FB

FB


Ads

Senin, 21 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 004

“Nenek tewas dalam perkelahian, terbunuh orang, tentu saja saya kasihan kepadanya!”

“Mengapa kasihan? Nenekmu adalah seorang pendekar sejak kecil, bahkan perkelahian merupakan kegemarannya. Kalau sekarang ia tewas dalam perkelahian, hal itu adalah wajar dan engkau mendengar sendiri ucapan terakhirnya tadi betapa ia merasa gembira sekali dapat tewas dalam perkelahian, pantaskah itu kalau kita malah kasihan kepadanya?”

“Tapi, matinya karena kekerasan, karena terpaksa, kong-kong! Kalau tidak ada penjahat menyerbu, sekarang nenek Lulu masih hidup bersama kita. Tidak kasihankah itu?” Suma Hui mencoba untuk membantah.

Kakek tua renta itu mengeleng kepala, masih tersenyum.
“Semua bentuk kematian tentu ada sebabnya, tentu dipaksakan nampaknya, padahal sudah merupakan suatu kelanjutan yang wajar daripada kehidupan. Kalau orang mati karena penyakit, bukankah itu merupakan hal yang dipaksakan juga? Kalau penyakit itu tidak datang kepadanya, dia tidak akan mati, begitu tentu bantahannya. Cucuku yang baik, kematian merupakan kelanjutan daripada kehidupan, dan tentu saja untuk suatu peralihan keadaan pasti ada sebabnya. Sebab itu bermacam-macam, ada yang penyakit, ada kecelakaan, ada bencana alam, ada perkelahian, perang dan sebagainya. Mengertikah engkau?”

Suma Hui mengangguk dan menunduk, kini ia dapat melihat kebenaran yang dibeberkan oleh kakeknya itu. Segala peristiwa adalah wajar dan tak dapat dirobah lagi, baik buruknya tergantung dari pada penanggapan kita sendiri.

“Akan tetapi, kong-kong, bukankah semua orang menangis kalau kematian orang yang dicintanya? Kenapa tidak boleh menangis? Apa orang tidak boleh bersedih kalau kematian keluarga yang dicinta?” Tiba-tiba Ceng Liong bertanya dengan nada suara membantah.

Kakek itu memandang kepadanya dan mengangguk-angguk. Anak ini cerdas sekali, pikirnya.
“Aku tidak mengatakan boleh atau tidak boleh berduka, Liong. Aku hanya ingin kalian membuka mata melihat kenyataan dan tidak tenggelam dalam buaian perasaan dan iba diri. Kalau semua orang menangisi kematian, apakah itu berarti bahwa kitapun HARUS menangis? Lebih baik kalau kita membuka mata melihat mengapa kita menangisi kematian. Mengapa? Cobalah kalian bertiga menjawab. Kenapa kita menangisi kematian?”

“Karena tidak tega....” jawab Suma Hui.

“Karena kita kasihan kepada yang mati,” sambung Ceng Liong.

“Karena kita ditinggalkan,” tiba-tiba Ciang Bun yang sejak tadi hanya mendengarkan saja kini ikut menjawab.

“Ya, karena kita ditinggalkan, itulah jawabannya yang tepat. Bukan karena kita tidak tega atau kasihan. Bagaimana kita bisa merasa kasihan kepada orang yang mati kalau kita tidak tahu apa dan bagaimana kematian itu? Yang jelas, kematian membebaskan orang daripada segala kesengsaraan hidup, ketuaan, kelemahan dan penyakit, juga kedukaan, ketakutan dan sebagainya. Tidak masuk akal kalau kita kasihan kepada orang yang mati, akan tetapi yang jelas, kita merasa kasihan kepada diri sendiri, kita ditinggalkan, kita kehilangan, kita kesepian, itulah yang menyebabkan orang menangisi kematian.”

Nenek Nirahai mendengarkan saja dan wajahnya kelihatan diliputi awan. Melihat ini, kakek Suma Han bertanya,

“Apakah kebenaran tentang kematian itu masih belum meresap di hatimu?”

Nenek itu memandang kepada suaminya.
“Aku tidak memikirkan kematian, aku tidak menyedihkan kematian, melainkan prihatin melihat bahwa akupun akan mati dan betapa menyebalkan kalau mati karena digerogoti penyakit, perlahan-lahan sampai rusak jasmani ini. Adik Lulu sungguh beruntung....”

“Hemm, engkau agaknya merasa iri kepada Lulu? Mengapa meributkan soal itu?”

“Kematian memang bukan apa-apa, akan tetapi bagaimana kita mati itulah yang penting. Sungguh menyedihkan kalau orang yang menjunjung tinggi kegagahan harus mati sebagai seorang yang lemah dan yang terpaksa harus tunduk terhadap penyakit, terhadap kuman-kuman kecil yang tidak nampak oleh mata. Betapa memalukan....!”

“Hemm, serahkan saja kepada keadaan, yang penting kita harus selalu siap menghadapi saat tibanya maut, dengan mata terbuka, dengan tabah, tanpa sedikitpun rasa takut.”

Suma Han lalu memerintahkan para pelayan pria untuk menggotong keluar sebuah peti jenazah, peti yang memang sudah beberapa tahun yang lalu dipersiapkan untuk nenek Lulu. Juga kakek itu dan nenek Nirahai telah lama menyediakan peti mati untuk diri mereka sendiri. Tempat itu terpencil dan untuk membeli peti mati harus didatangkan dari daratan besar, maka mereka memang telah siap dengan peti mati masing-masing beberapa tahun yang lalu.

Karena mereka tidak dapat bebas begitu saja dari pada ikatan tradisi, peti jenazah yang terisi jenazah nenek Lulu itu lalu dihias dan dipasang meja sembahyang sebagaimana lajimnya, kemudian mereka semua melakukan sembahyang dengan hio di tepi jenazah. Tidak ada air mata yang tumpah lagi sekarang setelah mereka tadi mendengar percakapan mengenai kematian antara Pendekar Super Sakti dan para cucunya.

Mereka semua melihat kesia-siaan dan kepalsuan tangis perkabungan itu. Bagaimanapun juga, karena menghormat si mati dan keluarganya, para pelayan itu bersikap sungguh-sungguh dan prihatin.

Menurut keputusan kakek Suma Han, jenazah akan ditangguhkan semalam dan pada keesokan harinya baru jenazah akan diperabukan. Pendekar Super Sakti, walaupun pengagum ajaran Nabi Khong Cu, namun hatinya lebih condong kepada pembakaran jenazah daripada pemakaman, dan mungkin saja hal ini karena pengaruh Agama Buddha, atau juga karena kewaspadaannya melihat bahwa pembakaran jenazah itu jauh lebih sempurna, baik bagi yang mati maupun yang hidup daripada pemakaman jenazah yang menghabiskan tempat, pembuangan dan penghamburan uang, berikut upacara tradisi yang berlarut-larut dari para keluarga untuk mengurus makam dan sebagainya.

Malam itu, beberapa batang lilin bernyala di atas meja sembahyang di depan peti jenazah nenek Lulu. Nenek Nirahai duduk bersila di dekat suaminya, seperti menjaga peti jenazah, dalam keadaan setengah samadhi. Akan tetapi, melihat api lilin-lilin itu bergoyang-goyang tertiup angin malam yang lewat di ruangan depan istana di mana peti jenazah ditaruh, nenek Nirahai teringat kepada madunya.

Begitulah Lulu di waktu dahulu. Hidupnya seperti api lilin itu, bergoyang-goyang, lincah, berani, bergelombang naik turun, diangkat tinggi-tinggi oleh suka dan dihempaskan dalam-dalam oleh duka. Itulah Lulu. Prikehidupan nenek Lulu di waktu mudanya memang amat menarik dan hal itu dapat diikuti dalam kisah PENDEKAR SUPER SAKTI dan kisah-kisah lanjutan berikutnya.






Tiga orang cucunya dan lima orang pelayan tidak berada di ruangan itu karena mereka itu menyingkir dan membiarkan suami isteri itu merenung di dekat peti jenazah. Delapan orang itu diam-diam bersepakat untuk melakukan penjagaan, dan hal ini diprakarsai oleh Suma Hui.

“Para penyerbu itu adalah orang-orang jahat. Biarpun nenek Nirahai telah berhasil menghajar dan mengusir mereka, akan tetapi mereka itu masih hidup dan siapa tahu mereka itu masih merasa penasaran. Kalau mereka menghimpun teman-teman jahat mereka dan menyerbu lagi, kita harus sudah bersiap-siap menghadapi mereka,” demikian dara perkasa yang gagah berani itu berkata kepada adik-adiknya dan kepada lima orang pelayan itu.

Mereka semua bersepakat untuk menghajar para penjahat itu dan membalaskan kematian nenek Lulu kalau mereka itu berani muncul lagi malam hari itu. Dengan cara berpencar, mereka berjaga di sekeliling istana, dan Suma Hui sebagai pemimpin mereka melakukan perondaan.

Malam semakin larut namun tidak terjadi sesuatu dan keadaan di Pulau Es semakin sunyi. Hawa udaranya semakin dingin malam itu. Hanya orang sinting sajalah yang akan lancang memasuki Pulau Es itu di waktu malam yang sedingin itu, apalagi kalau dia sudah tahu bahwa di pulau itu tinggal keluarga Pendekar Super Sakti yang gagah perkasa.

Akan tetapi, bukan orang sinting, juga bukan iblis yang pada malam hari itu tiba-tiba muncul dari tepi pantai sebelah selatan dari Pulau Es. Dia seorang laki-laki muda yang mendarat dengan menggunakan sebuah perahu nelayan kecil yang meluncur di malam gelap dan akhirnya dapat memdarat di bagian yang datar dari pulau itu di sebelah selatan.

Hanya dengan penerangan bintang-bintang di langit yang menimbulkan cuaca suram-muram kehijauan, pria itu berhasil mendarat, menyeret perahunya naik dan kemudian meninggalkan perahunya, berjalan dengan langkah terhuyung-huyung menuju ke tengah pulau.

Beberapa kali dia hampir jatuh karena kakinya tersandung, akan tetapi dengan sigapnya dia dapat memperbaiki kedudukannya dan melanjutkan langkahnya. Sebagai pedoman, dia melihat lampu dari jauh, lampu yang tergantung di samping istana. Kadang-kadang sinar lampu itu lenyap lalu nampak kembali, seperti halnya cahaya yang masih jauh letaknya di malam yang cuacanya remang-remang.

Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang agaknya tidak mudah, orang yang seperti dalam sakit keadaannya itu sampai juga ke dekat istana. Nampak bangunan istana itu menjulang tinggi dan megah di dalam cahaya bintang-bintang yang mulai cemerlang karena ditinggalkan awan tipis yang tadinya menghalang di antara langit dan bumi, dan orang itu tertegun.

“Sebuah.... istana....? Di pulau kosong ini....? Ya Tuhan, mimpikah aku.... atau sudah gilakah aku....?”

Diapun melangkah maju lagi, ke arah lampu yang tergantung di dinding, di luar istana itu. Bagaikan orang yang tidak percaya kepada diri sendiri, dia lalu meraba dinding itu, mendorong-dorongnya. Kini sinar lampu gantung menimpa mukanya dan ternyata dia adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan dan gagah sekali walaupun pakaiannya kusut dan pecah-pecah di sana-sini, tubuhnya nampak terluka di pundak, pangkal lengan dan paha. Di tiga tempat ini, pakaiannya tidak hanya robek, melainkan juga berlepotan darah. Laki-laki itu berpakaian seperti seorang nelayan biasa, dan usianya paling banyak dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.

Tiba-tiba tiga orang pelayan pria dari Istana Pulau Es, datang menyerbu dan menyerangnya, tanpa bertanya-tanya lagi. Tiga orang pelayan itu mempergunakan dayung besi, senjata yang paling tepat untuk mereka karena mereka itu tadinya adalah nelayan-nelayan sebelum menjadi pelayan di Pulau Es.

Akan tetapi biarpun mereka juga ketularan ilmu silat dari para majikan mereka dan tubuh mereka kuat karena mereka tinggal di tempat sedingin Pulau Es, namun karena mereka tidak pernah berkelahi, serangan mereka dengan dayung itu hanya cepat dan kuat namun kaku sekali.

“Heii.... aku bukan penjahat....!”

Pria itu berteriak ketika melihat menyambarnya dayung-dayung besi itu ke arah kepala dan tubuhnya. Biarpun dia sudah luka-luka dan diserang secara tiba-tiba oleh tiga orang pelayan istana itu, namun dengan mudah dan cekatan sekali dia berhasil mengelak lalu menangkap sebatang dayung, sekali renggut dayung itu pindah ke tangannya dan dua kali dia menangkis, dua dayung yang lain terlepas dari pegangan dua orang pelayan itu.

Tentu saja tiga orang pelayan itu terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa orang ini begitu lihainya sehingga dalam segebrakan saja mampu merampas senjata mereka. Akan tetapi, orang itu tidak membalas serangan, melainkan meloncat ke belakang sambil berkata lagi,

“Aku bukan penjahat....!”

Sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Hui telah berdiri di depan pria itu dengan sepasang pedang di tangan.

“Orang baik-baik tidak akan berkeliaran di sini tanpa ijin! Bersiaplah untuk mampus, keparat keji!” Suma Hui sudah menggerakkan sepasang pedangnya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyatnya.

“Trang....! Cringgg....! Eh, nanti dulu.... eh, nanti dulu, aku bukan penjahat....!”

Pria itu menangkis dan mengelak, repot juga menghadapi serangan bertubi-tubi yang amat ganas itu. Untung dia tadi telah merampas dayung besi, kalau tidak, tentu akan makin repotlah dia menghadapi serangan pedang di tangan Suma Hui yang sedang marah dan mendendam atas kematian neneknya itu.

Biarpun orang itu berteriak-teriak, tetap saja Suma Hui menyerang terus, bahkan semakin hebat karena dara ini mulai merasa penasaran bahwa sepasang pedangnya belum juga berhasil, padahal orang itu telah luka-luka.

“Singgg.... wuuuut, singggg....!”

Sepasang pedang yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu menyambar-nyambar bagaikan sepasang naga yang ganas.

“Cringgg.... cringgg....!”

Pria itu terkejut sekali karena dayung besinya itu dua kali terbabat pedang dan nyaris ada pedang yang menyerempet lehernya!

“Tidak....! Aku bukan penjahat, dengar dulu, nona....!”

“Tranggg....!”

Kini Suma Hui yang terkejut karena setelah dayung itu dapat ia patahkan dan tinggal sepanjang pedang, pria itu malah dapat mempergunakan dengan amat hebatnya, seperti menggerakkan pedang dan dari cara pria ini menangkisnya terbukti bahwa pria itu memiliki ilmu pedang yang hebat pula!

Bukan hanya itu, kini pria itu agaknya telah mengerahkan sin-kang sehingga bukan saja potongan dayung itu menjadi kuat, juga tenaga yang menangkis pedangnya itu membuat lengannya tergetar!

Tentu ini seorang tokoh sesat yang lihai, yang diutus oleh gerombolan penyerbu pagi tadi untuk memata-matai istana, pikirnya. Oleh karena itu, tanpa memperdulikan protes pria itu, ia menyerang semakin ganas.

Karena marah dan mendendam, Suma Hui menjadi berkurang kewaspadaannya, tidak menyadari bahwa sejak tadi pria itu sama sekali tidak membalas serangannya, melainkan hanya mengelak dan menangkis sambil mundur saja. Juga ia tidak menyadari kenyataan bahwa tidaklah mungkin pihak musuh mengirim seorang yang sudah luka-luka itu untuk menjadi mata-mata.

Suma Hui menyerang terus sampai belasan jurus dan karena pria itu memang sudah terluka dan lemah, juga karena dia sama sekali tidak mau membalas, akhirnya ujung pedang kiri dara itu menyerempet pundaknya yang kanan.

“Crottt....!”

Pundak itu terluka dan darahnya mengucur keluar, dan pria itu terhuyung ke belakang, potongan dayungnya terlepas. Suma Hui yang sudah marah dan merasa yakin bahwa orang ini adalah satu di antara musuh-musuh pembunuh neneknya, menerjang lagi untuk mengirim tusukan maut.

“Tringg....!”

Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari pegangan Suma Hui ketika tiba-tiba ada pedang payung yang menangkisnya dari samping. Ternyata neneknya yang menangkis itu menggunakan pedang payung, yaitu payung yang ujungnya runcing dan dapat dipergunakan sehagai pedang, sebuah senjata istimewa yang amat ampuh dari puteri ini.

“Tidak pantas menyerang orang yang tidak mau melawan!” kata nenek itu yang sejak tadi sudah menyaksikan perkelahian itu.

Ternyata diam-diam nenek ini sudah bersiap-siap pula, pedang payungnya sudah dipersiapkan dan ketika ia mendengar suara tidak wajar di luar istana, ia meninggalkan suaminya dan peti jenazah madunya. Ia melihat betapa seorang pria yang sudah luka-luka berkelahi dengan cucunya dan melihat bahwa pria itu sama sekali tidak mau membalas menyerang, juga bahwa pria itu sudah luka-luka dan memiliki dasar gerakan yang luar biasa lihainya!

Mula-mula ia terkejut dan curiga, membiarkan saja cucunya menyerang terus. Akan tetapi setelah melihat pria itu terluka oleh pedang cucunya dan tetap pria itu tidak mau membalas, bahkan terancam bahaya maut, ia lalu turun tangan mencegah cucunya melakukan pembunuhan. Merobohkan lawan dalam usaha membela diri, atau merobohkan lawan untuk membasmi kejahatan dan membela kebenaran, memang menjadi tugas seorang pendekar.

Akan tetapi, merobohkan lawan yang tidak melawan, apalagi belum diketahui dengan pasti apakah orang itu bersalah, merupakan pembunuhan yang kejam dan jahat! Itulah sebabnya maka ia turun tangan mencegah Suma Hui yang kini memandang kepada neneknya dengan heran dan penasaran.

“Akan tetapi.... dia tentu seorang di antara mereka yang telah membunuh nenek Lulu!” kata Suma Hui, dan dua orang adiknya yang sejak tadi sudah berada di situ pula, bersikap membenarkan enci mereka.

Akan tetapi tiba-tiba pria itu berseru dengan napas terengah-engah penuh ketegangan hati,
“Nenek Lulu.... terbunuh....? Ah, dan ini.... ini benarkah ini Pulau Es dan istananya?”

Nenek Nirahai sekali bergerak telah berada di depan pria itu, memandang tajam dan membentak,
“Siapakah engkau....? Di sini benar Pulau Es dan kami keluarga penghuninya.”

Akan tetapi, pria itu mendadak mengeluh dengan lemas dan tubuhnya terkulai, roboh pingsan. Melihat itu nenek Nirahai menjadi curiga. Ia lalu menyuruh dua orang pelayan untuk menggotong pria yang pingsan itu dan membawanya masuk ke ruangan depan di mana Pendekar Super Sakti masih duduk bersila di dekat peti jenazah.

“Siapa dia? Apa yang terjadi?” tanya Pendekar Super Sakti dengan suara lembut dan sikap tenang.

Agaknya, tidak ada apapun di dunia ini yang akan dapat mengguncang ketenangan hati pendekar ini. Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini baginya tidak ada yang aneh, melainkan merupakan hal-hal yang wajar saja.

Dengan singkat nenek Nirahai menceritakan bahwa orang ini muncul seorang diri di malam hari sehingga menimbulkan kecurigaan hati Suma Hui yang menyerangnya, akan tetapi orang itu sama sekali tidak mau membalas.

“Kulihat gerakannya mengandung dasar kepandaian tinggi, dan dia datang dengan luka-luka di tubuhnya. Kemudian, mendengar disebutnya nama adik Lulu oleh Hui-cu, dia terkejut lalu pingsan.”

Pendekar Super Sakti lalu mernbantu isterinya mengobati luka-luka yang diderita oleh pria itu dan ternyata bahwa luka-luka itu tidaklah terlalu parah. Apalagi mereka memperoleh kenyataan yang mengejutkan bahwa pria itu memang memiliki tenaga sin-kang yang kuat, yang timbul tanpa disadarinya dalam pingsan ketika kakek pendekar ini bersama isterinya mengobatinya.

Mereka semua memandang dengan penuh perhatian, terutama sekali Suma Hui yang ingin sekali tahu siapa adanya orang yang terus mengalah terhadapnya ini, yang diam-diam harus diakuinya kelihaiannya. Dan melihat wajah di bawah sinar terang, dara ini merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Wajah seorang laki-laki muda yang gagah sekali! Wajah yang bundar bersih, di bawah telinga kiri terdapat sebuah tahi lalat kecil dan bentuk hidung serta mulutnya juga membayangkan kelembutan di balik kegagahannya.

Setelah memperoleh perawatan suami isteri yang sakti itu, pemuda itu siuman kembali dan membuka matanya. Melihat betapa dia rebah di lantai, di dekat seorang kakek tua renta yang pandang matanya lembut sekali, dan nenek yang dia ingat telah dijumpainya, dia terkejut dan teringat lagi. Cepat dia menoleh ke kanan kiri, melihat Suma Hui, Ciang Bun dan Ceng Liong, juga peti jenazah. Dia terbelalak memandang peti jenazah, kemudian menoleh ke arah kakek tua renta itu, pandang matanya menurun ke arah kaki kiri yang buntung, dan pemuda itu lalu bangkit duduk dan seketika berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

“Harap ampunkan saya, akan tetapi bukankah ji-wi locianpwe ini adalah Pendekar Super Sakti Suma Han, tocu dari Pulau Es bersama locianpwe Puteri Nirahai, dan yang berada di dalam peti jenazah itu adalah locianpwe Puteri Lulu?” Suaranya agak gemetar penuh perasaan.

Suma Han mengelus jenggotnya yang putih seperti benang-benang perak.
“Benar. Orang muda, engkau siapakah?”

“Kong-couw (kakek buyut).... ahh, saya datang terlambat....!” Dan pemuda itu lalu maju berlutut di depan meja sembahyang sambil menangis. “Ampunkan saya.... ah, saya telah terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan nyawa nenek buyut....!”

Suma Han berkata halus namun penuh wibawa,
“Simpan air matamu kalau benar engkau adalah cucu buyut kami! Siapakah engkau, wahai orang muda yang gagah perkasa?”

“Nama saya Kao Cin Liong. Tentu kong-couw tahu kalau saya beritahukan bahwa ayah saya adalah Kao Kok Cu dan ibu saya adalah Wan Ceng....”

“Aihh....!” Nenek Nirahai berseru kaget dan juga girang, lalu merangkul pemuda itu.

“Kiranya engkau adalah putera Ceng Ceng! Hui, Ciang Bun, Ceng Liong, dia ini adalah masih keponakan kalian sendiri!”

Tentu saja tiga orang muda itu memandang heran dan terutama sekali Suma Hui menjadi terkejut, memandang kepada pria yang gagah itu dengan mata terbuka lebar-lebar.

“Dia.... dia keponakanku....?” katanya tergagap, tidak percaya.

“Dengarlah, akan kujelaskan kepada kalian.”

Nenek itu lalu menceritakan dengan singkat hubungan antara pemuda yang baru tiba itu dengan keluarga Pulau Es.

“Mendiang nenekmu Lulu, sebelum menjadi isteri kakekmu, adalah seorang janda yang mempunyai seorang putera bernama Wan Keng In. Orang she Wan ini kemudian mempunyai seorang puteri yang diberi nama Wan Ceng. Jadi, Wan Ceng itu dengan kalian merupakan saudara-saudara misan tiri, dan karena Kao Cin Liong ini putera Wan Ceng, maka berarti dia adalah masih keponakan luar kalian sendiri.” Kemudian nenek itu memandang kepada Kao Cin Liong dan berkata, “Cin Liong, perkenalkanlah, mereka ini adalah bibimu dan paman-pamanmu. Suma Hui dan Suma Ciang Bun ini adalah putera-puteri dari paman kakekmu Suma Kian Lee, sedangkan Suma Ceng Liong ini adalah putera paman kakekmu Suma Kian Bu.”

Sejak tadi Cin Liong menatap wajah Suma Hui yang masih terbelalak memandangnya, dan diapun cepat menjura dengan hormat,

“Bibi, dan kedua paman kecil, harap maafkan kelancangan saya tadi.”

Suma Hui dan kedua orang adiknya membalas penghormatan itu, dan Suma Hui menjawab gagap, tidak seperti biasanya yang selalu lincah,

“Ah, tidak.... sayalah yang minta maaf....”

“Kao Cin Liong, ceritakanlah keadaanmu, keadaan orang tuamu, dan bagaimana engkau bisa sampai di Pulau Es dan mengapa engkau luka-luka dan apa pula artinya engkau mengatakan terlambat tadi.”

Kakek Suma Han bertanya dengan suaranya yang halus dan tenang. Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian dan semua mata ditujukan kepada pemuda yang ganteng dan gagah perkasa ini. Kao Cin Liong menarik napas panjang dan memejamkan matanya sebentar. Demikian banyaknya peristiwa yang dialaminya sehingga dia harus bercerita panjang. Diapun mulai bercerita.

Siapakah pemuda yang bernama Kao Cin Liong ini? Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu telah mengenalnya dengan baik. Seperti telah diceritakan oleh nenek Nirahai tadi, pemuda ini adalah putera tunggal dari Kao Kok Cu dan Wan Ceng. Dan Kao Kok Cu adalah seorang pendekar sakti yang hebat, seorang pendekar yang ditakuti semua orang kang-ouw dengan julukannya Naga Sakti Gurun Pasir! Kao Kok Cu adalah putera mendiang Jenderal Kao yang namanya dikenal oleh seluruh pasukan dan rakyat sebagai seorang jenderal besar yang gagah perkasa dan bijaksana.

Kao Cin Liong sendiri, sejak muda sekali, sejak berusia tujuh belas tahun, telah membuat nama besar dan menjadi jenderal muda di kota raja! Jenderal Muda Kao Cin Liong ini semakin terkenal ketika beberapa kali dia berhasil menundukkan dan membasmi para pemberontak di barat.

Agaknya pemuda ini meniru jejak kakeknya, yaitu Jenderal Kao Liang dan ingin menjadi seorang jenderal yang baik. Selain berkedudukan tinggi dan memperoleh kepercayaan Kaisar Kian Liong, juga jenderal muda ini memiliki ilmu silat yang hebat. Dia digembleng oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja kepandaiannya hebat.

Akan tetapi, ada suatu hal yang patut disayangkan. Sepuluh tahun yang lalu, jenderal muda ini jatuh cinta kepada seorang dara perkasa yang bernama Bu Ci Sian (baca KISAH SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN), namun cintanya bertepuk tangan sebelah.

Sebagai seorang pendekar yang gagah, dia menyadari keadaan ini. Dia mengalah dan mundur, akan tetapi dengan hati nelangsa dan sejak itu dia menjauhi wanita. Ayah bundanya sudah berkali-kali mendesaknya agar dia suka memilih seorang calon isteri, atau mau dicarikan jodoh oleh orang tuanya, namun Cin Liong selalu menolak. Sampai sekarang, dalam usia dua puluh sembilan tahun dan telah memiliki kedudukan tinggi, Kao Cin Liong masih belum juga menikah, bahkan tidak mempunyai seorang selirpun.

Padahal, pada umumnya, orang yang memiliki kedudukan setinggi dia itu, andaikata belum menikah juga, tentu setidaknya sudah mempunyai lima enam orang selir muda yang cantik-cantik! Akan tetapi, biarpun dia memiliki kedudukan tinggi sebagai seorang jenderal, namun jiwanya tetap adalah jiwa seorang pendekar yang tidak menyukai adanya kepincangan-kepincangan dan ketidak-adilan.

Cin Liong tinggal seorang diri di sebuah gedung yang megah di kota raja, dengan beberapa orang pelayan yang bertugas merawat gedungnya. Dia sendiri jarang berada di kota raja, lebih sering dia melakukan pengamatan dan pemeriksaan terhadap kesatuan-kesatuan yang bertugas di luar kota raja, dan jenderal muda ini banyak membantu usaha Kaisar Kian Liong untuk memberantas korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan dan wewenang.

Banyak sudah para pejabat, terutama di kalangan ketentaraan, yang dipecat dan dituntut oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong sehingga namanya makin ditakuti dan disegani. Dia demikian sibuk dengan pekerjaannya sehingga jarang dia berkunjung ke tempat tinggal ayah bundanya yang mendiami Istana Gurun Pasir, jauh di utara, di dekat perbatasan utara.

Kesempatan berkunjung itu tiba ketika dia memperoleh tugas baru. Pada waktu itu Kaisar Kian Liong sudah menduduki tahta selama lima tahun dan sejak hari pertama menjadi kaisar, Kaisar Kian Liong bergerak melakukan pembersihan dan perbaikan-perbaikan.

Akan tetapi, muncullah gangguan berupa pemberontakan di perbatasan barat dan ada berita pula bahwa di utara, di luar Tembok Besar, juga terjadi pergerakan-pergerakan. Karena itu, Jenderal Kao Cin Liong mendapatkan tugas untuk melakukan penyelidikan. Jenderal muda ini lalu berangkat sendiri, ingin melakukan penyelidikan sendiri sebelum mengambil keputusan mengirim bala tentara untuk melakukan pembersihan.

Berangkatlah dia ke utara, karena dia ingin menyelidiki ke utara lebih dulu sambil mengunjungi orang tuanya, baru kemudian berangkat ke barat. Dengan menunggang seekor kuda yang baik, Cin Liong melakukan perjalanan cepat ke utara. Dia memakai pakaian biasa, karena lebih leluasa baginya untuk melakukan penyelidikan kalau dia menjadi orang biasa.

Tanpa halangan suatupun, pada suatu pagi dia tiba di benteng lama di perbatasan utara. Benteng ini telah tua dan rusak, tidak lagi dipakai karena kini pasukan pemerintah telah membangun sebuah benteng baru yang kokoh kuat, di tempat yang lebih baik dan tepat untuk menghadang masuknya pasukan musuh dari luar.

Karena malam telah tiba dan perjalanan dari benteng kuno itu menuju ke Istana Gurun Pasir masih memakan waktu setengah hari, maka Cin Liong berhenti dan mengambil keputusan untuk bermalam di dalam benteng tua itu. Dia menambatkan kudanya di luar, mencarikan rumput untuk kudanya, kemudian dia memasuki bangunan kecil bekas tempat penjagaan di luar benteng itu dan membuat api unggun dari kayu bekas bangunan rusak. Dikeluarkannya ransum bawaannya, yaitu roti kering dan daging kering, dimakannya makanan sederhana ini dengan sebotol arak ringan.

Tiba-tiba Cin Liong menghentikan gerakan mulutnya yang mengunyah makanan. Telinganya mendengar derap kaki kuda yang lemah karena kelelahan. Ada tiga orang penunggang kuda menuju ke benteng tua itu. Tentu pedagang-pedagang yang kemalaman, pikirnya. Derap kaki kuda mereka menunjukkan bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauh dan kuda mereka telah lelah. Ternyata tiga orang penunggang kuda itu berhenti di depan bangunan kecil itu pula dan terdengar suara mereka ketika mereka turun dari punggung kuda.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar