FB

FB


Ads

Rabu, 30 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 022

Melihat ini, kakak beradik itu hanya tersenyum, bahkan Lee Siang lalu tertawa keras.
“Ha-ha-ha, Bun-hiante nampak malu-malu, jangan kita membuat dia bingung, Hiang-moi. Marilah kita pulang agar kong-kong tidak mengharap cemas.”

Mereka berperahu kembali ke pulau dan Ciang Bun menjadi termenung seorang diri, memikirkan keadaan dua orang kakak beradik ini, juga memikirkan keadaan batinnya sendiri yang mengalami gejolak amat hebatnya, membuat matanya terbuka dan dia melihat hal-hal aneh terjadi pada dirinya yang membuatnya cemas dan gelisah.

Tentu saja kepolosan dan kejujuran kakak beradik itu membuat Ciang Bun terkejut dan heran bukan main, bahkan ada kesan di hatinya bahwa mereka itu tidak sopan! Apakah soal cinta, bahkan soal sex, merupakan hal yang tidak patut untuk dibicarakan secara terbuka? Benarkah bahwa membicarakan hal itu secara jujur merupakan hal yang “tidak sopan”?

Tentu saja tidak sopan kalau diukur dari ukaran kesopanan umum, tidak susila kalau dipandang dari kacamata kesusilaan umum. Akan tetapi bagaimanakah sesungguhnya? Mengapa kesusilaan kita mengharamkan kejujuran terhadap dua hal ini, terutama perihal sex? Bukankah cinta dan sex merupakan hal-hal yang erat kaitannya dengan kehidupan, bahkan merupakan kenyataan yang tidak mungkin dapat dihindarkan oleh setiap orang manusia sehingga merupakan suatu kewajaran dalam hidup? Mengapa lalu diharamkan pengertian tentang itu sehingga kita menjauhkan anak-anak dari pengertian tentang hal itu?

Tak perlu diperbantahkan lagi bahwa membicarakan cinta dan sex dengan maksud untuk bicara cabul, untuk main-main, adalah hal yang sama sekali tidak patut. Membicarakan apapun juga kalau pamrihnya hanya untuk main-main dan mengandung dasar pemikiran dan bayangan kotor atau cabul, jelas tidak ada manfaatnya bahkan merusakkan kejernihan batin. Akan tetapi, bagaimana kalau membicarakannya tanpa dasar kotor seperti itu, melainkan bicara seperti kita membicarakan sesuatu yang tidak terpisah daripada kehidupan itu sendiri?

Adalah pandangan tradisionil nenek moyang kita yang sengaja mengharamkan percakapan tentang cinta dan sex sebagai sesuatu yang memalukan, tentu saja pada mulanya dimaksudkan untuk membuat kita malu untuk melanggarnya. Namun, pandangan macam ini lalu menimbulkan suatu pandangan yang tidak menguntungkan terhadap sex, seolah-olah sex merupakan suatu perbuatan yang tidak pantas, memalukan, dan membongkar sesuatu yang kotor yang kita lakukan! Inilah yang menyebabkan semua orang menutup mulut tentang sex dan merahasiakan perasaan cintanya terhadap orang berlainan kelamin, hanya karena sudah tumbuh dalam batinnya pendapat tradisionil itu.

Sudah tiba saatnya bagi kita untuk merobah pandangan yang keliru ini. Kita harus berani membuka mata bahwa persoalan cinta dan sex adalah persoalan hidup yang menyangkut kehidupan setiap orang manusia. Setiap orang anak pada saatnya pasti akan memasuki tahap ini dan daripada mereka memasukinya dengan membuta, daripada mereka memperoleh keterangan-keterangan yang menyesatkan tentang cinta dan sex dari orang lain, daripada mereka memperoleh pengertian melalui percakapan-percakapan yang berdasarkan pandangan cabul dan kotor, alangkah baiknya kalau mereka, anak-anak itu mendengarnya dari orang tua atau pendidikan sendiri, dengan cara yang terbuka dan jujur, tanpa didasari kecabulan.

Liu Lee Siang dan Liu Lee Hiang sejak kecil hidup di pulau kosong bersama kakeknya, dan mereka itu hanya sekali waktu saja bertemu dengan orang-orang lain jika kebetulan mereka ikut kakek mereka untuk berbelanja ke daratan besar atau ke pulau-pulau lain.
Mereka mendapatkan pendidikan bun (tulisan) dan bu (silat) dari kakek mereka sendiri. Akan tetapi kakek mereka ini cukup bijaksana untuk memberi pengertian kepada mereka tentang cinta antara pria dan wanita dan tentang hubungan antara pria dan wanita, walaupun secara sederhana.

Kemudian, dengan menyaksikan hubungan-hubungan kelamin antara binatang-binatang di sekitar tempat itu, antara ikan-ikan, burung-burung dan binatang hutan yang mereka dapatkan di kepulauan lain, kedua orang kakak beradik ini tumbuh dengan pengertian tentang cinta dan sex secara wajar. Mereka tahu bahwa hubungan itu antara kakak dan adik adalah hal yang tidak baik, tidak wajar dan menurut kakek mereka, berbahaya bagi kesehatan mereka, maka mereka menganggapnya sebagai hal yang sama sekali tidak boleh dilakukan.

Pengertian ini membuat cinta mereka sebagai kakak beradik tidak dipengaruhi berahi sama sekali. Namun, mereka sudah biasa untuk bicara tentang cinta, bahkan tentang sex, secara terbuka dan tanpa malu-malu, seperti kalau mereka bicara tentang penderitaan lapar dan haus, dan tentang kenikmatan makan dan minum. Keterus terangan inilah yang membuat Ciang Bun menjadi terkejut, heran dan juga malu dan canggung.

Malam itu Ciang Bun tidak dapat memejamkan matanya. Selama tiga bulan ini, dia tinggal di pulau itu dan merasa betah sekali karena tiga orang penghuni pulau itu amat baik kepadanya. Dia tidur sekamar dengan Lee Siang. Akan tetapi malam ini dia gelisah! Dia merasa akan datangnya sesuatu yang mungkin akan merobah seluruh kehidupannya.

Peristiwa siang tadi sungguh mendatangkan kesan yang amat mendalam, ketika dia dicium Lee Hiang, kemudian ketika Lee Siang “menciumnya” untuk mengajarnya melakukan pertolongan kepada korban lecutan belut petir. Akhirnya ketika tanpa malu-malu lagi Lee Hiang menyatakan cintanya kepadanya, bahkan diperkuat oleh ucapan-ucapan Lee Siang!

Lee Hiang jatuh cinta padanya! Cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Dia sudah banyak mendengar dan membaca tentang cinta, antara pria dan wanita ini. Akan tetapi, mengapa dia merasa bingung? Apakah dia tidak mencinta Lee Hiang? Dia suka sekali kepada Lee Hiang yang jenaka dan cantik manis, lincah dan merupakan seorang sahabat yang amat menyenangkan.

Akan tetapi, terus terang saja dia sama sekali tidak merasa tertarik atau terangsang oleh Lee Hiang, bahkan ketika dara itu menciumnya di dalam air, dia merasa terkejut, malu dan tidak senang! Sebaliknya, ketika Lee Siang mengajarkan cara pertolongan itu dan beradu mulut dengan dia, dia merasa begitu terangsang dan senang, begitu nyaman dan.... dia sendiri tidak tahu perasaan apa lagi yang mengaduk hatinya. Pendeknya dia merasa mesra dan senang sekali!

Kini teringatlah dia betapa setiap malam, kalau Lee Siang sudah tidur nyenyak, seringkali dia duduk dan memandangi wajah dan tubuh temannya itu dengan perasaan yang luar biasa. Dan setelah teringat akan semua itu, teringat pula akan perasaan aneh yang menyelinap di hatinya ketika pemuda itu “menciumnya”. Ciang Bun merasa terkejut, bingung dan gelisah. Kini dia melihat kenyataan aneh dan mengejutkan yang berada dalam batinnya, yaitu bahwa dia sama sekali tidak pernah tertarik kepada kaum wanita!






Memang dia dapat melihat keindahan tubuh wanita, kecantikan wajah wanita, akan tetapi semua itu sama sekali tidak menimbulkan gairah, sama sekali tidak mendatangkan kemesraan dan tidak mempunyai daya tarik baginya. Sebaliknya, dia amat tertarik kepada Ceng Liong, kepada Kao Cin Liong dan kini dia arnat tertarik kepada Lee Siang! Bahkan ketika pemuda itu “menciumnya”, dia merasa amat senang dan bangkit rangsangan gairahnya, terasa amat mesra dan menyenangkan.

“Ya Tuhan....!”

Ciang Bun berseru di dalam hatinya sendiri ketika dia melihat kenyataan ini. Berahinya tidak dapat terangsang oleh wanita, melainkan oleh pria! Dengan bingung dan gelisah melihat kenyataan yang amat membedakan antara dirinya dengan kaum pria pada umumnya ini, Ciang Bun lalu menutupi muka dengan kedua tangannya dan diapun menangis! Tiba-tiba dua buah tangan yang kuat dengan lembut memegang pundaknya dan Lee Siang bertanya halus,

“Bun-te, engkau kenapakah? Mengapa engkau menangis?”

Dalam keadaan sedang berduka, pertanyaan seorang yang disayang menambah keharuan hati. Ciang Bun juga demikian. Dirangkul pundaknya dan ditanya dengan suara penuh kekhawatiran itu, air matanya makin deras mengalir dan diapun balas merangkul dan menyembunyikan mukanya di atas dada yang bidang itu.

Diam-diam Lee Siang merasa heran dan kasihan sekali. Heran melihat bagaimana pemuda yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat gagah perkasa ini dapat bersikap begini lemah, menangis seperti seorang wanita cengeng. Akan tetapi dia juga merasa kasihan melihat kedukaan Ciang Bun dan mengira bahwa tentu pemuda ini menangisi nasib keluarganya, yaitu kematian kakek dan para neneknya di Pulau Es dan kehilangan saudara-saudaranya yang belum diketahuinya bagaimana nasibnya itu.

Maka, karena merasa iba, ketika merasa betapa Ciang Bun merangkul dan menangis di dadanya, diapun mendekapnya dan mengelus rambutnya untuk menghibur. Hal ini membuat Ciang Bun menjadi semakin terharu dan dia mengangkat mukanya yang basah, memandang kepada Lee Siang. Melihat wajah yang tampan itu memandang penuh kekhawatiran, Ciang Bun kembali merangkul.

“Siang-twako.... ah, Siang-twako....” keluhnya.

Lee Siang memeluk.
“Bun-te, adikku yang baik, kau tenangkanlah hatimu, kuatkanlah hatimu....”

Dalam rangkulan pemuda itu, Ciang Bun merasa demikian senang dan terhibur, akan tetapi dia teringat akan janggalnya perasaannya sendiri ini. Teringat bahwa diapun seorang pria, maka diapun kembali diingatkan akan keadaannya yang luar biasa itu, keadaan yang membuatnya berduka dan menangis. Maka diapun meronta dan sekali merenggutkan tubuhnya, dia telah terlepas dari pelukan Lee Siang.

“Tidak.... tidak.... jangan....!” Dan diapun meloncat dan berlari keluar dari kamar, terus keluar dari pondok itu.

“Bun-hiante....!”

Lee Siang tadi terpental ketika pemuda itu meronta, dan dia memanggil dengan khawatir, akan tetapi melihat pemuda itu lari keluar, dia tidak berani mengejar, takut kalau-kalau akan membuat Ciang Bun menjadi marah dan tersinggung hatinya. Lee Siang keluar dari dalam kamarnya, lalu menghampiri kamar adiknya.

Dia berpikir bahwa dalam keadaan seperti itu, orang yang paling tepat untuk menghibur hati Ciang Bun hanyalah Lee Hiang. Adiknya itu mencinta Ciang Bun dan diapun hampir merasa yakin bahwa pemuda itu tentu membalas cinta ini. Adiknya amat cantik manis, dan hubungan antara mereka itupun nampak demikian akrabnya.

Lee Hiang belum tidur dan dara ini terkejut sekali ketika mendengar cerita kakaknya bahwa Ciang Bun berduka dan menangis dan kini keluar dari dalam pondok.

“Agaknya dia teringat akan keluarga Pulau Es dan dilanda duka yang amat besar sampai dia lupa akan kegagahannya dan menangis seperti anak kecil. Sudah kucoba menghiburnya akan tetapi gagal, malah dia lari keluar pondok. Adikku, kalau memang engkau mencintanya, engkau harus dapat menghibur hatinya. Kasihan sekali dia.”

“Baik, koko, akan kuusahakan agar dia terhibur. Kasihan Bun-ko.” Dan Lee Hiang pun lalu keluar dari dalam pondok mencari pemuda yang dicintanya itu.

Ciang Bun duduk termenung di tepi laut, menghadap ke timur di mana nampak bulan mengambang di atas air. Indah bukan main. Akan tetapi tiada keindahan baginya di saat itu. Bahkan keindahan itu menambah keharuan hatinya, karena dia teringat akan Pulau Es, teringat akan keluarga kakeknya yang binasa. Akan tetapi semua kenangan itu ditelan oleh gelombang kesedihannya karena kenyataan yang dihadapinya. Aku seorang manusia yang tidak lumrah, pikirnya.

Akan tetapi, tiba-tiba darah pendekar di tubuhnya memberontak. Dia tidak boleh bersikap lemah! Ibunya tentu akan marah-marah dan mentertawakannya. Ibunya adalah seorang pendekar wanita yang amat keras hati, yang kuat dan sama sekali tidak lemah, bahkan ibunya membenci kelemahan. Ketika dia masih kecil, kalau dia terjatuh atau mengalami nyeri dan menangis, ibunya marah-marah dan mengatakan bahwa tangis hanya pantas bagi seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tangis hanya tanda iba diri dan kelemahan batin, demikian kata ibunya.

Ciang Bun yang duduk di atas pantai berpasir itu mengepal tinju. Kenapa dia begini lemah? Kenapa dia tidak berani menghadapi kenyataan ini dan melawannya? Dia tahu bahwa perasaannya yang berlainan dengan laki-laki biasa ini, yang condong untuk lebih menyukai pria daripada wanita, adalah sesuatu yang tidak lumrah dan dia harus dapat melawan dan menundukkannya. Akan diperlihatkannya bahwa dia adalah seorang laki-laki sejati!

“Bun-koko....! Eh, Bun-ko, engkau sedang mengapa di situ?”

Ciang Bun menoleh. Lee Hiang sudah berdiri di situ, di belakangnya. Cahaya bulan yang baru tersembul dari permukaan air itu menyorotkan cahaya kemerahan dan menimpa kepala dara itu, membuat wajah itu berada di dalam cahaya kemerahan yang indah. Seorang dara yang cantik manis dengan tubuh yang sedang ranum padat menggairahkan. Mengapa dia tidak tertarik? Bodoh! Demikian Ciang Bun mencela diri sendiri dan diapun bangkit berdiri.

“Hiang-moi....” katanya perlahan.

“Bun-ko.... ah, Bun-ko, engkau membikin aku khawatir sekali. Siang-koko bilang bahwa engkau berduka dan keluar dari pondok. Aku mencari-carimu dan melihat engkau duduk termenung di sini.” Dara itu menghampiri dan merangkul pinggang pemuda itu dengan mesra, mengangkat mukanya memandang. “Bun-koko, jangan berduka, Bun-ko, ada Lee Hiang di sini yang akan ikut memikul semua kedukaanmu....” Bukan main lembut dan mesranya sikap dan ucapan dara itu.

Aku seorang laki-laki sejati, demikian Ciang Bun menguatkan hatinya dan dia memaksa diri, memeluk tubuh dara itu.

“Hiang-moi, engkau seorang dara yang baik sekali.”

“Bun-ko....!” Lee Hiang berkata girang dan mempererat dekapannya pada pinggang pemuda itu.

Aku harus memperlihatkan kejantananku, pikir Ciang Bun dan diapun mempererat rangkulannya. Ketika wajah dara itu terangkat ke atas, menengadah dan memandang kepadanya dengan sinar mata lembut, dengan mulut setengah terbuka, Ciang Bun lalu menundukkan mukanya dan menutup mulut itu dengan mulutnya sendiri, mencium bibir yang menantang itu.

Ciuman itu membuat tubuh Lee Hiang menggigil dan rintihan halus keluar dari kerongkongannya. Bagi Ciang Bun sendiri, terjadi hal yang sungguh membuatnya ngeri, mulut yang panas itu, bibir yang lunak lembut itu, ketika bertemu dengan bibirnya dalam sebuah ciuman mesra, mendatangkan rasa muak! Bukan, bukan kelembutan seorang wanita yang didambakan, sama sekali bukan. Dia merindukan kejantanan seorang pria, mulut yang kuat namun lembut, bukan lunak menyerah macam mulut wanita ini. Dia tak tahan lagi dan cepat dia merenggutkan dirinya, melepaskan pelukan.

“Tidak....! Tidak....! Jangan....!”

Dan diapun, seperti tadi ketika meninggalkan Lee Siang, melarikan diri meninggalkan Lee Hiang yang berdiri bengong dengan wajah berohah pucat dan mata terbelalak.

“Bun-koko....!” Ia berteriak dan mengejar.

Sesosok bayangan lain muncul dan ikut mengejar Ciang Bun. Bayangan ini adalah Lee Siang. Pemuda ini tadi mengintai dan ikut bergembira melihat betapa adiknya dan Ciang Bun berciuman di pantai. Akan tetapi, dia ikut terkejut melihat perobahan pada diri Ciang Bun dan ketika Ciang Bun melarikan diri dan dikejar oleh adiknya, diapun ikut mengejar dengan hati khawatir.

Ciang Bun berdiri di tepi pantai utara, berdiri seperti arca memandang jauh ke depan, tanpa bergerak sama sekali, wajahnya pucat dan matanya sayu.

“Bun-koko....!”

“Bun-hiante....!”

Dia membalik, memandang kepada dua orang kakak beradik itu dengan muka pucat dan diapun menghardik,

“Pergilah kalian! Jangan dekati aku....! Pergiiii....!”

Terdengar Lee Hiang terisak dan Lee Siang menahan napas saking kagetnya melihat sikap pemuda yang mereka sayang itu. Ciang Bun biasanya bersikap ramah dan halus, akan tetapi mengapa sekarang begitu berobah sikapnya, menjadi kasar dan seperti orang yang marah sekali?

Akan tetapi Lee Siang mempunyai pemandangan yang jauh dan bijaksana. Dia memegang lengan adiknya dan berkata lirih,

“Baiklah, kami pergi, kami hanya ingin menghiburmu, Bun-te. Marilah, adikku!” Dan diapun setengah menyeret tubuh Lee Hiang meninggalkan Ciang Bun sendirian.

Sejenak Ciang Bun masih berdiri tegak dengan sikap marah seperti tadi, memandang ke arah dua sosok bayangan yang pergi dengan lemas itu. Kemudian, terasalah seluruh tubuhnya lemas seperti dilolosi urat-uratnya dan diapun terkulai, jatuh berlutut di atas pasir.

“Ya Tuhan, ampunilah hamba....!” Dia mengeluh dengan hati penuh penyesalan.

Dan semalam itu dia duduk bersila di pantai, tidak pernah beranjak dari tempat itu. Dia bingung sekali. Ketika berada dalam pelukan Lee Siang, terjadi perang dalam batinnya. Perasaannya senang akan tetapi pikirannya menentang. Sebaliknya, ketika dia memeluk dan mencium Lee Hiang, pikirannya mendorong akan tetapi perasaannya menentang keras. Dia menjadi bingung, menyesal dan berduka.

Liu Ek Soan menerima laporan tentang keadaan Ciang Bun dari dua orang cucunya. Kakek ini menarik napas panjang.

“Keturunan keluarga Pulau Es sudah tentu memiliki keanehan-keanehan watak yang tidak kita mengerti. Biarkanlah saja, jangan ganggu. Besok baru aku akan bicara dengannya.”

Pada keesokan harinya kakek itu menghampiri Ciang Bun yang masih duduk bersila di tepi pantai dan menegur halus,

“Ciang Bun, sepagi ini engkau sudah berada di sini dan kelihatan susah hatimu, anak baik?”

Ciang Bun menoleh lalu berkata dengan sedih,
“Liu-kong-kong, hari ini aku mohon diri darimu. Aku akan pergi untuk mencari saudara-saudaraku yang terpisah dariku atau aku akan pulang dan melaporkan semua hal itu kepada orang tuaku.”

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menarik napas panjang.
“Kami akan merasa kehilangan, Ciang Bun. Akan tetapi bagaimana lagi, memang sepatutnya kalau engkau melaporkan semua yang terjadi kepada orang tuamu. Sudah tiga bulan lebih engkau di sini dan semua dasar ilmu dalam air telah engkau kuasai, tinggal melatih dan memahirkan saja. Akan tetapi ada suatu hal yang amat penting yang ingin kubicarakan denganmu, anak baik.”

“Hal apakah itu, kong-kong?”

“Tentang engkau dan Lee Hiang! Anak itu telah mengaku kepadaku bahwa ia amat mencintamu dan engkaupun tentu tahu akan hal ini. Maka, jika kiranya engkau dan orang tuamu tidak menganggap kami terlalu rendah, aku ingin sekali menjodohkan Lee Hiang denganmu.”

Ciang Bun menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Kalau dia tidak ingat akan kebaikan kakek ini dan dua orang cucunya, tentu dia akan menolak keras pada saat itu juga. Akan tetapi dia tidak tega untuk menyinggung perasaan kakek ini, maka diapun cepat berkata,

“Aku masih terlalu muda untuk memikirkan soal perjodohan, Liu-kong-kong. Pula, soal perjodohan itu tergantung kepada ayah bundaku. Aku sendiri tidak dapat membicarakannya.”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Memang benar sekali ucapanmu itu. Pada suatu hari aku tentu akan menghadap orang tuamu di Thian-cin untuk membicarakan urusan ini. Aku hanya memberi tahu kepadamu agar engkau mengetahuinya lebih dulu. Akan tetapi, kalau engkau hendak pergi mencari saudara-saudaramu atau menuju ke daratan besar, biarlah Lee Siang dan Lee Hiang mengantar dan menemanimu.”

“Tidak, Liu-kong-kong, tidak usah! Aku pergi sendiri. Aku tahu bahwa letak daratan berada di barat dan sekarang setelah aku menerima pelajaran tentang ilmu dalam air darimu, aku tidak takut menghadapi badai.”

Kakek itu tidak dapat membantah lagi dan ketika Lee Siang dan Lee Hiang diberi tahu, mereka berdua segera datang menemui Ciang Bun. Begitu melihat mereka, Ciang Bun segera berkata, suaranya penuh penyesalan.

“Siang-twako dan Hiang-moi, harap kalian berdua sudi maafkan sikapku semalam....”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Bun-te. Antara kita sendiri, mana perlu sungkan dan maaf? Hanya aku menyesal bahwa kami tidak dapat menghibur hatimu yang sedang duka.”

“Sudahlah, semua itu karena kebodohanku sendiri, twako.”

“Bun-koko.... engkau.... engkau hendak pergi....?”

Lee Hiang bertanya, suaranya mengandung kedukaan, tidak seperti biasa suaranya selalu lincah jenaka.

Ciang Bun memandang wajah dara itu dan diam-diam dia merasa kasihan kepada dara yang jatuh cinta kepadanya ini. Dia merasa yakin bahwa dia tidak mungkin dapat membalas cinta kasih Lee Hiang atau wanita yang manapun juga di dunia ini. Cintanya terhadap Lee Hiang hanya cinta seperti seorang kakak terhadap adiknya, atau paling-paling seperti cinta seorang sahabat saja, cinta tanpa daya tarik dan gairah.

“Benar, siauw-moi, aku harus pergi melaporkan semua peristiwa yang terjadi kepada ayah bundaku.”

“Kau pergi.... untuk selamanya.... dan tidak akan kembali lagi ke sini....?”

“Ah, kenapa engkau berkata demikian, adikku?” Ciang Bun berkata ramah. “Selagi kita masih hidup, tentu saja terbuka banyak kesempatan bagi kita untuk saling berjumpa lagi.”

“Tapi, kapan, koko....? Ah, aku tentu akan merasa kehilangan sekali.... hidup akan terasa hampa dan tidak menyenangkan tanpa engkau di pulau ini. Aku akan merana dan berduka.... ah, Bun-ko yang tercinta, bagaimana engkau tega meninggalkan aku? Aku ikut....!” Dan Lee Hiang memandang dengan air mata mulai membasahi kedua matanya.

Ciang Bun merasa kasihan sekali. Dia maju menghampiri dan memegang kedua tangan dara itu, sikap dan perasaannya seperti seorang kakak terhadap adiknya tersayang.

“Adikku yang baik, jangan menangis. Engkau bukan seorang dara yang cengeng dan engkau tahu bahwa aku tidak mungkin dapat melupakan engkau, Siang-twako, dan Liu-kong-kong. Kelak kita pasti akan bertemu kembali.”

Lee Hiang sesenggukan dan menangis di atas dada Ciang Bun. Pemuda ini sekarang tidak lagi merasa canggung karena dia menganggap dirinya sebagai seorang kakak yang menghibur adiknya yang tersayang. Dielusnya rambut kepala dara itu dan dihiburnya dengan kata-kata halus sampai akhirnya Lee Hiang terhibur dan berhenti menangis.

“Bun-ko, kalau sampai lama engkau tidak datang, aku tentu akan pergi menyusul dan mencarimu!” katanya.

“Aih, moi-moi, jangan bodoh. Kong-kong tentu akan menguruskan perjodohan kalian!”

Kata Lee Siang, tidak tahu betapa ucapannya itu menusuk perasaan Ciang Bun dan membuat pemuda itu merasa amat tidak tenang hatinya.

Akhirnya, berangkatlah Ciang Bun naik sebuah perahu, dibekali perlengkapan secukupnya oleh kakek Liu, berikut petunjuk yang jelas arah mana yang harus ditempuhnya untuk mencapai pantai daratan besar.

“Angin bertiup dengan baiknya dan udara amat baik, kalau tidak keliru perhitunganku, dalam waktu dua hari semalam engkau akan mencapai daratan, Ciang Bun,” kata kakek itu.

Dengan diantar oleh lambaian tangan dan tatapan mata tiga orang pulau itu, berikut air mata yang menetes-netes turun dari kedua mata Lee Hiang, berangkatlah Ciang Bun dan diapun memandang ke arah pula itu sampai lambat-laun tiga buah titik di atas pulau yang makin mengecil itu tidak dapat nampak lagi. Perahunya meluncur cepat ketika layarnya terkembang penuh. Sambil mengemudikan perahu, pemuda ini termenung.

Terjadi keadaan yang bertentangan antara lahir dan batinnya. Matanya melihat betapa perahunya meluncur cepat menuju ke arah tertentu, demikian lancar dan penuh harapan. Akan tetapi mata batinnya melihat betapa masa depan kehidupannya tak menentu dan suram. Keadaan ini membuat mulutnya bergerak, perasaan dan pikirannya menciptakan sebuah sajak keluhan.

“Perahuku meluncur laju
menuju arah tertentu
angin kencang layar terkembang
di depan terang cemerlang!
Namun betapa suram jalan hidupku
hati gelisah tak menentu
gelap pekat meraba-raba
tak tahu harus ke mana?”

**** 022 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar