek-i Mo-ong mengangguk.
“Baik, kalau perlu, aku akan menghubungi kalian di sana. Akan tetapi, agaknya untuk melaksanakan pekerjaan ringan ini aku tidak akan membutuhkan bantuan orang lain.”

“Dan kami akan mempersiapkan pasukan kami di perbatasan utara dan Tibet. Harap saudara Siwananda selalu mengirim kurir penghubung agar kami selalu dapat mengikuti sampai di mana majunya gerakan dari Nepal,” kata Tailucin.

“Baik, kami tentu selalu menghubungi pasukanmu, saudara Tailucin, jangan khawatir,” jawab orang Gurkha itu.

Perjamuan dilanjutkan dengan meriah dan gembira. Kemudian sang gubernur dengan royal lalu membagi-bagi hadiah berupa barang-barang berharga kepada mereka semua sebelum mereka bubaran.

Hek-i Mo-ong menerima sekantung uang emas sebagai bekal, juga dua ekor kuda yang amat baik. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Hek-i Mo-ong dan Ceng Liong telah berangkat menunggang kuda menuju ke barat.

**** 027 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar