FB

FB


Ads

Senin, 21 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 009

Suma Hui membuka kedua matanya. Ia baru siuman dari pingsannya karena totokan yang dilakukan Cin Liong tadi. Begitu siuman, ia mengeluh lirih dan mengejap-ngejapkan mata. Mula-mula ia merasa heran melihat dirinya rebah di atas lantai dalam ruangan yang remang-remang diterangi cahaya lilin. Kemudian ia menoleh ke kanan kiri dan melihat Ciang Bun dan Ceng Liong duduk bersila di sebelah kirinya, dan melihat Cin Liong bersila di sebelah kanannya. Segera ia teringat akan semua yang telah dialaminya dan sekali bergerak, dara ini telah bangkit berdiri.

“Apa yang telah terjadi....? Ah.... engkau .... engkau telah menotokku dengan curang!”

Suma Hui teringat akan perbuatan Cin Liong tadi dan kemarahannya membuat ia meloncat ke depan. Cin Liong bangkit berdiri, akan tetapi sebelum dia sempat menerangkan, dara itu telah menggerakkan kedua tangan menampar mukanya dengan cepat.

“Plak! Plak! Plak! Plak!”

Empat kali kedua pipi Cin Liong menerima tamparan, membuat kulit pipinya menjadi merah. Dia sengaja tidak mau menangkis atau mengelak, maklum betapa marahnya dara itu dan bahwa dara itu telah salah kira.

“Enci, jangan....!” Ciang Bun memegang lengan kanan encinya.

“Enci Hui, jangan pukul dia!” Ceng Liong juga meloncat dan memegang tangan kiri dara itu.

“Biar! Lepaskan aku! Biar kuhajar manusia ini! Keponakan macam apa dia ini, berani menipuku dan menotokku....!”

“Sabarlah, enci, sabarlah. Semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai,” kata Ciang Bun.

“Dia hanya mentaati pesan nenek Nirahai dan dia tidak bermaksud buruk terhadap engkau dan kita semua, enci Hui!” Ceng Liong juga membujuk dara yang masih marah itu.

Kedua tangan Suma Hui dikepal, matanya seperti berapi memandang wajah Cin Liong dan andaikata ia tidak dipegangi, tentu ia sudah menyerang kalang-kabut. Cin Liong hanya menundukkan mukanya dan mengusap kedua pipinya yang menjadi merah agak biru karena ketika ditampar tadi sama sekali tidak mengerahkan tenaga untuk melawan. Dan tamparan tangan seorang dara seperti Suma Hui amatlah hebatnya!

Masih untung pendekar ini bahwa Suma Hui tidak menampar untuk menyerang, melainkan hanya sebagai peluapan amarahnya saja. Kalau dara itu tadi menampar dengan pengerahan tenaga sin-kang, tentu bisa retak-retak tulang rahangnya! Dan betapapun marahnya, melihat orang yang sama sekali tidak mengelak maupun menangkis tamparannya, tidak mungkin cucu dari Pendekar Super Sakti mau mempergunakan sin-kang.

Mendengar bujukan kedua orang adiknya dan melihat betapa kedua pipi pemuda itu matang biru dan pemuda itu hanya menundukkan muka dan mengusap kedua pipinya, kemarahan Suma Hui agak mereda. Ia menarik napas panjang beberapa kali untuk menelan kemarahannya dan akhirnya mukanya kehilangan sinar merah kemarahannya, pandang matanya tidak ganas seperti tadi dan melihat keadaan enci mereka, Ceng Liong dan Ciang Bun menjadi lega lalu melepaskan lengan gadis itu.

“Baiklah....” akhirnya Suma Hui berkata, “aku menerima kenyataan bahwa semua ini adalah atas perintah nenek Nirahai.... tetapi apa sebabnya? Bukankah Pulau Es diserbu musuh? Mengapa kita harus melarikan diri?”

Pertanyaan itu ditujukan kepada Cin Liong dan sepasang mata itu menatap wajah pendekar yang kedua pipinya merah kebiruan itu.

“Karena itulah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan kalian bertiga,” jawab Cin Liong. “Sebelum terjadi penyerbuan, nenek buyut Nirahai telah minta aku berjanji untuk melaksanakan perintahnya itu, yaitu kalau keadaan sudah gawat aku harus membawa kalian ke sini untuk bersembunyi, kalau perlu dengan kekerasan seperti yang terpaksa kulakukan tadi. Harap maafkan kelancanganku, siauw-i (bibi kecil).”

“Tapi.... bagaimana dengan nenek Nirahai? Dan kakek? Kita disuruh bersembunyi, lalu bagaimana dengan mereka....? Mari kita keluar untuk membantu mereka!”

“Tapi, bibi....” Cin Liong hendak mencegah.

Memang sudah ada satu hari lebih mereka berada di situ semenjak mereka masuk sampai dara itu siuman, akan tetapi dia belum mengetahui bagaimana keadaan di luar sehingga berbahayalah kalau tiga orang muda itu keluar. Bagaimana kalau musuh masih berkeliaran di luar? Bukankah tiga orang muda ini akan terancam keselamatan mereka dan akan sia-sialah usahanya memenuhi perintah nenek Nirahai untuk menyingkirkan mereka dari bahaya?

Suma Hui menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula masuk ke tempat persembunyian rahasia itu oleh Cin Liong. Nampak sinar berkelebat ketika ia menggerakkan sepasang pedang itu melintang di depan dadanya dan pandang matanya penuh tantangan terhadap Cin Liong.

“Engkau hendak melarangku? Hemm, boleh, ingin kulihat siapa yang akan berani mencegah aku keluar!”

Sejenak kedua orang ini berdiri saling pandang seperti dua ekor ayam hendak berkelahi, akan tetapi Cin Liong lalu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

“Baiklah, mari kita keluar dan kalau perlu aku akan mempertanggung-jawabkan janjiku kepada nenek buyut Nirahai.”

Cin Liong tahu bahwa dara di depannya ini memiliki kekerasan hati yang tak mungkin dilawannya, karena kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dara itu akan melawan dan membencinya. Dan dia merasa ngeri kalau harus menghadapi kebencian dara ini.

“Tapi, nenek Nirahai akan marah kepadamu!” Suma Ciang Bun mencela. “Dan janji seorang gagah tidak boleh dilanggar, apalagi janji terhadap nenek Nirahai!”

“Enci Hui, kalau engkau memaksa Cin Liong, berarti engkaulah yang memaksanya melanggar janji dan engkau pula yang membantah terhadap perintah nenek Nirahai!”






Suma Ceng Liong juga mencela. Cin Liong kini melihat keraguan membayang pada wajah dara itu, keraguan yang bercampur dengan kekhawatiran. Dia merasa kasihan sekali, dapat memaklumi betapa duka dan khawatir adanya perasaan dara itu. Dia sendiripun tadinya kurang setuju terhadap niat nenek itu yang memaksanya untuk pergi meninggalkan nenek itu sendirian saja menghadapi banyak lawan tangguh sedangkan dia harus pergi menyelamatkan tiga orang muda itu.

Kalau dia terpaksa menerima perintah itu adalah karena diapun dapat melihat bahwa memang keselamatan tiga orang muda itu amat terancam dan perlu diselamatkan, dan dia sudah berjanji, maka bagaimanapun juga harus dipenuhinya. Akan tetapi sekarang, melihat kedukaan dan kekhawatiran yang membayang di wajah gadis itu, dia sendiri merasa menyesal mengapa dia telah mentaati perintah nenek Nirahai.

“Biarlah, kalau nenek buyut Nirahai marah, biarlah aku yang akan bertanggung jawab. Mari kita keluar dan melihat keadaan di sana,”

Kata Cin Liong dan tiga orang muda yang memang ingin sekali melihat bagaimana keadaan dengan nenek dan kakek mereka, tidak membantah lagi karena pemuda yang menjadi keponakan mereka itu yang akan bertanggung jawab.

Dengan hati-hati dan berindap-indap, Cin Liong dan tiga orang muda itu keluar dari pintu rahasia dan sebelum mereka berloncatan keluar, lebih dahulu mereka memperhatikan keadaan dengan pendengaran mereka. Akan tetapi keadaan di luar amat hening. Tidak terdengar suara sedikitpun, juga tidak nampak sesuatu, tidak nampak seorangpun. Begitu sunyi keadaannya, sunyi menegangkan hati dan dapat menimbulkan dugaan-dugaan yang mengerikan.

Apalagi setelah mereka berada di luar. Sungguh jauh sekali daripada yang mereka kira semula. Tidak nampak bayangan seorangpun musuh, juga tidak nampak mayat-mayat mereka, padahal mereka berempat itu maklum betapa banyaknya pihak musuh yang roboh dan tewas.

“Mari kita cari di dalam!”

Suma Hui berkata dan suaranya agak gemetar, tanda bahwa dia merasa gelisah sekali. Setelah kini berada di luar, ialah yang menjadi pemimpin.

Bagaimanapun juga, Cin Liong hanyalah seorang tamu dan seorang keponakan. Mereka lalu berjalan cepat, bahkan berlari, memasuki Istana Pulau Es. Dan di ruangan depan, mereka sudah dikejutkan oleh kenyataan mengerikan, yaitu menggeletaknya lima orang pelayan Istana Pulau Es, yaitu tiga orang pelayan pria dan dua orang pelayan wanita. Mereka telah tewas semua dengan tubuh penuh luka berat.

Suma Hui mengeluarkan seruan tertahan melihat ini dan iapun cepat lari masuk ke dalam, diikuti oleh dua orang adiknya dan Cin Liong. Akhirnya mereka tiba di ruangan di mana peti jenazah nenek Lulu berada dan mereka berhenti, sejenak tertegun melihat kakek Suma Han masih duduk bersila di dekat peti, akan tetapi di sebelahnya nampak rebah terlentang tubuh nenek Nirahai yang sudah tidak bernyawa lagi.

Keadaan dalam ruangan itu begitu sunyi, kakek yang duduk bersila itu seperti arca, tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bersuara. Satu-satunya yang bergerak hanyalah asap dupa yang mengepul lurus ke atas karena tidak terganggu semilirnya angin.

“Nenek Nirahai....!”

Tiba-tiba Suma Hui menjerit dan dara ini lari menghampiri, lalu berlutut dan menubruk, memeluki jenazah nenek itu sambil menangis. Melihat encinya menangis sesenggukan seperti itu, Ciang Bun juga tidak dapat menahan tangisnya.

Hanya Ceng Liong yang tidak menangis, melainkan berlutut di dekat jenazah nenek itu dan memandang dengan matanya yang lebar. Kalau dia berduka, maka kedukaan itu hanya nampak pada kedua alisnya yang berkerut dan kalau dia merasa marah, kemarahan itu hanya nampak pada kedua tangannya yang dikepal keras.

Cin Liong hanya menundukkan mukanya, diam-diam diapun merasa terharu dan menyesal mengapa keluarga Pulau Es yang demikian terkenal sebagai keluarga para pendekar sakti, kini mengalami musibah yang demikian hebat sehingga kedua orang nenek itu, isteri dari Pendekar Super Sakti, tewas susul-menyusul dalam waktu sehari semalam, terbunuh oleh serbuan musuh yang amat banyak dan kuat.

Suma Hui agaknya teringat akan sesuatu dan dengan tangis masih menyesak di dada, ia mengangkat muka memandang kepada kakek yang masih duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya itu.

“Kong-kong....! Kenapa kong-kong membiarkan semua ini terjadi? Kenapa kong-kong membiarkan orang-orang jahat membunuh nenek Lulu dan nenek Nirahai? Di mana kesaktian kong-kong? Kenapa kong-kong tidak menghadapi musuh, menghajar mereka dan mencegah mereka membunuh kedua orang nenekku? Di mana kegagahan kong-kong....?”

Cin Liong terkejut sekali melihat betapa gadis itu dalam kedukaan dan kemarahannya berani mencela dan menegur kakek yang sakti itu, akan tetapi dia melihat kakek itu diam saja, bergerakpun tidak dan dia dapat mengerti betapa hebat kedukaan melanda hati kakek itu yang sekaligus kematian kedua orang isterinya yang terkasih. Ciang Bun merangkul encinya dan membujuknya agar tidak marah-marah seperti itu.

“Enci.... jangan menambah kedukaan kong-kong dengan kata-katamu seperti itu....” keluhnya.

Suma Ceng Liong memandang kepada Suma Hui dan tiba-tiba anak ini berkata,
“Enci Hui, ucapan apa itu? Kong-kong tentu mengerti segala yang telah terjadi dan untuk semua itu dia tentu telah mempunyai alasan sendiri. Betapa lancangnya enci berani mencela dan menegur kong-kong!”

Suma Hui mengepal tinju dan kini menoleh dan memandang kepada Cin Liong.
“Kita semua telah menjadi pengecut! Yah, karena perbuatanmulah, Cin Liong, maka aku menjadi pengecut! Kita melarikan diri, bersembunyi dan membiarkan nenek Nirahai dikeroyok dan dibunuh musuh. Aih.... sungguh malu sekali, aku telah menjadi pengecut gara-gara engkau!” Dan ditudingkan telunjuknya ke arah muka Cin Liong.

“Enci....!” Ciang Bun menegur.

“Enci Hui....!” Ceng Liong juga menegur.

Akan tetapi Cin Liong yang tadinya mengangkat muka memandang gadis itu, kini menunduk kembali dan menarik napas panjang. Dia merasa amat kasihan kepada gadis itu. Biarpun gadis itu kelihatan marah-marah, menyesal dan membencinya, namun dia tahu bahwa semua itu timbul karena gadis itu merasa berduka sekali melihat kematian kedua orang neneknya.

“Bibi Hui, sesungguhnya, aku sendiripun merasa menyesal harus meninggalkan medan perkelahian, akan tetapi bagaimana aku dapat membantah perintah nenek buyut Nirahai?” katanya perlahan.

“Nenek memerintahkan karena sayang kepada kami, akan tetapi perintah itu membuat kita semua menjadi pengecut-pengecut tak tahu malu, kenapa engkau mentaatinya secara membuta saja?” Suma Hui membentak.

“Bibi, hendaknya dapat melihat dari sudut lain. Perintah nenek buyut sama sekali bukan untuk membuat kita menjadi pengecut, sama sekali bukan. Melainkan perintah yang mengandung kebenaran dan kecerdasan.”

“Melarikan diri dari musuh kau anggap benar dan cerdas? Cin Liong, katanya engkau ini seorang jenderal perang, kenapa berpendapat demikian? Pendapat macam apakah itu?”

“Bibi Hui, ketahuilah bahwa nenek buyut Nirahai adalah seorang panglima besar dan aku sendiri sedikit banyak pernah mempelajari ilmu perang. Mengundurkan diri, melarikan diri dalam suatu saat merupakan sebuah taktik dalam perang, dan sama sekali bukan tanda watak pengecut. Demikian pula, nenek buyut Nirahai minta kepadaku untuk membawa kalian bertiga bersembunyi kalau keadaan menjadi gawat, sama sekali bukan karena hendak membuat kita menjadi pengecut, melainkan berdasarkan perhitungan yang masak, benar dan cerdas. Karena, andaikata kita tidak melarikan diri, apakah kita akan dapat menyelamatkan nenek buyut? Ingatlah, keadaan pihak lawan jauh terlalu banyak dan terlalu kuat, sehingga kalau toh kita melawan, maka kitapun semua akan tewas bersama nenek buyut.”

“Lebih baik mati bersama nenek Nirahai daripada meninggalkannya lari, membiarkan ia sendirian saja menghadapi musuh dan tewas! Seorang gagah akan menghadapi lawan sampai titik darah penghabisan!” Suma Hui tetap ngotot.

“Enci Hui, lupakah engkau akan pelajaran yang pernah kita terima dari ayah maupun dari kakek? Melawan musuh secara membuta sampai mati hanyalah tindakan orang nekat yang bodoh. Melarikan diri karena takut barulah pengecut, akan tetapi melarikan diri karena tahu akan kekuatan lawan adalah sikap yang cerdas.” Ciang Bun memperingatkan encinya.

“Dan kita lari bukan karena takut, enci. Melainkan karena perintah nenek Nirahai yang memerintahkan dengan dasar perhitungan yang matang. Beliau ingin menyelamatkan kita, dan enci tidak berterima kasih malah kini marah-marah? Bukankah kalau demikian berarti enci marah-marah kepada nenek Nirahai yang telah tiada?” Ceng Liong juga menegur.

Mendengar kata-kata kedua orang adiknya itu, air matanya bercucuran dari kedua mata Suma Hui dan melihat ini, Cin Liong merasa kasihan sekali. Gadis ini memiliki kegagahan luar biasa, kekerasan hati akan tetapi juga kelembutan. Ingin dia merangkul dan menghiburnya, menyusut air mata itu!

“Kukira.... kukira sebaiknya kalau kita mengurus jenazah nenek buyut.... di mana kita dapat mencari peti jenazah....?” Akhirnya Cin Liong berkata.

“Nenek Nirahai sudah memiliki peti jenazah sendiri di kamarnya. Biar kita mengambilnya,” kata Ciang Bun.

Mereka berempat lalu bangkit dan mengambil peti jenazah itu dan bersama-sama mereka lalu membersihkan jenazah, mengenakan pakaian yang terbaik pada jenazah itu dan memasukkannya ke dalam peti. Semua ini terjadi dan kakek Suma Han tetap duduk bersila tanpa pernah bergerak. Dan empat orang muda itupun tidak ada yang berani mengganggunya.

Kembali Suma Hui menangis ketika ia bersembahyang di depan peti jenazah ini. Ceng Liong menghiburnya dengan kata-kata penuh semangat,

“Enci Hui, kenapa menangis? Kalau kupikir, masih untung bahwa Cin Liong mentaati perintah memdiang nenek. Kalau tidak demikian, tentu kita semua telah mati juga. Dan sekarang, kita masih hidup sehingga kita akan mampu untuk membalaskan kematiannya, bukan?”

“Liong-te, ingat. Bukankah kakek selalu memperingatkan kita agar tidak membiarkan hati kita diracuni dendam?” Ciang Bun menegur adiknya.

Tiba-tiba terdengar suara halus,
“Kematian adalah suatu kewajaran. Tak perlu disusahkan, tak perlu diributkan. Setelah matahari tenggelam, bawa mayat kami semua ke ruangan sembahyang dan bakarlah. Begitu mayat terbakar, kalian harus cepat meninggalkan pulau ini dalam perahu, dan kembalilah ke rumah kalian masing-masing. Perintahku terakhir ini sedikitpun tidak boleh kalian langgar!”

Semua orang terkejut sekali mendengar ini. Tadinya mereka bingung karena suara itu seperti datang dari empat penjuru, atau kadang-kadang seperti datang dari atas. Setelah tiga orang cucu itu mengenal suara kakek mereka, barulah mereka menoleh dan memandang. Akan tetapi selagi suara itu masih terdengar bicara, bibir kakek mereka tidak bergerak sama sekali. Akan tetapi jelas bahwa kakek Suma Han, Pendekar Super Sakti itulah yang bicara karena suaranya tentu saja amat dikenal oleh Ceng Liong, Ciang Bun, dan Suma Hui!

Dan kalimat terakhir itu menunjukkan bahwa kakek itu telah meninggal dunia! Cin Liong yang lebih dulu sadar akan hal ini dan diapun cepat maju menghampiri kakek yang duduk bersila itu, lalu meraba pergelangan tangannya.

“Beliau telah wafat....” katanya lirih, penuh takjub dan hormat.

Kakeknya ini, melihat tubuh yang sudah dingin kaku itu, tentu telah meninggal dunia sejak tadi, akan tetapi mengapa suaranya masih terdengar? Diam-diam jenderal muda ini bergidik dan dia teringat akan cerita ayahnya tentang pendekar tua yang luar biasa saktinya ini.

Mendengar ini, Suma Hui menubruk kakeknya dan kembali dara ini menangis terisak-isak. Seperti tadi, kembali Suma Hui menangis dan Ciang Bun juga mengucurkan air mata, akan tetapi Ceng Liong yang nampaknya tidak menangis, hanya mukanya kini menjadi agak pucat, matanya mengeluarkan sinar berkilat. Cin Liong membiarkan dara itu menangis sejenak, kemudian terdengar dia berkata lirih.

“Harap kalian suka ingat akan pesan kakek buyut tadi bahwa kematian adalah suatu kewajaran yang tidak perlu disusahkan atau diributkan.”

Mendengar peringatan ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan sambil memegangi tangan kakeknya yang sudah dingin kaku itu, ia berkata,

“Kong-kong, ampunkanlah Hui yang tadi telah menegur dan mencelamu.... Hui tidak tahu bahwa kong-kong telah tiada.... kong-kong, kami akan mentaati semua pesanmu tadi....”

Melihat betapa gadis itu bicara kepada mayat yang tetap duduk bersila itu seolah-olah bicara kepada orang yang masih hidup, Cin Liong merasa betapa jantungnya seperti ditusuk dan diapun mengejap-ngejapkan mata menahan air mata. Mulai detik itu tahulah dia bahwa dia telah jatuh cinta. Namun, pada saat itu pula diapun melihat kejanggalan besar dalam cintanya ini. Betapa mungkin seorang keponakan mencinta bibinya sendiri!

Mencinta memang mungkin saja, karena cinta adalah urusan hati. Akan tetapi mana mungkin cinta itu diwujudkan menjadi suatu perjodohan? Seorang bibi berjodoh dengan keponakannya? Walaupun usia mereka memang pantas, yaitu dia lebih tua daripada “bibinya” itu, bahkan jauh lebih tua. Betapapun juga, batinnya menyangkal adanya semua peraturan ini. Batinnya tidak membohong. Dia jatuh cinta kepada Suma Hui, dan Cin Liong siap sedia menghadapi kegagalannya yang ke dua dalam bercinta. Dan hatinyapun terasa perih sekali.

Mereka berempat lalu sibuk bekerja. Lima mayat pelayan juga mereka angkut sekalian ke ruangan sembahyang yang cukup luas. Jenazah nenek Nirahai mereka masukkan peti, diletakkan di kanan kiri jenazah kakek Suma Han yang masih duduk bersila, mereka dudukkan di atas meja rendah bertilam bantal. Memang aneh sekali melihat jenazah yang tetap duduk bersila itu. Kemudian jenazah lima orang pelayan dibaringkan di atas tumpukan kayu bakar di belakang deretan tiga jenazah keluarga Pulau Es.

Suma Hui tahu apa yang harus dikerjakan. Ia bahkan tahu pula apa yang dikehendaki oleh kakeknya dalam pesan terakhir itu. Dengan air mata mengalir turun akan tetapi ia sudah dapat menahan diri tidak terisak lagi, ia berkata kepada dua orang adiknya, juga kepada Cin Liong.

“Kong-kong menghendaki agar Istana Pulau Es lenyap bersama dia dan nenek berdua.”

“Apa maksudmu, enci Hui?” tanya Ciang Bun heran.

“Kong-kong memerintahkan untuk membakar jenazah di ruangan sembahyang yang terkurung tempat penyimpanan minyak. Ruangan itu akan terbakar dan istana akan terbakar habis pula,” kata Suma Hui dengan sedih.

“Akan tetapi hal itu sama sekali tidak boleh terjadi!” Ceng Liong berseru kaget. “Istana Pulau Es adalah tempat keramat bagi kita, tempat pusaka, mana bisa dibakar habis terbasmi begitu saja?”

Tiga orang keturunan Pendekar Super Sakti ini menjadi bingung, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan sehubungan dengan pesan terakhir dari kakek sakti itu, pesan yang sesungguhnya berlawanan dengan suara hati mereka. Tentu saja mereka merasa berat kalau harus membakar musnah Istana Pulau Es.

“Bagaimana dengan pendapatmu, Cin Liong? Biarpun engkau hanya keponakan kami, akan tetapi usiamu jauh lebih tua dan pemikiranmu lebih matang.” Akhirnya Suma Hui berpaling kepada keponakannya itu dan bertanya.

Cin Liong memandang kepada mereka. Diam-diam dia merasa bangga dan kagum melihat tiga orang muda itu. Masih begitu muda akan tetapi sudah jelas membayangkan watak pendekar-pendekar yang hebat.

“Kong-couw Suma Han adalah seorang pendekar sakti yang tentu telah memikirkan secara mendalam sebelum mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, pesannya yang terakhir tadi, walaupun nampak janggal dan aneh, juga malah merugikan, aku yakin tentu juga mempunyai alasan-alasan yang amat kuat. Dalam pesannya tadi ditekankan bahwa kita harus mentaatinya dan bahkan ditekankan bahwa perintah terakhir itu sedikitpun tidak boleh kita langgar. Di balik perintah ini tentu ada suatu sebab yang amat kuat dan kurasa, kita sama sekali tidak boleh melanggarnya, sebagai kebaktian dan penghormatan kita yang teraknir kepada beliau.”

Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu dapat menerima pendapat ini dan merekapun lalu sibuk membuat persiapan, menanti sampai datangnya senja, tiada hentinya mereka melakukan sembanyang untuk memberi penghormatan teraknir kepada jenazah-jenazah kakek dan dua orang nenek mereka itu.

Diperhatikan oleh Cin Liong bahwa di antara mereka, hanya Ceng Liong yang memiliki keganjilan. Suma Hui seringkali menangis sedih dan Ciang Bun juga kadang-kadang tak dapat menahan air matanya. Akan tetapi Ceng Liong, anak itu sama sekali tidak pernah menitikkan air mata! Padahal, dari sinar matanya, dia tahu bahwa anak inipun menderita kedukaan dan penyesalan besar berhubung dengan kematian tiga orang tua yang dicintanya itu. Anak ini sungguh luar biasa, pikirnya, mempunyai kekuatan batin yang hebat.

Akhirnya, saat yang dinanti-nanti dengan hati tegang bercampur haru dan duka itupun tibalah. Matahari telah condong ke barat, kemudian tenggelam. Senja telah tiba. Empat orang muda itu, kini dipimpin oleh Suma Hui, sudah menuangkan minyak bakar kepada semua jenazah, baik yang di peti maupun yang tidak, juga kayu-kayu bakar yang ditumpuk di bawah dan sekeliling para jenazah, semua telah disirami minyak bakar yang banyak disimpan di dalam gudang. Kemudian, untuk yang terakhir kalinya, tiga orang cucu dan seorang buyut keluarga Pendekar Super Sakti itu berlutut dan bersujut.

Suma Hui tidak dapat menahan tangisnya sehingga Ciang Bun juga ikut menangis. Bahkan Cin Liong tak kuasa menahan air matanya. Hanya Ceng Liong yang tetap melotot dan kedua matanya tinggal kering, walaupun cuping hidungnya kembang-kempis dan bibirnya gemetar.

“Kong-kong, kakekku yang tercinta.... dan kedua orang nenekku yang berbudi.... ampunkanlah kami yang tidak berbakti, yang membiarkan kakek dan nenek tewas di tangan penjahat-penjahat. Dan ampunkanlah kami yang terpaksa melakukan upacara perabuan jenazah kakek dan nenek secara sederhana.... bahkan kami harus meninggalkan Pulau Es.... semua hanya karena ingin memenuhi perintah terakhir kakek....”

Dengan hati diliputi penuh keharuan, tiga orang cucu itu, dibantu pula oleh Cin Liong, lalu menggunakan obor untuk menyalakan api. Karena ruangan itu telah penuh dengan siraman minyak bakar, maka dalam sekejap mata saja api telah berkobar dan menelan segala yang berada di dalam ruangan.

Empat orang muda itu dengan muka pucat masih sempat melihat dari luar ruangan betapa jenazah kakek yang duduk bersila itu diselimuti api berkobar, demikian pula dua buah peti jenazah dan jenazah lima orang pelayan.

Hawa menjadi terlalu panas, cahaya api terlihat menyilaukan dan merekapun teringat akan perintah terakhir dari Pendekar Super Sakti, maka mereka bertiga dibujuk oleh Cin Liong, cepat-cepat meninggalkan istana itu dan menggunakan sebuah perahu untuk menjauhi Pulau Es.

Belum lama mereka mendayung perahu, mereka dikejutkan oleh suara keras dari pulau itu dan nampaklah api yang amat besar menelan istana! Istana Pulau Es itu berkobar sedemikian hebatnya sehingga api menjulang tinggi ke angkasa, sinarnya menerangi permukaan laut!

Empat orang muda itu memandang dengan mata terbelalak lebar. Biarpun mereka juga sudah dapat menduga adanya kemungkinan istana itu ikut terbakar setelah ruangan sembahyang itu dijadikan tempat pembakaran mayat, namun mereka sama sekali tidak menyangka bahwa api akan dapat mengamuk secepat itu. Andaikata mereka tidak cepat-cepat pergi meninggalkan istana itu, mungkin saja mereka akan terancam bahaya api!

Kiranya dalam pesannya terakhir itu, kakek Suma Han memang sudah tahu akan bahaya ini dan karenanya minta kepada mereka semua untuk cepat-cepat menyingkir meninggalkan pulau, bukan hanya meninggalkan istana. Dan sebab dari perintah inipun segera mereka ketahui ketika api itu makin lama semakin hebat saja nyalanya, bukan hanya terbatas pada istana itu yang berada di tengah pulau, melainkan menjalar ke seluruh permukaan pulau!

Pulau Es itu terbakar seluruhnya! Dan bukan terbakar biasa saja. Api menyembur-nyembur ke atas seolah-olah api itu menyambar sumber minyak yang meluncur ke atas. Pemandangan yang mentakjubkan itu membuat empat orang muda yang berada di atas perahu melongo. Saking besarnya cahaya api, nampak oleh mereka istana itu amat indahnya. Istana Pulau Es seolah-olah berubah menjadi emas, demikian megah dan agung dan ajaib dalam lautan api!

Akan tetapi, hawa panas membuat mereka harus cepat-cepat mendayung perahu mereka menjauh. Dari jarak yang amat jauh, mereka masih dapat menyaksikan pemandangan yang mentakjubkan itu, api yang menggunung. Sampai semalam suntuk api itu bernyala, akan tetapi setelah lewat tengah malam, cahaya api mulai mengecil dan istana itu mulai runtuh.

Sampai kemudian, menjelang matahari terbit, api itu padam sama sekali dan setelah matahari naik tinggi, empat orang itu terheran-heran karena tidak melihat lagi adanya Pulau Es! Tenggelamkah pulau itu? Ataukah permukaannya runtuh dan sisanya terendam air lautan? Apapun juga yang terjadi, ternyata Pulau Es telah lenyap dari permukaan air!

“Pulau Es telah lenyap!” teriak Ceng Liong sambil mengepal tinju.

“Sungguh lenyap sama sekali....! Tenggelamkah pulau kita itu?” Ciang Bun juga berteriak.

Suma Hui menangis dan terguling roboh, pingsan dalam pelukan Cin Liong yang dengan sigap menerima tubuh gadis itu ketika terguling. Dia lalu merebahkan dara itu di dalam bilik perahu, menenangkan hati Ciang Bun dan Ceng Liong.

“Tidak apa, bibi Hui hanya terlalu banyak membiarkan hatinya dihimpit duka.... kalau nanti siuman dan menangis, kalian biarkanlah saja.”

Dengan beberapa kali mengurut jalan darahnya, akhkirnya Cin Liong berhasil membuat dara itu siuman kembali. Dan benar saja, seperti yang diduganya tadi, begitu sadar Suma Hui lalu menangis, tersedu-sedu. Dua orang adiknya hanya dapat memandang dengan muka pucat. Mereka sendiripun dapat merasakan betapa musibah telah menimpa keluarga Pulau Es secara bertubi-tubi dan berturut-turut. Bagaikan dalam mimpi saja semua itu!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar