FB

FB


Ads

Kamis, 24 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 011

Karena badai mengamuk semakin ganas, maka para pengeroyok itupun tidak dapat memusatkan pengeroyokan mereka, bahkan mereka yang berkelahi inipun nampak lucu, kadang-kadang terguling roboh sendiri karena perahunya oleng.

Juga Ceng Liong beberapa kali terguling roboh karena olengnya perahu. Empat buah perahu itu sudah terpisah-pisah tidak karuan sehingga Ceng Liong tidak tahu di mana adanya kedua orang kakaknya. Tahunya hanyalah bahwa dia berada sendirian saja di antara pengeroyokan penjahat-penjahat di atas perahu itu.

Anehnya, secara tiba-tiba saja lautan menjadi tenang kembali dan cuaca tidak begitu gelap lagi, hujanpun hanya rintik-rintik saja. Kini Ceng Liong dikepung ketat lagi dan ketika anak ini meloncat ke kiri untuk mengelak dari sambaran golok, kakinya menginjak papan yang licin. Dia terpeleset dan kakinya terlibat tali layar.

Tiba-tiba ada yang menarik tali itu dan tanpa dapat dicegah lagi tubuh anak itu tergantung ke atas, dengan kedua kaki terbelit tali dan kepalanya di bawah. Dia meronta-ronta dan memaki-maki, ditertawakan oleh para anak buah penjahat.

“Anak bedebah ini telah membunuh banyak kawan kita. Bunuh saja dia!”

“Kita siksa dia! Enak benar dibunuh begitu saja!”

“Pakai dia sebagai umpan memancing ikan besar!”

“Cambuki dia sampai hancur daging-dagingnya!”

Ceng Liong tak dapat meronta-ronta lagi. Akan tetapi, dengan mata mendelik dia memandang kepada wajah-wajah kejam dan bengis yang merubungnya itu. Wajah-wajah yang menyeringai seperti setan-setan. Akan tetapi sedikitpun dia tidak takut. Bahkan dia masih mencoba menggerakkan kedua tangannya untuk mencengkeram wajah-wajah itu sehingga para penjahat itu melangkah mundur.

“Siksalah! Cincanglah! Bunuhlah! Siapa takut mampus? Aku cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es tidak takut mati, tidak macam kalian ini iblis-iblis pengecut tak tahu malu!”

Ceng Liong membentak dan memaki-maki. Memang anak ini luar biasa sekali. Agaknya di dalam dirinya tidak terdapat rasa takut atau kelemahan sedikitpun juga. Ketika kakeknya dan kedua orang neneknya meninggal, dalam keadaan berduka dia sama sekali tidak memperlihatkan kedukaannya, sama sekali tidak menangis. Dan kini, dalam cengkeraman maut yang mengerikan, ancaman siksaan yang menyeramkan, sedikitpun dia tidak kelihatan takut!

“Wah, dia malah memaki-maki kita! Perlu apa dibiarkan hidup lagi?”

Bentak seorang yang tadi pernah merasakan lezatnya tendangan kaki anak ini, yang membuat perutnya mulas dan sampai sekarang masih terasa nyerinya. Dia sudah menerjang dan membacokkan goloknya ke arah leher Ceng Liong. Anak ini tak dapat mengelak, akan tetapi dia tidak berkedip, memandang datangnya golok yang akan memenggal lehernya, sedikitpun tidak kelihatan takut.

“Plakkk!” Golok ini terpental dan orang yang membacokkan golok itu terjungkal.

“Lancang! Siapa suruh membunuhnya?”

Hek-i Mo-ong membentak marah dan sekali lagi dia menggerakkan tubuh, tahu-tahu kakinya menendang dan orang yang tadinya hendak membunuh Ceng Liong, kini mengeluarkan jeritan mengerikan ketika tubuhnya terlempar keluar dari perahu dan jatuh ke dalam laut, terus tenggelam karena tendangan tadi sudah membunuhnya!

Memang demikianlah kehidupan di antara kaum sesat itu. Keras dan kejam, setiap kesalahan betapapun kecilnya tentu akan dihukum secara keji. Hal ini membuat semua anak buah takut dan taat kepada pimpinannya.

Akan tetapi, sikap Hek-i Mo-ong yang menyelamatkan bocah tawanan itu membuat semua anak buahnya terheran-heran dan bingung. Biasanya, perbuatan kejam para anak buah terhadap musuh bahkan dianjurkan oleh pemimpin ini. Kenapa sekarang orang yang hendak membunuh bocah yang menjadi musuh ini malah dibunuh oleh Hek-i Mo-ong?

Mereka semua memandang dengan sinar mata mengandung penuh rasa penasaran. Hal ini diketahui oleh Hek-i Mo-ong. Dia menjambak rambut kepala Ceng Liong, memaksa muka anak itu menghadapinya dan dia menyeringai.

“Huh, siapapun di dunia ini tidak boleh merampas anak ini dari tanganku. Aku sendiri yang akan menyiksanya sampai mampus!”

Mendengar ucapan ini, mengertilah para anak buah penjahat itu dan merekapun tersenyum menyeringai dengan hati lega. Pantas saja teman mereka tadi dibunuh, kiranya teman itu hampir saja mengecewakan hati Hek-i Mo-ong, merampas calon korbannya.

Ceng Liong sendiri tertegun ketika melihat kenyataan bahwa nyawanya yang sudah nyaris melayang di bawah bacokan golok tadi kini telah diselamatkan oleh Hek-i Mo-ong, musuh besarnya! Sejenak dia menjadi bingung. Dia menganggap kakek raksasa ini sebagai musuh nomor satu karena selain kakek ini merupakan orang yang paling sakti dalam rombongan musuh yang menyerbu Pulau Es, juga kakek ini jelas merupakan pemimpin mereka yang paling berkuasa. Akan tetapi, kini musuh nomor satu ini telah menyelamatkan nyawanya.

Semenjak kecil, orang tua dan juga para nenek dan kakek di Pulau Es telah menekankan dalam batinnya bahwa seorang pendekar haruslah mengenal dan pandai membalas budi memegang teguh janji, dan tidak mendendam. Mana mungkin kini dia akan memusuhi, apa lagi mendendam, kepada seorang yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut? Dia telah berhutang nyawa kepada Hek-i Mo-ong!

Kenyataan ini membuat anak itu tidak banyak mengeluarkan suara lagi dan dia hanya bergantung lemas pada kedua kakinya yang terlibat tali, bahkan dia lalu memejamkan kedua matanya. Tubuhnya letih dan terasa nyeri semua, perih-perih semua luka di tubuhnya, kepalanya pening dan akhirnya anak itupun terkulai pingsan.

Setelah siuman kembali, Ceng Liong mendapatkan dirinya berada di sebuah bilik kecil dan kosong, seperti kerangkeng anjing. Dia rebah begitu saja di atas lantai. Ketika dia bangkit duduk, hampir dia mengeluh karena terasa tubuhnya nyeri semua.






Akan tetapi, ternyata ada orang yang telah mengobati luka-lukanya dengan semacam obat yang berwarna merah. Obat inilah agaknya yang membuat luka-lukanya terasa perih, akan tetapi luka-luka itupun mengering. Pakaiannya masih compang-camping, bekas bacokan-bacokan ketika dia dikeroyok tadi. Tadi? Atau kemarin? Dia tidak tahu lagi. Dia tidak tahu bahwa sudah semalam dia menggeletak pingsan atau tidur di lantai bilik perahu ini.

Dari guncangan dan ayunan yang dirasakannya, diapun tahu bahwa dia masih berada di dalam perahu dan diapun teringat bahwa dia telah menjadi tawanan Hek-i Mo-ong. Dia melihat hidangan dan air minum tak jauh dari kakinya. Seketika dia merasa betapa tubuhnya lemas, perutnya lapar dan mulutnya haus. Tidak perduli apa makanan itu dan dari siapa, yang penting adalah menjaga kesehatannya, pikirnya. Setelah kesehatannya pulih, baru dia akan melihat perkembangan untuk menentukan tindakan.

Ceng Liong lalu menyambar tempat air dan minum. Segar sekali rasanya, walaupun hanya air tawar dingin saja. Lalu diapun mulai makan, tidak lahap dan tidak terlalu banyak, hanya sekedar mengisi perutnya yang kosong. Setelah selesai makan, diapun memeriksa daun pintu dan jendela bilik itu yang ternyata amat kuat, tertutup jeruji-jeruji besi. Agaknya bilik ini memang dibuat khusus untuk tempat tawanan! Dan diapun melihat empat orang penjaga duduk di luar bilik. Ketika mereka bercakap-cakap, dia lalu mendekati pintu dan mendengarkan.

“Kita ini anak buah Jai-hwa Siauw-ok, sekarang malah mengabdi kepada Hek-i Mo-ong.” terdengar seorang di antara mereka mengomel.

“Hushh, perlu apa mengomel? Kita malah untung besar. Lihat saja teman-teman banyak yang tewas sejak kita menyerbu Pulau Es. Dan Jai-hwa Siauw-ok setelah berhasil menangkap gadis itu lalu memisahkan diri dan pergi meninggalkan kita semua!”

“Hemm, gadis Pulau Es itu memang cantik manis, heh-heh!”

“Dan kita tahu tidak ada kesukaan lain melebihi memetik bunga-bunga muda bagi pemimpin kita itu!”

“Yang dua orang lagi tentu mati ditelan air laut dalam badai itu!”

“Sayangnya, Jai-hwa Siauw-ok meninggalkan kita yang menjadi anak buahnya begitu saja, lalu bagaimana dengan kita yang tanpa pimpinan ini?”

“Kenapa ribut-ribut? Menjadi anak buah Hek-i Mo-ong lebih enak. Dia lebih berpengaruh, lebih sakti, dan juga lebih kaya dan royal dari pada Siauw-ok.”

Mendengarkan percakapan itu, Ceng Liong mengerutkan alisnya. Sungguh merupakan berita yang amat buruk. Agaknya encinya Suma Hui telah tertawan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Biarpun dia masih kecil, namun sebagai putera pendekar sakti, dia dapat menduga apa artinya jai-hwa (Pemetik Bunga), lebih-lebih Siauw-ok (Si Jahat Kecil) itu. Tentu encinya itu terancam bahaya yang mengerikan pula.

Akan tetapi, dia tidak begitu mengkhawatirkan Suma Hui karena bagaimanapun juga, percakapan anak buah penjahat tadi menyatakan bahwa dara itu masih hidup. Dan selama masih hidup, ada saja harapan untuk meloloskan diri. Yang membuat dia khawatir adalah berita tentang Suma Ciang Bun dan Kao Cin Liong. Mereka berdua itu terlempar ke laut dan siapakah akan mampu menyelamatkan diri dari ancaman gelombang air laut dalam badai itu? Betapapun lihainya kakaknya, Ciang Bun atau keponakannya, Cin Liong, mereka berdua itu takkan mampu berbuat banyak terhadap amukan air laut dalam badai.

“Akan tetapi kenapa Mo-ong bersusah payah membawa bocah setan ini? Bukankah dia bilang hendak menyiksanya sampai mati? Bocah itu enak-enak di dalam bilik dan kita yang harus berpayah-payah menjaga siang malam, bahkan dia diberi makan lagi! Apa sih maksudnya?”

“Hushh, perlu apa mencampuri? Tugas kita hanya mentaati perintah!”

“Pula, masa begitu saja engkau tidak tahu?” sambung suara lain. “Biasa, kalau hendak memotong ayam, bukankah sebaiknya dibikin gemuk dulu?”

“Ha-ha-ha, engkau benar!”

“Hemm, jangan main-main. Aku mendengar bahwa anak itu hendak dibawa sebagai bukti keberhasilan penyerbuan kita ke Pulau Es dan di depan para datuk itulah baru dia akan dibunuh.”

“Ya, kabarnya akan dijadikan korban sembahyangan roh para kawan yang telah tewas di tangan keluarga Pulau Es selama ini.”

Ceng Liong sudah mendengar cukup. Dia menggedor pintu biliknya dan berseru nyaring,
“Heiii, anjing-anjing penjaga di luar, jangan berisik! Aku mau tidur, tahu?”

Empat orang penjaga itu bangkit berdiri, saling pandang lalu mereka mengepal tinju dan memandang ke arah pintu bilik itu dengan mata melotot dan muka merah.

“Bocah keparat!”

“Kurobek mulutnya!”

“Kalau aku yang diberi tugas membunuhnya kelak, akan kukerat dia sepotong demi sepotong!”

Akan tetapi Ceng Liong sudah tidak memperdulikan mereka lagi dan diapun mengusir segala kekhawatirannya tentang kakak-kakaknya dan Cin Liong, dengan cara duduk bersila dan tenggelam dalam samadhi.

Beberapa hari kemudian, perahu-perahu yang hanya tinggal tiga buah banyaknya itu karena yang sebuah dibawa oleh Jai-hwa Siauw-ok, agaknya terpisah atau memisahkan diri, mendarat di sebuah pesisir yang landai. Pantai Lautan Kuning ini berada di Propinsi Kiang-su dan ternyata di situ telah menanti sebuah kereta dan terdapat pula rombongan orang yang membawa banyak kuda.

Hek-i Mo-ong lalu membawa Ceng Liong yang digandeng tangannya memasuki kereta yang segera dilarikan, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Para anak buah, sebagian ditinggalkan di perahu itu dan sebagian pula menunggang kuda mengiringkan kereta. Kereta dan rombongan itu membalap ke arah barat.

Setelah melakukan perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah hutan yang lebat, yang berada di lereng sebuah bukit di perbatasan antara Propinsi Kiang-su dan Propinsi An-hwi, di lembah Sungai Huai. Tempat inilah yang terpilih untuk pertemuan para datuk itu.

Siapakah adanya Hek-i Mo-ong? Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu telah mengenalnya. Hek-i Mo-ong adalah seorang kakek raksasa yang bernama Phang Kui. Dia masih peranakan Bangsa Kozak, bertubuh tinggi besar.

Rambutnya putih semua sejak muda dan matanya agak kebiruan. Dahulu pernah dia mendirikan sebuah perkumpulan yang dikenal sebagai perkumpulan sesat. Anak buahnya dikenal sebagai gerombolan iblis yang amat kejam dan jahat, merupakan pasukan yang kuat dan berpengaruh di daerah Sin-kiang.

Belasan tahun yang lalu, dengan dibantu oleh delapan orang murid kepala yang dikenal dengan sebutan Hek-i Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) Hek-i Mo-ong memimpin gerombolannya, seolah-olah menjadi raja kecil di daerah Sin-kiang dan semua pejabat setempat menjadi sekutunya.

Akan tetapi akhirnya perkumpulannya ini dihancurkan oleh sepasang pendekar sakti, yaitu keturunan Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Hong bersama gadis yang kini menjadi isterinya, bernama Bu Ci Sian. Delapan orang murid kepala yang menjadi tangan kanannya itu tewas, bahkan Hek-i Mo-ong terpaksa harus melarikan diri dan meninggalkan lereng Ci-lian-san.

Usahanya untuk bergabung dengan Im-kan Ngo-ok dan membalas dendam ternyata gagal, bahkan Im-kan Nga-ok tewas semua oleh para pendekar muda (baca SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN ). Hancurlah semua impian Hek-i Mo-ong untuk membalas dendam, bahkan dia sendiri terpaksa melarikan diri lagi.

Selama beberapa tahun dia menyembunyikan diri, tidak berani keluar dan bertapa sambil memperdalam ilmu-ilmunya. Biarpun dia sudah menjadi semakin tua, namun dia tidak pernah mampu menghilangkan dendamnya dan juga cita-citanya untuk menguasai dunia kang-ouw.

Kehancuran perkumpulan dan namanya membuat dia sakit hati dan dia mengambil keputusan untuk bangkit kembali. Dia berhasil memperdalam ilmunya, kemudian menghimpun beberapa orang datuk kaum sesat dan diajaklah mereka itu untuk melakukan suatu hal yang akan menggemparkan dunia persilatan dan sekaligus mengangkat namanya setinggi langit. Yaitu menyerbu Pulau Es!

Karena para datuk kaum sesat memang menganggap keluarga Pulau Es sebagai musuh bebuyutan nomor satu, setelah melihat kesaktian Hek-i Mo-ong, ada empat orang datuk yang bersedia untuk membantunya. Mereka itu adalah Ngo-bwe Sai-kong yang akhirnya tewas di tangan nenek Lulu, kemudian Ulat Seribu yang tewas di tangan nenek Nirahai, Eng-jiauw Siauw-ong Liok Can Sui ketua Eng-jiauw-pang yang tewas di tangan Cin Liong, dan Jai-hwa Siauw-ok yang merupakan satu-satunya pembantu yang dapat lolos dari Pulau Es dalam keadaan hidup.

Akan tetapi, biarpun dia dan sekutunya berhasil menewaskan dua orang nenek, isteri dari Pendekar Super Sakti, dia sendiri hampir saja tewas ketika berusaha membunuh Pendekar Super Sakti Suma Han dan terpaksa melarikan diri bersama Jai-hwa Siauw-ok dan sisa anak buahnya. Dia dan sekutunya tidak lari jauh dan masih mengintai, maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya melihat Pulau Es terbakar habis, dan melihat betapa empat orang muda itu melarikan diri dari Pulau Es.

Hek-i Mo-ong cepat mengajak orang-orangnya untuk menghadang dan akhirnya dia berhasil menawan cucu Pendekar Super Sakti sedangkan Si Penjahat Cabul Jai-hwa Siauw-ok agaknya melarikan cucu perempuan majikan Pulau Es itu, sedangkan dua orang muda lain, seorang cucu laki-laki pendekar itu dan seorang putera Naga Sakti Gurun Pasir, telah tewas ditelan ombak!

“Betapa membanggakan hasil hasil besar itu,” pikirnya girang.

Keluarga Pulau Es telah dapat dibinasakannya dan sebagai bukti, dia membawa seorang cucu majikan Pulau Es sebagai tawanan! Dan Pulau Es itu sendiri telah hancur dan lenyap! Hasil ini akan mengangkat namanya, dan akan memudahkan dia untuk menjagoi dunia kang-ouw! Dan dia tahu betapa semua datuk kaum sesat yang tidak berani ikut atau merasa ragu-ragu membantunya, kini menanti di bukit kecil itu seperti yang telah mereka janjikan, menanti untuk melihat apakah usaha besarnya yang menggemparkan dunia penjahat itu berhasil!

Biarpun dia kehilangan tiga orang rekan dan puluhan orang anak buah yang tewas dalam penyerbuan Pulau Es itu, namun dia berhasil menghancurkan keluarga Pulau Es dan menawan seorang cucunya. Dia mendongkol karena Jai-hwa Siauw-ok memisahkan diri melarikan cucu perempuan keluarga Suma, akan tetapi dia membiarkan saja karena perbuatan itupun merupakan pukulan hebat terhadap nama keluarga Pulau Es dan merupakan bahan cerita yang baik baginya.

Dia akan menceritakan kepada para tokoh kaum sesat bahwa seorang cucu perempuan keluarga yang tadinya amat ditakuti dunia hitam itu kini menjadi permainan Jai-hwa Siauw-ok yang sudah terkenal buas terhadap wanita yang telah dirampasnya!

Akan tetapi ada suatu hal yang mengejutkan hatinya, yaitu kalau dia teringat akan pengalamannya ketika menyerang Pendekar Super Sakti Suma Han. Ternyata bahwa menghadapi pendekar itu, dia sama sekali tidak berdaya! Segala ilmu kepandaiannya seperti punah dan tiada gunanya! Padahal, selama beberapa tahun ini dia telah tekun bertapa untuk memperdalam ilmu silatnya dan memperkuat ilmu sihirnya. Ternyata kini bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya ketika dia menyerang kakek tua renta itu.

Mulailah dia kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri yang tadinya dia anggap sudah tidak ada tandingannya lagi. Dan musuh-musuhnya masih begitu banyak. Dan musuh-musuhnya bukanlah orang-orang lemah, walaupun kiranya tidak mungkin sehebat Pendekar Super Sakti. Karena itu, dia harus mengumpulkan rekan-rekannya untuk memperkuat kedudukannya.

Yang menyambut kedatangan Hek-i Mo-ong cukup banyak. Ada dua puluh orang lebih tokoh-tokoh dunia hitam bersama anak buah mereka sudah berkumpul di dalam hutan itu, tinggal di pondok-pondok dan kemah-kemah darurat. Kepala-kepala gerombolan ganas, ketua-ketua perkumpulan sesat, tokoh-tokoh perorangan dari bermacam kalangan, semua telah berkumpul untuk mendengar bagaimana hasil usaha Hek-i Mo-ong yang bersama rekan-rekannya kabarnya pergi menyerbu Pulau Es.

Begitu kereta berhenti, Hek-i Mo-ong sambil menggandeng tangan seorang anak laki-laki yang mukanya agak pucat akan tetapi sepasang matanya memandang berani, muncul dari pintu kereta. Raja Iblis ini menggandeng tangan Ceng Liong dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diangkat ke atas menerima sambutan orang-orang dari golongan sesat itu sambil berkata dengan suara nyaring dan bernada gembira,

“Kawan-kawan sekalian, ketahuilah bahwa keluarga Pulau Es telah kami binasakan, bahkan pulau itu sendiri telah habis dimakan api dan tenggelam! Dan semua penghuninya telah dapat kami binasakan dan kami tawan.”

Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai oleh para penjahat dari dunia hitam itu. Mereka itu adalah penjahat-penjahat yang sudah mengenal baik nama keluarga Pu1au Es, bahkan sebagian besar di antara mereka pernah merasakan ampuhnya tangan keluarga itu.

Memang keluarga Pulau Es merupakan keluarga pendekar yang berilmu tinggi dan sejak puluhan tahun telah menentang dunia kejahatan sehingga banyaklah kaum penjahat yang menaruh dendam sakit hati terhadap keluarga pendekar itu.

Siapakah yang tidak mengenal keluarga Pulau Es? Pendekar Super Sakti Suma Han sendiri pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmu silatnya yang amat tinggi, bahkan di samping ilmu silatnya, diapun terkenal sekali dengan ilmu sihirnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman!

Juga dua orang isteri pendekar sakti itu amat ditakuti dunia penjahat. Terutama sekali Puteri Nirahai yang dahulu sering memimpin pasukan pemerintah sebagai seorang panglima wanita yang sudah banyak menghancurkan pemberontak-pemberontak dan gerombolan-gerombolan penjahat. Nama Lulu isteri ke dua dari pendekar itupun pernah dikenal orang. Selain sang pendekar sakti bersama dua orang isterinya itu, juga keluarga mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti dan dibenci oleh golongan hitam.

Puteri mereka, yaitu Puteri Milana, puteri tunggal Suma Han dan Nirahai, juga merupakan seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, di samping suaminya yang lebih lihai lagi yaitu Gak Bun Beng.

Kedua orang putera dari Pendekar Super Sakti juga amat terkenal, yaitu Suma Kian Le dan Suma Kian Bu. Terutama sekali Suma Kian Bu yang demikian lihai dan terkenalnya sehingga dijuluki Pendekar Siluman Kecil oleh dunia penjahat karena persamaannya dengan Pendekar Siluman, ayahnya.

Kalau mantu pria keluarga itu, yaitu Gak Bun Beng, amat gagah perkasa, maka dua orang mantu wanita mereka tak kalah terkenalnya. Isteri Suma Kian Lee bernama Kim Hwee Li, seorang wanita perkasa yang bahkan pernah malang melintang sebagai seorang gadis dari dunia hitam yang murtad dan memalingkan mukanya menentang dunia kejahatan itu sendiri, maka tentu saja iapun dianggap musuh oleh dunia penjahat.

Mantu wanita ke dua bernama Teng Siang In, juga seorang pendekar wanita, bahkan mantu ini memiliki ilmu sihir seperti ayah mertuanya, dan biarpun ilmu sihirnya tidak sehehat Pendekar Super Sakti, namun kalau ia pergunakan, cukup membuat repot lawannya.

Demikianlah keadaan keluarga Suma itu yang dimusuhi oleh dunia hitam, maka tentu saja pengumuman Hek-i Mo-ong bahwa Pulau Es telah tenggelam dan keluarganya telah terbasmi disambut dengan sorak-sorai gembira.

Akan tetapi, yang menyambut dengan sorak-sorai itu hanyalah para penjahat dari tingkatan rendah saja. Para tokoh hitam yang hadir di situ, tidak dapat menerima begitu mudah saja keterangan Hek-i Mo-ong. Bagi mereka ini, mereka tahu benar betapa hebatnya keluarga Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bahkan mereka tidak berani maju ketika Hek-i Mo-ong mengajak mereka bersekutu untuk menyerbu pulau keramat itu.

“Mo-ong, bagaimana kami bisa yakin bahwa keluarga Pulau Es sudah dibinasakan? Engkau berangkat berlima dan pulang hanya sendirian saja. Mana buktinya bahwa usaha penyerbuan ke Pulau Es itu berhasil baik?” terdengar seorang di antara para tokoh itu bertanya.

Pertanyaan ini didukung oleh banyak tokoh yang lain.
“Ya, mana buktinya?” Suara mereka susul-menyusul sehingga suasana menjadi riuh.

“Kalian tidak percaya kepadaku?”

Suara Hek-i Mo-ong terdengar lantang penuh kemarahan sehingga semua orang terkejut dan gentar, suara berisik tadipun padam dan semua orang memandang kepada tokoh yang baru keluar dari kereta itu. Melihat ini, dengan hati gembira Hek-i Mo-ong lalu tertawa. Seperti juga bentakannya tadi, suara ketawanya mengandung khi-kang yang amat kuat sehingga menggetarkan jantung semua orang yang hadir di situ.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian ingin bukti? Lihat baik-baik! Bocah ini adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti Suma Han.”

Berkata demikian, Hek-i Mo-ong lalu dengan gerakan tiba-tiba melontarkan tubuh Ceng Liong ke atas. Tubuh itu terlempar ke udara. Ceng Liong merasa terkejut sekali, akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu menarik kaki tangannya yang lelah dan lemah. Ketika tubuhnya meluncur turun, Hek-i Mo-ong menyambutnya dan melemparkannya kepada para pembantunya yang berada di belakangnya.

“Gantung kakinya di pohon itu agar semua orang dapat melihatnya!”

Dengan girang anak buahnya melakukan perintah ini, akan tetapi mereka sudah kapok untuk berlancang tangan sehingga tidak ada yang mengganggu Ceng Liong kecuali menggantungnya di pohon dengan kepala di bawah, dengan mengikat kedua pergelangan kakinya seperti yang diperintahkan kepada mereka. Tidak ada tangan yang berani mengganggu, menamparpun tidak.

Sementara itu, Hek-i Mo-ong sudah menuju ke tempat terbuka di mana terdapat batu-batu dan bangku-bangku kasar di mana para tokoh itu berkumpul. Maka berceritalah Hek-i Mo-ong tentang penyerbuannya ke Pulau Es.

Ceng Liong yang digantung pada kedua kakinya itu, mendengarkan saja dan dia mengambil keputusan untuk menghadapi kematian seperti cucu sejati dari Pendekar Super Sakti! Dia tidak pernah mengeluh dan diam-diam dia malah melakukan samadhi sambil tergantung seperti itu. Dia merasa betapa detak jantungnya menjadi aneh, apalagi ketika dia mengikuti jalan darahnya dan menghimpun hawa sakti di pusar.

Tiba-tiba saja, hawa sakti yang diterimanya dari kakeknya dua minggu yang lalu, kini berputar-putar dan mendatangkan kehangatan, akan tetapi kepalanya yang tadinya seperti berputar itu menjadi semakin ringan dan yang lebih aneh, panca inderanya menjadi amat tajam sehingga dengan mata terpejam, telinganya dapat mendengarkan suara dari jauh!

Cerita Hek-i Mo-ong terdengar semua olehnya, demikian jelasnya, bahkan dia dapat menangkap tarikan napas dan detak jantung orang-orang yang duduk tidak lebih dari lima meter dari tempat dia tergantung!

Dua minggu yang lalu, pada suatu malam ketika dia tertidur, seperti mimpi saja dia merasa dibangunkan oleh kakeknya, kemudian digandeng oleh kakeknya dan diajak ke luar kamar. Malam itu tiada bulan akan tetapi langit amat cerah, membentang biru penuh dengan bintang-bintang yang gemerlapan amat indahnya. Kakeknya mengajaknya ke tepi pantai yang landai dan di situ kakeknya menyuruh dia duduk bersila berhadapan dengan kakeknya.

“Ceng Liong, aku akan memindahkan hawa sakti ke dalam pusarmu dan dapat kau jadikan pusat pengerahan sin-kang kelak kalau engkau sudah pandai mengendalikannya. Sudah kulihat dan engkaulah yang tepat untuk mewarisinya. Akan tetapi ingat, kekuatan ini dapat menjadi dahsyat sekali dan kalau disalah gunakan, kelak hanya akan memukul dirimu sendiri. Nah, ulurkan kedua lenganmu dan buka semua jalan darah, hentikan semua kesibukan dalam diri dan batinmu.”

Seperti dalam mimpi saja dia lalu menempelkan kedua tangannya kepada telapak tangan kakeknya dan di malam yang teramat dingin itu, yang dapat membuat semua air membeku, dia merasakan kehangatan luar biasa memasuki tubuhnya melalui kedua tangannya, makin lama semakin panas sampai dia hampir tidak tahan lagi, lalu perlahan-lahan menjadi dingin dan semakin dingin sampai dia merasakan seluruh darahnya membeku, kemudian berbalik menjadi panas lagi.

Dihantam serangan hawa panas dan dingin berganti-ganti ini, akhirnya dia tak ingat apa-apa lagi dan setelah sadar, tahu-tahu dia telah berada di dalam air membeku, duduk bersila seperti semula, akan tetapi bukan di tempat semula melainkan telah terendam air beku sampai ke pinggangnya. Kakeknya juga duduk bersila di depannya.

“Kerahkan hawa panas dari pusar ke bawah untuk melawan dingin,”

Kakeknya berkata lirih namun suaranya mengandung daya pembangkit yang demikian kuatnya sehingga seolah-olah suara atau perintah itulah yang menggerakkan hawa di pusarnya.

Tiba-tiba dia merasa betapa hawa dingin yang menembus tulang-tulang di bagian bawah tubuhnya itu melenyap, terganti dengan hawa hangat yang amat menyenangkan! Akan tetapi, tubuhnya bagian atas berkeringat dan terasa panas sekali!

“Kerahkan sebagian hawa dari pusar ke atas untuk melawan panas! Gunakan pernapasan untuk mengatur pembagian hawa....” kembali kakeknya berkata dan tangan kakeknya menyentuh dan menekan kedua pundaknya.

Mula-mula dia merasa betapa sukarnya membagi hawa sakti dalam tubuh itu menjadi dua, bagian bawah melawan dingin dan bagian atas melawan panas. Akan tetapi begitu kedua pundaknya ditekan, mulailah dia dapat mengatur keseimbangan itu, seolah-olah ada hawa keluar dari kedua tangan kakeknya yang membimbingnya menguasai dan mengatur hawa dalam tubuhnya sendiri.

Semalam suntuk dia dilatih dan tanpa disadarinya, dia telah mewarisi sumber pembangkit tenaga sin-kang dari kakeknya! Semua ini teringat kembali oleh Ceng Liong ketika dalam keadaan tergantung kakinya itu dia mengalami hal yang luar biasa anehnya, yaitu ketika hawa sakti yang diterima dari kakeknya itu bergerak dan mendatangkan hal-hal aneh, mempertajam panca inderanya!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar