FB

FB


Ads

Kamis, 24 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 014

Ke manakah perginya Suma Hui, cucu perempuan Pendekar Super Sakti itu? Seperti kita ketahui, ketika perahu empat orang muda itu dikepung kemudian diserbu oleh para penjahat, mereka berempat melakukan perlawanan dan karena banyaknya penjahat yang mengepung, kemudian perahu mereka digulingkan, empat orang muda itu membela diri dengan terpaksa berpencar.

Suma Hui meloncat ke atas sebuah perahu lain di mana dara ini dihadapi oleh seorang tokoh jahat yang amat dibencinya yaitu Jai-hwa Siauw-ok, tokoh sesat yang pernah bersikap kotor terhadap dirinya ketika para penjahat itu menyerbu Pulau Es.

“Heh-heh-heh, selamat bertemu, nona manis!” kata Jai-hwa Siauw-ok sambil tersenyum, wajahnya berseri dan pandang matanya penuh nafsu berahi. “Akhirnya engkau datang juga kepadaku, heh-heh-heh!”

“Iblis jahanam!”

Suma Hui membentak dan dengan kemarahan meluap ia sudah menerjang dengan sepasang pedangnya, mempergunakan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang amat hebat itu. Akan tetapi, enam orang anak buah penjahat mengepungnya.

Tanpa diperintah lagi, enam orang penjahat yang melihat munculnya seorang dara jelita ini sudah berebut maju hendak menangkapnya. Mereka terlalu memandang rendah karena mereka adalah anggauta-anggauta penjahat yang ketika terjadi pertempuran di Pulau Es belum merasakan kelihaian nona ini. Dengan lancang mereka menyambut dan berusaha menangkap Suma Hui.

Akan tetapi mereka kecelik dan kelancangan mereka harus ditebus mahal ketika sepasang pedang di tangan dara itu berkelebatan dan empat orang di antara mereka roboh mandi darah, sedangkan yang dua orang hanya dapat terhindar dari bencana karena mereka cepat membuang diri ke belakang saja!

Akan tetapi, pada saat Suma Hui menggerakkan pedang mengamuk, Jai-hwa Siauw-ok sudah menubruknya dari belakang. Dua kali orang ini menggerakkan jari tangan menotok. Ilmu yang dipergunakannya bukanlah ilmu sembarangan karena dia telah mempergunakan Kiam-ci (Jari Pedang), yaitu ilmu yang amat hebat dari mendiang gurunya.

Suma Hui hanya merasa betapa kedua pergelangan tangannya seperti tertusuk jarum sehingga sambil menahan teriakannya, terpaksa dara ini membuka tangannya dan melepaskan sepasang pedangnya. Di lain saat, tubuhnya telah menjadi lemas tertotok dari belakang dan ia sudah dipondong oleh Jai-hwa Siauw-ok.

Perahu terguncang hebat oleh badai dan Jai-hwa Siauw-ok yang telah berhasil menawan dara itu menjadi girang bukan main. Akan tetapi diapun merasa khawatir kalau-kalau dia tidak akan dapat menikmati hasilnya karena di situ terdapat Hek-i Mo-ong, maka diam-diam dia lalu meluncurkan sebuah perahu sekoci dan membawa tubuh Suma Hui melompat ke dalam perahu kecil yang terus didayungnya menjauh dari amukan badai itu.

Suma Hui rebah di atas perahu kecil dalam keadaan tertotok dan setengah pingsan. Ia tidak berani membuka kedua matanya karena ia merasa pening bukan main, bukan saja karena totokan, akan tetapi juga karena perahu kecil itu dipermainkan gelombang dahsyat, membuat tubuhnya terayun-ayun, terguncang dan iapun mabok.

Setelah badai lewat dan perahu kecil itu jauh meninggalkan perahu-perahu besar lainnya, Jai-hwa Siauw-ok memasang layar perahu kecil dan dia memandang ke arah tubuh dara yang terlentang tak berdaya itu sambil tersenyum-senyum. Seorang dara yang amat cantik jelita dan bertubuh padat. Keturunan Pendekar Super Sakti, keturunan keluarga Pulau Es!

Bukan main bangga dan girang hatinya. Dia adalah seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa) dan menawan seorang gadis merupakan hal yang biasa baginya. Akan tetapi, sekali ini dia merasa luar biasa bangga dan girangnya karena yang ditawannya adalah seorang cucu perempuan dari keluarga Pulau Es!

Inilah yang membuat peristiwa itu amat penting dan besar. Dan diapun tidak ingin memperkosa dara itu begitu saja seperti yang biasa dia lakukan terhadap tawanan-tawanan wanita yang disukainya. Tidak, dia akan memperlakukan dara ini secara lain! Dia ingin dara ini menyerahkan diri dengan suka rela agar dara ini dapat menjadi kekasihnya untuk kelak dibanggakan kepada orang-orang sedunia kang-ouw!

Betapa akan bangga hatinya kalau dia dapat memamerkan kekasihnya sebagai seorang cucu perempuan keluarga Pulau Es! Selain itu, diapun tidak pernah mau memperkosa wanita yang berada dalam keadaan tertotok atau pingsan. Dia berwatak seperti seekor binatang buas yang merasa nikmat kalau melihat korbannya meronta-ronta dan meraung-raung dalam permainan dan penyiksaannya.

Jai-hwa Siauw-ok ini di waktu mudanya bukanlah seorang jai-hwa-cat, walaupun dia tak dapat dibilang seorang yang berkelakuan baik. Namanya adalah Ouw Teng dan sejak muda dia memang seorang yang suka bermain-main dengan wanita. Sejak muda diapun suka belajar ilmu silat, namun belum pernah dia mempergunakan kepandaian silatnya untuk memaksa seorang wanita atau memperkosanya. Dia berwajah tampan dan putera seorang kaya, maka dengan modal wajah ganteng dan kantong padat, mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita-wanita yang disukainya.

Akan tetapi, semenjak dia menikah dan dalam waktu setahun setelah menikah dia menangkap basah isterinya yang berjina dengan seorang pelayan pria dalam rumah mereka sendiri, wataknyapun berubah. Dia membunuh isteri dan pelayan itu dan melarikan diri meninggalkan rumah, menjadi buronan yang berwajib.

Kemudian diapun bertemu dengan Ji-ok, nenek sakti yang menjadi tokoh ke dua dari Im-kan Ngo-ok. Ji-ok mengambilnya sebagai kekasih dan murid dan karena pandainya Ouw Teng merayu nenek yang tubuhnya masih seperti orang muda itu, dia dikasihi dan diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi.

Bahkan Ji-ok mengajarkan ilmu-ilmu yang dicurinya dari saudara-saudaranya sehingga Ouw Teng dapat mempelajari ilmu-ilmu dari para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain, walaupun tidak begitu sempurna karena curian. Dan sejak itulah dia menjadi seorang jai-hwa-cat yang amat kejam! Watak ini pula yang membuat Ji-ok makin suka kepadanya, karena memang begitulah seharusnya watak murid dari seorang tokoh sesat yang dianggap jahat seperti iblis!

Demikianlah riwayat singkat dari Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng. Kini usianya sudah lima puluh tahun, akan tetapi dia masih pesolek dan masih ganteng. Dan tentu saja kini ilmu-ilmunya sudah matang dan di antara lima tokoh jahat yang menyerbu Pulau Es, dia merupakan orang ke dua setelah Hek-i Mo-ong. Dan ternyata hanya dia seoranglah di antara empat orang rekan Hek-i Mo-ong yang selamat dan terhindar dari kematian ketika mereka melakukan penyerbuan itu. Dan kini dia malah memperoleh hasil gemilang yaitu dengan berhasilnya dia menawan cucu perempuan dari Pendekar Super Sakti.






Ketika siuman, Suma Hui menggerakkan kaki tangan hendak menggeliat, akan tetapi kaki dan tangannya tak dapat digerakkan karena terbelenggu. Ia mengeluh lirih dan membuka matanya yang segera terbelalak ketika ia mendapatkan dirinya telah terbelenggu dan rebah terlentang di atas perahu kecil. Iapun teringat segalanya dan cepat menengok kepada pria yang duduk di dekatnya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia mengenal pria itu yang bukan lain adalah Jai-hwa Siauw-ok yang dikenalnya sebagai seorang di antara tokoh-tokoh penyerbu Pulau Es yang berwatak kasar dan juga kotor dan cabul.

“Aih, nona manis, engkau sudah sadar? Mari makanlah, minumlah....!” Jai-hwa Siauw-ok berkata dengan ramah sambil meraih tempat makanan dan minuman. “Bukalah mulutmu, biar kusuapi engkau makan dan minum,” katanya.

Akan tetapi Suma Hui membuang muka.
“Marilah, nona....” Siauw-ok mendekatkan sepotong daging ke mulut nona itu dengan sumpitnya dan ketika dara itu tidak mau membuka mulutnya, Siauw-ok menggeser-geserkan daging itu di antara bibir Suma Hui. Perbuatan ini saja sudah membuat berahinya timbul dan diapun tersenyum-senyum. “Bukalah mulutmu, daging ini enak sekali....”

Tiba-tiba Suma Hui menggerakkan kaki tangan dengan pengerahan sin-kang, akan tetapi ia mengeluh ketika merasa betapa kaki tangannya tidak bertenaga. Tahulah ia bahwa ia dalam keadaan tertotok.

“Mari, makanlah nona....”

“Tidak sudi!”

Suma Hui membentak dan biarpun tubuhnya lemas, ia membuang muka dan menjauhkan mulutnya dari daging di ujung sumpit itu.

“Ah, jangan begitu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau mati kelaparan atau kehausan....”

“Engkau sudah menawanku dengan kecurangan, nah, kalau mau bunuh, kau bunuhlah! Siapa takut mati?” Suma Hui membentak.

“Membunuh engkau? Aihh, sayang kalau dibunuh!” Siauw-ok menggoda.

“Kalau begitu, bebaskan aku dan mari kita bertanding sampai mampus!” tantang Suma Hui.

“Ah, nona manis. Aku cinta padamu, aku tidak ingin melihat engkau mati seperti tiga orang muda itu....”

Tentu saja Suma Hui terkejut bukan main mendengar ini. Ia memandang dengan muka pucat dan biarpun ia membenci orang ini dan tidak ingin bercakap dengan dia, akan tetapi kini terpaksa ia bertanya,

“Apa.... apa yang telah terjadi dengan mereka....?”

Siauw-ok tersenyum, lalu mengacungkan daging di sumpit itu kembali.
“Engkau makan dan minumlah lebih dulu, baru aku akan menceritakan tentang diri mereka.”

“Tidak sudi!” Suma Hui membuang muka dan cemberut.

Siauw-ok mengangkat kedua pundaknya dan diapun makan minum sendirian sambil tersenyum-senyum. Dia merasa cukup berpengalaman untuk menundukkan gadis yang keras hati. Menundukkan seorang gadis yang keras hati harus pandai, pikirnya. Pandai mempergunakan muslihat kasar dan halus yang dicampur adukkan. Kadang-kadang halus merayu, kadang-kadang kasar mengancam dan kadang-kadang membiarkannya penasaran dan kecewa, kadang-kadang membiarkannya kegirangan.

Suma Hui merasa tersiksa bukan main. Ingin ia menjerit dan bertanya tentang nasib kedua orang adiknya dan Cin Liong. Tidak ada orang lain yang dapat ditanyainya kecuali laki-laki yang dibencinya ini. Iapun melirik dan melihat laki-laki itu makan minum dengan tenangnya. Bagaimanapun juga, melihat orang makan dan minum sedemikian lahapnya, ia terpaksa menelan air liurnya. Harus diakuinya bahwa perutnya lapar sekali dan kerongkongannya kering dan haus.

Akan tetapi, ia akan mampu melupakan semua itu, mampu mempertahankan diri dan kalau perlu mati kelaparan atau kehausan. Hanya, sukar baginya untuk dapat menahan keinginan tahunya tentang nasib Cin Liong dan terutama kedua orang adiknyya. Makin ditahannya, makin hebat keinginan tahu itu mendesak dan akhirnya ia menoleh dan memandang kepada laki-laki itu.

“Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan adik-adikku? Katakanlah, tidak ada ruginya engkau menceritakannya kepadaku.”

Siauw-ok memandang wajah manis itu dan tersenyum, di dalam hatinya bersorak karena merasa menang.

”Tentu saja aku akan menceritakan padamu, nona. Aku tidak ingin melihat engkau sengsara, maka akupun tidak ingin melihat engkau kelaparan. Nah, engkau makan minumlah dan aku akan menceritakan keadaan mereka.”

“Baik, lepaskan belenggu kedua tanganku dan totokanku, dan aku akan mau makan dan minum.”

“Aihh, mana mungkin aku sembrono seperti itu, nona? Engkau adalah cucu Pendekar Super Sakti. Aku tahu engkau memiliki kepandaian hebat dan aku tidak tahu kapan engkau akan dapat membebaskan totokanku itu. Kalau kedua tanganmu tidak dibelenggu dan akhirnya totokan itu dapat kau punahkan, tentu aku celaka. Tidak, aku belum dapat melepaskan belenggumu dan biarlah aku yang menyuapkan makanan dan minuman padamu.”

Suma Hui sudah hendak memaki dan marah-marah lagi, akan tetapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya dan keinginan tahunya untuk mendengar tentang nasib adik-adiknya membuat ia akhirnya mengalah.

Ketika sumpit yang membawa potongan daging itu didekatkan pada mulutnya, iapun membuka mulut dan menyambutnya. Tentu saja Siauw-ok merasa girang bukan main. Diapun mulai bercerita, akan tetapi dia bercerita secara lambat-lambat sehingga terpaksa Suma Hui menerima makanan dan minuman yang cukup banyak untuk dapat mengikuti penuturan itu. Setelah menceritakan jalannya pertempuran yang tidak begitu penting bagi Suma Hui, akhirnya Siauw-ok lalu berkata,

“Aku melihat betapa pemuda yang menurut Hek-i Mo-ong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir itu terlempar ke lautan. Laut sedang dilanda badai mengganas, maka biar seorang yang amat pandai bermain di air sekalipun tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri dari amukan badai seperti itu! Dia sudah pasti terseret ombak dan tenggelam atau disambut oleh ikan-ikan hiu yang ganas. Belum lagi bahayanya kalau dihempaskan oleh ombak ke tubuh perahu, tentu akan lumat-lumat tubuhnya. Pemuda itu sudah pasti tewas, hal ini tak dapat disangsikan lagi.”

Suma Hui membayangkan dengan hati penuh duka. Keponakannya itu adalah seorang yang gagah perkasa dan sudah banyak membela keluarga Pulau Es, tak disangkanya akan mengakhiri hidupnya secara demikian menyedihkan. Apalagi kalau ia teringat betapa ia pernah membalas segala pertolongan dan pembelaan pemuda itu dengan tamparan-tamparan yang diterima oleh pemuda itu dengan mengalah. Tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah, akan tetapi dengan kekerasan hatinya, dilawannya rasa duka itu sehingga ia dapat membendung keluarnya air matanya.

Siauw-ok adalah seorang laki-laki yang sudah berpengalaman. Dia dapat melihat kedukaan membayang di wajah yang ayu itu, dan melihat pula betapa dara itu menggunakan kekerasan hati membendung air matanya. Hatinya merasa panas oleh cemburu.

“Nona, apamukah pemuda putera Naga Sakti Gurun Pasir itu? Mengapa dia membela keluarga Pulau Es secara mati-matian?” tanyanya penasaran.

Suma Hui tidak menjawab pertanyaan ini, hanya berkata,
“Hemm, lihat saja nanti bangkitnya Naga Sakti Gurun Pasir untuk membalaskan kematian puteranya!”

Mendengar ucapan ini, bagaimanapun juga Siauw-ok bergidik ngeri. Dia belum pernah bertemu dengan Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dia sudah mendengar nama besar pendekar itu yang sejajar dengan keluarga Pulan Es!

“Ah, bukan aku yang membunuhnya....”

Ucapan ini dihentikannya di tengah jalan karena dia sadar bahwa ucapan itu membayangkan rasa takutnya. Maka diapun lalu menyuapkan sepotong besar daging ke mulut itu dan melihat dengan penuh gairah betapa mulut yang kecil dengan bibir merah dan deretan gigi putih itu terbuka menerima daging, nampak bagian dalam mulutnya yang lebih merah lagi. Suma Hui mengunyah daging itu dengan perlahan.

“Bagaimana dengan kedua orang adikku?” tanyanya setelah daging itu agak lembut dikunyah.

“Ah, jadi dua orang pemuda cilik itu adalah adik-adikmu? Pantas mereka itu hebat-hebat....”

Kembali Suma Hui terpaksa menerima suapan makanan walaupun perutnya sudah merasa kenyang dan sebetulnya ingin ia menyemburkan makanan itu ke muka Siauw-ok. Akan tetapi ia membutuhkan keterangan tentang adik-adiknya sehingga terpaksa ia menahan sabar.

“Nih, minumlah dulu,” kata Siauw-ok dan Suma Hui juga menerima minuman air tawar yang disodorkan ke mulutnya.

Bagaimanapun juga, makanan dan minuman itu membuat ia merasa tubuhnya menjadi segar kembali.

“Kedua adikmu itu.... sunggnh sayang sekali, agaknya merekapun tak mungkin dapat hidup, dan besar kemungkinan sekarangpun sudah tewas.”

“Mak.... maksudmu....?”

“Adikmu yang besar itu, seperti juga putera Naga Sakti Gurun Pasir, terlempar ke dalam lautan dan tentu diapun tidak mungkin dapat terhindar dari cengkeraman maut. Sedangkan adikmu yang kecil, setan cilik yang luar biasa itu, mungkin dia ditangkap oleh Hek-i Mo-ong. Entah bagaimana jadinya dengan mereka aku tidak tahu karena aku lebih menyibukkan diri untuk menyelamatkanmu.” Siauw-ok berhenti dan tersenyum ramah.

“Coba pikir, di antara empat orang muda, hanya engkau yang selamat, kuhindarkan dari bahaya maut, bahkan kujaga dan kusuapi makanan dan minuman. Bukankah aku orang baik sekali, manis?”

Suma Hui menyemburkan makanan yang masih tersisa di mulutnya, lalu membuang muka dan menangis! Baru sekarang ia dapat melemparkan semua rasa sebal, marah, dan duka di dalam hatinya. Terutama sekali perasaan duka karena kegelisahan mendengar akan nasib kedua orang adiknya, dan juga Cin Liong.

Tiba-tiba ia menghentikan tangisnya ketika merasa betapa rambut kepalanya dibelai orang. Rasanya seperti tiba-tiba ada ular menyusup ke balik bajunya. Ia terperanjat dan juga jijik bukan main, apalagi ketika merasa betapa jari-jari tangan itu bukan hanya membelai rambut, melainkan juga mengusap pipi, dagu dan lehernya. Dan sepasang mata itu! Memandangnya seperti mata seekor harimau yang hendak menerkam kambing.

“Sudahlah, jangan menangis, nona manis. Ada aku di sini yang cinta padamu. Asal engkau suka menuruti segala kehendakku, engkau akan menjadi muridku yang terbaik dan hidupmu akan berbahagia....”

“Tutup mulutmu, iblis terkutuk!”

Tiba-tiba Suma Hui memaki dan ketika ia merasa bahwa tenaga atau pengaruh totokan pada tubuhnya mulai mengendur, ia lalu mengerahkan sin-kangnya dan tiba-tiba ia menggerakkan kaki tangannya.

“Brettt! Brettt....!”

Tali pengikat kaki tangan dara itu putus semua, tidak kuat menahan pengerahan tenaga sin-kang dari Suma Hui, tenaga asli dari keluarga Pulau Es!

“Ehhh....!”

Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terkejut bukan main. Dia tahu bahwa dara ini adalah cucu dari Pendekar Super Sakti dan memiliki kepandaian yang tidak lumrah gadis lainnya. Akan tetapi sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu dapat meloloskan diri secara tiba-tiba seperti itu! Pada saat itu, Suma Hui sudah meloncat bangkit berdiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanannya, menampar ke arah kepala Siauw-ok.

“Hyaaaaatttt....!”

Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Karena pukulan dilakukan dari jarak dekat dan perahu itu amat kecil sehingga tidak mungkin bagi Siauw-ok untuk mengelak lagi, maka Siauw-ok terpaksa mengangkat lengannya menangkis, menjaga agar jangan sampai tenaganya terlalu besar dan melukai dara yang membuatnya tergila-gila ini.

“Dukkkkk....!” Tubuh Jai-hwa Siauw-ok Ouw Teng terjongkok dan menggigil kedinginan!

Kiranya dara itu telah mempergunakan tenaga yang belum lama dilatihnya di Pulau Es, yaitu tenaga Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju) yang amat hebat. Untung bagi Jai-hwa Siauw-ok bahwa gadis itu belum matang benar latihannya karena andaikata demikian, dia akan menderita luka dalam yang parah.

Cepat dia mengerahkan tenaga sakti dan mengumpulkan hawa murni untuk melindungi tubuhnya dan mengusir hawa dingin. Dia merasa salah sendiri karena terlalu memandang ringan sehingga hampir celaka. Bagaimanapun juga, tenaganya masih lebih kuat dibandingkan dengan tenaga dara itu, maka kalau tadi dia mengerahkan seluruh tenaga, tentu dia lebih kuat.

“Haiiiittt....!”

Melihat pukulannya yang pertama hanya membuat lawan terjongkok, Suma Hui merasa penasaran dan iapun sudah menyerang lagi dengan hantaman tangan kanan lurus-lurus ke arah dada lawannya.

Kembali Siauw-ok terpaksa menangkis, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan sin-kang dan mempergunakan tenaga kasar dan panas yang lebih kuat untuk mengimbangi hawa dingin yang terkandung dalam pukulan dara itu.

“Dessss....!”

Dua tenaga dahsyat bertemu melalui lengan mereka dan akibatnya, tubuh Siauw-ok terdorong keras dan terpelanting keluar dari perahu.

“Byuuur....!”

Siauw-ok yang terjungkal ke air menyelam. Dia terkejut bukan main karena ternyata dara itu tidak lagi mengerahkan tenaga berhawa dingin, melainkan pukulannya tadi mengandung hawa panas dan kekuatan yang amat hebat. Dia tidak tahu bahwa itulah ilmu sakti Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api).

Karena keras bertemu keras dan tenaganya kalah ampuh, ditambah lagi kekagetannya ketika merasa betapa ada hawa panas membakar tubuhnya melalui lengan, maka tubuh Jai-hwa Siauw-ok terlempar dan terpelanting ke dalam lautan. Tentu saja hati Suma Hui merasa lega dan girang sekali dan cepat ia mengambil tali kemudi untuk mengemudikan layar perahu.

“Krakkk....!”

Tiba-tiba tiang layar yang tidak berapa besar itu patah. Kiranya Siauw-ok telah muncul di balik perahu dan memukul patah tiang layar itu dengan tangannya.

“Iblis jahat kau!”

Suma Hui memaki dan cepat menyambar dayung untuk menyerang kepala yang muncul di permukaan air itu.

“Pratttt....!” Air muncrat ke atas akan tetapi kepala itu lenyap dan dayung hanya memukul air.

Suma Hui tidak perduli lagi dan hendak mendayung perahu kecil itu, akan tetapi tiba-tiba perahu itu terguncang keras dan terbalik! Tentu saja dara itupun terlempar dan terjatuh ke air.

“Byuuurrr....!”

Air muncrat lagi dan Suma Hui cepat menggerakkan kaki tangannya untuk mencegah tubuhnya tenggelam.

“He-he-he, nona manis....!” Tiba-tiba ada lengan yang merangkul pinggangnya yang ramping.

“Lepaskan, jahanam!”

Suma Hui menjerit dan memukul ke belakang, akan tetapi Siauw-ok yang lebih pandai bermain di air itu telah menyelam. Dan tiba-tiba Suma Hui menjerit ketika kakinya ada yang menangkap dari bawah dan terus tangan itu menyeretnya ke bawah permukaan air!

Dara itu meronta dan mencoba untuk menendang atau memukul. Terjadi pergumulan di dalam air. Suma Hui melawan mati-matian dan berusaha sedapat mungkin. Namun, ternyata ia jauh kalah mahir sehingga ia gelagapan dan banyak menelan air laut. Apalagi Siauw-ok menggumulnya sehingga di samping ia memang kalah pandai, juga ia merasa jijik dan geli merasa betapa dirinya dirangkul dan dipeluk.

Akhirnya ia terkulai pingsan! Masih untung baginya bahwa ambisi Siauw-ok untuk membanggakan kemenangan dan menyombongkan dirinya sedemikian besarnya sehingga biarpun melihat dara itu dengan pakaian basah kuyup nampak amat merangsang, pakaian basahnya melekat ketat pada tubuhnya yang padat, namun penjahat cabul itu tidak menuruti nafsu berahinya dan bertahan diri, tidak memperkosanya.

Siauw-ok membawa Suma Hui kembali ke dalam perahu yang telah kehilangan layarnya itu, menotoknya kembali dan kini dengan bersungut-sungut dia mendayung perahunya melanjutkan perjalanan.

Pada suatu senja, perahunya berlabuh di sebuah pantai yang sunyi di sebelah selatan kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung. Siauw-ok menarik perahunya ke pantai lalu memondong tubuh Suma Hui yang masih tertotok, kemudian membawanya lari memasuki hutan yang sudah mulai gelap. Setelah malam tiba, nampak Siauw-ok memasuki sebuah pekarangan depan rumah yang berdiri terpencil di luar kota Ceng-to, rumah itu bercat merah yang mungil.

Bagi para laki-laki hidung belang di kota Ceng-to, rumah ini amat terkenal karena rumah ini merupakan rumah milik Ang Bwee Nio-nio, seorang bekas pelacur kenamaan yang kini telah berusia empat puluh tahun dan telah mengalihkan pekerjaannya dari seorang pelacur kenamaan menjadi seorang mucikari kenamaan pula.

Hampir semua pelacur di daerah Ceng-to mengenalnya dan pelacur manapun juga akan merasa terhormat kalau dipanggil oleh mucikari ini karena para langganan dari Ang Bwee Nio-nio hanyalah orang-orang besar yang berkedudukan penting atau yang kaya raya saja. Karena sore tadi hujan turun dan sekarangpun masih gerimis, rumah pelacuran itu sunyi.

Memang Ang Bwee Nio-nio tidak pernah menyediakan pelacur di rumahnya. Ia hanya memanggilkan pelacur-pelacur yang dipesan para langganannya saja, menyediakan kamar-kamar yang cukup mewah dan bersih, dan juga melayani makan minum yang cukup lengkap dan lezat. Ia hanya hidup bersama dua orang pelayan yang tinggal di situ, pelayan-pelayan wanita setengah tua.

Ketika Jai-hwa Siauw-ok mengetuk pintu depan, terdengar suara jawaban dari dalam dan tak lama kemudian daun pintu dibuka orang. Seorang wanita berpakaian pelayan memandang dan wajahnya segera berobah ramah.

“Aih, kiranya Ouw-taiya (tuan besar Ouw) yang datang. Tapi.... tapi mengapakah nona ini....?” katanya menunjuk kepada Suma Hui di atas pundak Siauw-ok.

“Jangan ribut. Apakah malam ini banyak tamu?”

“Sepi, taiya, habis hujan.”

“Tutupkan daun pintunya dan malam ini tidak boleh menerima tamu, katakan saja toanio sakit. Mengerti?” Pandang mata Siauw-ok penuh ancaman.

“Baik, taiya....!” kata pelayan itu takut-takut.

“Di mana toanio? Panggil ia keluar.”

Pelayan itu berlari masuk setelah menutupkan daun pintu dan tak lama kemudian nampak seorang wanita datang setengah berlari. Ia sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi masih pesolek. Pakaiannya indah, mukanya berbedak tebal, alisnya dicukur dan dilukis, bibirnya diberi gincu merah, demikian pula kedua pipinya. Memang ia bekas seorang wanita yang cantik menarik. Inilah Ang Bwee Nio-nio, dahulu terkenal sebagai Ang Bwee (Bunga Bwee Merah), pelacur tingkat tinggi di Ceng-to.

“Ahhh, baru sekarang engkau muncul, Ouw-koko....!”

Wanita itu segera menghampiri Siauw-ok dan merangkul dengan sikap manja dan mesra. Memang ia adalah kekasih lama Siauw-ok, akan tetapi sudah lama Siauw-ok meninggalkan dan menjauhinya.

Ketika dirangkul oleh wanita ini dan mencium bau wangi yang semerbak menusuk hidung, Siauw-ok mengerutkan alisnya dengan sebal dan tangannya mendorong! Untung wanita itu agaknya bukan wanita sembarangan sehingga dorongan yang akan merobohkan setiap orang yang bertubuh kuat itu hanya membuatnya terhuyung dan wanita itupun dapat cepat menggeser kaki memasang kuda-kuda sehingga tubuhnya tidak sampai terpelanting.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar