FB

FB


Ads

Kamis, 24 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 015

“Ouw-koko....!”

Dalam seruan ini terkandung rasa penasaran dan kedukaan yang besar walaupun pandang mata wanita itu terhadap Siauw-ok masih terkandung kemesraan dan rasa sayang yang anat besar.

“Kenapa kau....”

“Sudahlah, jangan ganggu aku, Ang Bwee. Aku lelah sekali. Kau tahu dari mana aku datang dan siapa adanya gadis ini?”

Dan ketika wanita itu menggeleng dan memandang kepada Suma Hui dengan mata terbelalak dan ingin tahu, sambil tersenyum penuh kebanggaan Siauw-ok lalu menyambung,

“Aku baru saja kembali dari penyerbuan ke Pulau Es, dan gadis yang kutawan ini adalah cucu perempuan Pendekar Super Sakti.”

“Ahhhh....!” Mata wanita itu terbelalak dan ia nampak terkejut bukan main.

“Nah, jangan ganggu aku. Cepat kau sediakan kamar untuk gadis ini dan lebih dulu ambilkan belenggu kaki tangan dari baja. engkau masih punya, bukan? Yang biasa untuk membelenggu gadis yang bandel. Cepat ambil sepasang.”

Ang Bwee Nio-nio mengangguk-angguk lalu berlari ke dalam. Tak lama dia sudah keluar kembali dan membawa sepasang belenggu kaki tangan dari baja yang memakai kunci. Belenggu-belenggu itu lalu dikenakan pada kaki tangan Suma Hui dengan cekatan sekali oleh wanita itu.

“Sekarang, bawa dara ini ke kamarnya, kemudian layani aku makan minum sepuasku. Aku akan menceritakan kesemuanya padamu sampai kau puas, Ang Bwee.”

Wanita itu menerima tubuh Suma Hui yang masih dalam keadaan tertotok dan terbelenggu, memandang wajah yang jelita dan meraba tubuh yang padat itu lalu menarik napas panjang.

“Seorang gadis yang indah sekali, Ouw-koko.”

“Ha-ha-ha, kau kira bagaimana? Kalau tidak, perlu apa aku bersusah payah membawanya. Sudah, simpan ia baik-baik dan aku mau mandi dan bertukar pakaian dulu.”

Dengan gembira Siauw-ok lalu mandi dan bertukar pakaian, sedangkan wanita itu memondong tubuh Suma Hui, dibawanya masuk ke dalam sebuah di antara kamar-kamar rumahnya dan merebahkan dara itu di atas pembaringan.

Sebetulnya sejak tadi Suma Hui sadar, akan tetapi dara ini berpura-pura tidak sadar dan bergantung lemas. Ketika kaki tangannya dibelenggu, diam-diam ia mengeluh. Selama ini ia selalu mencari kesempatan, akan tetapi semenjak perlawanannya di atas perahu sampai ia ditawan kembali, Siauw-ok selalu memperhatikannya dan amat teliti. Dan sekarang, kaki tangannya malah dibelenggu, dengan belenggu baja sehingga andaikata ia dapat memperoleh kesempatan dan totokan ini tidak lagi menguasai dirinya, sukarlah baginya untuk membebaskan diri dari belenggu ini.

Wanita itu merebahkannya terlentang di atas pembaringan dan betapa kaget rasa hati Suma Hui ketika rantai belenggu kaki tangannya itu dikaitkan kepada kaitan-kaitan yang sudah tersedia di pembaringan itu sehingga kaki dan tangannya terpentang dengan masing-masing tangan dan kaki terikat pada kaitan di empat penjuru pembaringan!

Sebagai seorang wanita kang-ouw yang sudah banyak mendengar tentang kejahatan kaum sesat, ia mengerti bahwa kini dirinya terancam bahaya yang amat hebat bagi seorang wanita. Bahaya pemerkosaan! Dan ia tidak akan mampu mempertahankan diri!

Ngeri sekali rasa hatinya membayangkan hal ini, akan tetapi segera kekerasan hatinya dapat menguasai dirinya lagi. Biarlah. Ia akan selalu berusaha untuk menghindarkan diri dari malapetaka itu, akan tetapi andaikata semua itu terjadi pula, ia akan pura-pura memyerah, kemudian kalau kesempatan terbuka, ia akan membunuh musuhnya sebelum membunuh diri untuk mencuci noda dan aib yang menimpa dirinya!

Setelah mengikatkan kaki dan tangan Suma Hui pada kaitan-kaitan di empat sudut pembaringan, Ang Bwee Nio-nio bersungut-sungut sambil memandangi tubuh gadis itu.

“Dasar laki-laki yang tak mengenal budi! Maunya bersenang-senang saja bahkan tidak segan-segan menusuk hatiku dengan menolak diriku dan lebih memilih bocah dari musuh besar. Sungguh merupakan penghinaan yang tiada taranya! Ouw Teng, kalau sekali ini engkau tidak memperdulikan diriku, engkaupun tidak akan dapat menikmati gadis ini....!”

Setelah berkata demikian, wanita itu lalu pergi keluar kamar dan menguncikan pintu kamar itu dari luar. Tentu saja Suma Hui yang ditinggal seorang diri itu menjadi gelisah. Sudah dikerahkannya tenaganya untuk membebaskan diri dari totokan, namun belum juga ia berhasil. Kalau sudah bebas dari totokan, setidaknya ia akan dapat berusaha untuk membebaskan diri dari belenggu kaki tangannya. Memang sedikit sekali kemungkinan akan berhasil, akan tetapi setidaknya ia dapat berusaha dan melakukan sesuatu, tidak seperti sekarang ini, rebah terlentang tak berdaya sama sekali!

Tak lama kemudian, Suma Hui dapat mendengar suara-suara dari sebelah kanan. Ia mengangkat muka dan menoleh dan ternyata suara itu datang dari lubang-lubang angin di dinding kamar. Ia dapat mengenal suara Siauw-ok yang dibencinya dan suara wanita tadi.

Mereka sedang pesta makan minum agaknya! Dan terdengar suara Siauw-ok menceritakan tentang penyerbuan di Pulau Es itu diseling suara ketawa-ketawa bangga dan seruan-seruan heran si wanita. Agaknya Siauw-ok banyak minum arak karena terdengar berkali-kali Ang Bwee Nio-nio memerintahkan pelayan mengambilkan guci arak baru.

Kemudian, setelah cerita itu habis, terdengar suara wanita itu membujuk dan merayu. Lalu terdengar kata-kata keras Siauw-ok menolak. Mereka lalu bercekcok dan lapat-lapat terdengar oleh Suma Hui suara keras seperti orang ditampar disusul jerit tertahan si wanita.






“Pergilah, jangan ganggu aku, ha-ha-ha! Aku harus mengumpulkan tenaga untuk tawananku.” Terdengar Siauw-ok tertawa-tawa keras.

Suma Hui mendengarkan semua itu dengan hati semakin tegang. Sejak tadi ia terus berusaha dan akhirnya kini ia mulai dapat menggerakkan kaki tangannya. Pengaruh totokan itu sudah mulai berkurang dan sebentar lagi ia akan bebas dari pengaruh totokan!

Mulailah ia mengumpulkan hawa murni untuk memperkuat sin-kangnya dan pada saat ia berhasil mengusir sama sekali pengaruh totokan dan jalan darahnya sudah lancar kembali ke seluruh tubuhuya, tiba-tiba saja daun pintu terbuka perlahan.

“Ahhh....!”

Suma Hui menahan jeritnya dan cepat memejamkan mata, mengintai dari balik bulu matanya. Kalau terpaksa ia harus menderita malapetaka hebat itu, ia akan membuat dirinya pingsan dan untuk ini ia sudah siap siaga. Ia tahu bagaimana caranya membuat dirinya pingsan atau mematikan rasa.

Akan tetapi, hatinya terasa lega dan juga heran ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah wanita itu! Dan melihat betapa wanita itu menangis. Air matanya masih membasahi pipi dan mata, dan pipi kanan wanita itu membengkak!

Kiranya wanita ini tadi datang untuk melampiaskan dendam terhadap Siauw-ok kepadanya. Bukankah tadi sebelum pergi telah menyatakan bahwa ia akan menghalangi Siauw-ok agar tidak dapat menikmati gadis tawanannya? Bukankah itu berarti wanita ini hendak membunuhnya?

Dan ia tidak akan dapat melawan sedikitpun juga, walau jalan darahnya telah pulih kembali. Paling banyak ia hanya akan dapat mengerahkan sin-kang ke arah tubuh yang diserang, membuat bagian tubuh itu kebal. Akan tetapi wanita ini agaknya bukan wanita sembarangan pula dan tentu akan tahu bagaimana untuk membunuh orang yang memiliki kekebalan.

Kini Ang Bwee Nio-nio menghampiri pembaringan dan sejenak berdiri memandangi wajah dan tubuh Suma Hui. Dan terdengarlah suaranya berbisik-bisik,

“Aku mendengar bahwa Pendekar Super Sakti sekeluarga adalah pendekar-pendekar yang selain amat sakti juga memiliki watak yang budiman, sudah banyak menolong manusia lain. Aku sendiri sejak kecil bergelimang kejahatan. Biarlah dalam kekecewaan dan penghinaan ini aku melakukan suatu kebaikan, mungkin aku diperalat oleh Thian untuk membalas segala kebaikan keluarga Pendekar Super Sakti.”

Setelah berkata demikian, wanita itu mengambil sesuatu dari ikat pinggangnya. Suma Hui sudah bersiap-siap, menyangka bahwa wanita itu tentu akan mengeluarkan senjata tajam.

Akan tetapi, yang dikeluarkan ternyata sebuah kunci dan dengan cekatan wanita itu lalu membuka belenggu kedua kaki dan tangan Suma Hui! Gadis ini terkejut, girang dan heran, akan tetapi sekali meloncat, ia telah turun dari pembaringan.

Tentu saja Ang Bwee Nio-nio terkejut juga dan makin percayalah wanita ini akan kehebatan gadis cucu Pendekar Super Sakti itu. Siapa duga bahwa gadis yang kelihatan sama sekali tidak berdaya itu, begitu dibuka belenggunya, sudah dapat bergerak sedemikian gesitnya.

“Ssstt, nona. Engkau harus cepat melarikan diri dari tempat ini....” bisiknya.

“Terima kasih atas pertolonganmu,” kata Suma Hui kembali. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa diikuti langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu.

“Ssttt, dia datang. Biar aku mencoba mencegahnya masuk,” kata Ang Bwee Nio-nio dan iapun cepat membuka daun pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintunya.

Suma Hui yang maklum akan kelihaian Jai-hwa Siauw-ok, sudah meloncat lagi ke atas pembaringan dan pura-pura rebah tak berdaya, memasangkan kembali rantai belenggu seolah-olah masih mengikatnya. Ia harus menggunakan siasat, pikirnya. Menyerang tokoh sesat itu secara berterang, jelas ia tidak akan menang. Biarlah ia akan menyerang tiba-tiba sebelum orang itu tahu bahwa ia telah bebas.

Ia mendengar kembali suara Ang Bwee Nio-nio membujuk-bujuk dan merayu di luar kamar, seolah-olah hendak menyeret Siauw-ok yang setengah mabok itu pergi ke kamarnya sendiri. Akan tetapi terdengar Siauw-ok menolak dan merekapun cekcok lalu terdengar suara perkelahian di luar kamar!

Ah, mereka berkelahi, pikir Suma Hui. Inilah saatnya yang baik untuk turun tangan, membantu Ang Bwee Nio-nio mengeroyok Siauw-ok yang lihai. Ia menoleh ke kanan kiri mencari senjata, akan tetapi di dalam kamar yang biasa dipergunakan orang untuk pelesir dan bermain cinta itu mana ada senjata? Ia lalu nekat, dengan tangan kosong ia akan menerjang keluar dari pintu.

Akan tetapi kedatangannya terlambat. Pada saat ia muncul, Jai-hwa Siauw-ok dengan tubuh setengah berjongkok telah memukulkan kedua tangannya ke arah dada Ang Bwee Nio-nio dan wanita itu terjengkang, dari mulutnya muntah darah segar! Siauw-ok telah memukul bekas kekasihnya sendiri itu dengan pukulan Hoa-mo-kang yang dipelajarinya secara curian dari Su-ok. Pukulan ini jahat sekali dan wanita itu tidak kuat menerimanya, terjengkang, terbanting dan tewas seketika.

Suma Hui yang sudah marah sekali, tanpa banyak cakap sudah menerjang dan menyerang. Karena maklum akan kelihaian lawan, Suma Hui segera mainkan gabungan Ilmu Silat Pat-mo-kun dan Pat-sian-kun, karena baru ilmu inilah yang pernah dipelajarinya secara mendalam. Gerakannya lincah sekali dan kedua tangannya diisi dengan tenaga Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang secara berganti-ganti.

“Ha-ha, engkau sudah siap untuk menyambutku, nona manis? Ha-ha, mari kita main-main sebentar sebelum engkau kutangkap dan sekarang harus kupaksa engkau untuk melayaniku, mau atau tidak mau!”

Di dalam kata-kata ini terkandung ejekan dan juga ancaman karena tokoh sesat ini benar-benar merasa jengkel melihat betapa gadis cucu Majikan Pulau Es ini berkali-kali dapat melepaskan diri dan merepotkannya saja.

Akan tetapi diapun terkejut melihat ilmu silat yang amat hebat itu. Juga dia harus berhati-hati terhadap sin-kang yang berobah-robah sifatnya itu, dari lembek menjadi keras, dari dingin menjadi panas. Bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya masih lebih tinggi dan Suma Hui masih kurang matang ilmu-ilmunya, maka setelah bertanding selama lima puluh jurus lebih, mulailah dara itu terdesak hebat.

“Ha-ha-ha, menyerahlah, manis. Perlu apa kau habiskan tenagamu? Masih kau butuhkan untuk melayani aku nanti, ha-ha-ha!”

Kata-kata Siauw-ok semakin cabul karena berahinya semakin bernyala, terdorong oleh arak dan juga oleh perkelahian itu. Beberapa kali Suma Hui terhuyung dan gadis ini diam-diam mengambil keputusan bahwa sebelum ia tertawan, lebih baik ia membunuh diri saja. Ia akan melawan terus sampai napas terakhir. Pendeknya, ia hanya mempunyai dua pilihan. Lolos atau mati, dan tidak akan membiarkan dirinya tertawan kembali!

Tiba-tiba Siauw-ok mengeluarkau suara ketawa dan tubuhnya lenyap, menjadi berpusing seperti gasing! Suma Hui terkejut dan menjadi bingung. Ilmu silat macam apa ini? Tubuh orang itu berpusing sehingga ia tidak dapat melihat jelas bentuk tubuhnya dan dari dalam pusingan itu kadang-kadang mencuat cengkeraman tangan yang hendak menangkapnya dan jari-jari yang hendak menotoknya.

Dara itu tidak tahu bahwa itulah Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Bumi Langit), ilmu curian yang berasal dari ilmu yang dimiliki Sam-ok. Dan sebelum Suma Hui dapat mengelak, tangan kanannya telah kena ditangkap! Gadis ini terkejut sekali, akan tetapi kembali pergelangan kirinya kena ditangkap! Ia menjadi gugup, tidak dapat ia membunuh diri setelah kedua tangannya ditangkap.

“Jahanam busuk, lepaskan ia!”

Tiba-tiba saja ada angin menyambar dahsyat ke arah kepala Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang datangnya dari belakang. Demikian hebatnya angin itu menyambar sehingga Siauw-ok terkejut bukan main. Dia tahu bahwa serangan yang ditujukan ke arah kepalanya dari belakang itu merupakan pukulan maut, maka terpaksa dia harus melepaskan cengkeramannya pada pergelangan kedua tangan gadis itu, membalik sambil merendahkan tubuhnya dan menggunakan kedua lengannya menangkis ke depan.

“Desss....!”

Tubuh Siauw-ok terdorong ke belakang dan diapun terhuyung. Dengan mata terbelalak dia memandang kepada penyerangnya dan bukan main kagetnya ketika mengenal pemuda ini sebagai putera Naga Sakti Gurun Pasir yang dilihatnya telah terlempar ke lautan dalam badai itu!

“Cin Liong....!” Teriakan Suma Hui ini terdengar penuh dengan rasa haru, gembira dan terkejut. Bukankah pemuda itu dikabarkan telah tewas? “Cin Liong, jangan lepaskan jahanam itu!”

Akan tetapi Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng yang agaknya melihat gelagat buruk, telah menggerakkan kedua lengannya ke depan, ke arah dua orang muda itu. Terdengar bunyi bercuitan dan melihat ini, Cin Liong terkejut sekali.

“Hui-i.... awas....!”

Dan diapun sudah menubruk maju dan menggerakkan kedua lengan menghadang dan menangkis pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan itu. Itulah Ilmu Jari Pedang atau Kiam-ci yang amat ampuh. Akan tetapi ketika tertangkis, kembali Siauw-ok terdorong ke belakang dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat keluar pintu, menggunakan kesempatan selagi Cin Liong melindungi Suma Hui dan menjauhi pintu tadi.

“Kejar dia....!”

Suma Hui yang amat membenci pria itu berteriak dan Cin Liong juga meloncat mengejar. Akan tetapi, karena di luar gelap dan Siauw-ok tidak nampak lagi bayangannya, tidak diketahui ke arah mana larinya, diapun kembali memasuki pondok itu.

Di situ dia melihat dua orang pelayan wanita setengah tua berlutut dan menangisi mayat seorang wanita yang mukanya penuh darah yang dimuntahkan dari mulutnya sendiri, sedangkan Suma Hui juga berlutut dan memeriksa wanita itu. Dara itu bangkit berdiri ketika melihatnya, dan bertanya,

“Bagaimana dengan jahanam itu?”

Cin Liong mengangkat kedua pundaknya dan mengembangkan lengannya.
“Di luar amat gelap dan dia sudah menghilang seperti setan.”

“Sayang....” kata Suma Hui sambil menudingkan telunjuk ke arah mayat itu. “Ia adalah pemilik rumah ini dan ia telah berusaha menolong dan membebaskan aku.” Lalu Suma Hui mengguncang pundak seorang pelayan sambil bertanya, “Bibi, siapakah penjahat kejam itu tadi? Katakan padaku karena aku akan mencari dan membalaskan kematian majikan kalian.”

“Dia adalah teman lama dari toanio, seorang langganan yang baik. Namanya Ouw-taiya.... Ouw Teng....”

“Dan julukannya adalah Jai-hwa Siauw-ok,” sambung orang ke dua.

Mendengar disebutnya julukan ini, Cin Liong mengerutkan alisnya.
“Jai-hwa Siauw-ok....?”

“Engkau mengenal nama itu?” Suma Hui bertanya.

Cin Liong mengangguk lalu berkata,
“Hui-i, marilah kita pergi dari sini dan nanti kita bicara.”

Suma Hui mengangguk dan tanpa pamit mereka lalu pergi berloncatan meninggalkan dua orang pelayan wanita yang masih menangisi mayat Ang Bwee Nio-nio itu. Karena Suma Hui telah kehilangan semuanya, bahkan pakaian yang menempel di tubuhnya sudah kotor dan kusut, Cin Liong mengajaknya untuk memasuki kota Ceng-to dan bermalam di sebuah rumah penginapan, menggunakan dua buah kamar yang berdampingan.

Suma Hui hanya mengangguk menyetujui, dan hanya dapat memandang dan menerima dengan penuh rasa haru dan terima kasih ketika pemuda itu datang membawakan beberapa stel pakaian baru untuknya, yang dibeli oleh pemuda itu dari toko.

“Cin Liong, sekarang ceritakanlah tentang adik-adikku. Apakah engkau melihat mereka? Bagaimana keadaan mereka?”

Pertanyaan ini sebetulnya sudah sejak ia bertemu dengan Cin Liong ingin ditanyakan, akan tetapi selalu ditahannya karena ia merasa ngeri untuk mendengar yang buruk-buruk.

Kini, pertanyaan itu diajukan dengan suara penuh getaran dan sepasang mata itu memandang duka dan gelisah. Semua ini terasa sekali oleh Cin Liong ketika dia mendengar pertanyaan itu. Mereka duduk berhadapan di ruangan luar kamar mereka dan malam itu amat sunyi karena rumah penginapan itupun sepi dan kosong. Mereka menghadapi meja dan saling pandang di bawah penerangan lampu gantung.

Wajah gadis itu nampak amat memelas bagi Cin Liong. Rambutnya masih kusut tidak tersisir rapi dan pakaian yang dipakainya itu tentu saja tidak cocok benar karena dibelinya dari toko, agak kelonggaran. Wajah yang cantik itu agak pucat dan matanya membayangkan kegelisahan yang mendalam.

Rasa iba menyelubungi hati Cin Liong. Ingin dia memegang kedua tangan yang diletakkan di atas meja itu, ingin dia merangkul dan menghibur gadis ini. Tapi gadis ini adalah bibinya! Bibinya! Cin Liong menundukkan pandang matanya dan menarik napas panjang. Lalu mengangkat muka memandang dan dari sinar matanya terpancar rasa iba.

“Sayang sekali, aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaan mereka, Hui-i. Ketika kalian dikeroyok di atas perahu, aku telah lebih dulu terlempar keluar dan tercebur ke lautan, ditelan badai dan hanya kekuasaan Thian sajalah yang dapat menyelamatkan aku dari bencana maut di lautan yang ganas itu. Aku tidak melihat bagaimana keadaan kedua paman itu.”

Lalu dia menceritakan pengalamannya ketika terlempar ke lautan sampai dia berhasil selamat dan akhirnya naik papan dan mendarat.

“Jadi engkau sama sekali tidak tahu bagaimana nasib kedua orang adikku?” Gadis itu memejamkan matanya dan menghapus air mata yang mulai menetes turun. “Menurut penuturan jahanam Siauw-ok itu, mereka.... mereka mungkin telah tewas. Ciang Bun terlempar ke lautan sedangkan Ceng Liong ditawan oleh Hek-i Mo-ong.”

“Ahhh !” Cin Liong mengepal tinju. “mereka itu orang-orang jahat. Aku akan mengerahkan pasukan untuk mencari dan membasmi mereka semua itu !”

“Akupun tidak akan berhenti sebelum menumpas mereka!” Suma Hui mengepal tinju, teringat akan kehancuran keluarga Pulau Es. Kemudian dipandangnya pemuda perkasa itu dan iapun bertanya, “Bagaimana engkau dapat tiba di pondok itu dan menolongku, Cin Liong?”

“Hanya kebetulan saja, Hui-i. Baru kemarin aku mendarat dan memasuki kota. Setelah berganti pakaian dan memulihkan kekuatan, siang tadi aku mendatangi pantai di luar kota Ceng-to, untuk menyelidiki kalau-kalau ada di antara kalian bertiga yang selamat dan mendarat pula. Di dalam penyelidikan itulah, sore tadi, aku mendengar percakapan dua orang nelayan yang katanya melihat seorang kakek memondong tubuh seorang gadis yang pingsan dan katanya kakek itu berlari cepat menyelinap di antara pohon-pohon. Mendengar ini, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya aku tiba di pondok itu. Ketika aku melihat Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng sedang makan minum di dalam pondok, akupun merasa yakin bahwa tentu dia yang dilihat dua orang nelayan itu dan gadis yang pingsan itu tentu engkau. Maka akupun masuk dan kebetulan sekali aku tiba pada saat yang tepat.”

“Cin Liong....” Suma Hui menelan ludah, sukar agaknya melanjutkan kata-katanya.

“Ya Hui-i?”

“Engkau.... engkau baik sekali, Cin Liong. Engkau telah membela kami, bahkan engkau telah berkali-kali menyelamatkan aku.”

“Ah, harap jangan berkata demikian, Hui-i. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku membela keluarga Pulau Es? Bukan keluarga sekalipun tentu akan kubela, karena bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang kejahatan?”

“Ya, tapi.... tapi....”

“Tapi apa, Hui-i?”

Seperti tanpa disadarinya, Suma Hui memegang tangan pemuda itu yang terletak di atas meja pula dan ia meremas jari-jari tangan itu.

“Cin Liong.... berkali-kali aku terkenang akan hal itu.... engkau begini baik dan aku.... aku....”

Cin Liong merasa terharu bukan main ketika merasa betapa tangannya dipegang dan diremas-remas oleh gadis itu. Betapa lembutnya telapak tangan gadis itu, lembut hangat dan mengandung penuh getaran yang menggetarkan pula jantung Cin Liong.

“Engkaupun seoraug gadis yang amat baik, Hui-i, baik sekali....”

“Aku telah menamparmu berkali-kali....! Nah, itulah yang selalu terkenang olehku dengan hati perih, Cin Liong. Engkau hampir berkorban nyawa berkali-kali untuk membela kami, dan aku telah menghina dan menyakitimu. Maukah.... maukah engkau memaafkan aku, Cin Liong?” Di dalam suara itu terkandung isak.

Pemuda itu merasa semakin terharu dan diapun balas meremas tangan yang lembut itu sehingga jari-jari tangan mereka saling bertautan.

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Hui-i. Sudah sepatutnya engkau menamparku, karena memang aku telah menyakitkan hatimu. Bahkan sekarangpun aku bersedia andaikata engkau hendak menambah beberapa tamparan lagi.”

“Ih, jangan begitu, Cin Liong. Aku sungguh menyesal, dan aku minta maaf. Penyesalan itu selamanya akan mengganggu hatiku sebelum engkau memberikan maafmu.”

Sambil berkata demikian, gadis itu memandang kepada wajah Cin Liong dengan sinar mata penuh permohonan. Cin Liong tidak tega untuk membiarkan gadis itu tenggelam dalam penyesalan diri.

“Baiklah, kalau engkau menghendaki demikian. Aku maafkan semua perbuatanmu, Hui-i.”

Wajah yang cantik itu menjadi berseri dan tiba-tiba saja, seolah-olah baru melihat betapa tangannya saling cengkeram dengan tangan pemuda itu, perlahan-lahan Suma Hui menarik kembali tangannya.

“Ah, engkau memang baik sekali, Cin Liong. Belum pernah selama hidup aku bertemu dengan seorang yang baik seperti engkau.”

“Jangan terlalu memuji, Hui-i. Engkau sendiripun seorang gadis yang teramat baik.”

Suma Hui tersenyum.
“Ucapanmu itu menunjukkan bahwa engkau rendah hati. Mana mungkin seorang gadis buruk watak seperti aku ini kau katakan baik?”

“Sungguh, Hui-i, aku bicara setulusnya, keluar dari dalam lubuk hatiku.”

Wajah yang manis itu menjadi semakin merah dan kini Suma Hui menunduk.
“Bagiku, engkau adalah orang yang paling baik di dunia ini.”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar