FB

FB


Ads

Senin, 21 September 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 001

Kaisar Kian Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang paling terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644.

Kaisar Kian Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi pangeran, dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta oleh para pendekar karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta rakyat jelata, adil dan bijaksana. Oleh karena itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada waktu itu dia baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat mendukungnya. Biarpun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya dan jalan pikirannya adalah seorang Han tulen.

Baru saja dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat dalam pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan rakyat mulai makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan mulailah rakyat mengenal pembesar dan pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan penindas seperti di waktu-waktu yang lampau.

Tidak mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara otomatis dia harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang korup dan yang menindas rakyat.

Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak kepada penindasan dan korupsi, tentu saja berarti diapun menjadi penindas rakyat. Dalam hal pertama, dengan sendirinya kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan kaisar yang tentu saja dapat ditegakkan dengan kekerasan, dia akan ditentang oleh para koruptor yang merasa terhalang dan terhenti sumber kemuliaannya. Dan sebaliknya, menindas rakyat tentu akan dihadapi dengan pemberontakan di sana-sini.

Akan tetapi, ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung rakyat dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga mendukungnya. Kenyataan inilah yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah menjadi kuat, sebaliknya kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja, pemerintah akan menjadi rapuh.

Kaisar Kian Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740 setelah lima tahun dia menjadi kaisar, seolah-olah merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya menerangi hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa sekali di tempat yang terpencil sekalipun, seperti di Pulau Es.

Pulau Es adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan pulau kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan Jepang. Pulau Es ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu di mana letaknya yang tepat, jarang pula ada yang pernah menyaksikannya, apalagi mendarat di sana.

Akan tetapi namanya sudah terkenal sekali, terutama di kalangan para pendekar di dunia kangouw. Bahkan Pulau Es menjadi semacam dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang mereka kagumi, hormati, akan tetapi juga takuti. Siapakah orangnya yang tidak segan dan gentar mendengar nama Pulau Es, yang menjadi tempat Istana Pulau Es dengan penghuninya Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, penghuni Pulau Es?

Pendekar ini yang namanya Suma Han, memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng, pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati yang bijaksana dan budiman, maka dia dipuja-puja oleh para pendekar sebagai seorang datuk yang dikagumi.

Para pembaca dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Suma Han yang hidup dengan tenteram dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta.

Isterinya yang pertama adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar Mancu yang amat gagah perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang mendalam terhadap suaminya, telah rela meninggalkan kehidupan di istana sebagai puteri dan juga sebagai panglima yang banyak jasanya, rela hidup di tempat sunyi itu bersama suami dan madunya.

Madunya itu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan. Wanita ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walaupun bukan keluarga kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki kepandaian yang hebat karena ia pernah menjadi majikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat, agaknya ia tidak kalah jauh dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah keduanya menjadi isteri Pendekar Super Sakti dan menerima bimbingan sang suami yang memiliki kepandaian seperti dewa itu.

Bagaimanakah Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun dan tenteram? Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri? Dapatkah Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua orang isterinya itu?

Sesungguhnya, tidak mungkin cinta kasih dibagi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin dan terasa oleh siapapun juga. Demikian pula cinta kasih Suma Han terhadap dua orang isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita itu merasa benar akan hal ini dan oleh karena itu merekapun tidak pernah merasa iri atau cemburu.

Bahkan kedua orang wanita ini saling mencinta seperti kakak beradik sendiri saja. Tidak ada keinginan untuk mengejar pemuasan kesenangan dirinya sendiri saja bagi cinta kasih.

Yang ada hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalaupun ada suatu keinginan, kalau boleh dinamakan keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya satu, yakni ingin melihat orang yang dikasihinya itu berbahagia! Hanya orang yang memiliki sinar cinta kasih di dalam batinnya sajalah yang akan mengenal cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam hidupnya.

Bahagia adalah tidak adanya sedikitpun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia adalah keadaan bebas dari ikatan apapun juga, jadi batinnya hening dan tidak mempunyai apa-apa walaupun boleh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya. Dan karena batin tidak memiliki apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia telah memiliki segala-galanya!

Siapakah sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu? Orang macam apakah dia itu? Suma Han adalah seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati seratus tahun, atau tepatnya sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh tinggi sedang, perutnya tidak gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat walaupun kakinya hanya sebelah saja. Kaki kirinya buntung sebatas paha dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat. Rambutnya panjang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan terurai di pundak.






Akan tetapi rambut itu terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang perak yang mengkilap kalau tertimpa cahaya matahari. Selain rambutnya, juga alisnya, kumis dan jenggotnya semua telah putih. Tidak ada sehelaipun yang hitam. Namun wajahnya masih nampak segar kemerahan, matanya masih awas dan tajam pandangannya, walaupun bersinar lembut sekali. Pendengarannya masih amat baik, juga giginya tidak ompong.

Pendeknya panca indranya masih tidak banyak menurun, masih kuat. Kesehatannya memang amat mengagumkan. Tidak pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah membuat tubuhnya agak layu dan tenaga otot dan tulangnya tidaklah sekuat dahulu lagi. Pakaiannya sederhana, akan tetapi selalu bersih dan rapi berkat rawatan kedua orang isterinya yang amat mencintanya. Dan dalam usia hampir satu abad itu, harus diakui bahwa masih membayang bekas ketampanan wajah pendekar ini.

Pendekar tua ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang lihai bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya yang hebat-hebat adalah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dimainkan dengan tongkatnya, dan terutama sekali Ilmu Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir) yang membuat tubuhnya dapat bergerak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang saja. Dan di samping ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai kekuatan sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!

Isterinya yang pertama, Puteri Nirahai juga sudah tua sekali, selisihnya hanya beberapa tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu asli, dan sudah beberapa kali namanya menjadi terkenal ketika ia menjadi panglima dan menggerakkan pasukan pemerintah menumpas pemberontakan-pemberontakan dengan hasil baik.

Ia bukan saja pandai ilmu silat, akan tetapi juga mahir dalam ilmu perang. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari dua orang pendekar wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu kandung Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata rahasianya Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya.

Di waktu mudanya, Nirahai cantik sekali, dengan pakaian bergaya Mancu dan topi bulu selalu menghias rambut kepalanya yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan tetapi sekarang telah menjadi putih itu. Dan di dalam usianya yang sembilan puluh tahun lebih, ia masih belum kehilangan kerampingan tubuhnya dan kecantikan wajahnya masih membayang pada garis-garis mukanya. Wataknya halus akan tetapi tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki darah bangsawan tinggi di tubuhnya.

Isteri ke dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tidak dapat dikatakan isteri pertama atau ke dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat menjadi isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang luar biasa lihainya. Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai tuapun Lulu lebih suka mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun bersih dan rapi.

Ia juga berdarah Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Pendekar Suling Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera Hujan Angin) dan Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua ilmu yang berasal dari manusia dewa Bu Kek Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun ia berjiwa pendekar dan dalam membela keadilan ia seperti seekor naga betina yang pantang undur.

Di waktu mudanya, ia pernah meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi akhirnya ia dapat “dijinakkan” oleh Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya. Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai, sehingga ia kini sudah berusia sembilan puluh tahun dan menjadi seorang nenek yang gerak-geriknya masih gesit.

Demikianlah keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua, mereka tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun mereka bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat terasing itu, dan setiap hari lebih banyak duduk bersamadhi di kamar masing-masing. Urusan rumah tangga ditangani oleh keluarga yang lebih muda, yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal di Pulau Es untuk belajar ilmu dari kakek dan nenek-nenek mereka.

Bagi para pembaca yang telah mengenal keluarga Pu1au Es, tentu tahu bahwa Puteri Nirahai dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya sehingga dia mendapatkan julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal sekali, yaitu Ilmu Sin-ho Coan-in, dan juga Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput).

Suma Kian Bu ini menikah dengan seorang pendekar wanita pula bernama Teng Siang In yang pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang tinggal di lembah Sungai Huang-ho, di luar kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi dan indah, hidup tenteram sebagai petani yang juga berdagang rempah-rempah dan hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya mempunyai seorang putera yang kini telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng Liong.

Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya setahun lebih tua daripada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo iblis yang amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut dan bijaksana.

Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah berusia lima belas tahun.

Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es.

Orang tua mereka menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidikan dari kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di samping itu untuk menemani dan menghibur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian itu.

Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu di Pulan Es masih terdapat lima orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya pelayan-pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung terpercik sedikit ilmu dari keluarga berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini mereka telah memiliki kekuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit tentang para penghuni Pulau Es pada waktu cerita ini terjadi.

Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Disitu tidak dapat ditanami tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup besar, ada lima hektar luasnya dan merupakan dataran yang di bagian tengahnya berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan sederhana saking tuanya.

Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal.

Di depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah ruangan depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabot-perabot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri.

Ruangan depan itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan pandangan yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan kuno yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing dengan tulisan-tulisan pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat bersajak, perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai ruangan itu terbuat dari batu mengkilap bersih.

Perabot-perabot seperti meja kursi dan lemari-lemari kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil.

Di sudut ruangan, juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjata-senjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya, mudah diketahui bahwa senjata-senjata itu adalah benda-benda pilihan yang ampuh!

Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar. Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa serem karena pantasnya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.

Demikianlah penggambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya, dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak cerah. Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan juga disegani, cerita ini dimulai!

“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun.

Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau, alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pendekar Siluman Kecil dan isterinya, Teng Siang In.

Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah mereka berdua berhasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng Siang In mengandung dan kemudian melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong (Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun menikah dan belum juga dikaruniai putera.

Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee yang merupakan kakak-kakak misannya.

“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari ilmu itu, mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun.

Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak halus dan pendiam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan tetapi sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar, membayangkan kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah maupun sikapnya.

Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui.
“Hui-cici, bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?”

Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong yang lincah itu kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi kadang-kadang, kalau sedang “kumat” menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik terhadap saudara yang lebih tua, kalau bicara dengan Suma Hui.

Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan bulu mata panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah membasah, wajah yang manis!

Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar walaupun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan setangkai bunga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat sehingga setiap gerakan anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir, gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang indah tersendiri.

“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat, jangan harap akan dapat menguasai ilmu silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi semua itu hanya akan menjadi gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka, tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang, apakah kau kira mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin melangkah terlalu jauh kalau kakimu belum kuat. Mengerti?”

“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yang menjawab.

Adik ini biarpun pendiam dan serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yang berani membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa encinya itu terlalu amat sayang kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya yang bersikap seperti seorang guru memberi kuliah.

“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”

“Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?” Ciang Bun membela Ceng Liong.

“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya.

Sungguh kebiasaan ini persis kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membanting-banting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal.

“Bun-te, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajarkan Swat-im Sin-ciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sin-ciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum waktunya?”

Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat, maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata,

“Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan iseng-iseng saja.”

Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak ramah lagi.

“Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biarpun Ilmu Swat-im Sin-ciang tidak dapat dikata lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi mempelajari kedua ilmu itu di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini secara otomatis telah berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan untuk menyesuaikan diri dengan hawa di luar tubuh. Daya kekuatan melawan dingin di tempat ini bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis kita mudah sekali mengerahkan tenaga panas untuk menahan serangan hawa dingin di pulau ini. Maka, dengan latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat menguasai Hwi-yang Sin-ciang yang mengandalkan tenaga panas di tubuh.

Sebaliknya, karena kita sudah biasa mengerahkan hawa panas melawan serangan dingin, agak sukarlah bagi kita untuk menguasai Swat-im Sin-ciang. Ilmu ini lebih mudah dipelajari di tempat-tempat panas karena otomatis daya tahan dalam tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih, Bun-te. Engkau berlatih Hwi-yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah adik Ceng Liong menyaksikan dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba waktunya dia belajar, dia sudah tahu cukup banyak.”

Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini lenyap kekesalan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan kedua orang adiknya itu dan mereka berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terdapat sebuah teluk kecil. Teluk ini banyak mengandung gumpalan-gumpalau es yang mengambang di atas air laut.

“Ceng Liong, coba kau latih Sin-coa-kun yang telah kau pelajari dari nenek Nirahai!” kata Suma Hui. “Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu silat tangan kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya.”

Ceng Liong meloncat ke depan lalu berkata kepada mereka.
“Hui-cici dan Bun-koko, kalau ada yang belum benar harap kalian suka memberi petunjuk kepadaku!” Kemudian, anak laki-laki berusia sepuluh tahun ini lalu bersilat.

Gerakannya memang mantap, cepat dan juga mengandung tenaga yang kuat, lincah dan lemas. Tubuhnya dan kedua lengannya berliuk-liuk seperti tubuh ular dan kedua tangan itu membentuk kepala ular, mematuk ke sana-sini. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, namun gerakan tangannya ketika menyerang itu sudah mengandung hawa pukulan yang mengeluarkan suara bersuitan. Ini tandanya bahwa anak ini telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat!

Inilah hasil gemblengan yang diperolehnya selama dua tahun di Pulau Es. Ilmu Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti) itu memang hebat, membuat tubuhnya lincah dan terutama sekali menjadi lemas dan sukar dapat dipukul lawan.

Suma Hui dan Suma Ciang Bun memandang kagum. Memang benar ucapan nenek Nirahai, anak ini sungguh berbakat sekali. Ilmu silat ini tidak mudah namun Ceng Liong dapat menguasainya dengan baik dan gerakan-gerakannya demikian lemas sehingga hampir tidak ada kelemahannya.

Setelah selesai bersilat, wajah Ceng Liong nampak merah, ada uap putih mengepul dari kepalanya. Akan tetapi, napasnya biasa saja, tidak terengah-engah, padahal untuk memainkan Sin-coa-kun sampai habis membutuhkan pengerahan tenaga luar dalam yang cukup berat.

“Gerakanmu bagus sekali, Liong-te. Sekarang engkau Bun-te, perlihatkan sampai di mana kemajuan latihanmu dalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang.” Suma Hui menyuruh adiknya.

“Aku hanya baru dapat mencairkan gumpalan es saja, cici,” kata Ciang Bun dengan sikap malu-malu.

“Itupun sudah merupakan kemajuan yang hebat, adikku,” kakaknya menghibur.

Ciang Bun lalu mulai bersilat, mainkan ilmu silat yang amat hebat dan aneh, gerak-geriknya seperti orang menari-nari saja, dengan tangan membuat gerakan seperti orang menulis huruf-huruf di udara. Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang amat luar biasa, karena ilmu ini adalah ilmu yang diturunkan oleh manusia dewa Bu Kek Siansu dan yang pernah diwarisi oleh Lulu, nenek dari pemuda ini. Jarang ada orang yang berkesempatan menyaksikan ilmu silat yang langka ini.

Setelah mainkan ilmu silat ini beberapa jurus, akhirnya Ciang Bun menghentikan gerakan-gerakannya dan berdiri di tepi teluk dengan kedua tangan terangkap seperti menyembah di depan dada. Inilah yang disebut kedudukan Hoan-khi-pai-hud (Memindahkan Hawa Menyembah Buddha) dan pemuda berusia lima belas tahun ini sedang mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang.

Nampak uap mengepul dari seluruh tubuhnya dan Ceng Liong yang sejak tadi memandang kagum merasa betapa ada hawa panas keluar dari tubuh kakaknya itu, makin lama semakin panas. Akhirnya, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan suara melengking tinggi dan mengejutkan, tubuhnya bergerak dan kedua tangannya mendorong-dorong ke arah gumpalan-gumpalan es yang mengambang di air laut di dekat tepi. Hawa panas menyambar-nyambar ke arah gumpalan-gumpalan es itu dan gumpalan es sebesar kepala kerbau itu seketika mencair seperti didekati api panas!

“Hebat sekali, engkau sungguh lihai, Bun-koko!”

Ceng Liong memuji sambil bertepuk tangan dengan hati gembira sekali. Setelah mencairkan empat gumpal es, Ciang Bun menghentikan gerakannya dan sambil tersenyum malu-malu dia mengusap peluh yang membasahi dahi dan lehernya.

“Ah, aku masih harus banyak berlatih, Liong-te,” katanya merendah.

Demikianlah watak Ciang Bun, pemalu dan rendah hati, sungguh amat berbeda dengan cicinya yang lincah jenaka dan kadang-kadang dapat saja bersikap angkuh.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar