FB

FB


Ads

Rabu, 30 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 023

“Ayah....! Ibu....!”

Melihat Suma Hui datang bersama seorang pemuda tampan dan dara itu dari pekarangan sudah lari menghampiri mereka sambil menangis, hati Suma Kian Lee dan isterinya diliputi kekhawatiran yang timbul dari kejutan dan keheranan. Mereka mengenal puteri mereka yang cerdik, lincah dan galak, keras hati dan tidak mudah menjadi lemah, tidak mudah menangis cengeng menghadapi apapun juga.

Kalau sekarang puteri mereka sampai demikian sedihnya, tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat. Puteri mereka berada di Pulau Es bersama Ciang Bun, akan tetapi sekarang puteri mereka itu pulang tanpa Ciang Bun, bahkan bersama seorang pemuda asing, dan dara itu menangis seperti itu!

Suma Kian Lee, ayah Suma Hui, adalah seorang pendekar sakti, putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Lulu. Berbeda dengan Suma Kian Bu, pendekar ini orangnya serius, pendiam, tenang dan sabar. Isterinya bernama Kim Hwee Li, dahulunya seorang gadis petualang yang gagah perkasa dan berani, yang berkecimpung di dalam dunia kaum sesat namun tak pernah ikut menjadi jahat, seperti mutiara yang terendam di lumpur, tetap cemerlang bahkan lebih cemerlang.

Akan tetapi, hidup di antara kaum sesat itu membuat hatinya menjadi keras sekali dan tidak pernah merasa takut, sedangkan ilmu kepandaiannya juga amat hebat. Ia berusia kurang lebih empat puluh tiga tahun sekarang, empat tahun lebih muda dari suaminya, namun, dengan pakaiannya yang terbuat dari sutera hitam itu, ia masih nampak ramping dan padat, wajahnya masih tetap cantik dan nampak jauh lehih muda daripada usia yang sesungguhnya.

Mereka hidup dengan tenang di Thian-cin, sebuah kota di selatan kota raja. Seperti telah kita ketahui, dua orang anak mereka, yaitu Suma Hui dan Suma Ciang Bun, menemani kakek nenek mereka di Pulau Es sambil memperdalam ilmu mereka. Tentu saja suami isteri ini merasa kesepian setelah dua orang anak mereka pergi ke Pulau Es dan hampir setiap hari mereka membicarakan dua orang anak mereka dengan hati rindu.

Mereka tidak menyangka bahwa pagi hari itu, selagi mereka duduk di serambi depan, mereka akan melihat puteri mereka pulang dalam keadaan yang demikian mengherankan dan mengkhawatirkan.

Suami isteri itu menyambut Suma Hui dengan rangkulan dan ciuman. Kalau Suma Kian Lee bersikap tenang-tenang saja, tidak demikian dengan Kim Hwee Li. Setelah merangkul dan menciumi pipi puterinya, ibu ini membentak,

“Apa-apaan engkau ini, Hui-ji? Hayo hentikan kecengenganmu ini dan ceritakan yang jelas apa yang telah terjadi denganmu! Dan mana Ciang Bun?”

“Nanti dulu,” kata Kian Lee. “Hui-ji, perkenalkan dulu siapa orang muda yang datang bersamamu ini.”

Suma Hui juga memiliki kekerasan hati seperti ibunya, maka sebentar saja ia sudah dapat menguasai hatinya dan menghentikan tangisnya.

“Ayah, ibu, dia ini adalah Kao Cin Liong, putera dari enci Wan Ceng.”

“Aihhh....! Jadi engkau ini putera Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu?” Kim Hwee Li berseru girang.

“Hemm, kalau begitu masih cucu keponakanku sendiri, bukan orang lain. Mari kita masuk dan bicara di dalam,” kata Kian Lee dengan sikapnya yang tenang.

Kao Cin Liong memandang kepada sepasang pendekar itu dengan kagum. Sikap kakek pamannya itu sungguh mengagumkan, begitu tenang dan terkendali, sebaliknya suami isteri pendekar itupun membayangkan keagungan dan wibawa yang gagah perkasa. Hatinya terasa gentar dan mengecil kalau dia teringat bahwa dia telah jatuh cinta dengan Suma Hui dan dia gentar membayangkan bagaimana suami isteri pendekar ini akan bersikap kalau mendengar akan urusan cintanya itu.

Maka diapun cepat menjura dengan hormat. Sebenarnya dia harus menyebut cek-kong (kakek paman) kepada pendekar ini, akan tetapi dia tidak berani dan menyebut locianpwe, sebutan yang menghormat dalam dunia persilatan terhadap orang yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya.

“Terima kasih, locianpwe.”

Merekapun memasuki ruangan dalam. Setelah pelayan mengeluarkan air teh, Hwee Li menutupkan pintu yang menembus ruangan itu sebagai tanda bahwa para pelayan tidak diperkenankan masuk atau mendekat. Setelah itu berkatalah nyonya ini,

“Nah, sekarang ceritakanlah apa yang terjadi.”

“Ohh, ibu, telah terjadi malapetaka yang amat hebat menimpa keluarga kita....” Suma Hui mengeluh, “peristiwa yang amat buruk....”

“Setiap peristiwa yang terjadipun terjadilah. Setiap penilaian baik atau buruk hanya menipiskan kewaspadaan,” kata Kian Lee mencela pendapat puterinya. “Ceritakan saja selengkapnya dan jangan menilai.”

Akan tetapi Hwee Li sudah memegang lengan puterinya dan cengkeramannya itu kuat sekali sehingga kalau bukan puterinya yang dicengkeram, tentu tulang lengan itu akan patah atan setidaknya kulit lengan itu akan terluka!

“Hayo cepat katakan, apa yang telah terjadi?”

Karena maklum akan watak ibnnya yang dikenalnya dengan baik, yaitu tidak sabaran dan menjadi kebalikan dari watak ayahnya, Suma Hui tidak mau membuat ibunya kehilangan kesabaran, maka iapun langsung saja menceritakan inti semua peristiwa dengan kata-kata lirih,

“Kakek dan kedua orang nenek telah tewas, Pulau Es telah terbakar habis dan lenyap, adik Ciang Bun terjatuh ke dalam lautan berbadai dan lenyap, sedang adik Ceng Liong dilarikan oleh Hek-i Mo-ong!”

Suma Kian Lee adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan berbatin kuat, tenang dan bijaksana, sedangkan isterinya adalah seorang pendekar wanita yang gagah dan tabah, tidak mengenal takut.






Akan tetapi, berita yang diucapkan dari mulut puteri mereka sekali ini sungguh terlalu amat hebat! Wajah Kian Lee menjadi pucat dan alisnya berkerut, matanya memandang jauh dengan kosong dan dia tidak dapat mengeluarkan suara, sedangkan isterinya juga terbelalak pucat, mulutnya terbuka dan mulut itu ditutup dengan punggung tangan seolah-olah nyonya ini hendak menahan jeritnya. Suasana menjadi sunyi dalam beberapa detik, kesunyian yang mengerikan dan suasana menjadi tegang penuh getaran.

“Tidak....! Tidak mungkin....! Siapa yang melakukan itu? Siapa? Hayo katakan, siapa yang melakukan kebiadaban itu? Akan kuhancurkan kepalanya, kupecahkan dadanya, kupatahkan kaki tangannya!”

Nyonya itu bangkit dan mengepal tinjunya, dan Cin Liong mendengar suara berkerotokan pada buku-buku jari tangan yang masih halus itu! Bukan main hebatnya nyonya ini, pikirnya kagum dan juga gentar.

Melihat keadaan isterinya tercinta itu, Kian Lee melangkah maju dan memegang kedua tangan Hwee Li. Nyonya yang seperti tak sadar ini merasakan hawa yang hangat menggetar memasuki kedua lengannya dan iapun tersadar, lalu menoleh memandang suaminya dan tiba-tiba ia terisak, merangkul suaminya dan menangis tanpa suara di dada suaminya.

Kian Lee memejamkan kedua matanya dan mengelus rambut isterinya, menepuk-nepuk bahu isterinya, suatu gerakan yang sebenarnya untuk menepuk hatinya sendiri setelah mendengar akan kematian ayah bundanya di Pulau Es itu.

“Tenanglah.... mati hidup adalah wajar, bukan kita yang menguasainya....” katanya lirih sekali sehingga seperti bisikan dan tidak kentara kalau suaranya tergetar.

Hanya sebentar saja nyonya itu menangis tanpa suara, hanya pundaknya yang bergoyang sedikit. Kini ia telah mengangkat mukanya dari dada suaminya dan bukti tangisannya hanyalah baju suaminya yang menjadi basah dan matanya yang agak merah. Akan tetapi kini tidak nampak setetespun air mata pada mata atau pipinya ketika ia duduk kembali.

“Hui-ji, kini ceritakanlah selengkapnya terjadinya peristiwa itu,” Kian Lee berkata dengan suara yang lirih dan lesu.

Untuk kedua kalinya, pertama kali kepada Suma Kian Bu dan isterinya, dan kedua kalinya kepada ayah bundanya, Suma Hui menceritakan peristiwa di Pulau Es itu, didengarkan oleh ayah bundanya dengan penuh perhatian. Tentang penyerbuan para datuk, tentang kedatangan Cin Liong dan kemudian tentang kematian dua orang neneknya yang disusul kematian aneh dari kakeknya. Kemudian tentang penyerbuan para datuk dan anak buahnya diatas perahu mereka sehingga mereka cerai-berai dan tentu saja Suma Hui menceritakan dan menonjolkan peran Cin Liong yang telah banyak berjasa itu.

Bahkan dara itu menceritakan dengan teliti tentang jasa dan pertolongan Cin Liong kepadanya ketika dia ditawan oleh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng.

“Kalau tidak ada Cin Liong yang menyelamatkan aku, mungkin hari ini aku hanya tinggal nama saja,” demikian dara itu menutup kata-katanya sambil mengerling ke arah Cin Liong.

“Bibi Hui terlalu memuji-muji saya, sesungguhnya saya merasa menyesal sekali tidak dapat melindungi para paman kecil sehingga tidak diketahui bagaimana dengan nasib mereka sekarang.” Cin Liong merendahkan diri.

“Jadi di antara lima orang datuk itu, tiga telah tewas dan yang masih hidup adalah Hek-i Mo-ong yang melarikan Ceng Liong dan Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng itu?” tanya Kim Hwee Li yang seolah-olah hendak mencatat kedua nama itu baik-baik ke dalam ingatannya.

“Betul, ibu,” kata Suma Hui. “Akupun kelak harus dapat membalas sakit hati ini kepada dua orang datuk sesat itu, mencari adik Ciang Bun dan menolong adik Ceng Liong.”

“Mudah saja engkau bicara,” kata Suma Kian Lee. “Mereka adalah orang-orang lihai, kalau tidak mana mungkin kedua orang nenekmu sampai tewas? Pula, nama Hek-i Mo-ong sudah amat tersohor karena ilmu-ilmunya yang hebat. Engkau tinggal di rumah, aku sendiri yang akan mencari Ciang Bun.”

“Aku juga pergi!” kata Kim Hwee Li. “Biar Kian Bu dan isterinya menyusul dan mencari Ceng Liong sedangkan kita pergi mencari anak kita yang hilang. Perkara balas dendam, kelak kita rundingkan bersama keluarga Pulau Es.”

Kian Lee tidak dapat membantah keinginan isterinya. Cin Liong lalu berkata dengan sikap hormat,

“Karena sudah berhasil menemani bibi Hui sampai di rumah, perkenankan saya untuk melanjutkan tugas saya. Dan saya berjanji untuk ikut juga mendengarkan berita tentang paman-paman kecil Ciang Bun dan Ceng Liong.”

“Tugasmu sebagai jenderal?” tanya Kim Hwee Li tertarik.

“Benar, locianpwe. Saya ditugaskan oleh sri baginda kaisar untuk menyelidiki berita tentang pergerakan-pergerakan para pemberontak di barat dan utara. Saya ke Pulau Es juga hanya kebetulan saja dalam perjalanan saya melakukan tugas itu, ketika saya melihat rombongan anak buah para datuk itu membicarakan tentang Pulau Es. Sekarang saya akan melapor dulu ke kota raja, kemudian melanjutkan perjalanan ke barat.”

Kian Lee mengangguk-angguk.
“Kalau memang begitu, tidak sepatutnya kami menahanmu, Cin Liong. Dan kami sekeluarga mengucapkan terima kasih atas segala bantuanmu, baik terhadap keluarga Pulau Es maupun terhadap Hui-ji.”

“Saya kira tidak perlu demikian, locianpwe, mengingat bahwa di sana terdapat pula nenek buyut Lulu dan agaknya sudah menjadi kewajiban saya untuk membantu keluarga Pendekar Super Sakti Suma Han locianpwe dari serbuan para penjahat. Nah, saya mohon diri, locianpwe.” Dia memberi hormat kepada Suma Kian Lee dan Hwee Li, kemudian menghadapi Suma Hui.

“Bibi Hui, selamat tinggal....”

“Cin Liong....!” kata Suma Hui ketika ia melihat pemuda itu melangkah keluar, lalu ia meragu dan akhirnya ia lari menghampiri dan berbisik, “Bagaimana dengan urusan kita....?”

“Jangan khawatir, sebelum pergi ke barat, aku akan memberitahukan orang tuaku,”

Bisik Cin Liong kembali, lalu dia menjura lagi dan pergi dari situ, meninggalkan Suma Hui yang berdiri termangu-mangu dan merasa betapa hatinya perih dan sepi ditinggal pemuda yang semenjak beberapa lama menemaninya dan telah memenuhi hatinya itu.

Ia tidak tahu betapa suami isteri itu saling pandang dengan penuh arti, dan Suma Kian Lee membalikkan tubuhnya dengan tiba-tiba. Malam itu Kim Hwee Li merangkul puterinya dan mereka bicara bisik-bisik di dalam kamar gadis itu.

“Hui-ji, engkau cinta padanya, bukan?”

Dalam pelukan ibunya, Suma Hui mengangguk. Suasana sunyi dan tegang karena Suma Hui maklum betapa pentingnya pengakuannya itu bagi ibunya dan ia menantikan datangnya teguran ibunya. Setelah hening beberapa lama, terdengar suara ibunya, akan tetapi bukan suara marah sehingga debar jantung di dalam dada Suma Hui menjadi tenang.

“Hui-ji, sudah kau yakini akan cintamu itu?”

Kembali Suma Hui hanya mengangguk tanpa mengangkat mukanya yang tersembunyi dalam rangkulan ibunya. Setelah semua peristiwa hebat yang dialaminya selama berturut-turut ini, kini ia merasa aman sentausa dalam rangkulan ibu kandungnya. Kembali sunyi sejenak. Dan kini kembali suara ibunya terdengar halus tanpa kemarahan,

“Akan tetapi dia keponakanmu dan dia menyebutmu bibi!”

Biarpun ibunya tidak terdengar marah, akan tetapi jawaban halus ini bagi Suma Hui tetap saja merupakan kata-kata yang sifatnya menentang, maka iapun merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya dan bangkit berdiri lalu mundur, memandang kepada ibunya yang duduk di atas pembaringannya itu dari jarak dua meter.

Sampai beberapa lamanya dua orang wanita yang hampir serupa wajahnya itu saling pandang, dan barulah Suma Hui merasa yakin bahwa ibunya tidak marah dan tidak menentangnya. Maka iapun menubruk ibunya, duduk lagi dan merebahkan kepalanya di atas pangkuan ibunya dengan sikap manja.

“Akan tetapi dia itu lebih tua dariku, lebih pandai, lebih berpengalaman, dan lebih segala-galanya, ibu. Dia adalah seorang jenderal muda kepercayaan kaisar, dia gagah perkasa, berilmu tinggi, dan bijaksana, berbudi baik. Dialah yang membantu keluarga kakek di Pulau Es, dan dia pula yang menyelamatkan aku dari bencana besar. Pula hanya kebetulan saja dia itu terhitung keponakanku, padahal, hubungannya sudah amat jauh!”

“Memang sesungguhnya demikian. Kakek dari Cin Liong, kakek luar, yaitu ayah dari ibunya yang bernama Wan Keng In, hanyalah kakak tiri ayahmu, seibu berlainan ayah. Jadi, kalaupun ada hubungan darah antara engkau dan dia, hanyalah melalui darah nenekmu saja, akan tetapi pihak kakek, sama sekali berlainan.”

Mendengar ini, Suma Hui bangkit dan memandang ibunya penuh harapan.
“Kalau begitu, ibu setuju?”

Kim Hwee Li menahan rasa panas di kerongkongannya dan ia seperti menelan kembali air matanya. Bagaimanapun juga, sebagai seorang ibu, hatinya dilanda keharuan mendalam membicarakan urusan perjodohan puterinya sebagai anaknya yang pertama. Lalu ia memandang wajah puterinya dan mengangguk.

“Ibu sih setuju saja.”

“Ibuuu....!” Suma Hui merangkul dan menciumi pipi ibunya. “Ibu memang seorang yang amat berbudi....! Terima kasih, ibu.”

Kim Hwee Li mengejap-ngejapkan matanya dan bahkan mengusap dua titik air mata dengan ujung lengan bajunya. Di depan anaknya perempuan, ia tidak begitu malu menitikkan air mata walaupun sejak kecil ia melarang anak-anaknya menangis.

“Jangan bergirang-girang dahulu, Hui-ji. Aku tahu, ayahmu amat memperhitungkan urusan pertalian darah. Bahkan kalau aku tidak salah dengar, dahulu kabarnya pernah ayahmu sebelum bertemu dengan aku, jatuh hati kepada Ceng Ceng, akan tetapi begitu mengetahui bahwa Wan Ceng adalah keponakan tirinya, segera perasaan itu dibuangnya jauh-jauh. Entah bagaimana pendapatnya kalau mendengar bahwa engkau saling mencintai dengan orang yang masih terhitung keponakanmu sendiri. Aku khawatir, ayahmu tidak akan senang mendengarnya.”

“Akan tetapi.... ayah tidak layak menghalangi kebahagiaan hidupku, ibu!” kata Suma Hui, sikapnya keras.

Kim Hwee Li menarik napas panjang. Ia mengenal watak anaknya yang keras, dan suaminya walaupun pendiam dan tenang, namun juga di dasar hatinya memiliki kekerasan dan pendirian yang teguh. Maka ia melihat bayangan yang tidak menyenangkan dalam peristiwa ini.

“Mudah-mudahan saja tidak akan timbul pertentangan dalam keluarga kita sendiri karena urusanmu ini, Hui-ji. Aku akan berusaha melunakkan hati ayahmu.”

“Terima kasih, ibu.... engkau baik sekali! Ahh, aku amat mencintamu, ibu....!”

Suma Hui kembali merangkul ibunya dan beberapa lamanya ibu dan anak ini saling melepas rasa rindunya dan juga membicarakan nasib Ciang Bun yang belum ada beritanya itu dengan hati khawatir. Pada malam hari itu juga, agak larut, tidak lama setelah Kim Hwee Li keluar dari kamar puterinya, terjadi percakapan berbisik-bisik di dalam kamar suami isteri itu.

“Tidak! Tidak mungkin dan tidak boleh! Sungguh tidak tahu aturan sekali. Apakah mereka sudah buta sehingga tidak melihat bahwa mereka melakukan pelanggaran yang amat besar dan amat memalukan? Nama keluarga kita akan hancur oleh perbuatan yang tidak sopan itu. Aib akan menimpa nama kita. Anak kita itu perlu ditegur dan juga pemuda itu akan kutegur dengan keras!”

Dengan muka merah Suma Kian Lee berkata setelah mendengar keterangan isterinya bahwa puterinya saling mencintai dengan Kao Cin Liong, hal yang memang sudah disangkanya ketika pemuda itu berpamit kepada Suma Hui dan yang membuat dia merasa tidak enak sekali. Dialah yang menyuruh isterinya menyelidiki persoalan itu untuk meyakinkan hati, dan kini mendengar laporan isterinya bahwa memang benar puterinya jatuh cinta kepada pemuda yang menjadi keponakannya sendiri, dia marah bukan main.

“Akan tetapi, hubungan keluarga itu sudah jauh sekali, hanya melalui mendiang nenek Lulu,” isterinya mencoba untuk membantah.

“Jauh atau dekat, Kao Cin Liong itu adalah keponakan Hui-ji dan menyebutnya bibi. Apa akan dikata orang kalau mendengar bahwa anak kita berjodoh dengan seorang keponakannya sendiri? Muka kita seperti dilumuri kotoran! Dan engkau tahu, nama dan kehormatan lebih berharga daripada nyawa!” Makin bicara, makin marahlah Kian Lee. “Panggil Hui-ji ke sini, biar malam ini juga kutegur anak itu!”

“Tenanglah, suamiku. Hui-ji baru saja mengalami hal-hal yang amat mengerikan. Biarkan ia beristirahat. Mungkin karena kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan Cin Liong, apalagi karena Cin Liong telah menolongnya dari tangan Jai-hwa-cat, maka ia tertarik dan jatuh hati. Akan tetapi, belum tentu hal itu berakhir dengan perjodohan. Kita harus ingat bahwa Cin Liong juga mempunyai orang tua dan kurasa, ayah bundanyapun belum tentu setuju kalau mendengar putera mereka hendak berjodoh dengan seorang bibinya. Biarlah kita menunggu perkembangan. Kalau benar mereka itu datang meminang, masih banyak waktu bagimu untuk menolak pinangan itu.”

“Kalau Kao Kok Cu dan Wan Ceng berani datang meminang anak kita, berarti mereka menghinaku dan aku akan menghajar mereka!” kata pula Kian Lee semakin panas.

Isterinya lalu merangkulnya.
“Ihh, jadi pemarah amat engkau? Makin tua makin pemarah, sungguh tak baik itu. Sudahlah, mari kita tidur. Kita masih mempunyai kepentingan lain yang lebih mendesak, yaitu cepat mencari dan menemukan anak kita Ciang Bun.”

Diingatkan akan Ciang Bun, Kian Lee terdiam dan termenung penuh kegelisahan dan kedukaan. Namun, isterinya yang amat mencintanya itu pandai menghibur hatinya sehingga akhirnya sepasang suami isteri pendekar itupun tertidur. Akan tetapi, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kian Lee sudah berkata kepada isterinya,

“Isteriku, sebelum kita berangkat mencari Ciang Bun, kita harus lebih dulu mengatur sebaiknya untuk Hui-ji.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, niatku yang pernah terpendam di hatiku untuk menjodohkan Hui-ji dengan Louw Tek Ciang, akan kulaksanakan.”

“Putera Louw-kauwsu (guru silat Louw) itu? Ah, suamiku, apakah itu bijaksana? Hui-ji belum berkenalan dengan dia.”

“Sudah kupikir masak-masak semalam. Kuyakin lebih bijaksana daripada membiarkan ia jatuh cinta kepada keponakannya sendiri. Tek Ciang itu kulihat cukup baik dan berbakat dalam ilmu silat. Juga engkau tahu Louw- twako adalah sahabatku terbaik di kota ini dan dia adalah seorang ahli silat murid Siauw-lim-pai yang cukup baik, berwatak gagah pula.”

“Tapi.... bagaimanapun juga, ilmu silatnya masih jauh di bawah tingkat Hui-ji, apakah hal ini tidak akan mengecewakan kelak?”

“Hal itu tidak perlu khawatir, aku akan mengambilnya sebagai murid dan aku sendiri akan menggemblengnya sehingga dia cukup pantas menjadi suami Hui-ji.”

“Ahhh....!” Kim Hwee Li mengerutkan alisnya. Melihat kekhawatiran isterinya, Kian Lee memegang pundaknya dan berkata dengan tegas.

“Isteriku, demi kebahagiaan anak kita di kemudian hari, demi menjaga baik nama dan keturunannya, kita harus berani bertindak bijaksana dan tepat. Hari ini juga aku akan pergi mengunjungi Louw-twako untuk bicara soal itu, dan kalau kita pergi mencari Ciang Bun, kita boleh undang Tek Ciang agar sementara tinggal di sini menemani Hui-ji. Dengan demikian mereka berkesempatan untuk saling berkenalan. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali?”

“Hemm, aku tidak yakin. Kukira semua ini kau lakukan bukan untuk Hui-ji, melainkan untuk menjaga nama kehormatanmu sendiri.”

“Apa bedanya? Kehormatan kita adalah kehormatan Hui-ji pula. Kebahagiaan kita juga kebahagiaannya. Dia masih muda dan perlu dibimbing, baik dalam urusan cinta dan jodoh sekali pun. Percayalah, aku tidak akan bertindak salah, isteriku.”

“Sesukamulah,” akhirnya sang isteri menjawab, walau pun hatinya merasa tidak enak karena ia belum yakin betul akan kebenaran ucapan suaminya.

Suma Kian Lee, pendekar sakti itu, bagaimana pun juga hanyalah manusia biasa yang dapat terjerumus ke dalam pendapat yang keliru seperti terjadi kepada sebagian orang besar, orang-orang tua di dunia ini. Orang-orang tua seperti Suma Kian Lee itu terlalu memandang rendah kepada anaknya sehingga seolah-olah merasa dapat mengatur kehidupan dan kebahagiaan anaknya. Seolah-olah kebahagiaan dalam kehidupan itu adalah sesuatu yang dapat diatur.

Dia lupa bahwa kehidupan seseorang adalah mutlak milik si orang itu sendiri, tidak peduli orang itu adalah anaknya. Tiap orang berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, dan si orang itu sendirilah yang dapat merasakan kebahagiaan hidupnya.

Orang boleh saja mengatur untuk mengadakan kesenangannya, seperti kekayaan, kedudukan, termasuk pula suami yang dianggap sempurna dan sebagainya. Akan tetapi semua itu hanyalah bayangan khayal belaka dan hanya berlangsung sementara saja.

Siapa yang berani memastikan bahwa bagi seorang wanita, mempunyai suami yang muda, kaya, pandai dan berkedudukan itu pastilah akan mendatangkan bahagia? Atau sebaliknya bagi seorang pria mendapatkan isteri yang muda dan cantik jelita, pintar dan halus budi itu pun akan mendatangkan bahagia?

Kebahagiaan dalam perjodohan hanya mempunyai satu syaratnya, yaitu cinta kasih! Tanpa ini, segala macam kesenangan yang terdapat dalam perjodohan itu akan luntur dan besar kemungkinannya akan berakhir dengan percekcokan dan kesengsaraan.

Orang-orang tua banyak yang tidak sadar bahwa cintanya terhadap anaknya sudah menyeleweng ke arah cinta terhadap diri sendiri atau keinginan untuk mencari kepuasan diri sendiri. Itulah sebabnya mengapa orang-orang tua selalu memilihkan sesuatu bagi anaknya, dengan keyakinan bahwa pilihannya itu tentu akan cocok bagi anaknya, tentu akan membahagiakan anaknya! Padahal pada dasarnya, yang dapat dipilihnya itu yang dapat menyenangkan hatinya sendiri.

Orang tua seperti ini akan merasa senang jika yang dipilih anaknya itu yang disukainya pula, dan akan merasa tidak senang dan menentang kalau yang dipilih anaknya itu tidak mencocoki seleranya. Dia lupa bahwa selera anaknya itu, biar pun keturunannya sendiri belum tentu sama dengan seleranya sendiri.

Kalau orang tua sungguh-sungguh mencinta anaknya, dia harus berani membiarkan anaknya itu bebas menentukan jalan hidupnya, bebas memilih segala hal mengenai hidupnya, jodohnya, agamanya, pekerjaannya, sahabatnya, dan sebagainya. Tentu hal ini bukan berarti orang tua harus diam saja tak acuh dan tak peduli. Sama sekali bukan demikian.

Bahkan sebaliknya orang tua harus selalu waspada dan kalau dia melihat anaknya itu bertindak menuju ke arah hal yang membahayakan kehidupannya, adalah menjadi kewajibannya, berdasarkan cinta kasih, untuk mengingatkan anaknya, menantunya. Ini bukan berarti memaksanya menuruti kemauan orang tua dalam menentukan jalan hidup.

Akan tetapi, Suma Kian Lee agaknya merasa yakin bahwa tindakannya benar kalau dia dengan kekerasan menentang pilihan hati puterinya. Bahkan mengusahakan supaya puterinya itu berjodoh dengan orang lain yang dipilihnya, yang menurut anggapannya, cocok menjadi suami anaknya dan kelak akan berbahagilah.

**** 023 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar