FB

FB


Ads

Senin, 21 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 010

Dalam waktu dua hari saja, kakek dan dua orang nenek mereka, yang mereka pandang sebagai orang-orang yang paling sakti di dunia ini, telah tewas dan bahkan istana di Pulau Es yang mereka pandang sebagai tempat keramat, pusaka keluarga nenek moyang mereka, terbakar habis dan pulau itupun lenyap bersama-sama! Hanya dalam waktu dua hari! Hampir sukar untuk mereka percaya. Baru dua hari yang lalu mereka masih berlatih silat di pulau itu!

Setelah pulau yang terbakar itu padam, suasana menjadi begitu sunyi, yang terdengar hanya tangis Suma Hui yang lenyap ditelan kesunyian malam. Air lautpun begitu tenang sehingga perahu mereka itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah lautanpun berkabung atas kematian Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya yang sakti, dan atas musnahnya Pulau Es berikut istananya. Malam yang amat sunyi, sesunyi hati empat orang di dalam perahu itu.

Cin Liong mengeluh di dalam hatinya. Dia merasa amat berduka melihat kebinasaan pulau berikut keluarga Pulau Es yang amat dihormati dan dikaguminya itu. Akan tetapi, pemuda yang sudah cukup dewasa ini tidak mau memperlihatkan kedukaannya bahkan dia selalu menghibur tiga orang yang jauh lebih muda darinya itu.

Dalam peristiwa ini, Cin Liong kembali mendapatkan kenyataan bahwa tiada yang kekal di dalam kehidupan ini! Pada suatu saat, setiap orang manusia akan kehilangan segala-galanya, pasti akan tewas. Semua kepandaian, kegagahan, nama besar, kemuliaan, harta benda, kedudukan, semua yang disayangnya, semua itu akan lenyap bersama dengan lenyapnya nyawa dari badan!

Karena itu, semua bentuk pengikatan batin merupakan sumber segala duka dan rasa takut. Pengikatan batin membuat kita takut kalau-kalau kehilangan, membuat kita takut menghadapi kenyataan karena hal itu berarti akan membuat kita terpisah dari semua yang mengikat batin kita, dan mendatangkan duka kalau kita kehilangan mereka itu selagi kita masih hidup.

Cin Liong menghela napas panjang ketika kelihatan jelas olehnya betapa diapun akan kehilangan semua yang dikasihinya. Ayah bundanya, orang-orang yang dikasihinya, bahkan dirinya sendiri, semua itu pada saatnya akan tiada!

Akan tetapi, kenyataan yang dilihatnya ini membuat hatinya terasa lapang. Kenapa mesti berduka selagi hidup kalau akhirnya semua inipun akan lenyap? Kenapa mesti menyusahkan sesuatu setelah mengetahui benar bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak kekal adanya?

Kesenangan dan kesusahan itu hanya seperti angin lalu saja, datang silih berganti dan menjadi permainan daripada pikiran kita sendiri. Pikiran sendiri yang menciptakan “aku”, sumber daripada segala konflik penyebab kesengsaraan, aku yang selalu mengejar senang sehingga dalam pengejaran ini banyak melakukan hal-hal yang jahat terhadap diri sendiri dan terutama terhadap orang lain. Dan kesemuanya itupun akan ditelan waktu yang diikuti oleh maut!

Kedukaan mempengaruhi mata sehingga orang tidak lagi dapat menikmati keindahan. Akan tetapi, setelah dia membuka mata dan melihat kenyataan tentang kematian sebagai suatu bagian yang tak terpisahkan dari hidup, diapun sudah dapat terbebas daripada kedukaan berhubung dengan kematian kakek dan nenek-nenek buyutnya dan lenyapnya Pulau Es. Maka, dialah seorang di antara mereka berempat yang dapat menikmati keindahan di pagi hari itu.

Matahari tersembul dari permukaan laut di timur, menciptakan jalur keemasan di atas air yang tenang dan berwarna biru gelap. Kadang-kadang nampak badan ikan tersembul, putih berkilauan, hanya sekelebatan saja karena binatang itu segera menyelam kembali dan membuat lingkaran yang makin melebar di permukaan air. Kadang-kadang ada ikan meloncat keluar dari permukaan air, menimbulkan suara air memecah ketika ikan itu terjun lagi dan berenang secepatnya menghindarkan diri dari pengejaran ikan yang lebih besar.

Langit amat cerah. Hanya ada beberapa gumpal awan putih tipis terbang lalu, bersimpang jalan dengan terbangnya burung-burung camar. Kadang-kadang kesunyian dipecahkan oleh pekik burung camar memanggil kawannya. Sungguh merupakan pagi yang indah, tenang dan tenteram. Seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk, seolah-olah keindahan itu takkan berubah lagi.

Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Segala ketenangan itu sewaktu-waktu akan berubah. Matahari dapat saja kehilangan cahayanya karena tertutup awan gelap. Matahari akhirnya akan lenyap di balik barat dan terangnya siang akan terganti gelapnya malam.

Air laut yang tenang penuh damai itu dapat saja sewaktu-waktu menjadi air laut yang ganas, mengamuk dan menelan apa saja yang dapat ditelannya, mendatangkan maut yang mengerikan di mana-mana. Segala sesuatu tidak kekal di dunia ini. Yang kekal hanyalah KENYATAAN. Dan kenyataan ialah apa adanya, tanpa sifat baik buruk. Hanya hidup di dalam kenyataan apa adanya ini saja yang tak terjangkau oleh baik atau buruk, suka atau duka, untung atau rugi. Baik atau buruk hanyalah penilaian, dan penilaian hanya merupakan kecerewetan si aku yang menilai-nilai berdasarkan untung rugi bagi si aku sendiri .

“Marilah kita segera tinggalkan tempat ini,”

Akhirnya ucapan Cin Liong memecah kesunyian dan seperti menyeret tiga orang muda itu kembali ke alam nyata setelah semalam mereka bertiga membiarkan diri terbuai dalam alam kenangan yang mendatangkan duka.

“Tidak ada gunanya lagi bagi kita untuk berlama-lama berada di sini. Semua peristiwa ini harus dilaporkan kepada orang-orang tua kalian.”

Suma Hui memandang kepada pemuda itu dan mengangguk.
“Mari kita berangkat.”

Mereka berempat lalu mendayung perahu dan layarpun mereka pasang. Angin pagi mulai berhembus dan melajulah perahu mereka, menuju ke barat daya.

Empat orang itu merasa lelah sekali karena semalam tidak tidur sehabis mereka pada siang harinya bertempur mati-matian. Melihat keadaan ini, Cin Liong yang lebih teliti itu tahu bahwa hal ini tidak boleh dibiarkan saja karena mereka masih harus menempuh perjalanan yang tidak mudah untuk mencapai daratan besar.

“Kita semua lelah dan perjalanan masih jauh. Sebaiknya kalau kita bergilir, yang dua orang mengaso dan yang dua lagi mengemudikan perahu. Dengan cara bergilir, kita dapat memulihkan kekuatan dan dapat menempuh pelayaran ini dalam keadaan sehat. Biarlah aku yang berjaga dan mengemudikan perahu lebih dulu.”

“Aku juga!” kata Suma Hui dengan suara tegas sehingga kedua orang adiknya tidak berani membantah.

“Kalau begitu sebaiknya kalau kedua paman pergi tidur dan istirahat. Nanti setelah pulih kekuatan, menggantikan kami berdua,” kata Cin Liong dan dua orang pemuda itupun mengangguk lalu mamasuki bilik perahu di mana mereka merebahkan diri dan sebentar saja mereka tertidur pulas.






Kedukaan mempengaruhi badan yang menjadi lelah dan lemas dan tidur merupakan obat paling mujarab bagi kedukaan dan kelelahan lahir batin. Cin Liong mengemudikan perahu, dibantu oleh Suma Hui. Perahu meluncur laju dan angin menghembus layar sampai penuh. Karena permukaan lautan masih tenang, mereka dapat mengemudikan perahu dengan seenaknya sambil duduk.

Beberapa kali Suma Hui mengangkat muka memandang kepada wajah Cin Liong. Hal ini terasa dan diketahui oleh pemuda itu, namun dia tidak berani balas memandang. Entah bagaimana, walaupun bibinya jauh lebih muda daripadanya, namun dia selalu merasa canggung dan malu terhadap bibinya ini.

Melihat betapa bekas tamparannya yang kemarin masih nampak pada kedua pipi Cin Liong, dan mengingat betapa pemuda ini telah melakukan segala-galanya untuknya dan untuk kedua orang adiknya, bahkan telah membela keluarga Pulau Es ketika menghadapi musuh-musuh berbahaya, hati Suma Hui terasa amat tidak enak. Ia tahu bahwa pemuda yang jauh lebih tua daripadanya, hanya karena “abu” saja menjadi keponakannya ini adalah seorang jenderal yang ternama dan juga seorang pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dalam pertempuran menghadapi musuh-musuh tangguh di Pulau Es itupun ia dapat melihat betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai ketimbang ia atau dua orang adiknya. Bahkan harus diakuinya bahwa andaikata tidak ada Cin Liong, tentu lain jadinya akibat penyerbuan orang-orang jahat itu.

Bukan tidak mungkin bahwa ia dan dua orang adiknya sudah menjadi korban pula. Kenangan ini membuat hatinya merasa semakin menyesal atas perbuatannya sendiri ketika ia melihat bekas tamparan tangannya pada kedua pipi pemuda itu.

Seorang pemuda yang amat gagah. Wajah yang bundar dengan sepasang mata yang lebar berseri itu, kulit muka yang putih itu kini ternoda oleh bekas tamparan tangannya. Suma Hui memejamkan kedua matanya sejenak untuk mengusir kenangan ketika ia menampari muka pemuda itu yang sama sekali tidak mau menangkis atau mengelak. Bahkan ia tidak menemukan perlawanan sin-kang pada wajah yang ditamparnya! Pemuda itu seolah-olah rela menerima tamparan-tamparannya. Ketika Suma Hui membuka kembali matanya, ia melihat betapa pemuda itu sedang memandang kepadanya.

“Hui-i (bibi Hui).... apakah engkau mengantuk? Kalau begitu, istirahatlah, biar aku sendiri yang berjaga dan mengemudikan perahu ini. Mengasolah....”

Suma Hui tersenyum untuk menutupi rasa tidak enak hatinya, akan tetapi ia tidak dapat mencegah kedua pipinya yang menjadi kemerahan.

“Aku tidak mengantuk....”

Cin Liong tidak membantah lagi, akan tetapi dia tadi terpesona melihat betapa wajah yang manis itu menjadi kemerahan. Sinar matahari pagi menimpa bagian kiri wajah itu agak belakang, membuat kepala itu seperti dilindungi sinar keemasan. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi dia tidak berani memandang terlalu lama dan segera menundukkan mukanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Sungguh mati, aku jatuh cinta padanya, batinnya mengeluh, keluhan yang muncul karena dia melihat kenyataan betapa tidak mungkinnya hal ini. Seorang keponakan jatuh cinta kepada bibinya sendiri!

Suma Hui juga merasa canggung. Ia sudah mencoba untuk memandang pemuda itu dari sudut pandangan seorang bibi kepada seorang keponakan. Namun tidak berhasil! Mana mungkin memandang seperti itu kalau sang keponakan itu sudah merupakan seorang pemuda dewasa yang lebih tua daripada usianya sendiri? Namanya saja ia seorang bibi dan Cin Liong seorang keponakan, akan tetapi ia kalah segala-galanya. Kalah dalam ilmu silat, kalah dalam usia dan pengalaman, dalam segala hal ia boleh berguru kepada jenderal muda ini!
“Cin Liong....”

Pemuda itu terkejut dari lamunannya dan cepat menoleh. Dia dapat menangkap pandang mata penuh penyesalan dari gadis itu.

“Ada apakah, Hui-i?”

“Kau.... kau maafkanlah perbuatanku kemarin....”

Cin Liong merasa betapa jantungnya berdebar aneh, akan tetapi dia juga merasa canggung dan bingung.

“Maafkan....? Tidak ada apapun yang harus dimaafkan, Hui-i, apakah maksudmu....?”

“Aku telah menamparmu kemarin!”

“Oohh, itu....?” Tanpa disengaja, tangan Cin Liong yang kiri mengelus pipi kirinya dan diapun tersenyum. “Ah, aku malah merasa masih untung besar hanya ditampar saja, Hui-i. Kalau masih penasaran, engkau boleh menamparku beberapa kali lagi.”

Alis itu berkerut dan wajah itu menjadi semakin merah.
“Cin Liong, jangan mengejekku!”

Cin Liong mengangkat alisnya.
“Aku tidak mengejek, Hui-i. Sungguh mati, tamparanmu itu memang sudah sepatutnya. Aku telah menotokmu.... ah, aku memang telah salah besar kepadamu.... aku kurang ajar....”

“Tapi engkau hanya mentaati perintah mendiang nenek Nirahai.”

“Ya, akan tetapi sepatutnya kalau aku memberitahu kepadamu secara terus terang saja, bukan diam-diam lalu menotokmu....”

“Tapi, kalau kau beritahupun aku tidak akan mau menurut.”

“Seharusnya aku membujukmu, tidak menggunakan kekerasan....”

“Tapi kau terpaksa melakukannya, untuk mentaati nenek dan untuk menyelamatkan aku....”

“Tapi aku menyinggung perasaanmu....”

“Dan untuk pertolonganmu aku telah menampari mukamu!”

“Sudah sepatutnya karena memang aku kurang ajar!”

Keduanya berhenti bicara dan saling pandang. Keduanya mengerti betapa lucunya keadaan mereka tadi. Lucu dan aneh karena Cin Liong telah berusaha mati-matian untuk menyalahkan diri sendiri sedangkan Suma Hui sebaliknya berusaha mati-matian untuk membela Cin Liong!

“Heii, Cin Liong, kenapa engkau berkeras hendak menyalahkan dirimu sendiri?”

“Dan engkaupun berkeras hendak membelaku, Hui-i?”

Keduanya lalu tertawa dan Suma Hui tertawa sampai kedua matanya menjadi basah. Betapa dekatnya tangis dan tawa, hampir tidak ada jarak pemisahnya.

“Kaulah yang seharusnya memaafkan aku, bibi.”

“Hemm, aku baru mau memaafkan engkau kalau lebih dulu engkau memaafkan aku.”

“Baiklah, Hui-i, aku memaafkan semua perbuatanmu terhadap diriku.”

“Dan akupun memaafkan semua perbuatanmu, Cin Liong.”

Keduanya diam dan hanya saling pandang, kini sambil tersenyum dan entah bagaimana, Cin Liong merasa betapa kegembiraan yang amat besar menyelinap di dalam hatinya, seolah-olah senyum dan pandang mata gadis itu mengandung getaran dan sinar yang menyusup dalam ruang dadanya, menyentuh mesra di sanubarinya. Dia tidak tahu betapa gadis itupun merasa berbahagia sekali saat itu, seolah-olah dalam sekejap mata telah melupakan kedukaannya berhubung dengan peristiwa yang menimpa kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es.

Untung bahwa perahu itu, satu-satunya benda yang masih mereka miliki dari semua benda yang berada di Pulau Es, dilengkapi dengan air tawar yang cukup banyak, tersimpan dalam guci-guci besar. Mereka tidak takut kehausan, dan untuk mengisi perut yang lapar, Suma Hui lalu mengail ikan. Mudah saja mengail ikan di lautan, karena di kanan kiri perahu nampak ikan-ikan berseliweran dan apapun yang nampak di permukaan air mereka lahap dan sambar saja.

Ada mata kail di perahu itu dan untuk umpannya, mula-mula Suma Hui menggunakan sepotong kain, dan setelah berhasil menangkap seekor ikan, dia menggunakan potongan-potongan ikan itu untuk menangkap ikan-ikan yang lebih besar. Sebentar saja, Ciang Bun dan Ceng Liong sudah terbangun dari tidur karena mencium bau ikan dibakar.

“Bau panggang ikan....! Sedaaappp....!” kata Ceng Liong sambil menggeliat.

“Wah, gurih baunya, perutku jadi lapar!” kata Ciang Bun dan keduanya keluar dari dalam bilik.

Suma Hui tertawa.
“Kalau begitu, lekas ke sini, kita makan daging ikan dan kemudian kalian menggantikan kami mengemudikan perahu. Lihat, Cin Liong sudah lelah sekali dan kalian berdua enak-enak saja tidur sejak pagi tadi!”

“Hui-i lebih capai lagi, kurang tidur, masih mengail dan memanggang ikan,” kata Cin Liong.

Mereka berempat lalu makan daging ikan bakar. Biarpun tanpa bumbu, hanya dengan rasa asin air laut, akan tetapi karena perut mereka lapar, maka makanan amat sederhana itu terasa lezat dan cukup mengenyangkan perut empat orang yang sejak kecil memang telah tergembleng oleh keadaan yang kadang-kadang keras dan berat itu.

“Lihat matahari yang telah condong ke kanan itu. Arah itu adalah barat dan perahu kita harus menyerong ke kiri, jadi matahari berada di depan kanan kita. Itulah barat daya, takkan salah lagi.”

Cin Liong memberi tahu kepada kedua orang pamannya ke arah mana perahu harus dikemudikan. Malam itu mereka berhenti di antara pulau-pulau kecil yang pernah dilewati Cin Liong, bahkan di atas sebuah di antara pulau-pulau itulah dia diketahui oleh gerombolan penjahat dan diserang sampai dia terjatuh ke laut.

Pada keesokan harinya, begitu matahari terbit, mereka melanjutkan pelayaran mereka. Akan tetapi langit tidak cerah seperti pagi yang lalu. Awan gelap memenuhi angkasa dan berarak mendekat seperti ancaman sesuatu yang menyeramkan. Cin Liong memandang ke arah awan-awan hitam itu.

“Mudah-mudahan bukan tanda akan datangnya badai,” katanya.

Akan tetapi, ternyata bukan hanya badai yang datang, melainkan lebih hebat daripada itu. Belum ada dua jam mereka berlayar, muncullah empat buah perahu besar dan sebentar saja mereka tersusul karena layar mereka itu hanya kecil saja. Dan dapat dibayangkan betapa kaget hati empat orang muda ini ketika melihat bahwa di atas empat buah perahu yang telah mengurung perahu kecil mereka itu nampak adanya orang-orang yang pernah menyerbu Pulau Es!

Mereka melihat pula Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok, dua di antara lima orang datuk yang menyerbu Pulau Es. Dan dua orang tokoh jahat ini ditemani oleh sedikitnya empat puluh orang yang kelihatan kasar-kasar dan bengis-bengis!

Tentu saja Cin Liong merasa khawatir sekali. Akan tetapi, semangatnya bangkit dan hatinya penuh kagum ketika dia melihat sikap tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu.

“Aku akan mengadu nyawa dengan iblis-iblis itu!”

Ceng Liong mengeluarkan teriakan sambil mengepal dua buah tinjunya yang kecil, sepasang matanya mencorong dan berapi-api, seperti seekor naga kecil yang siap untuk mengamuk, kelihatan gagah sekali ketika dia menyingsingkan kedua lengan bajunya!

“Kita lawan sampai titik darah terakhir!”

Ciang Bun juga membentak marah dan sekali tangan kanannya bergerak, dia sudah mencabut pedang yang dibawanya dari Pulau Es ketika mereka meninggalkan tempat itu.

“Bagus! Ada kesempatan sekarang untuk menebus kematian kakek dan kedua orang nenek kita yang tercinta!”

Suma Hui juga berkata dan nampak dua sinar berkilat ketika ia mencabut siang-kiamnya. Wajah tiga orang muda ini sedikitpun tidak membayangkan rasa takut, walaupun Cin Liong maklum bahwa keadaan mereka sungguh berbahaya dan sulitlah untuk dapat menghindarkan diri dari malapetaka yang mengancam. Maka diapun tersenyum dan mendekati Suma Hui.

“Hui-i, aku akan membelamu sampai mati. Bagiku, mati bersamamu merupakan suatu kebahagiaan besar!” Kalimat terakhir ini lirih dan hanya terdengar oleh Suma Hui saja.

Gadis itu menoleh dan memandang wajah Cin Liong dengan mata terbelalak seperti heran. Sejenak dua pasang mata bertemu, saling selidik, kemudian bertaut dalam suatu pengertian yang tidak membutuhkan penjelasan dengan kata-kata lagi. Suma Hui tersenyum mengangguk.

“Bagiku juga, Cin Liong,” bisiknya.

Pada saat itu, terdengar suara menggelegar di angkasa dan ternyata awan tebal telah berkumpul di atas kepala mereka. Sinar matahari terhalang dan tiba-tiba saja angin bertiup kencang dan air mulai bergelombang. Suara angin sungguh mengerikan, apalagi diseling oleh kilatan petir yang menyambar-nyambar. Sungguh perobahan yang amat tiba-tiba sehingga empat buah perahu besar itupun terlanda badai dan nampak betapa anak buah merekapun kebingungan dan sibuk menurunkan layar.

“Ah, badai datang....!”

Cin Liong memperingatkan tiga orang muda itu dan diam-diam dia mengharapkan bahwa munculnya badai ini akan mengurungkan niat jahat para penjahat di atas empat buah perahu itu.

Akan tetapi, kiranya tidaklah demikian. Perahu mereka berguncang keras dan ternyata ada enam orang penjahat dari perahu terdekat telah berlompatan ke atas perahu mereka.

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu segera bergerak. Ceng Liong menyambut seorang penjahat dengan pukulan dua tangannya, membuat penjahat itu terjengkang dan terlempar keluar dari perahu. Ciang Bun juga merobohkan seorang lawan dengan sambaran pedangnya, sedangkan sepasang pedang Suma Hui merobohkan dua orang lain. Sisanya, dua orang lagi, disambut tendangan dan pukulan Cin Liong, terlempar keluar perahu!

Akan tetapi, kini Hek-i Mo-ong dan Jai-hwa Siauw-ok sendiri berlompatan dari perahu terjatuh ke atas perahu yang terdekat. Terdengar Hek-i Mo-ong mengeluarkan aba-aba di antara deru suara angin dan air laut dan nampak banyak anak buahnya berloncatan ke air.

Cin Liong dan tiga orang muda itu siap-siap menyambut lawan. Akan tetapi, tiba-tiba perahu mereka terguncang hebat dan miring, hampir terbalik. Barulah Cin Liong mengerti bahwa penjahat-penjahat itu tadi berloncatan ke air untuk menggulingkan perahu kecil!

“Cepat, loncat ke perahu lawan!” teriaknya dan tiga orang muda itupun mengerti.

Cin Liong sendiri sudah menyambar tubuh Ceng Liong dan dibawanya meloncat ke atas perahu terdekat. Ada angin dahsyat menyambar dan dia tahu bahwa Hek-i Mo-ong sendiri telah menyambutnya dengan pukulan dahsyat yang amat berbahaya. Karena tubuhnya masih melayang di udara dan dia masih mengempit tubuh Ceng Liong, maka cepat dia melemparkan Ceng Liong ke atas geladak perahu dan barulah dia menangkis dengan lengan kanannya. Tangkisannya agak terlambat karena dia melemparkan tubuh paman cilik itu, maka biarpun dia masih dapat menangkis, namun pukulan itu meleset dan mengenai pangkal lengan kanannya.

“Desss....!”

Hebat sekali benturan tenaga itu dan andaikata Ceng Liong masih berada dalam pondongan Cin Liong, besar kemungkinan anak itu akan terluka oleh getaran hawa pukulan dahsyat itu. Biarpun Cin Liong sendiri dapat menahan hantaman itu dengan agak terlambat, namun karena tubuhnya masih berada di udara di mana dia tidak mempunyai tempat berpijak dan bertahan, maka benturan tenaga dahsyat itu membuat tubuhnya terlempar jauh keluar dari perahu.

“Byuurrr....!”

Tubuh Cin Liong segera disambut oleh gelombang lautan yang sudah makin mengganas itu. Bahkan para bajak laut yang ahli berenang dan yang tadi atas perintah Hek-i Mo-ong menggulingkan perahu kecil, kini tergesa-gesa naik lagi ke perahu melalui tali karena memang berbahaya sekali berada di air dalam keadaan badai mengamuk itu.

Apalagi Cin Liong yang kemampuannya di air terbatas sekali. Dia berusaha berenang mencapai tali dan kembali ke perahu besar untuk membantu tiga orang muda yang telah dikeroyok para anak buah penjahat itu.

Akan tetapi gelombang air membuat dia terseret menjauh. Tiba-tiba tangannya meraih sesuatu dan ternyata yang terpegang olehnya itu adalah ujung perahunya sendiri yang tadi terbalik. Cepat Cin Liong menggunakan kekuatan tangannya, menarik dirinya dan naik ke atas perahu yang telah membalik itu.

Akan tetapi perahu besar itu mendekat dan tiba-tiba dari atas menyambar sinar hitam dibarengi bentakan nyaring. Cin Liong merasakan hawa pukulan yang dahsyat, maklum bahwa kembali dia diserang dari atas dengan hebatnya oleh seorang yang amat kuat, menggunakan sebatang dayung besi. Cepat dia melempar tubuhnya ke kiri.

“Byuurrr....!” Untuk kedua kalinya tubuhnya ditelan oleh mulut gelombang yang menganga lebar.

“Darrrr....!” Perahu itu tertimpa dayung dan pecah menjadi beberapa potong!

Kiranya, penyerangnya adalah Hek-i Mo-ong sendiri yang kini tertawa bergelak. Suara ketawa ini takkan terlupa selamanya oleh Cin Liong yang sudah secara mati-matian berjuang kembali melawan ombak yang menyeretnya. Namun, sekali ini dia tidak kuasa mempertahankan diri dan terpaksa membiarkan ombak menyeretnya semakin jauh dari perahu-perahu besar di mana tiga orang keturunan Pulau Es itu sedang dikeroyok ketat.

Ketika melihat bayangan hitam terapung lalu dia meraih dan ternyata itu adalah sepotong kayu, pecahan dari perahunya. Dia hampir kehabisan tenaga dan napas, lalu menarik tubuhnya ke atas papan itu dan tergolek tak sadarkan diri di atas papan yang membawanya terapung-apung semakin jauh.

Ceng Liong mengamuk dengan mati-matian. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, namun anak ini memang hebat bukan main. Tidak mengecewakan kalau dia menjadi cucu dalam Pendekar Super Sakti dan putera tunggal Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu, bahkan ibunyapun seorang pendekar wanita yang berkepandaian tinggi, selain ahli ilmu silat juga ahli sihir!

Semenjak kecil dia sudah digembleng oleh ayah bundanya, kemudian diasuh dan dibimbing oleh kakek dan kedua orang neneknya di Pulau Es, maka biarpun dia baru berusia sepuluh tahun, namun sukarlah dicari seorang dewasa yang akan mampu mengalahkannya.

Para penjahat itu tadinya tentu saja memandang ringan kepada Ceng Liong. Akan tetapi sikap memandang ringan ini harus ditebus dengan mahal ketika beberapa orang anggauta penjahat terkena hantaman anak itu dan terjungkal ke lautan untuk tidak muncul kembali! Dan empat orang penjahat yang menubruknya, juga dapat dibikin terpental jatuh bangun.

Barulah para penjahat itu sadar bahwa anak kecil ini bukanlah makanan lunak dan merekapun tidak segan-segan dan tidak malu-malu lagi untuk mencabut senjata dan mengeroyok Ceng Liong dengan senjata golok atau pedang!

Namun, dengan ilmunya Sin-coa-kun, tubuh anak itu seperti telah berobah menjadi ular atau belut saking licinnya, melesat ke sana-sini di antara sambaran golok dan pedang, kemudian dengan tendangan-tendangan Soan-hong-kwi yang membuat kedua kakinya seperti baling-baling, dia berhasil membuat para pengeroyoknya kocar-kacir!

Betapapun juga, dia hanyalah seorang anak berusia sepuluh tahun yang tenaganya masih lemah dan para pengeroyoknya adalah penjahat-penjahat yang kejam, maka setelah dikepung oleh banyak orang, mulailah ada senjata yang menyerempet tubuhnya dan pakaiannya mulai koyak-koyak berdarah oleh luka-luka pada tubuhnya.

Biarpun demikian, anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh, juga semangatnya makin bernyala, amukannya semakin hebat. Ceng Liong dapat melihat dengan ujung matanya bahwa kedua orang kakaknya, yaitu Suma Hui dan juga Ciang Bun, telah terpisah darinya karena pengeroyokan banyak orang membuat mereka itu berloncatan ke atas perahu-perahu lain untuk mencari tempat yang luas dan untuk memecah-belah kekuatan para pengeroyok. Sedangkan Cin Liong sudah tidak nampak lagi bayangannya sejak tadi.

Kenyataan ini membuat Ceng Liong menjadi semakin nekat. Tadi dia melihat betapa Cin Liong terlempar keluar perahu dan kalau sampai sekarang pemuda itu tidak muncul, itu hanya berarti bahwa Cin Liong tentu telah tenggelam ke laut!

Dan kedua orang kakaknya tidak mungkin membantunya karena keadaan mereka tentu tiada bedanya dengan dirinya sendiri, dikeroyok banyak lawan. Maka tahulah anak ini bahwa dia harus melawan mati-matian sampai titik darah terakhir!

“Majulah! Majulah kalian semua....!” Dia mambentak sambil berloncatan ke sana ke mari dan membagi-bagi pukulan dan tendangan. “Keroyoklah aku! Inilah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es! Majulah kalian, bedebah-bedebah busuk!”

Diam-diam semua pengeroyok merasa kagum hukan main. Anak ini memang luar biasa sekali. Pakaiannya sudah penuh darah, tubuhnya sudah luka-luka akan tetapi gerakannya masih demikian lincah, gesit dan tangkas, semangatnya masih bernyala-nyala dan sedikitpun tidak nampak dia gentar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar